"Biarin, lagian untung nggak dijenguk, aku takut muntah kalau liat dia," jawab Naya, terdengar sarkas."Jangan gitu, jadi orang jangan terlalu membenci, nanti nanti malah jadi menyayangi," balas Dimas, bijak mengingatkan Naya. "Maaf ya, cintaku sudah kepadamu, tak ada lagi untuk yang lain." Naya menjawab Dimas sambil tersenyum menggoda. Hingga membuat yang berada dalam kamar tersebut cekikan menahan tawa."Alhamdulillah." Dimas mengucapkan syukur sambil tersenyum dengan ke dua tangannya mengelus dada."Kalian nikah aja kenapa, sih? Lama lama pacaran juga nggak baik kali bagi kesehatan." Berengut muka Rizal yang melihat kemesraan antara Naya dan Dimas."Apa hubungannya dengan kesehatan? Lagian kesehatan siapa yang nggak baik?" Naya menjawab ucapan Rizal dengan pertanyaan pula."Ya kesehatan akulah, memangnya siapa lagi yang jadi obat nyamuk di antara hubungan kalian? Aku kan? Hanya aku seorang!" Rizal menjawab Naya sambil menunduk sedih, Namun walau sesedih apa pun muka yang di
"Makanlaah ...! Mama pun harus jaga kondisi, Faris masih butuh kita, walau pun sekarang dia sudah sadar, tapi selama masih belum di ijinkan pulang itu berarti dia belum sehat." Papa Adi membujuk Mama untuk makan, pagi itu di kamar rawat Faris."Makan dong, Ma! Atau mungkin Mama mau aku suapin?" tanya Faris, dengan wajah yang kini mulai terlihat lebih segar. "Diii ... kamu aja di suapin, ini sok sokan nyuapin mama, songong!" Mama menjawab sambil sedikit memonyongkan bibirnya ke depan."Ya ... mungkin Mama kangen aku suapin, kan bisa aja?" Faris menjawab dengan senyum nakalnya. "Apa rencanamu setelah ini, Ris?!" Papa Adi menengahi perdebatan antara mama dan anak. "Prioritas sih, kembali kerja, Pa. Kemudian sesuai rencana, meneruskan rencana yang tertunda, yaitu menikah dengan Bella." Mama Via dan Papa Adi hanya bisa saling pandang ketika mendengar apa yang akan dilakukan oleh anak sulung mereka. "Bagaimana dengan Ivana?" Papa Adi sengaja menyebut nama Ivana di depan Faris."Buka
"Bu —bukan seperti itu, Sayang. Kamu jangan terlalu mengartikan apa yang tadi adikmu katakan, ka - karena aku bisa jelaskan semuanya." Bella terlihat bersusah payah menutupi kegugupannya."Jelaskan padaku, kenapa kamu tidak pernah menjenguk selama ini ...?" seru Faris dengan mata terus menatap menuntut jawaban."Aku mempunyai alasan sendiri kenapa tidak datang menjengukmu, Sayang_""Apa alasanmu?" putus Faris, menatap lekat sang kekasih yang terlihat bingung. "Itu karena—""Karena apa, Bella?!" sentak Faris yang mulai tak sabar."Karena saat kita kecelakaan, bayi kita sudah tidak dapat di selamatkan, aku terpuruk dan takut untuk datang ke sini," jawab Bella dengan wajah ketakutan yang menatap ke lantai."A–aku minta maaf karena tak bisa menjaga bayi kita," ujar Bella, lagi. Masih menundukkan wajahnya seperti sedang menangis, entah keluar dari mana air yang kini membasahi pipinya itu."Hei ... jangan menangis, aku yang harusnya kamu salahkan, maap, tadi sempat meninggikan suaraku."
"Saya mau ketemu dengan Bapak Kamandaka. Advokat senior yang menjadi pendamping perusahaan AVA. Corp." Papa Adi mengutarakan alasan kedatangannya kepada salah satu di antara dua receptionist kantor itu."Maaf, dengan Bapak siapa saya berbicara?" tanya perempuan sebelah kanan, yang berpenampilan modis, menanyakan identitas Papa. "Saya, Adi Harmaka Agung. Pemilik AVA. Corp.""Apakah sebelumnya sudah ada janji, Pak?" tanya receptionist yang menggunakan kerudung."Belum, kamu telpon saja beliaunya katakan kalau Papa dari Alfaris Harmaka Agung, ingin bertemu." Dengan nada yang terdengar kesal, Papa Adi meminta karyawan perempuan tersebut untuk langsung menghubungi orang yang dia cari. "Baik, Pak! Silahkan anda menunggu lebih dulu. Kami akan proses permintaan anda. Terima kasih." Karyawan tersebut mengatupkan ke dua tangannya di dada saat mengucapkan terima kasih pada Papa Adi."Ada apa, Pa? Kok tumben pagi-pagi gini dah ngajak ke kantor advokat?" Mama Via yang semula hanya diam saja,
"O ... iya! Saking terlalu bahagianya, hingga aku terlupa menanyakan alasanmu kenapa pagi pagi sudah berada di kantorku? Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Pak Damar sambil kembali ke kursi kerjanya. Melepaskan jas yang ia pakai, dan meletakkannya di sanderan kursi sebelum ia duduki."Aku ingin melihat berkas perceraian Anakku, Alfaris Harmaka Agung, bisa?" tanya Papa Adi, yang duduk di samping Mama Via yang masih terisak."Faris?! Kalau dia anakmu, kenapa tak kau tanyakan langsung padanya, Di?" Dengan heran Pak Damar balik bertanya dengan kedua mata memandangi wajah Papa Adi, terlihat bingung."Anakku ... dia baru sadar dari pingsan selama kurang lebih tujuh bulan akibat kecelakaan yang dialaminya. Jadi berkas itu masih ada di sini. Lagi pula hubungan kami masih belum sehat," jawab Papa Adi yang dibalas anggukan pelan Pak Damar tanda mengerti situasinya."Ita, tolong bawa berkas Alfaris Harmaka Agung dari perusahan AVA!" perintah Pak Damar pada seseorang melalui pesawat interkom."Ba
"Waktu itu ... aku melihatnya sedang duduk sendiri di kursi depan kantin kampus, aku pikir itu kesempatan untuk mendekat. Namun, saat sudah berada di depannya, barulah tampak dengan jelas kalau dia sedang menangis. Lalu aku bertanya, apakah aku boleh duduk bersamanya? Kulihat Ana tampak terkejut waktu itu, mungkin dia tidak menyangka kalau aku bakal menyapa, bahkan izin untuk duduk bersamanya." Pak Damar menghentikan ceritanya dengan sebuah tarikan nafas panjang. "Agak lama dia membuatku menunggu izin untuk duduk, dan saat aku sudah mulai menyerah, aku mundurkan langkahku dua langkah, kemudian terdengar suaranya menahan langkahku. Dengan suara yang serak akhirnya dia mengizinkan aku duduk bersamanya.Tangan kanannya mempersilahkanku ke kursi di depannya bukan di sampingnya. Tapi tak apa, untukku, itu sudah merupakan awal yang bagus bukan?!" Mama Via terlihat ikut tersenyum saat dari sudut matanya yang melirik, melihat pak Damar melakukan hal yang sama. "Sungguh! Aku senang sekal
Dengan menggunakan dua mobil yang berbeda. Perjalanan menuju ke makam Ana berjalan lancar hingga sampai kawasan di perbatasan kota, mobil yang dikendarai Pak Damar berjalan lebih lambat, karena memasuki perkampungan padat penduduk yang memiliki luas jalan hanya cukup untuk satu mobil. Kemudian mobil Pak Damar berhenti di sebuah pemakaman umum yang rimbun karena banyak pohon kamboja yang menaungi. Makam yang berderet deret rapi dan bersih, banyak pedagang kaki lima yang mencari rejeki di sekitar pemakaman. Pak Damar melangkah keluar mobil, setelah memarkir mobilnya di tempat yang tak jauh dari pintu gerbang. Di ikuti oleh Papa Adi dan Mama Via, yang memarkir mobil di sebelah kanannya. Baru hendak melangkah menuju pintu masuk kawasan pemakaman, tampak seseorang yang berlari sambil memanggil Pak Damar."Ada apa, Jo?" tanya Pak Damar saat orang yang memanggilnya itu sudah berjarak satu meter. "Pak Damar, terima kasih atas pemberiannya, saya dan keluarga sangat terbantu dengan pembe
"Kenapa nggak langsung naik ke atas?" Semua orang seketika mendongakkan wajah saat terdengar suara menyapa.Ternyata yang turun adalah Umi, penanggung jawab panti. Umi dengan senyuman yang khas, beliau menyambut tamunya dengan pertanyaan. "Bu, masih ingat saya?" tanya Pak Damar yang sudah berdiri, menghampiri dan mengajak bersalaman dengan orang yang baru saja menuruni tangga. Seakan dejavu. Umi terhenyak, bibir yang semula di hiasi senyuman berubah terkatub, seakan terkenang lagi saat bertemu pria yang berada di depannya berpuluh tahun silam."Bapak ... bapak kandungnya Ivana, kan? Anda yang pernah membawa Ivana ke sini saat itu, benar bukan?" runtut Umi seketika hingga suasana berganti haru, saat tahu siapa yang berada di hadapannya saat itu."Iya, Bu! Saya ayahnya Ivana, sudah bertahun tahun saya mencari anak saya dan panti ini, Namun setiap tahun rupanya panti ini selalu berpindah pindah. Maaf kalau baru sekarang bisa datang, dan menjemput Ivana," jawab Pak Damar tak kalah h
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si