“Apa yang terjadi?” racau Rosetta yang baru saja terjaga dari tidurnya.
Marco mengerang lirih, lantas membuka penutup matanya. Rasa kantuk masih menggantung erat di kelopak mata mereka. Namun, kekacauan di luar kamar terasa mengganggu dan mustahil untuk diabaikan.“Entah, Rosetta. Aku akan pergi melihatnya—oh, astaga! Apa yang Giuseppe lakukan pagi-pagi buta seperti ini?” keluh Marco yang berusaha duduk dan menegakkan punggungnya dengan sempurna.“Itu bukan suara Giuseppe,” sahut Rosetta yang kemudian menyambar piamanya di atas lantai.Marco memijit keningnya sebelum memutuskan untuk turun dari ranjang mereka dan mengecek keadaan. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah yang tersaruk-saruk sambil berjuang mengenyahkan sensasi tajam pada netranya yang tadi dipaksa membuka. Berengsek, pikirnya.“Tunggu, Marco.”Marco langsung berhenti setelah Rosetta memintanya. Dia menoleh dengan sorot mata penuh tanya. “Kau melupakan“Tekanan darahnya agak sedikit rendah, tetapi dia tidak apa-apa.”Dokter berkacamata minus itu kemudian menjelaskan kondisi Rosetta yang secara keseluruhan mulai membaik. Marco langsung merasa lega selepasnya dan mengizinkan tim medis untuk pergi. Dia tenang sebab wanitanya akan baik-baik saja.“Aku benar, bukan? Aku memang merasa bugar dan jauh lebih sehat dari kemarin. Kaulah yang kelewat paranoid,” ucap Rosetta setelah para dokter dan perawat itu pulang.“Aku lebih suka menyebutnya protektif. Aku hanya ingin kau mendapatkan perawatan yang terbaik. Aku peduli padamu. Aku tidak akan tahan melihat kekasihku masih dihantui oleh bayang-bayang buruk yang terjadi di kapal pesiar tempo lalu.”“Aku tidak apa-apa, Marco.”Suasana mendadak berubah canggung bagi Rosetta saat Marco duduk di sampingnya dengan sorot mata putus asa. Sesuatu yang jarang dia temui pada sosok tangguh itu, selain tadi malam sewaktu mereka duduk menikmati sampany
“Rencana kita harus berhasil, Caritta. Aku mengandalkanmu. Kau berutang itu padaku.”Caritta menaikkan kedua kakinya ke atas sofa—mempertontonkan sepasang tungkainya yang jenjang, lantas menyipitkan mata. “Aku akan melakukannya dengan baik. Itu bukan misi yang sulit.”“Aku akan memegang kata-katamu.”“Kau boleh memercayaiku.”Satu alis Ludovic spontan menukik sebagai reaksi. Dia berbalik memutar pinggangnya dan menumpahkan perhatian penuh pada Caritta yang memilin ujung rambutnya. Diam-diam berharap bahwa sosok yang sedang berbaring di sana adalah saudari kembar wanita itu; Rosetta.“Aku akan dihancurkan oleh obsesiku sendiri suatu hari,” desis Ludovic sambil mengusap-usap dagunya dengan kasar.“Apa?”Caritta menoleh pada Ludovic yang tengah berdiri di dekatnya dan kembali mengulangi pertanyaan yang sama, “Apa? Apa kau mengatakan sesuatu?”“Tidak.”“Aku baru saja mendengarmu menggumamk
Semuanya terlihat menakjubkan dari ruang whirlpool milik Ludovic. Mulai dari pemandangan sampai desain elegan yang diusung oleh konsep kolam kecil itu. Sesuatu yang membuat Caritta terperangah pada setiap kenyamanan yang ditawarkan di sana.Whirlpool itu mengarah ke kawasan garis pantai yang menyuguhkan panorama alam yang luar biasa. Posisinya strategis. Diletakkan di luar balkon beratap terbuka yang membuat mereka akan menikmati lebih banyak diorama, lengkap dengan koleksi wine berkualitas di meja bar. Tempat berendam yang mencakup definisi dari fantastis. ‘Surga’ pribadi yang menakjubkan. Segala sesuatunya menjadi dua kali lipat lebih memukau dari atas, meskipun awan mendung masih menggelayut tebal dan gerimis berubah menjadi rintik yang lebat.“Wow!”“Kau menyukainya?” tanya Ludovic yang lagi-lagi mengerling pada Caritta.“Apa kau bercanda? Aku bukan hanya menyukainya, tetapi aku menggilainya. Bagaimana rasanya menyaksikan m
“Emma? Ada apa? Masuklah.”Emma mengangguk pada Rosetta yang langsung menghentikan aktivitasnya. Dia melangkah dengan hati-hati, lantas meletakkan nampan berisi secangkir kopi panas yang dibawanya ke atas meja. Kepala pelayan itu menengadah sebelum mengumbar senyum.“Apa Marco yang memintamu mengantarkan minuman untukku?” tanya Rosetta lagi selepas Emma membuat bahasa isyarat yang kurang dia kuasai.Emma kembali mengangguk dengan garis ekspresif yang lebih lebar di wajahnya. Dia mundur sedikit—memberi jarak, kemudian mempersilakan Rosetta mencicipi kopi racikannya sendiri. ‘Anda akan menyukainya,’—lewat kombinasi gerakan pada jemarinya.“Terima kasih. Aku akan meminumnya nanti.”Rosetta mengembalikan sebuah novel yang dia baca sebelumnya ke dalam rak buku. Menoleh pada Emma yang masih berdiri di dekatnya dan balas menyunggingkan senyum untuk orang kepercayaan Marco itu. Detik berikutnya, Emma yang teringat akan sesuatu mendadak merogoh saku seragam maid-nya dengan segera.Emma mengelu
“Siapa yang menyangka dia punya saudari kembar?” gumam Fabio pada dirinya sendiri.Fabio menyambar gelas brendinya yang masih belum tersentuh sejak tadi, lantas melemparkan benda itu ke arah dinding. Meluapkan emosinya yang terasa menggelegak mengisi setiap ruang di dadanya. Bunyi kaca yang pecah menghantam tembok pun langsung terdengar menggaung ke seantero ruangan.“Dasar keparat! Berani-beraninya Marco menendangku! Aku akan membuat perhitungan dengannya,” teriak pria itu kemudian.Fabio menggebrak permukaan meja. Kenangan tentang perkelahian mereka di atas kapal pesiar tempo lalu terasa begitu mengganggu. Peristiwa yang mustahil akan dilupakan oleh pria bertemperamen sulit itu dalam sekejap.“Berani-beraninya kau menyakiti Rosetta!” seru Marco sambil menodongkan senjata kesayangannya pada kawanan Fabio. Mereka serentak menoleh—memasang sikap siaga penuh untuk mengantisipasi peluru milik Marco, lantas ikut bergerak menodongkan pistol. Siap untuk melontarkan sejumlah proyektil dari
“Tidak sulit, bukan?”“Aku merasa sedikit gugup, tetapi memang tidak sesulit yang kupikirkan.”Marco kemudian melingkarkan salah satu tangannya pada pinggang Rosetta dan menyahut, “Aku hanya ingin kau memahami cara untuk melindungi dirimu sendiri sewaktu aku atau orang-orangku tidak ada di sampingmu. Kita tidak pernah tahu sesuatu yang akan terjadi, bukan?”“Aku mengerti. Aku akan belajar lagi nanti. Aku hanya belum terbiasa dengan kecepatan untuk bertindak.”“Aku memaklumi keterkejutanmu, tetapi aku juga mengagumi pengendalian dirimu. Kita dari dunia yang berbeda. Aku berasal dari kehidupan yang kelam dan lekat dengan perselisihan setiap harinya sejak kecil. Kau datang dari dunia yang asing. Asing dalam kegelapan yang ada di sekitarku.”Marco menghela napas sesaat sebelum melanjutkan, “Kau luar biasa untuk ukuran seseorang yang belum pernah mengenal dunia sepertiku. Aku sosok yang dibenci atas reputasi kotorku di luar sana. Mereka menganggap keluarga kami sebagai para kriminal yang t
Belum pernah Marco menari senyaman itu dengan seseorang selama hidupnya. Belum pernah dia menikmati momen kebersamaan yang begitu akrab dan intim satu sama lain dengan seorang lawan jenis. Hanya Rosetta yang membuatnya merasa ingin menggerakkan tubuh maskulinnya.Musik yang mengalun membuat mereka terus berputar mengitari ruang balkon, seolah-olah terhipnotis oleh melodi klasik yang mengalir. Bukan jenis dansa formal seperti dalam pesta. Hanya pelukan rapat yang membuat mereka saling mengisi dan menyatukan perasaan masing-masing.Marco bahagia, jelas. Dia merasa sesak oleh euforia yang menunggangi dirinya. Mereka saling memagut erat dan bertukar pandang untuk waktu yang lama dalam keheningan malam dan udara dingin awal bulan Oktober.“Kau menggigil. Apa kau ingin masuk ke dalam?”“Dan menyudahi dansa kita? Tidak. Aku tidak suka mengacaukan perasaan indah ini,” bisik Rosetta yang kemudian bergidik selepas merasakan angin berembus meniup punggungnya.“Kita akan melanjutkannya di dalam.”
“Kita harus bicara,” desak Rosetta keesokan paginya.Caritta membalikkan tubuhnya dengan malas. Ekspresinya datar tanpa emosi, lantas mengedikkan kedua bahunya. “Jika yang kau maksud bicara itu duduk mengobrol satu meja denganmu, maka terima kasih banyak. Aku tidak akan terlibat dalam percakapan apa pun bersamamu.”“Mengapa kau menjauhiku seperti wabah?”“Aku hanya berusaha menghindari konflik,” balasnya lagi.“Konflik? Aku ingin kita duduk dan bicara empat mata,” cetus Rosetta yang masih bersikeras menghalangi niat Caritta untuk ‘melarikan diri’ dari permasalahan yang berlarut-larut di antara mereka.“Menyingkirlah dari jalanku, Rosetta.”“Tidak. Aku tidak akan menjauh sebelum kau setuju untuk membahas persoalan yang seperti bom waktu ini.”Caritta mendesah dengan sorot mata yang menerawang ke arah ruang makan. Tempat itu dilengkapi meja panjang berseni ukir dan perabotan serba perak yang memberi kesan klasik di setiap sudutnya. “Kau tidak punya hak untuk mengontrolku. Jadi, berhenti