“Tidak sulit, bukan?”“Aku merasa sedikit gugup, tetapi memang tidak sesulit yang kupikirkan.”Marco kemudian melingkarkan salah satu tangannya pada pinggang Rosetta dan menyahut, “Aku hanya ingin kau memahami cara untuk melindungi dirimu sendiri sewaktu aku atau orang-orangku tidak ada di sampingmu. Kita tidak pernah tahu sesuatu yang akan terjadi, bukan?”“Aku mengerti. Aku akan belajar lagi nanti. Aku hanya belum terbiasa dengan kecepatan untuk bertindak.”“Aku memaklumi keterkejutanmu, tetapi aku juga mengagumi pengendalian dirimu. Kita dari dunia yang berbeda. Aku berasal dari kehidupan yang kelam dan lekat dengan perselisihan setiap harinya sejak kecil. Kau datang dari dunia yang asing. Asing dalam kegelapan yang ada di sekitarku.”Marco menghela napas sesaat sebelum melanjutkan, “Kau luar biasa untuk ukuran seseorang yang belum pernah mengenal dunia sepertiku. Aku sosok yang dibenci atas reputasi kotorku di luar sana. Mereka menganggap keluarga kami sebagai para kriminal yang t
Belum pernah Marco menari senyaman itu dengan seseorang selama hidupnya. Belum pernah dia menikmati momen kebersamaan yang begitu akrab dan intim satu sama lain dengan seorang lawan jenis. Hanya Rosetta yang membuatnya merasa ingin menggerakkan tubuh maskulinnya.Musik yang mengalun membuat mereka terus berputar mengitari ruang balkon, seolah-olah terhipnotis oleh melodi klasik yang mengalir. Bukan jenis dansa formal seperti dalam pesta. Hanya pelukan rapat yang membuat mereka saling mengisi dan menyatukan perasaan masing-masing.Marco bahagia, jelas. Dia merasa sesak oleh euforia yang menunggangi dirinya. Mereka saling memagut erat dan bertukar pandang untuk waktu yang lama dalam keheningan malam dan udara dingin awal bulan Oktober.“Kau menggigil. Apa kau ingin masuk ke dalam?”“Dan menyudahi dansa kita? Tidak. Aku tidak suka mengacaukan perasaan indah ini,” bisik Rosetta yang kemudian bergidik selepas merasakan angin berembus meniup punggungnya.“Kita akan melanjutkannya di dalam.”
“Kita harus bicara,” desak Rosetta keesokan paginya.Caritta membalikkan tubuhnya dengan malas. Ekspresinya datar tanpa emosi, lantas mengedikkan kedua bahunya. “Jika yang kau maksud bicara itu duduk mengobrol satu meja denganmu, maka terima kasih banyak. Aku tidak akan terlibat dalam percakapan apa pun bersamamu.”“Mengapa kau menjauhiku seperti wabah?”“Aku hanya berusaha menghindari konflik,” balasnya lagi.“Konflik? Aku ingin kita duduk dan bicara empat mata,” cetus Rosetta yang masih bersikeras menghalangi niat Caritta untuk ‘melarikan diri’ dari permasalahan yang berlarut-larut di antara mereka.“Menyingkirlah dari jalanku, Rosetta.”“Tidak. Aku tidak akan menjauh sebelum kau setuju untuk membahas persoalan yang seperti bom waktu ini.”Caritta mendesah dengan sorot mata yang menerawang ke arah ruang makan. Tempat itu dilengkapi meja panjang berseni ukir dan perabotan serba perak yang memberi kesan klasik di setiap sudutnya. “Kau tidak punya hak untuk mengontrolku. Jadi, berhenti
Rosetta melakukan perlawanan persis seperti sebelumnya. Namun, hasrat sekaligus keputusasaan yang menggeliat dalam sepasang iris Ludovic yang kelam membuatnya urung untuk melanjutkan. Pria itu menciumnya dengan kasar dan penuh paksaan yang begitu menuntut.Salah satu jemari Ludovic yang bebas kemudian naik. Merayap ke rahang Rosetta yang masih bersikeras mengatup, enggan mengizinkan lidah pria itu masuk mengetuk setiap celah di rongga mulutnya. Menolak segenap kenikmatan kecil yang ditawarkan di sana.Rosetta membeku. Mematung dalam serangan liar yang ingin menguasai dirinya, sementara Ludovic terikat ambisi untuk membuat Rosetta menyerah. “Buka mulutmu atau aku akan mematahkan rahangmu, Rosetta. Bukalah untukku.”Lidah Ludovic berjuang menerobos sisa-sisa pertahanan yang masih gigih dari Rosetta. Dia masih pasif tanpa emosi. Berharap pria itu akan segera sadar dengan perbuatannya yang kurang ajar.“Mengapa kau sangat keras kepala dan menolakku?” desisnya dengan kadar gairah yang mula
“Tuan Muda?”Ludovic menoleh sekilas, lantas mengizinkan salah satu bawahannya masuk ke dalam ruang whirlpool-nya. Pria itu sedang bersandar di pinggir kolam sambil menyesap segelas anggur. Sorot matanya mengarah pada diorama sore di kejauhan, sementara pikirannya masih tersita dengan sisa kenangan ‘rahasia’ bersama Rosetta tadi pagi.“Maaf, saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya hanya ingin mengembalikan pistol milik Anda yang ditemukan oleh Giuseppe di dekat tangga.”Benda dengan amunisi penuh itu dipegang oleh Taleo—orang kepercayaannya. Senjata api jenis revolver berinisial LB yang Ludovic tinggalkan sewaktu dia dan Rosetta bersembunyi ke lorong bawah tanah. Dia menjatuhkannya tanpa sengaja di sana.“Aku melupakannya,” aku Ludovic sambil terkekeh menertawakan kecerobohannya.“Itu seperti bukan Anda yang biasanya,” jawab pria yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari Ludovic itu dengan senyum yang terkulum di ujung bibirnya.“Taruh saja di atas meja bar,” sahut Ludovic lagi. T
“Maaf, aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah—”Marco mendadak terhenti di depan pintu selepas menyadari Rosetta telah terlelap dibuai oleh mimpinya. Langkah pria itu membeku. Sorot matanya tertuju pada makhluk cantik yang sedang mendengkur halus dari balik selimut tebalnya di sana.“Dia tidur,” bisiknya kemudian.Senyum Marco tersungging lebar tanpa dia sadari. Menonton Rosetta tengah berbaring damai di atas sofa berukuran besar itu seketika membuatnya merasa lega. Dia menungguku, pikirnya.Marco meneruskan langkah dengan hati-hati. Dia berjalan menuju ke arah wanita itu dan berjongkok di samping Rosetta. Memandanginya dengan tatapan memuja. “Bunga mawarku,” gumam Marco yang masih mengagumi keindahan di depannya.Marco mengulurkan satu tangannya—menyentuh puncak kepala Rosetta dengan gerakan lembut, lantas menonton wanita itu tidur selama beberapa waktu. Betah dalam kesunyian yang mengurung mereka pada dini hari. Pikirannya melayang ke sejumlah kenangan tentang insiden kesalahpah
“Di situ—oh, ya, itu.”“Aku suka seseorang yang memohon,” bisik Marco yang berniat menggoda Rosetta dan mengulur sensasi familier yang terasa nikmat itu dari pusat tubuhnya.“Sial, kumohon. Marco, aku menginginkannya.”“Memohonlah dengan benar,” desis pria itu lagi.“Aku—oh, kumohon. Marco, kumohon. Aku ingin meraihnya. Sangat amat ingin merasakannya.”Marco menelan air ludahnya dengan susah payah. Menyaksikan Rosetta dalam kondisi putus asa menjadi satu-satunya pemandangan terbaik yang dia lihat malam itu. Dia mengeratkan dekapan, lantas menambah intensitas kecepatan pinggulnya memompa dengan sempurna.Sedikit lagi. Marco tahu Rosetta akan mencapainya sedikit lagi. Sekujur tubuh wanita itu akan dihempas oleh tremor yang menguasai sepasang kakinya—gemetar tanpa henti, membulatkan bibirnya, sementara setiap kukunya mencakari punggung Marco dan meninggalkan sejumlah bekas luka gores di sana esok pagi.“Tidak, Sayangku. Belum. Belum waktunya untuk itu,” ucap Marco yang langsung menarik d
“Bukankah rasanya menyenangkan bisa melarikan diri sesekali dari rutinitas yang monoton dan memuakkan itu? Aku rela menukarnya dengan apa pun agar aku punya kesempatan untuk menemukan diriku lagi.”Rosetta langsung menurunkan senjata apinya dari papan target. Dia menoleh pada Marco yang tengah memperhatikan dirinya mengasah kemampuan menembaknya siang itu. Menaikkan kacamata berlensa polar tersebut ke atas kepala dan duduk bergabung bersama kekasihnya.Mereka memutuskan untuk pergi menembak selepas menuntaskan malam penuh gairah yang luar biasa itu. Melatih keahlian Rosetta agar lebih cakap dalam situasi yang mengharuskannya untuk melindungi dirinya sendiri. Alasan yang selalu Marco tekankan padanya.“Mengapa kau berhenti?”“Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?”“Aku hanya bicara pada diriku sendiri,” aku Marco kemudian.“Bicara dengan dirimu sendiri?”“Kadang-kadang aku memang bertingkah aneh.”Rosetta tergelak sebentar, lantas meletakkan pistolnya di atas meja. Dia menghela napas s
Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan
“Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b
Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun
Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang
“Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu