Rasa kebas di sekujur tubuh wanita itu kian lama kian menjadi-jadi. Pingsan dan tenggelam dalam ombak yang menyapunya, dia hanya mampu berpasrah tanpa berani menyimpan harap untuk tetap hidup. Dia tahu persentasenya akan kecil sebab berenang sama sekali bukan keahlian yang dia punya.
Ombak sekali lagi datang menggulung tubuhnya. Dia terombang-ambing di antara gemuruh air laut yang menghempasnya ke pusaran arus raksasa. Satu-satunya yang dia yakini, yaitu mustahil dia akan selamat dari amukan laut yang sedang marah itu.Kantong paru-parunya terasa penuh sekarang. Mungkin akan pecah dalam empat menit lagi atau bisa jadi akan menggelembung seperti pelampung. Mencuat ke permukaan dan menghancurkan dadanya secara spontan.Wanita itu mendadak merindukan oksigen yang biasa mengisi sistem pernafasannya. Bukan garam dengan kadar tinggi yang terasa mencekik lehernya sekarang. Kepalanya pening—dijejali bunyi dentam yang meledak menyakiti kedua telinganya.Caritta terbaring dengan kondisi basah kuyup di tepi dermaga. Terbatuk-batuk mengeluarkan semua air laut yang baru saja tertelan olehnya. Berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen yang terasa murni di sekitarnya.Kelegaan itu spontan turun merangkul erat punggung Caritta. Dia kembali bernapas—menjaring udara seperti seharusnya, bukan lagi kadar garam yang berambisi memecahkan seluruh fragmen di paru-parunya. Gemetar, dia menyibak sebagian rambut depannya yang menutupi wajah. Sepasang mata Caritta kemudian mengerjap-ngerjap menjernihkan pandangan. Langit menjadi pemandangan pertama yang dia lihat kala itu—cerah, nyaris tanpa awan. Warna oranye menyapu lembut kawasan barat dan menunjukkan gurat peralihan waktu.Caritta langsung mengedarkan pandang ke sekeliling dan menangkap sesosok pria asing yang tengah mengamati wajahnya dari atas. “Katakan padaku. Kau tidak nyata, bukan?”Pria itu menyipitkan mata dan Caritta lagi-lagi mendesis, “Kau
“Caritta? Tidak, kumohon. Pergi dari sana!” jerit Rosetta yang mengigau dalam tidurnya.“Apa kau bermimpi buruk lagi?” tegur Marco yang langsung merangkul tubuh Rosetta dengan penuh perlindungan seperti sebelumnya.Rosetta segera membuka mata dan mendapati Marco yang sedang memeluk menenangkan tubuhnya yang gemetar. Mimpi buruk itu kembali terulang. “Aku melihat Caritta jatuh ke dalam laut, tetapi dia melakukannya dengan sengaja.”“Sengaja? Maksudmu, dia menjatuhkan dirinya secara sukarela ke sana?” balas Marco yang kedua alisnya kini mengernyit bingung.“Aku—entah, aku tidak tahu. Aku sangat takut,” racau Rosetta sambil menahan tangisnya berubah menjadi raungan yang memalukan.“Itu hanya bunga tidur. Itu sesuatu yang tidak nyata. Apa yang harus kulakukan agar dapat membuatmu sedikit lebih tenang?” bisik Marco setengah putus asa.“Peristiwa di kapal pesiar itu membawa mimpi buruk yang berkepanjangan untukku.”
Sesuatu yang Rosetta ungkapkan terdengar menenangkan bagi Marco, seolah-olah dunianya baru saja tersentuh oleh warna baru. Dunianya yang selalu kelam dan gelap sontak tersapu dengan gradasi cerah yang membingungkan. Wanita itu membuka ruang-ruang kosong yang belum pernah terjamah lagi di hatinya sejak Shirley memilih menyerah dan pergi.“Tidakkah kau merasa bahwa kau terlalu terburu-buru mengatakannya? Kau tidak tahu masa depan.”“Kita. Kita memang tidak akan pernah tahu masa depan, tetapi aku akan menjadi orang yang selalu ada di sana. Satu-satunya.”“Seyakin itu?”Rosetta menyunggingkan senyum muram. Digelayuti kesedihan yang terasa mengganggu pikirannya. “Apa kau meragukanku, Marco?”“Tidak. Hanya saja, aku berkaca dari pengalaman pribadi di masa lalu. Ada seseorang yang juga pernah mengatakan sesuatu yang manis sepertimu, tetapi dia mengingkarinya. Bukan berarti aku berniat untuk membanding-bandingkanmu dengan yang lain,” ur
“Bagaimana perasaanmu?”“Aku tidak percaya kau menanyakannya. Seks kita hebat dan aku merasa luar biasa,” sahut Rosetta sambil menggeliat manja di atas dada Marco.“Senang mengetahui kau menjadi normal lagi. Bukan menjerit atau mengigau seperti yang sudah-sudah.”“Tidak akan ada yang normal dalam hubungan kita, ingat?” gumam Rosetta yang kembali menggeliat mengendurkan otot-ototnya.“Maaf atas insiden yang—”“Itu bukan salahmu. Semuanya terjadi secara tiba-tiba. Maksudku, kau juga tidak menginginkan segala sesuatunya berakhir menjadi bencana.”Marco mendesah putus asa. Jemari kirinya kini bergerak menelusuri setiap lekuk indah di punggung Rosetta. Dia memainkan sedikit penjelajahan kecil yang kemudian terhenti di pinggul wanita itu.“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?”Rosetta dapat merasakan tubuh Marco mengejang sesaat. Namun, dia dengan cepat menguasai dirinya lagi. Pria itu menoleh pada R
“Kekasih?” ulang Ludovic yang langsung menelan segumpal kekecewaan itu dengan hati yang patah dua.Kekesalannya pada Marco—yang mengungkit nama ibunya tadi—mendadak menguap bersama segenap keputusasaan yang menyergapnya. Keyakinan untuk memiliki Rosetta otomatis terkikis oleh status baru mereka. Itu membuat peluangnya untuk keluar sebagai pemenang kelewat rendah bahkan nyaris nol.“Wow! Kekasih? Apa kalian sedang terobsesi dengan drama romantik atau sejenisnya? Itu seperti cerita fiktif paling konyol yang pernah ada bagiku,” komentar Caritta sambil melambaikan jemarinya dengan maksud meremehkan.“Atau—oh, tunggu! Aku tahu. Apa itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama yang ditayangkan di televisi setiap akhir pekan? Menyukai pria yang melecehkannya? Seleramu sangat aneh,” ejeknya lagi dengan nada mencemooh.“Mengapa kau bicara—”“Aku hanya akan mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku. Aku selalu berterus terang untuk ses
Area rooftop bar terlihat memukau malam itu. Pemandangan kawasan Puglia terbingkai apik lewat diorama yang terhampar dari lantai paling atas kediaman megah Botticelli. Garis pantai menjorok ke arah timur, lengkap dengan bangunan-bangunan berarsitektur klasik yang menakjubkan.Dua sejoli di dekat meja bar itu duduk dalam kesenyapan yang selaras dengan suasana kelam di sekitar. Hanya ada denting gelas sampanye mereka yang sesekali terdengar mengisi keheningan. Membiarkan Rosetta tenggelam lebih jauh dalam pikirannya.Marco—yang duduk di depan wanita itu—kembali menuangkan isi botol minuman yang tinggal separuh. Sorot matanya terkunci pada riak kecil di permukaan sari anggur yang naik ke atas. Dia menyesapnya sedikit, lantas meletakkannya di tempat semula.“Mengapa kau melakukan itu di hadapan Ludovic?” tanya Rosetta yang merobek kesunyian di antara mereka.Satu alis Marco terangkat, sementara sorot matanya tertuju pada wajah Rosetta yang ter
“Apa yang terjadi?” racau Rosetta yang baru saja terjaga dari tidurnya.Marco mengerang lirih, lantas membuka penutup matanya. Rasa kantuk masih menggantung erat di kelopak mata mereka. Namun, kekacauan di luar kamar terasa mengganggu dan mustahil untuk diabaikan.“Entah, Rosetta. Aku akan pergi melihatnya—oh, astaga! Apa yang Giuseppe lakukan pagi-pagi buta seperti ini?” keluh Marco yang berusaha duduk dan menegakkan punggungnya dengan sempurna.“Itu bukan suara Giuseppe,” sahut Rosetta yang kemudian menyambar piamanya di atas lantai.Marco memijit keningnya sebelum memutuskan untuk turun dari ranjang mereka dan mengecek keadaan. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah yang tersaruk-saruk sambil berjuang mengenyahkan sensasi tajam pada netranya yang tadi dipaksa membuka. Berengsek, pikirnya.“Tunggu, Marco.”Marco langsung berhenti setelah Rosetta memintanya. Dia menoleh dengan sorot mata penuh tanya. “Kau melupakan
“Tekanan darahnya agak sedikit rendah, tetapi dia tidak apa-apa.”Dokter berkacamata minus itu kemudian menjelaskan kondisi Rosetta yang secara keseluruhan mulai membaik. Marco langsung merasa lega selepasnya dan mengizinkan tim medis untuk pergi. Dia tenang sebab wanitanya akan baik-baik saja.“Aku benar, bukan? Aku memang merasa bugar dan jauh lebih sehat dari kemarin. Kaulah yang kelewat paranoid,” ucap Rosetta setelah para dokter dan perawat itu pulang.“Aku lebih suka menyebutnya protektif. Aku hanya ingin kau mendapatkan perawatan yang terbaik. Aku peduli padamu. Aku tidak akan tahan melihat kekasihku masih dihantui oleh bayang-bayang buruk yang terjadi di kapal pesiar tempo lalu.”“Aku tidak apa-apa, Marco.”Suasana mendadak berubah canggung bagi Rosetta saat Marco duduk di sampingnya dengan sorot mata putus asa. Sesuatu yang jarang dia temui pada sosok tangguh itu, selain tadi malam sewaktu mereka duduk menikmati sampany
Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan
“Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b
Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun
Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang
“Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu