Catatan tambahan: Cerita selanjutnya akan berfokus pada Zhaoyang dan Wu Yan. ini adalah sekuel dari kisah Shangguan Mai dan Pangeran Kesembilan.
Pengadilan terasa seperti perang tanpa senjata. Marquis Lai Luo Que, wajahnya merah padam, berusaha mempertahankan ketenangannya di tengah kerasnya tuduhan yang dilemparkan pada putranya. Sementara Cui Xing tampak tenang, dia sangat yakin jika ia akan memenangkan pengadilan ini dan menghukum Lai Yan. “Bukti apa lagi yang kau punya, hah? Putraku sudah membuktikan kelemahannya—itu saja cukup menunjukkan bahwa dia tak bersalah! Berhentilah memfitnah putraku, Nona Cui,” suaranya bergemuruh, bergetar oleh kemarahan dan ketidakberdayaan.Cui Xing, tetap tenang dan tersenyum tipis. "Kelemahan putramu, Marquis, adalah bagian dari bukti itu sendiri. Bukankah kau pernah bertanya-tanya, mengapa putramu kehilangan kemampuan untuk mempunyai keturunan?" Nada suaranya terdengar seperti sedang memberi tahu sebuah rahasia, namun penuh ejekan.Perkataan Cui Xing bagai petir di siang bolong, menghantam ruangan itu dengan keheningan. Marquis Lai terdiam, matanya terbelalak sejenak sebelum dengan cepat m
Sementara itu, suasana tegang kembali menyelimuti Kerajaan Liang, lebih tepatnya di ruang sidang istana. Kaisar sangat murka. Meskipun Putra Mahkota Xiao Zhaoyang telah berhasil mengadili kasus bunuh diri massal di Meihua Gong yang melibatkan putra Marquis Lai Luo Que. Namun, tidak ada prestasi yang cukup besar untuk menutupi kesalahan fatalnya: mengunjungi Meihua Gong, tempat yang sama sekali tidak pantas dikunjungi oleh putra mahkota. Tak hanya Zhaoyang yang dipanggil, Pangeran Xiao Wu Yan—yang seharusnya menjaga kakaknya—juga dihadapkan pada hukuman.Kedua pangeran melangkah masuk ke ruang utama dengan tenang. Dinding-dinding yang biasanya megah kini seolah memancarkan ketegangan, dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang kelam. Tatapan Kaisar—yang dahulu dikenal sebagai Bocah Iblis, pemimpin pembunuh Sungai Kegelapan—tajam dan dingin, cukup untuk membuat pejabat paling berani gemetar. Namun, kedua putranya tidak terpengaruh. Langkah mereka tetap ringan, penuh percaya diri."Salam
"Maksudmu..." Perkataan Shangguan Mai tertahan, bibirnya gemetar. Bayangan masa lalu yang kelam kembali menghantui. Ia tak bisa menahan rasa takut yang perlahan menjalar. Berapa banyak lagi korban yang harus jatuh? Tragedi ini... apakah keluarganya akan direnggut sekali lagi?"Ya, seperti yang Yang Mulia Ratu bayangkan," Su Yan Li memulai dengan nada datar, namun penuh beban. "Dalam semalam, Kota Dacang berubah menjadi lautan darah. Banyak penduduk tewas mengenaskan, diserang oleh sesama warga yang terinfeksi racun misterius. Kota megah itu kini menjadi kota mayat hidup, tak lebih dari reruntuhan yang dipenuhi dengan makhluk-makhluk tak bernyawa," jelas Su Yan Li.Wajah Kaisar memucat, sementara tatapan Shangguan Mai mengeras. Mereka saling bertukar pandang, menyadari ketakutan yang menggerogoti hati mereka. Apakah ini ulah pengkhianat dari dalam istana lagi? Semua pengikut Putri Xiao Fei Feng sudah dibereskan, tapi siapa yang kali ini akan mengkhianati mereka?Atau... Apakah ini bal
Setelah Kaisar mengeluarkan perintah, rombongan penyelidik dari Kementerian Hukum dan Balai Neraka melaju menuju Kota Dacang, dipimpin oleh Putra Mahkota Xiao Zhaoyang dan didampingi oleh Su Yan Li. Kereta-kereta mereka penuh dengan bahan makanan dan obat-obatan untuk penduduk Dacang yang kelaparan dan terluka akibat kekacauan yang terjadi. Kota yang dulu megah kini dilanda kematian dan kekacauan, dan racun yang menyebar telah mengubah penduduknya menjadi makhluk yang mengerikan.Di antara para penyelidik, Cui Xing mencuri perhatian dengan sigap membawa peralatan autopsinya. Keberaniannya dalam menghadapi situasi sulit tampak jelas. Ia lebih memilih bekerja di lapangan, di mana kebebasan dan petualangan menjadi daya tarik utama baginya, jauh dari aturan yang membatasi dirinya. Cui Xing memandang dengan cermat sekelilingnya, memperhatikan lingkungan yang kian memburuk, dan memikirkan puluhan mayat yang akan diperiksanya nanti. Di tengah ketegangan itu, tirai kereta Putra Mahkota sedik
Di sudut Istana Dingin, yang nyaris dilupakan oleh waktu, Shen Ying duduk di tepi jendela, menatap hamparan salju yang terus turun tak henti. Paviliun tempatnya dikurung terlihat suram dan muram, seakan mencerminkan kekosongan hatinya. Tubuhnya dipenuhi luka, sisa-sisa hukuman yang ia terima kemarin akibat melindungi Wang Shui, tetapi tak satu pun dari lukanya terasa. Bukan hanya rasa sakit fisik, tapi juga emosional. Kehidupan Shen Ying adalah kehampaan yang dingin.Di ranjang sempit dan usang, Shen Ying duduk dengan tubuh lemah, matanya kosong menatap keluar jendela. Jika ia mampu merasakan, mungkin ia akan menangis. Air mata yang keluar dari matanya hanyalah respon dari tubuhnya bukan dari jiwanya. Baginya, tangisan ataupun kesedihan adalah hal yang tidak dimengerti. Di belakangnya, Wang Shui, pelayan setianya, berjalan perlahan, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Setiap hari, melihat penderitaan nona kecilnya membuat hatinya perih, dia selalu bertanya-tanya, kapan kebahagiaan ak
Di Kerajaan Liang, suasana di Kota Dacang berbanding terbalik dengan suasana ibukota Huanxi yang diterpa musim dingin. Kota Dacang yang dulunya pusat perdagangan sutra kini hanya menyisakan kengerian. Rumah-rumah kosong, bayangan bangunan yang runtuh dan jalanan yang dipenuhi tubuh-tubuh membeku dalam keheningan. Aroma busuk bercampur dengan angin dingin yang menghempas, membuat setiap tarikan napas terasa berat.Rombongan Xiao Zhaoyang bergerak pelan, menembus kabut tebal yang mengelilingi gerbang kota. Mata-mata penduduk yang bersembunyi di balik celah pintu dan jendela memancarkan ketakutan yang nyaris melumpuhkan."Tak ada yang berani keluar. Mereka seperti takut pada sesuatu yang lebih buruk dari kematian." Su Yan Li berkata, suaranya pelan namun jelas mengandung nada waspada.Zhaoyang mengangkat tangannya, menenangkan pasukannya. "Kami datang untuk membantu. Jika kalian tidak membukakan gerbang, bagaimana aku bisa menyelamatkan kalian?" Suara Zhaoyang menggema di antara bangunan
Setibanya di barak militer ayahandanya, Shangguan Mai yang baru pulang dari perbatasan utara langsung memenggal sepuluh kepala prajurit. Mereka semua terlibat dalam pembunuhan Pangeran kedelapan. Namun, dari sepuluh prajurit yang sudah diinterogasi dan dipenggal tidak ada yang mau bicara atau mengaku siapa dalang di balik kematian Pangeran kedelapan. Mereka memilih untuk tetap bungkam dan mati di tangan Shangguan Mai daripada harus mengungkapkan siapa tuan mereka. Masalah ini sungguh membuat Shangguan Mai frustrasi karena jika ia tidak berhasil menemukan siapa dalang di balik kematian Pangeran kedelapan, ayahandanya akan menjadi tersangka utama karena sepuluh prajurit itu adalah orang kepercayaan ayahandanya. "Nona! Nona!" seru pelayan Shangguan Mai dengan napas tersengal-sengal setelah berlari jauh. Wanita muda itu terlihat gelisah dan wajahnya pucat sekali. "Pergilah dari sini, Nona!" desaknya dengan bibir gemetar. "Nona, jangan khawatir, aku yang akan menanggung semua kesala
"Sungguh, ibunda lebih baik mati daripada harus melihatmu menikah dengan pria yang berumur pendek. Jadi jangan lakukan hal ini untuk menyelamatkan ibunda, Nak," pinta ibunda Shangguan Mai dengan menangis tersedu-sedu saat melihat putri kesayangannya berdandan dan bersiap untuk pergi ke istana. Shangguan Mai langsung berlutut dan menggenggam tangan ibundanya dengan lembut, lalu menatapnya dengan sendu. Panglima cantik itu berusaha untuk menenangkan ibundanya yang sejak tadi menangis dan merengek padanya agar tidak pergi ke istana. "Aku hanya akan menikah bukan pergi berperang. Kenapa Ibunda harus khawatir seperti ini? Padahal selama ini Ibunda selalu melihatku pulang dengan tubuh penuh darah." Shangguan Mai memeluk ibundanya dengan erat sambil menghapus air matanya. "Kenapa hari ini Ibunda malah tidak yakin kalau aku akan baik-baik saja? Padahal aku tidak sedang menghadapi situasi yang serius seperti biasanya." Ucapan Shangguan Mai ini malah semakin membuat ibundanya menangis.
Di Kerajaan Liang, suasana di Kota Dacang berbanding terbalik dengan suasana ibukota Huanxi yang diterpa musim dingin. Kota Dacang yang dulunya pusat perdagangan sutra kini hanya menyisakan kengerian. Rumah-rumah kosong, bayangan bangunan yang runtuh dan jalanan yang dipenuhi tubuh-tubuh membeku dalam keheningan. Aroma busuk bercampur dengan angin dingin yang menghempas, membuat setiap tarikan napas terasa berat.Rombongan Xiao Zhaoyang bergerak pelan, menembus kabut tebal yang mengelilingi gerbang kota. Mata-mata penduduk yang bersembunyi di balik celah pintu dan jendela memancarkan ketakutan yang nyaris melumpuhkan."Tak ada yang berani keluar. Mereka seperti takut pada sesuatu yang lebih buruk dari kematian." Su Yan Li berkata, suaranya pelan namun jelas mengandung nada waspada.Zhaoyang mengangkat tangannya, menenangkan pasukannya. "Kami datang untuk membantu. Jika kalian tidak membukakan gerbang, bagaimana aku bisa menyelamatkan kalian?" Suara Zhaoyang menggema di antara bangunan
Di sudut Istana Dingin, yang nyaris dilupakan oleh waktu, Shen Ying duduk di tepi jendela, menatap hamparan salju yang terus turun tak henti. Paviliun tempatnya dikurung terlihat suram dan muram, seakan mencerminkan kekosongan hatinya. Tubuhnya dipenuhi luka, sisa-sisa hukuman yang ia terima kemarin akibat melindungi Wang Shui, tetapi tak satu pun dari lukanya terasa. Bukan hanya rasa sakit fisik, tapi juga emosional. Kehidupan Shen Ying adalah kehampaan yang dingin.Di ranjang sempit dan usang, Shen Ying duduk dengan tubuh lemah, matanya kosong menatap keluar jendela. Jika ia mampu merasakan, mungkin ia akan menangis. Air mata yang keluar dari matanya hanyalah respon dari tubuhnya bukan dari jiwanya. Baginya, tangisan ataupun kesedihan adalah hal yang tidak dimengerti. Di belakangnya, Wang Shui, pelayan setianya, berjalan perlahan, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Setiap hari, melihat penderitaan nona kecilnya membuat hatinya perih, dia selalu bertanya-tanya, kapan kebahagiaan ak
Setelah Kaisar mengeluarkan perintah, rombongan penyelidik dari Kementerian Hukum dan Balai Neraka melaju menuju Kota Dacang, dipimpin oleh Putra Mahkota Xiao Zhaoyang dan didampingi oleh Su Yan Li. Kereta-kereta mereka penuh dengan bahan makanan dan obat-obatan untuk penduduk Dacang yang kelaparan dan terluka akibat kekacauan yang terjadi. Kota yang dulu megah kini dilanda kematian dan kekacauan, dan racun yang menyebar telah mengubah penduduknya menjadi makhluk yang mengerikan.Di antara para penyelidik, Cui Xing mencuri perhatian dengan sigap membawa peralatan autopsinya. Keberaniannya dalam menghadapi situasi sulit tampak jelas. Ia lebih memilih bekerja di lapangan, di mana kebebasan dan petualangan menjadi daya tarik utama baginya, jauh dari aturan yang membatasi dirinya. Cui Xing memandang dengan cermat sekelilingnya, memperhatikan lingkungan yang kian memburuk, dan memikirkan puluhan mayat yang akan diperiksanya nanti. Di tengah ketegangan itu, tirai kereta Putra Mahkota sedik
"Maksudmu..." Perkataan Shangguan Mai tertahan, bibirnya gemetar. Bayangan masa lalu yang kelam kembali menghantui. Ia tak bisa menahan rasa takut yang perlahan menjalar. Berapa banyak lagi korban yang harus jatuh? Tragedi ini... apakah keluarganya akan direnggut sekali lagi?"Ya, seperti yang Yang Mulia Ratu bayangkan," Su Yan Li memulai dengan nada datar, namun penuh beban. "Dalam semalam, Kota Dacang berubah menjadi lautan darah. Banyak penduduk tewas mengenaskan, diserang oleh sesama warga yang terinfeksi racun misterius. Kota megah itu kini menjadi kota mayat hidup, tak lebih dari reruntuhan yang dipenuhi dengan makhluk-makhluk tak bernyawa," jelas Su Yan Li.Wajah Kaisar memucat, sementara tatapan Shangguan Mai mengeras. Mereka saling bertukar pandang, menyadari ketakutan yang menggerogoti hati mereka. Apakah ini ulah pengkhianat dari dalam istana lagi? Semua pengikut Putri Xiao Fei Feng sudah dibereskan, tapi siapa yang kali ini akan mengkhianati mereka?Atau... Apakah ini bal
Sementara itu, suasana tegang kembali menyelimuti Kerajaan Liang, lebih tepatnya di ruang sidang istana. Kaisar sangat murka. Meskipun Putra Mahkota Xiao Zhaoyang telah berhasil mengadili kasus bunuh diri massal di Meihua Gong yang melibatkan putra Marquis Lai Luo Que. Namun, tidak ada prestasi yang cukup besar untuk menutupi kesalahan fatalnya: mengunjungi Meihua Gong, tempat yang sama sekali tidak pantas dikunjungi oleh putra mahkota. Tak hanya Zhaoyang yang dipanggil, Pangeran Xiao Wu Yan—yang seharusnya menjaga kakaknya—juga dihadapkan pada hukuman.Kedua pangeran melangkah masuk ke ruang utama dengan tenang. Dinding-dinding yang biasanya megah kini seolah memancarkan ketegangan, dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang kelam. Tatapan Kaisar—yang dahulu dikenal sebagai Bocah Iblis, pemimpin pembunuh Sungai Kegelapan—tajam dan dingin, cukup untuk membuat pejabat paling berani gemetar. Namun, kedua putranya tidak terpengaruh. Langkah mereka tetap ringan, penuh percaya diri."Salam
Pengadilan terasa seperti perang tanpa senjata. Marquis Lai Luo Que, wajahnya merah padam, berusaha mempertahankan ketenangannya di tengah kerasnya tuduhan yang dilemparkan pada putranya. Sementara Cui Xing tampak tenang, dia sangat yakin jika ia akan memenangkan pengadilan ini dan menghukum Lai Yan. “Bukti apa lagi yang kau punya, hah? Putraku sudah membuktikan kelemahannya—itu saja cukup menunjukkan bahwa dia tak bersalah! Berhentilah memfitnah putraku, Nona Cui,” suaranya bergemuruh, bergetar oleh kemarahan dan ketidakberdayaan.Cui Xing, tetap tenang dan tersenyum tipis. "Kelemahan putramu, Marquis, adalah bagian dari bukti itu sendiri. Bukankah kau pernah bertanya-tanya, mengapa putramu kehilangan kemampuan untuk mempunyai keturunan?" Nada suaranya terdengar seperti sedang memberi tahu sebuah rahasia, namun penuh ejekan.Perkataan Cui Xing bagai petir di siang bolong, menghantam ruangan itu dengan keheningan. Marquis Lai terdiam, matanya terbelalak sejenak sebelum dengan cepat m
Dua puluh tahun telah berlalu sejak Putra Mahkota Xiao Zhi naik takhta dan memerintah sebagai kaisar yang bijaksana dan adil. Di bawah kebijakan Ratu Shangguan Mai, Kerajaan Liang makmur dengan sistem meritokrasi yang membuka peluang bagi sarjana miskin untuk menjadi pejabat tinggi. Mereka diberi hak yang sama dengan anak pejabat istana untuk mengikuti ujian istana. Namun, bayang-bayang masa lalu tetap membayangi, khususnya dengan ketegangan yang belum terselesaikan dengan Kerajaan Huanxi. Dua Kerajaan itu masih terus bersaing dan melempar strategi untuk menguasai satu sama lain. *** Di tengah malam yang sunyi, di dalam Paviliun Yue Man Ting, istana Kerajaan Liang .... Putra Mahkota Xiao Zhaoyang melangkah hati-hati menuju kamar adiknya, Pangeran Xiao Wu Yan. Lampu-lampu lentera memancar samar, membentuk bayangan panjang di sepanjang koridor istana. Ia mengenakan pakaian tidur yang longgar dan sederhana, berbeda dari kemegahan yang biasa ia kenakan. Wajahnya tersembunyi di b
Dua bulan telah berlalu sejak insiden tragis tersebut, kediaman Shangguan kini dipenuhi dengan dekorasi dan perlengkapan pernikahan karena Shangguan Mai dan Pangeran kesembilan yang kini menjadi putra mahkota akan mengadakan pernikahan mereka sekali lagi. Sejak pagi, para pelayan istana telah tiba di kediaman Shangguan untuk merias Shangguan Mai agar terlihat memesona dan anggun.Shangguan Mai menatap Jenderal Shangguan dengan pandangan tajam ketika ayahandanya hendak mendekatinya karena ia masih merasa kesal dengan perlakuan sang ayahanda yang telah memanfaatkannya dan menipunya melalui pernikahannya dengan Pangeran kesembilan. Sejak kejadian tragis itu, Shangguan Mai belum berbicara dengan ayahandanya."Apakah kamu masih merasa kesal oleh keputusan ayahanda? Meskipun sebenarnya ayahanda telah mengatur pernikahanmu dengan pria yang sangat kamu impikan, bahkan hingga dua kali pernikahan. Seharusnya kamu bersyukur pada ayahanda," ucap ayahanda Shangguan Mai sambil mendekati Shangguan M
Kematian Pangeran kesembilan dan Shangguan Mai telah menyebar ke seluruh ibu kota, memunculkan kejutan di kalangan elit, termasuk Kaisar dan Jenderal Shangguan. Jenderal Shangguan tak mampu mempercayai kabar bahwa putri tercintanya telah tiada. Namun, berdasarkan laporan mata-mata yang diterimanya, kenyataan pahit itu tak dapat disangkal; putrinya telah tiada dalam keadaan tragis. Saat ini, jenazahnya sedang dalam perjalanan kembali ke istana, ditemani oleh Su Yan Li bersama jenazah Pangeran kesembilan.Di dalam kegelapan penjara bawah tanah, Jenderal Shangguan merenungkan kesalahan yang telah dilakukannya. Seandainya saja ia tak terlalu rakus dalam mengejar pembunuh Permaisuri, mungkin putrinya tak akan mengalami nasib tragis ini. Ia menyesali ketidaktegasannya dalam menjaga putri dan putranya. Sebagai seorang ayah, ia merasa telah gagal dalam melindungi mereka karena kesetiaannya pada Kaisar telah mengorbankan kedua anaknya. Dahulu ia tak mampu menyelamatkan Shangguan Wen Xuan, dan