Dua puluh tahun telah berlalu sejak Putra Mahkota Xiao Zhi naik takhta dan memerintah sebagai kaisar yang bijaksana dan adil. Di bawah kebijakan Ratu Shangguan Mai, Kerajaan Liang makmur dengan sistem meritokrasi yang membuka peluang bagi sarjana miskin untuk menjadi pejabat tinggi. Mereka diberi hak yang sama dengan anak pejabat istana untuk mengikuti ujian istana. Namun, bayang-bayang masa lalu tetap membayangi, khususnya dengan ketegangan yang belum terselesaikan dengan Kerajaan Huanxi. Dua Kerajaan itu masih terus bersaing dan melempar strategi untuk menguasai satu sama lain. *** Di tengah malam yang sunyi, di dalam Paviliun Yue Man Ting, istana Kerajaan Liang .... Putra Mahkota Xiao Zhaoyang melangkah hati-hati menuju kamar adiknya, Pangeran Xiao Wu Yan. Lampu-lampu lentera memancar samar, membentuk bayangan panjang di sepanjang koridor istana. Ia mengenakan pakaian tidur yang longgar dan sederhana, berbeda dari kemegahan yang biasa ia kenakan. Wajahnya tersembunyi di b
Pengadilan terasa seperti perang tanpa senjata. Marquis Lai Luo Que, wajahnya merah padam, berusaha mempertahankan ketenangannya di tengah kerasnya tuduhan yang dilemparkan pada putranya. Sementara Cui Xing tampak tenang, dia sangat yakin jika ia akan memenangkan pengadilan ini dan menghukum Lai Yan. “Bukti apa lagi yang kau punya, hah? Putraku sudah membuktikan kelemahannya—itu saja cukup menunjukkan bahwa dia tak bersalah! Berhentilah memfitnah putraku, Nona Cui,” suaranya bergemuruh, bergetar oleh kemarahan dan ketidakberdayaan.Cui Xing, tetap tenang dan tersenyum tipis. "Kelemahan putramu, Marquis, adalah bagian dari bukti itu sendiri. Bukankah kau pernah bertanya-tanya, mengapa putramu kehilangan kemampuan untuk mempunyai keturunan?" Nada suaranya terdengar seperti sedang memberi tahu sebuah rahasia, namun penuh ejekan.Perkataan Cui Xing bagai petir di siang bolong, menghantam ruangan itu dengan keheningan. Marquis Lai terdiam, matanya terbelalak sejenak sebelum dengan cepat m
Sementara itu, suasana tegang kembali menyelimuti Kerajaan Liang, lebih tepatnya di ruang sidang istana. Kaisar sangat murka. Meskipun Putra Mahkota Xiao Zhaoyang telah berhasil mengadili kasus bunuh diri massal di Meihua Gong yang melibatkan putra Marquis Lai Luo Que. Namun, tidak ada prestasi yang cukup besar untuk menutupi kesalahan fatalnya: mengunjungi Meihua Gong, tempat yang sama sekali tidak pantas dikunjungi oleh putra mahkota. Tak hanya Zhaoyang yang dipanggil, Pangeran Xiao Wu Yan—yang seharusnya menjaga kakaknya—juga dihadapkan pada hukuman.Kedua pangeran melangkah masuk ke ruang utama dengan tenang. Dinding-dinding yang biasanya megah kini seolah memancarkan ketegangan, dipenuhi dengan bayangan masa lalu yang kelam. Tatapan Kaisar—yang dahulu dikenal sebagai Bocah Iblis, pemimpin pembunuh Sungai Kegelapan—tajam dan dingin, cukup untuk membuat pejabat paling berani gemetar. Namun, kedua putranya tidak terpengaruh. Langkah mereka tetap ringan, penuh percaya diri."Salam
"Maksudmu..." Perkataan Shangguan Mai tertahan, bibirnya gemetar. Bayangan masa lalu yang kelam kembali menghantui. Ia tak bisa menahan rasa takut yang perlahan menjalar. Berapa banyak lagi korban yang harus jatuh? Tragedi ini... apakah keluarganya akan direnggut sekali lagi?"Ya, seperti yang Yang Mulia Ratu bayangkan," Su Yan Li memulai dengan nada datar, namun penuh beban. "Dalam semalam, Kota Dacang berubah menjadi lautan darah. Banyak penduduk tewas mengenaskan, diserang oleh sesama warga yang terinfeksi racun misterius. Kota megah itu kini menjadi kota mayat hidup, tak lebih dari reruntuhan yang dipenuhi dengan makhluk-makhluk tak bernyawa," jelas Su Yan Li.Wajah Kaisar memucat, sementara tatapan Shangguan Mai mengeras. Mereka saling bertukar pandang, menyadari ketakutan yang menggerogoti hati mereka. Apakah ini ulah pengkhianat dari dalam istana lagi? Semua pengikut Putri Xiao Fei Feng sudah dibereskan, tapi siapa yang kali ini akan mengkhianati mereka?Atau... Apakah ini bal
Setelah Kaisar mengeluarkan perintah, rombongan penyelidik dari Kementerian Hukum dan Balai Neraka melaju menuju Kota Dacang, dipimpin oleh Putra Mahkota Xiao Zhaoyang dan didampingi oleh Su Yan Li. Kereta-kereta mereka penuh dengan bahan makanan dan obat-obatan untuk penduduk Dacang yang kelaparan dan terluka akibat kekacauan yang terjadi. Kota yang dulu megah kini dilanda kematian dan kekacauan, dan racun yang menyebar telah mengubah penduduknya menjadi makhluk yang mengerikan.Di antara para penyelidik, Cui Xing mencuri perhatian dengan sigap membawa peralatan autopsinya. Keberaniannya dalam menghadapi situasi sulit tampak jelas. Ia lebih memilih bekerja di lapangan, di mana kebebasan dan petualangan menjadi daya tarik utama baginya, jauh dari aturan yang membatasi dirinya. Cui Xing memandang dengan cermat sekelilingnya, memperhatikan lingkungan yang kian memburuk, dan memikirkan puluhan mayat yang akan diperiksanya nanti. Di tengah ketegangan itu, tirai kereta Putra Mahkota sedik
Di sudut Istana Dingin, yang nyaris dilupakan oleh waktu, Shen Ying duduk di tepi jendela, menatap hamparan salju yang terus turun tak henti. Paviliun tempatnya dikurung terlihat suram dan muram, seakan mencerminkan kekosongan hatinya. Tubuhnya dipenuhi luka, sisa-sisa hukuman yang ia terima kemarin akibat melindungi Wang Shui, tetapi tak satu pun dari lukanya terasa. Bukan hanya rasa sakit fisik, tapi juga emosional. Kehidupan Shen Ying adalah kehampaan yang dingin.Di ranjang sempit dan usang, Shen Ying duduk dengan tubuh lemah, matanya kosong menatap keluar jendela. Jika ia mampu merasakan, mungkin ia akan menangis. Air mata yang keluar dari matanya hanyalah respon dari tubuhnya bukan dari jiwanya. Baginya, tangisan ataupun kesedihan adalah hal yang tidak dimengerti. Di belakangnya, Wang Shui, pelayan setianya, berjalan perlahan, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Setiap hari, melihat penderitaan nona kecilnya membuat hatinya perih, dia selalu bertanya-tanya, kapan kebahagiaan ak
Di Kerajaan Liang, suasana di Kota Dacang berbanding terbalik dengan suasana ibukota Huanxi yang diterpa musim dingin. Kota Dacang yang dulunya pusat perdagangan sutra kini hanya menyisakan kengerian. Rumah-rumah kosong, bayangan bangunan yang runtuh dan jalanan yang dipenuhi tubuh-tubuh membeku dalam keheningan. Aroma busuk bercampur dengan angin dingin yang menghempas, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Rombongan Xiao Zhaoyang bergerak pelan, menembus kabut tebal yang mengelilingi gerbang kota. Mata-mata penduduk yang bersembunyi di balik celah pintu dan jendela memancarkan ketakutan yang nyaris melumpuhkan. "Tak ada yang berani keluar. Mereka seperti takut pada sesuatu yang lebih buruk dari kematian." Su Yan Li berkata, suaranya pelan namun jelas mengandung nada waspada. Zhaoyang mengangkat tangannya, menenangkan pasukannya. "Kami datang untuk membantu. Jika kalian tidak membukakan gerbang, bagaimana aku bisa menyelamatkan kalian?" Suara Zhaoyang menggema di antara ban
Setelah keluar dari ruang autopsi, Cui Xing melangkah cepat menuju ruang pengadilan Kota Dacang. Pemandangan pohon-pohon plum yang indah di sekitar tempat itu terlihat ironi, mengingat fungsinya yang sebenarnya—sebuah tempat penyiksaan untuk memaksa seseorang mengakui dosanya. Warna merah gelap bunga plum yang mekar selaras dengan darah-darah dan kegelapan yang menyelimuti ruang pengadilan, menciptakan suasana yang menakutkan. Seolah-olah keindahan dari tempat itu mencoba mengingatkan kehidupan yang telah hilang dibalik dinding pengadilan. Cui Xing berjalan dengan percaya diri mendekati seorang penjaga bertubuh kekar yang sedang berjaga di gerbang pengadilan. Tatapannya dingin dan ada lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan betapa lelahnya dia setelah melakukan perjalanan panjang. "Apa interogasi yang dilakukan oleh Putra Mahkota sudah selesai?" tanyanya, tanpa basa-basi. "Aku harus bertemu dengannya. Ada laporan penting yang perlu kusampaikan.""Yang Mulia sudah pergi. Kau t
Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p
Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.
Kondisi di Huanxi kini terasa seperti medan pertempuran sunyi, bukan dengan senjata tajam, melainkan dengan pikiran dan ketegangan yang tak nampak. Setiap tabib yang melangkah maju untuk mencoba mengobati Putri Ling Long menghadapi ujian yang lebih dari sekadar keahlian—nyawa mereka dipertaruhkan. Di sekitar istana, angin dingin semakin berdesir, membawa serpihan salju yang menari di udara, namun tak mampu menyelimuti suasana mengerikan. Aroma herba yang tajam dan asap dupa samar-samar menyusup ke udara, bercampur dengan bau darah segar dari mereka yang dihukum. Puluhan tabib telah gagal. Wu Yan tetap berdiri diam di tengah aula istana yang beku, tubuhnya tegak meski kaki lainnya gemetar. Ia menyaksikan tangan-tangan yang dulu piawai meracik ramuan kini tergeletak di tanah, beku oleh salju dan kehilangan fungsi. Rasa takut dan panik merambat dalam kerumunan, tetapi Wu Yan tetap tenang. Dia menutup matanya, membiarkan hawa dingin merambat di kulit wajahnya, salju yang lembut menyentu
Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga
Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia
Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu
Di bawah cahaya rembulan yang semakin meredup, bayang-bayang gelap menyelimuti reruntuhan Kota Dacang. Udara malam terasa tebal, Cui Xing memangku tubuh Zhaoyang, tangannya gemetar tiap kali ia membenarkan posisinya, hatinya dipenuhi oleh kecemasan. Ia terus mengisap dan mengeluarkan racun dari punggung Zhaoyang, merasakan rasa asam dan pahit yang menusuk di tenggorokannya, seolah ludah beracun yang membara. Cui Xing terjebak dalam ketegangan yang menakutkan. Setiap kali ia mengisap racun dari tubuh Zhaoyang, waktu seolah terhenti, namun pikirannya melesat cepat. “Apa yang akan kulakukan jika aku gagal?” Sebuah suara kecil berbisik dalam hatinya, merayap ke dalam jiwanya. “Apa aku sanggup untuk melihatmu tiada?” Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin cepat. Perasaan takut yang mencekam mengalahkan keteguhan hatinya. Cui Xing tahu saat-saat terakhir itu semakin mendekat—racun yang diserapnya kini menggerogoti tubuhnya, seperti ular berbisa yang menyusup ke dalam
"Berhenti menyesalinya, Paman. Wanita itu memang pantas mati," ucap Shen Ying dengan dingin, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari kepala Bibi Ling yang tergeletak di lantai batu yang basah oleh darah.Bau anyir darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembap penjara bawah tanah Paviliun Bayangan. Kepala Bibi Ling yang tergolek itu tampak mengerikan, dengan mata yang masih terbuka lebar, seolah kematian datang terlalu cepat sebelum ia sempat merasakan penderitaan yang seutuhnya. Mu Qing Cheng duduk di sampingnya, tangan yang menggenggam pedang masih sedikit gemetar, meskipun darah di bilah pedangnya sudah mulai mengering. Cahaya obor yang temaram memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, menciptakan ilusi bayang-bayang gelap yang terus bergetar. Tatapan Mu Qing Cheng gelisah, menyadari bahwa perkataan Wu Yan mungkin benar, dengan kematian Bibi Ling, mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak.Shen Ying melangkah maju, merasakan
Di saat yang sama, di sudut lain dunia, Shen Ying berdiri di bawah bayangan penjara bawah tanah Paviliun Bayangan yang suram. Udara di sekelilingnya terasa tebal, dipenuhi kelembaban dari dinding-dinding lembab yang mulai ditumbuhi lumut. Sorotan matanya masih sama seperti biasanya; dingin dan hampa, namun gejolak hatinya berbeda. Shen Ying mulai merasakan kebencian yang mendalam, meski ia tak tahu perasaan pahit apa yang telah muncul dalam hatinya sekarang. Di hadapannya, pelayan tua yang dulu melayani ibunya gemetar, kulitnya yang keriput seakan semakin pucat di bawah tekanan tangan dingin Shen Ying. Aroma pil kejujuran yang ia genggam memenuhi udara, bercampur dengan aroma debu dan kesedihan yang sudah lama menetap di tempat itu.Shen Ying menggenggam rahang wanita tua itu dengan kasar, suaranya dingin namun penuh amarah yang tertahan, "Kau akan bicara, entah kau mau atau tidak." Napasnya terasa panas di udara yang lembap, dan gemetar di tangannya terasa jelas, bukan karena kera