Kantor Wijaya Mining and Coal
"Pagi, Pak Direktur," sapa Jessica, sekretaris pribadi Niko Wijaya yang seksi dengan tubuhnya yang padat berisi.
"Pagi, Jes. Seperti biasa, aroma wangi tubuhmu benar-benar membuat sebagian dari diriku 'bangun'," ucap Niko seraya mengedipkan sebelah matanya seakan memberi isyarat dan langsung menuju ruangannya.
Tanpa pikir, Jessica yang mengenakan rok mini di atas lutut 5 cm, kemeja putih lengan pendek namun memperlihatkan belahan dadanya, serta heels warna hitam menambah kesan seksi dan nakal langsung masuk ke dalam ruangan dan mengunci ruang kantor Niko serta menutup tirai yang ada di ruangan bos-nya. Ruangan Niko sendiri memang sedikit agak menjauh dari ruangan staff-nya yang lain dan hal itu dimanfaatkan oleh Jessica untuk 'bekerja' di luar pekerjaannya sebagai sekretaris.
"Kenapa kau masih berdiri di situ, Sayang?" tanya Niko tersenyum nakal.
"How do I look, Dear?" tanya Jessica sambil berjalan dengan langkah yang menggoda dan tatapan nakal pada Niko.
"As usually, you look gorgeous, you're hot, Dear. I can't wait to 'eat' you," goda Niko langsung menarik tangan Jessica ke pangkuannya dan mulai membelai lembut rambut wanita Indo-Jerman itu serta menjamah bagian lain dari tubuh seksi sekretaris pribadi papa Tania.
"Are we gonna doing this in here? Not in that room?" tanya Jessica menunjuk pada ruangan 'rahasia' yang ada di dalam ruangan kantor Niko. Ruangan tersebut adalah sebuah kamar yang tak terlalu besar, namun lengkap. Dan ruangan itu adalah tempat di mana Niko beristirahat dan juga sebagai tempat memadu kasih antara dia dan Jessica.
"Sesekali ganti suasana, Dear. Apa kau tak bosan selalu berada di ruangan itu?" tanya Niko yang bersiap menerkam mangsanya sambil mengulum bibir seksi sang sekretaris.
"Ahhh ... ahhhh ..." erangan dan desahan seksi yang dikeluarkan Jessica benar-benar membuat bagian pribadi Niko 'terbangun' dan mengenai bagian intim Jessica.
"Apa kau merasakannya, Dear? It's 'time'," ucap Niko berbisik di telinga sang sekretaris dengan suara nakalnya.
Jessica mengangguk, dia sangat amat mengetahui keinginan keinginan tuannya. Tanpa pikir panjang, mereka berdua akhirnya masuk ke dalam kamar 'rahasia' dan Niko mulai melancarkan 'serangannya' dengan penuh nafsu birahi. Tangannya tak henti-hentinya membelai setiap inci lekuk tubuh molek sang sekretaris hingga terus mengeluarkan desahan dan erangan yang menambah pikiran liar Niko.
"Sayang, apa kau siap?" tanya Niko yang tak sanggup lagi menahan 'rasa pusing' yang didera karena dia harus mengeluarkan 'cairan' yang ada di dalam batang milik Niko.
Jessica lagi-lagi mengangguk, dan dengan sekali sentakan, batang milik Niko langsung menancap bagai tombak yang memberikan kenikmatan bagi Jessica dan membuatnya merintih, mengerang, hingga mendesah karena liukkan tubuh Niko yang benar-benar liar di atas tubuhnya.
Liukkan tubuh Niko pun menjadi semakin tak karuan ketika batang miliknya ingin mengeluarkan cairan yang siap membaluri tubuh Jessica dengan sekali semprotan. Gerakan Niko pun semakin dan semakin liar hingga akhirnya dia mendesah setelah berhasil mengeluarkan cairan dan menyiramnya ke perut luar Jessica.
Drrtz ... drrtz ... drrtz ...
Suara getar ponsel milik Niko tampak terdengar nyaring di atas meja. Namun karena kelelahan, dia beristirahat sebentar dan Jessica yang masih bertelanjang dada segera keluar kamar dan mengambil ponsel milik Niko.
"Private number?" ucap Jessica ragu menatap layar ponsel hitam itu.
Dia nampak ragu menjawab telepon itu karena tak ada nama ataupun nomor telepon yang nampak. Tanpa pikir panjang, Jessica hanya membiarkannya dan tak segera menjawabnya, namun lagi-lagi ponsel Niko berbunyi. Kali ini nomor yang menghubungi ponsel Niko bisa dilihat dengan jelas oleh Jessica dan alangkah terkejutnya ketika ia tahu siapa yang menghubungi Niko.
"Sayang ... Sayang ... Sayang ... puterimu menelepon," ucap Jessica seraya membangunkan Niko yang sedikit terlelap dan langsung memberikannya pada Niko.
"Apa!? Pu--puteriku? Mana ... mana ..." panik Niko kemudian memerintahkan Jessica untuk segera berpakaian dan kembali ke meja kerjanya.
"Halo, Sayang,"
[Papah, kenapa lama sekali angkat teleponnya?]
"Iyakah? Maafkan Papa, Sayang, ada apa kamu tumben telepon Papa?"
[Lho, bukannya Papa yang memintaku datang ke kantor Papa? Dan sekarang aku sudah sampai di depan kantor Papa, nih. Aku akan segera ke sana.]
Sontak, Niko panik dan secepat kilat mengenakan kembali pakaiannnya dan merapikan baju serta kamar 'rahasianya'
"Kenapa Anda tampak gugup, Pak Presdir?" tanya Jessica yang telah mengenakan bajunya dan merapikan make up nya.
"Tania akan datang ke sini. Oh, gosssshhh, how could I forget that? Ak yang menyuruhnya datang ke sini dan aku juga yang lupa!" kesal Niko terduduk di kursinya, lemas.
"Relax, Sayang. Jika kau tegang seperti ini, Tania malah akan curiga. Aku akan mengambilkan kopi untukmu, oke." Jessica meninggalkan ruangan Niko dan membuka kembali tirai di ruangan Niko yang sempat tertutup rapat
"Sial! Kenapa aku bisa sampai lupa, Tania akan datang ke sini, tapi aku malah ..." kesal Niko memijat keningnya dengan jempol dan jari telunjuknya.
Tok ... tok ... tok ...
Terdengar seseorang mengetuk pintu di ruangan Niko.
"Masuk,"
"Papah ...." suara lembut wanita anggun dan cantik dengan senyum mengembang terdengar menyapa Niko.
"Hi, Sayang. Masuklah," ucap Niko berdiri ke arah suara itu.
"Aku kangen Papa--bagaimana kabar Papa dan Mama?" tanya pemilik suara itu yang tak lain adalah Tania Wijaya.
"Papa dan mama selalu sehat, Sayang. Bagaimana denganmu? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana kabar suami tercintamu, Sayang?" tanya Papa terdengar seperti menyindir.
Tania hanya tersenyum kikuk dan sungkan pada sang papa. Dia tahu sejak awal sang papa tak menyukai Andre, Tania juga tahu jika sang papa kerap melakukan segala usaha untuk memisahkan dirinya dan Andre, namun berkat dukungan sang mama dan perjuangan mereka berdua, papa akhirnya lebih memilih untuk mengalah dan memberikan restunya untuk puteri semata wayangny. Setidaknya itulah rencana awal Niko Wijaya.
"Duduklah, Sayang. Apa kau sudah sarapan?" tanya Papa memegang lembut tangan puterinya.
"Sudah, Pah. Andre yang menyiapkan untukku. Ternyata, dia itu koki yang hebat. Tania tak tahu jika dia bisa memasak dengan begitu lezat, bahkan sarapan pagi ini pun, dia---" Tania langsung menutup mulutnya ketika ia melihat ekspresi sang papa terlihat tak menyenangkan.
"Oh, begitu. Syukurlah, Papa senang mendengarnya." jawab Papa melepaskan genggaman tangannya dari Tania dan berdiri menghadap cakrawala sepanjang mata memandang.
"Pah---"
Tok ... tok ... tok ...
"Sa--eh, Pak Presdir, ini kopi Anda," ucap Jessica hampir saja keceplosan memanggil Niko dengan 'Sayang'.
"Oh, letakkan saja di situ. Karen, kau mau minum apa? Biar Jessica membawakan minumanmu," ujar Papa menatap Tania datar.
"Tidak, Pah. Tania sudah kenyang," balasnya.
"Baiklah jika itu yang kau inginkan. Jes, tolong bawakan Nona Tania croissant plus kopi tanpa gula dan sedikit krimer kental di atasnya," perintah sang Papa.
"Pa---!" Tania agak meninggikan suaranya.
"Lakukan apa yang kuminta!" perintah Niko menatap tajam Jessica.
"Ba--baik, Pak," Jessica langsung bergegas meninggalkan ruangan Niko dengan rasa takut dan khawatir.
"Baru pertama kali kulihat Pak Presdir seperti itu. Ada apa sebenarnya di antara mereka berdua?" gumam Jessica segera bergegas pergi dan membawakan apa yang diminta Niko.
"Pa, apa Papa masih belum bisa menerima pernikahan kami? Apa Papa---"
"Jika Papa belum bisa menerima pernikahan kalian, kau tahu kan apa yang bisa Papa lakukan, Sayang?" tanya Papa dengan intonasi mendalam.
"Apa Papa akan melakukan seperti yang dulu Papa lakukan pada kami? Papa akan berusaha memisahkan kami lagi?" tanya Tania agak emosu.
"Papa hanya ingin kamu bahagia, Tania. Kenapa kau masih saja berpikiran buruk tentang Papa, Sayang? Apa kau pikir Papa akan selamanya menjadi orang jahat di matamu?" tanya Papa dengan suara lirih.
"Bu--bukan begitu, Pa maksud Tania. Hanya saja--" Tania menbungkam mulutnya tiba-tiba.
"Sayang, trust me, baby. Papa selama ini melakukan hal itu karena Papa ga mau kamu sampai menderita dan hidup susah. Papa yakin Andre itu--"
"Mulai lagi--" sela Tania emosi.
Papa mulai diam setelah Tania terdengar emosi menanggapi ucapannya.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu terdengar nyaring di ruangan besar itu.
"Masuk," ucap Niko melihat lurus ke arah pintu ruangannya.
Jessica masuk dengan membawa pesanan yang telah dipesankan oleh Niko sebelumnya. Sebuah plastik putih berlogo salah satu toko kue terkenal di Jakarta, diletakkan di meja kerja Niko beserta segelas kopi tanpa gula. Keduanya bergeming, saling menatap.
"Ma--maaf, apa ada yang harus saya kerjakan lagi, Pak Presdir?" tanya Jessica kikuk melihat 'kediaman' mereka berdua.
"Kau boleh keluar, Jess. Terima kasih," ucap Niko tanpa melihat Jessica.
"Baik, Pak. Permisi, Nona Tania." Jessica meninggalkan ruangan Niko dan kembali ke tempat kerjanya.
"Fuuuhhh ... suasana yang tak menyenangkan antara ayah dan anak. Tapi---ada apa ya? Kenapa mereka berdua seperti 'perang dingin' begitu?" gumam Jessica curi-curi melihat ke dalam ruangan Niko.
"Kenapa Papa memintaku datang?" tanya Tania datar.
Tanpa banyak basa-basi, Papa mengeluarkan sebuah amplop dan memberikannya pada Tania.
"Apa ini, Pah?" tanya Tania penasaran.
"Sebuah mimpi!" balas Papa singkat tanpa melihat Tania.
"Maksud--Papa?"
"Bukalah ketika kau berada di studiomu dan kau akan tahu," balas Papa lagi.
Tania terdiam, tak biasany papa bersikap dingin seperti ini.
"Pah----"
"Sayang, Papah masih banyak kerjaan. Kita akhiri saja percakapan pagi kita, ya. Terima kasih kau sudah mau datang, Sayang. Jika ada waktu, mampirlah untuk makan malam di rumah," ucap Papa sambil tersenyum dan melihat wajah Tania.
Tania masih bergemimg, seakan dibuat bingung oleh sikap papa yang tiba-tiba langsung berubah drastis, "Akan kuusahakan, Pah. Salam untuk mama." tambah Tania berjalan pasti meninggalkan ruangan kantor Niko.
Ruangan Dosen
"Cie ... pengantin baru ... gimana tuh rasanya semalem? Udah berapa kali 'perang', Pak?" kelakar salah satu dosen tempat Andre mengajar, Wisnu.
"Mantep, Bro. Ga salah pilih aku dengan dia. Masih rapet!" tambah Andre sambil tertawa lepas.
"Ehem----" suara mendehem dari salah seorang dosen wanita cantik di kampus Andre mengajar, Elliana terdengar di sela-sela obrolan kaum pria.
"Sst .. sst ..." Wisnu memberikan isyarat mata pada Andre yang duduk membelakangi pintu masuk ruangan dosen.
"Hallo, Bu Dosen cantik, apa kabar? Makin cantik aja ni kayaknya ..." ucap Wisnu seraya tersenyum menggoda.
"Pagi, Pak Wisnu. Kabar saya--sangat baik, bahkan jauh lebih baik," balas Elliana sambil melirik Andre yang masih tetap duduk membelakanginya.
"Dre, kamu ga mau nyapa dosen cantik ini, apa?" goda Wisnu sambil mencolek sikut Andre.
"Hmmmm---" balasnya.
"Pak, Wisnu, Anda dicari Bu Lily, beliau meninta Anda datang ke ruangannya sekarang," senyum Elliana.
"Baiklah, aku akan ke sana. Duluan, ya Dre, Nona cantik ..." Wisnu pun segera meninggalkan ruangan dosen dan menuju ruangan Lily, Dekan kampus mereka mengajar.
Elliana duduk mendekati Andre dan menatapnya lekat. Tangannya mulai membelai wajah Andre namun segera dipegang erat olehnya, siapa sangka! Tangan panjang nan gemulai itu bukannya disingkirkan dari wajah Andre, tapi dicium olehnya. Elliana tersenyum, memamerkan senyumannya yang mampu menawan setiap hati para pria, membuat jantung tiada berhenti bergejolak.
"Aku merindukanmu," ucap Elliana pelan.
Andre tersenyum dan berkata, "Akupun merindukanmu, Sayang."
Hubungan antara Elliana dan Andre memang bukanlah sebuah hubungan yang 'biasa'. Di kampus mereka memang dikenal akrab dan layaknya sahabat yang telah lama kenal, namun di luar kampus, siapa yang menyangka bahwa mereka telah melakukan hubungan terlarang dan jauh melebihi hubungan dari sekadar 'sahabat'.
"Jangan di sini. Kita masih di kampus," ucap Andre kemudian melepaskan genggaman tangannya dari Elliana.
"Jadi, di tempat biasanya---" goda Elliana dengan senyuman mautnya.
"Hari ini, sepertinya aku tak bisa. Aku harus menemani dia pergi dan aku sudah janji padanya," ucap Andre seraya membereskan mejanya.
Raut wajah Elliana yang awalnya sumringah berubah muram dan langsung menarik lengan Andre secara paksa.
"Eh,---" ucap Andre terkejut, "apa-apaan kau ini, Elli," tambahnya.
"Jadi sekarang kau lebih memilih dia daripada aku? Kau lebih memilih orang lain--"
"Dia istriku! Kami sudah menikah! Apa kau lupa itu?!" sahut Andre emosi.
Untung saja ketika mereka sedang bertengkar, ruangan dosen sepi karena memang bertepatan dengan jam mengajar sehingga tak ada yang mengetahui pertengkaran mereka.
Elliana terdiam, dia terpaku dan terkejut mendengar ucapan Andre. Pria yang dikenalnya kalem, lemah lembut dan selalu tersenyum itu kini seperti orang lain baginya.
"Jadi kau mulai mencintainya? Menyukainya? Kau mulai tergoda dan menikmati pernikahan semu ini?" perlahan tangan Elliana dilepaskan dari lengan Andre.
Andre menarik napas panjang dan melihat ke arah wanita cantik itu dengan tatapan lekat sambil memegang kedua tangannya dan berkata, "Sayang, tolong pahami posisiku, aku sudah menikah, aku memiliki istri sekarang, aku--"
"Aku tak peduli! Mau kau memiliki istri atau tidak ... aku menyukaimu, aku menyayangimu, aku cinta kamu, Sayang ..." tegas Elliana perlahan tapi pasti, bibirnya yang sensual mulai mendekati bibir Andre. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk merasakan kenikmatan dari dalam dan panasnya 'api terlarang' di antara mereka. Bibir yang saling mengulum dan sesekali bunyi desahan Elliana membuat Andre harus menahan keinginannya untuk mengeluarkan cairan miliknya. Tangan nakal Andre mulai bermain di tubuh Elliana, posisi yang tidak menguntungkan pun akan menjadi menguntungkan untuk mereka, dalamnya lidah mereka saling bertemu membuat dua insan beda status ini menjadi agak liar. Sesekali siluet mereka menunjukkan pose menantang dan menegangkan. Andre kini benar-benar dalam keadaan yang tak 'stabil', pikirannya tak cukup kuat menahan godaan sang Lilith, Elliana yang semakin dalam desahannya membuat Andre benar-benar terbang ke langit ketujuh.
Krekkk ...
Suara pintu terdengar dari ruangan tempat Andre dan Elliana memadu kisah terlarang mereka. Dengan tergesa-gesa, Andre dan Elliana segera merapikan pakaian dan rambut mereka. "Eh, Bu Dosen masih di sini?" tanya Wisnu yang langsung menghampiri mereka berdua.
"Oh, A--Anda sudah selesai bertemu Bu Lily, Pak Wisnu?" tanya Elliana gugup.
"Ya, sudah. Beliau hanya membicarakan seputar kegiatan kampus untuk beberapa bulan ke depan," papar Wisnu yang melihat Andre dan Eliiana dengan tatapan curiga.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Andre sinis ke arah Wisnu.
Wisnu hanya tersenyum tanpa sepatah katapun dan langsung kembali ke mejanya. Sementara itu, Elliana berdiri dekat Andre dengan sikap kikuk dan gugup, sesekali merapikan baju dan roknya.
"Aku permisi dulu, masih ada yang harus aku selesaikan, Pak Wisnu, Pak Andre," ucap Elliana meninggalkan mereka berdua.
"Aku tak mengerti dengan sikapmu, Andre. Seharusnya 'api' itu kau padamkan, bukan? Sebelum membara dan membakar seisi rumah," papar Wisnu sambil membuka notebook-nya.
"Apa maksudmu?" Andre menghentikan kegiatannya membaca buku.
Namun Wisnu enggan menyelesaikan ceritanya dan lebih memilih fokus dengan notebook-nya.
"Apa memang pernikahanku ini ... pernikahan semu? Semu ... bayangan? Apa ... aku mulai mencintai Tania? Apa benar aku akan mampu menjalani pernikahan ini hingga akhir?" batin Andre melihat foto pernikahan mereka di meja kerjanya.
Studio NADIYA"Hah, Papa benar-benar membuatku kesal! Moodku langsung hamcur di pagi buta! Apa yang Papa pikirkan, sih! Kenapa sampai sekarang dia masih saja belum bisa menerima Andre? Apa buruknya?" gerutu Tania sambil keluar dari mobil sport keluaran Jerman miliknya.Studio NADIYA, diambil dari namanya, Nathania Diandra Wijaya adalah studio seni tempat Tania biasa menghabiskan waktu hingga berjam-jam bahkan berhari-hari ketika dia belum menikah dulu. Studio yang ia bangun dari nol dan kini menjelma menjadi salah satu studio seni yang paling dicari oleh para pemburu sesuatu yang unik dan eksentrik dan berhasil menjadi studio seni terbesar di Jakarta. Dengan 3 orang karyawan yang ia pekerjakan, Tania dan timnya berhasil meraih kesuksesan di luar negeri tatkala mereka mengusung sebuah foto lukisan fine art yang berjudul 'Didera Cidera'. Sebuah foto lukisan yang hanya membubuhkan setetes darah dari sang pelukisnya, namun di dalamnya tersirat makna yang dalam. Hingga kini,
Vilo's Coffee ShopDion memakirkan sedan merah miliknya di depan sebuah kafe kopi milik teman kuliah mereka, Vincent Oliver. Kesenyapan dan kesunyian menaungi di antara mereka berdua, hanya suara bunyi pendingin mobil dan musik jazz yang menjadi teman perantara di tengah kesunyian mereka."Kau mau turun?" tanya Dion melepas sabuk pengamannya.Tania bergeming, kepalanya disandarkan pada kaca dekat pintu mobil dengan tatapan sendu dan redup."Tania, kita mampir sebentar ke sini, ya," ucap Dion sambil menunjuk sebuah tempat milik kawan kuliah mereka dulu.Tetap saja, Tania bergeming dengan ucapan Dion. "Baiklah, jika kau memaksa tetap di dalam mobil, aku akan pergi sebentar membeli kopi dan segera kembali," ucap Dion segera turun dari mobilnya dan menuju Vilo's Coffee Shop.Dalam Kafe Vilosuara bunyi lonceng sangat nyaring terdengar ketika Dion masuk ke sebuah kafe yang mengusung gaya retro klasik yang ditambahkan dengan sedikit gaya mo
Kediaman Tania dan AndrePagi itu, tak ada lagi ucapan mesra dan kecup sayang antara mereka berdua. Tak ada lagi ucapan 'good morning, Sayang atau mesra-mesra manja'. Kini, hanya ada kebisuan, kesunyian, dan kesenyapan di kediaman Tania dan Andre. Masing-masing juga memilih untuk tidak tidur satu kamar. Tania langsung menutup rapat pintu kamar mereka dan membiarkan Andre merasakan dinginnya berada di luar kamar ... sama dengan dinginnya hati Tania saat ini."Bi, nanti tolong ambilkan kamera DSLR dan tripod saya, ya yang ada di ruang kerja saya," ucap Tania kepada Bi Ra, asisten rumah tangga mereka.Andre hanya bergeming melihat sikap sang istri yang begitu dingin seperti kutub selatan. Dia terus mengolesi rotinya dengan selai blueberry, kesukaannya yang biasa disiapkan oleh sang istri."Ini, Nyonya perlengkapan yang Anda minta," Bi Ra membawakan kamera juga tripod seperti yang Tania minta."Terima kasih, Bi," ucap Tania dengan senyum manis mengemb
Rusia, salah satu negara dengan pesona alam, bangunan bersejarah, serta kecantikan para wanitanya yang siap memanjakan mata tiap-tiap kaum lelaki. Di negara Lenin inilah seorang Richard Lexi berada, seorang CEO dari perusahaan ekspedisi terbesar dan paling berpengaruh di Rusia yang bernama Lexi Czar Expedition yang menguasai hampir seluruh pengiriman barang-barang di Rusia serta perusahaan ekspedisi nomor dua terbesar di dunia. Selain itu, Lexi juga seorang kurator seni di museum State Hermitage yang merupakan museum tertua dan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari tiga juta koleksi karya seni dari seluruh dunia serta berbagai artefak dari zaman batu dan prasejarah. Kecintaan Lexi pada dunia seni tak lepas dari darah seni yang diwariskan oleh sang ibu, Maria Anna Luka Hendrikova, seorang bangsawan Rusia yang masih memiliki garis keturunan dengan kekaisaran Rusia Romanov tempo dulu. Lexi juga sering dikenal sebagai Cassanova Tanah Lenin, karena ketampanan dan kharisma yang dimil
Studio NADIYADion sangat terkejut ketika melihat Tania sedang tertidur di sofa studionya dengan koper yang berdiri di sebelahnya. Ingin sekali dia membangunkan Tania, namun niatnya diurungkan manakala dia melihat Tania tertidur seperti anak kecil yang sedang bermimpi."Kau ...cantik, Tania," ucap pelan Dion seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Tania. Tania yang sedang tertidur dengan pulas kemudian meluruskan badannya dan membuat Dion terkejut hingga menjatuhkan cangkir berisi kopi yang ada di meja.PRANG...Bunyi suara gelas pecah tentu saja membuat Tania bangun dan terkejut. Dion langsung berdiri agak menjauh dari Tania dan berpura-pura tak tahu apa-apa."Di--Dion, selamat pagi," sapa Tania seraya mengucek matanya dan masih setengah sadar."P--pagi," balas Dion yang berdiri di hadapan Tania."Jam berapa sekarang?" tanya Tania yang masih mengumpulkan nyawanya dan melihat ke jam tangan putih miliknya, "Astagaaaaa ... jam 9???" sontak
Kediaman Niko WijayaSuara deru mesin sedan putih berhenti di depan pintu sebuah rumah megah dan mewah. Ya, apalagi kalau bukan kediaman Niko Wijaya, sang bos flamboyan yang tampan, berkharisma, ayah dari wanita cantik, Nathania Diandra Wijaya dan seorang istri yang super cantik, Daniella Wijaya. Sang mama pun telah menyambut putri tercinta yang ditemani oleh Dion turun dari sedan milik Dion. Dengan wajah berseri bahagia, mama menyambut anaknya dengan sukacita layaknya tak pernah bertemu. Dion hanya tersenyum melihat tingkah ibu dan anak yang super gaul ini."Selamat malam, Tante," sapa Dion membungkukkan setengah badannya."Eh, malam Dion. Gimana kabar kamu? Udah lama banget ya kita ga ketemu ... gimana kabar kedua orang tua kamu? Mereka masih di Perancis apa udah balik ke Indo?" rentet tanya sang mama."Hmmm ... mulai deh mode keponya," celetuk Tania dengan wajah jeleknya."Kamu tuh, ya, Mama jelas aja kepo. Orang tua Dion kan temen baik Mama se
Kepergian Tania membuat Andre sangat menyesali perbuatannya. Malam itu menjadi malam yang tak 'kan mungkin dilupakan olehnya seumur hidupnya. Ingin rasanya dia menahan sang istri pergi meninggalkannya, namun ia tahu akan kesalahan yang telah dilakukan dan tak ingin membuat Tania semakin membencinya. Dengan hati dan rasa yang berat, mau tak mau mulutnya harus mengucap kata 'SETUJU' atas kepergian Tania.****Kafe Villo"Kau tak apa, Nona Tania?" tanya Alex melihat keadaan Tania yang membuat dirinya khawatir."Tania,""Apa?""Panggil saja aku Tania, seperti.yang kau ucap ketika bertemu dia," sahut Tania dengan suara pelan."Oh, okay. Tapi, are you sure, you are fine?" tanya Alex sekali lagi untuk memastikan.Tania kemudian melihat mata Alex dengan lekat. Mata sang elang bertemu dengan mata lautan teduh milik Alex. Sungguh perpaduan yang serasi dan cocok. Namun, mata elang itu kini sayu, pilu, dan seperti kehilangan hidup. Tania kembali m
FlashbackKediaman DionSebuah balkon berukuran sedang dengan sebuah bangku dan meja kecil warna putih tampak sedang diduduki oleh seorang pria bercelana pendek warna biru dan kaos warna senada bertuliskan 'Goodbye' dengan garis-garis putih pada tulisan itu. Secangkir kopi espresso kental menjadi teman sang laki-laki itu dalam kesunyiannya. Tampak sebuah canvas, bingkai, kuas dan beberapa cat air serta sebuah foto tergeletak berantakan di tempat itu. Tangan laki-laki itu pun tampak penuh dengan bekas cat air, matanya lurus menuju ke depan pelatarab rumahnya yang minimalis, tampak sinar bulan dan bintang begitu jelas terlihat dari balkon rumahnya. Semilir angin yang berhembus menambah kesepian yang dirasakan oleh laki-laki itu, Dionysius Theodore atau sering disapa Dion.Pikirannya melayang mengingat sikapnya pada Tania hari ini. Mengapa ia sampai berbuat hal seperti itu ... mengapa ia langsung melepaskan tangan wanita yang sangat dicintainya dengan mudahnya ... men
Tania yang tak tahan lagi menunggu Lexi terlalu lama di kamar yang sunyi memutuskan untuk segera mencari laki-laki itu. Derap langkah yang dibuat sepelan mungkin dan netra yang was-was membuat detak jantung Tania memompa adrenalin yang kuat dan kencang, bak olahraga ekstrem. Tak lama tepat di depan netranya, siluet seorang wanita bergaun pengantin dan pria berjas abu-abu serta pria yang sedang duduk membelakanginya tampak di depannya. Sambil berdetak dan berdegup kencang, Tania memberanikan diri mendekati ketiga siluet itu dan ternyata ...."Lexi!!" serunya bersuara sedikit kencang.Tak pelak, Eva yang sedang bicara dengan Lexi dalam keadaan emosi mengalihkan netranya pada Tania yang berdiri tak jauh di belakang Lexi, dan ....DORRRRR!!DORRRRR!!DORRRRR!!"Ahhhh!!" Tania teriak kencang karena tembakan proyektil yang dilepaskan Eva tepat mengenai lukisan yang ada di sebelah Tania! Membuat Tania membelalakkan netranya bulat dan lebar!"TANIA!
Villa Keluarga HendrikovaDi sudut salah satu ruangan yang remang hampir gelap, Tania dan Lexi tengah bersembunyi dari kejaran Eva dan ayahnya, Joni Pedrova Medyedev. Emosi yang tengah di puncak, membuat Eva dan sang ayah kalap dan membabi buta menghancurkan isi dari villa milik keturunan Dinasti Romanov tersebut."Aku takut, Lexi!" Tania sembunyi di dada bidang milik Lexi yang lebar."Jangan takut, aku di sini. Aku akan selalu melindungimu." Ucap Lexi mengecup kening Tania mesra."Tapi, kau dan Eva dulu ..." Tania ragu dengan ucapannya."Dulu ya dulu! Sekarang ya sekarang! Aku bukan orang yang memandang ke belakang, apa yang ada di hadapanku sekarang, itulah yang akan kupikirkan!" tegas pemilik netra hijau Altai itu menatap Tania."Aku hanya ..." Tania membenamkan kepalanya dalam pelukan dekapan hangat sang serigala."Ssssttt, jangan berisik! Kau tetaplah di sini, aku akan pergi menemui mereka." Ucap Lexi mendorong lembut tubuh kelinci yang
"Kau tak punya hak untuk bicara seperti itu, Lexi!"Seorang wanita turun dari jeep hitam tak jauh dari mereka. "A--Anda," Tania terkejut karena Maria, sang ibunda Lexi ada di sana. "Bantu Nona Eva!" perintah Maria pada pengawalnya."Mama? Kenapa Mama ada di sini?" tanya Lexi yang tampaknya tak terkejut."Tak usah basa basi Lexi!" Maria menyipitkan tajam matanya ke arah Tania yang masih berada di dekapan Lexi dan seorang pria yang tersungkur di tanah"Siapa kau?" tanya Maria pada Andre."Saya suami sah dari wanita yang sedang berada di pelukan anak Anda. Namaku Andre." Jelasnya sambil membersihkan noda darah di mulutnya."Jadi kau suami Nona Tania? Bawa dia pergi dari sini! Putraku akan menikah dengan wanita ini!" Maria menunjuk Eva."Memang itulah yang akan saya lakukan, Nyonya. Tapi putra Anda ..." Andre kemudian berdiri dan menatap netra Lexi tajam. "Putra Anda telah menjadi parasit dalam pernikahan kami!""Tutup mulutmu! Kau t
"Hentikan!" suara lantang seorang wanita terdengar dari dalam kediaman Medyedev.Netra Andre membelalak ketika mengetahui siapa wanita yang baru saja mengeluarkan suara lantang itu. "Kau, E-Eva?""Hahahaha, akhirnya kau datang juga Andre. Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah menerima paket cantik yang kukirim untukmu?" seringai Eva dengan cibiran."Wanita brengsek! Apa yang kau inginkan? Bukankah sudah cukup kau dengan menghancurkan Lexi, kenapa kau seret Tania ke dalam masalah pribadimu?" Andre tak dapat melihat Eva dengan tatapan datar. Netra laki-laki itu terus saja menyipitkan mata tajamnya ke arah wanita bergaun pengantin di depannya."Kau salah! Justru karena istri bodohmu itu yang berani-beraninya menggoda dan mengambil Lexi dariku! Harusnya aku yang bersama dengan Lexi dan bukan dia! Aku yang seharusnya menyandang kekasihnya dan bukan istrimu!" teriak Eva."A--apa? Kekasih?" Andre terperangah."Hahahah, suami macam apa yang tak mengetahu
Kedatangan Andre ke kantor Lexi membuatnya terkejut sekaligus kesal. Dengan memasang senyum penuh kepalsuan, Lexi tersenyum selayaknya tuan rumah yang menyambut kedatangan tamu."Silakan duduk, Tuan Andre." Lexi membuka tangannya dan mempersilakan Andre duduk di kursi yang ada di depannya."Cukup basa basimu, Tuann Richard Lexi! Di mana Tania?" Andre mulai tersulut emosi."Apa? Tania? Apa maksud Anda, Tuan Andre?"Andre yang sedang panas langsung memberikan pukulan keras di wajah Lexi hingga ia tersungkur jatuh di karpet ruangannya."Kutanya sekali lagi, di mana kau sembunyikan Tania!? Apa kau masih mengelak juga, hah! Laki-laki keparat! Berapa banyak hal lagi yang akan kau bohongi soal identitasmu pada Tania, hah!" Andre menarik kerah Lexi yang tersungkur dan berteriak padanya."Get off your dirty hands of me! Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu, Tuan Andre! Dan Tania, kenapa Anda masih peduli padanya? Bukankah kalian akan bercerai?"
Sheremetyevo Int. AirportAndre langsung terbang ke negeri Beruang Merah saat dirinya dikirimi foto-foto mesra Tania dan Lexi. Tanpa membuang waktu, dia segera menaiki taksi bandara dan pergi ke Museum Hermitage, tempat Lexi bekerja. Rasa cemas, khawatir dan takut menyelimuti relung hati pria bermata seksi itu. Sesekali dia melihat ponselnya dan ingin mencoba menghubungi Tania namun berkali-kali pula ia urung melakukannya."Thank you, Sir." Ucap Andre turun dari taksi yang membawanya.Matanya menyeloroh melihat bangunan indah itu masih sama dengan yang ia lihat ketika beberapa bulan yang lalu Andre datang pertama kali ke tempat itu. Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam museum itu dan memutar balik netra dan retinanya, menyeloroh, meringsek ke semua sudut ruangan Museum Hermitage, namun tak jua membuahkan hasil. Putus asa, Andre menanyakan keberadaan Lexi dengan salah satu petugas keamana tempat itu dan begitu terkejutnya Andre ketika ia mengetahui bahwa Lexi seb
"Kurasa ini bukan jalan menuju kediaman Lexi. Sebenarnya kita mau ke mana?" Tania mulai curiga dengan sang pria tersebut yang terlihat menyeringai dari balik spion mobilnya."Kita akan sampai Nona sebentar lagi." Ucap pria tersebut kemudian tak lama membelokkan mobil yang mereka kendarai ke sebuah gudang gelap dan sunyi."T--tempat apa ini? Siapa kau sebenarnya?" Tania mulai ketakutan."Silakan berteriak! Tak ada satu pun yang akan mendengar atau menolongmu, hahahha." Pria itu menodongkan senjata api tepat di wajah Tania dan memaksa Tania turun dari mobilnya."Cepat jalan!" ucap pria itu mendorong kasar tubuh Tania."Siapa yang menyuruhmu? Apa Nyonya Besar yang memintamu melakukan ini?" tanya Tania seraya berjalan masuk ke gudang itu dan memgangkat tangannya."Nyonya Besar? Hahahha, nanti Anda tahu sendiri siapa yang telah menunggu Anda di dalam."Seorang wanita mengenakan long-coat warna coklat gelap, sepatu boots, serta kacamata hita
Eva memberikan sebuah amplop coklat yang berisi foto Tania pada seorang pria pembunuh berdarah dingin yang telah lama bekerja untuk keluarga Hendrikova. Pria itu dengan senyum dinginnya kemudian berkata, "Anda ingin saya menghabisi nyawa wamita cantik ini?""Kenapa? Masalah?"tanya Eva dengan dingin."Tidak. Tapi menurutku sayang sekali jika dia harus dihabisi! Setidaknya, biarkan aku 'bermain' sebentar dengannya." Seringai pria yang lebih mirip orang Asia itu."Whatever! You can have her after that ... kill her!!" ucap Eva dengan netra tajam."Ok, no problem." Sahut sang pri itu menganggukkan kepalanya."Aku berikan padamu informasi di dalamnya tentang 'paket' mu. Aku ingin semuanya berjalan alami, tak ada jejak, tak ada cacat! Apa kau mengerti!?""Tenang saja, Nona Eva. Bukankah Anda juga tahu sudah berapa lama saya mengabdi untuk keluarga Medyedev ""Bukan urusanku! Dan sebaiknya segera kau kerjakan apa yang aku perintahkan!" E
Kediaman Keluarga MedyedevPRANGPRANGPRANGSuara barang pecah belah yang dibanting dengan keras dari ruang makan keluarga Medyedev membuat para asisten rumah tangga di keluarga milyuner itu menjadi takut, panik namun juga khawatir dengan keadaan nona mereka, Eva Laika. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati ruang makan yang saat ini hampur seperti ruang sampah! Piring dan gelas yang dipecahkan oleh nona besar mereka membuat serpihan-serpihan dari barang pecah belah tersebut berhamburan memenuhi ruang makan."No--Nona Besar, sadarlah ... sadarlah Nona Besar, jangan menyakiti diri sendiri," ucap kepala asisten rumah tangga Hendrikova."DIAM! DIAM SEMUANYA! JANGAN ADA YANG IKUT CAMPUR!" teriak Eva dengan wajah lusuh, gaun yang tak lagi rapi dan terlihat mahal serta rambut yang acak-acakan."Aku salah apa, Lexi? Kenapa kau perlakukan aku seperti ini? Kenapa kau tak pernah melihat ketulusanku mencintaimu!!!" teriak Eva