‘Xander?’Nama itu tercetus dalam hati Audrey, hingga membuat mata Audrey memanas nyaris berkaca-kaca melihat Xander di hadapannya bersama dengan Serry. Mati-matian Audrey menahan diri agar tak menangis. Audrey tidak mau terlihat lemah di depan banyak orang. Terutama di depan Xander dan Serry.Tatapan Xander berkilat menajam melihat Audrey dan Dylan di hadapannya. Aura wajah dingin, menyeramkan penuh kemarahan begitu terlihat jelas. Umpatan kasar lolos dalam hati. Rahang Xander mengetat. Amarahnya seakan ingin meledakan seisi restoran.Xander menahan geraman emosi. Ingin sekali Xander menarik tangan Audrey mneinggalkan tempat itu. Namun, Xander menyadari dirinya berada di restoran bersama dengan Serry. Tak mungkin Xander bisa membawa Audrey pergi. Pun Xander tak mau semakin melukai hati Audrey. Sudah cukup selama ini Audrey menderita.“Hi, Audrey, Hi, Dylan. Kalian makan malam di restoran ini juga?” Serry tersenyum melihat Audrey dan Dylan di hadapannya. Terlihat Serry sangat senang b
Sepanjang perjalanan dari restoran menuju apartemen Audrey, tak banyak percakapan antara Dylan dan Audrey yang terjalin. Sesekali Dylan mengajak Audrey mengobrol demi menghibur Audrey agar lebih bisa tersenyum. Meski Audrey bisa tersenyum tetap mata Audrey memancarkan rasa sedih yang begitu dalam.Saat mobil yang dilajukan Dylan mulai memasuki lobby apartemen, Audrey segera membuka seatbelt-nya dan bersiap-siap untuk turun. “Dylan, terima kasih untuk makan malam ini,” ujarnya hangat dan lembut.“Harusnya aku yang berterima kasih, Audrey,” jawab Dylan dengan senyuman di wajahnya.Audrey pun tersenyum. “Yasudah aku turun dulu, ya, Dylan. Kau hati-hati di jalan, ya?”Dylan menganggukan kepalanya merespon ucapan Audrey. Lantas, Audrey segera turun dari mobil. Tepat disaat Audrey sudah turun dari mobil—Dylan langsung melajukan mobilnya meninggalkan lobby apartemen Audrey.Audrey menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan melihat mobil Dylan sudah pergi. Langkah kaki Audrey hendak
Hari yang telah ditunggu-tunggu pun telah tiba. Hari di mana sidang perceraian Audrey dan Xander. Tak pernah Audrey sangka akan berada di titik sekarang ini. Audrey pernah memiliki harapan untuk menghentikan waktu yang berjalan. Nyatanya sekuat apa pun seorang tetap hati Audrey akan hancur berkeping-keping menghadapi perceraian.Audrey ingin berlari dari kenyataan tapi Audrey menyadari dirinya tak ingin bersikap egois. Tak semua kehidupan akan menjanjikan kebahagiaan. Melepas orang yang dicintai bukanlah hal yang mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Audrey telah memutuskan merelakan Xander menggapai kebahagiaan meski bukan dengan dirinya.“Audrey, apa kau sudah siap?” Dakota melangkah mendekat pada Audrey yang tengah duduk menatap cermin.“Audrey.” Dakota menegur kala Audrey hanya diam tak menyadari kehadirannya.“Iya, Dakota?” Audrey membuyarkan lamunannya kala melihat sudah ada Dakota di sampingnya.Dakota mengembuskan napas pelan. Wanita itu menarik kursi, dan duduk tepat di sampin
Kerumunan wartawan memadati halaman persidangan. Kilat kamera menyorot pada Audrey yang baru saja turun dari mobil bersama dengan kedua orang tuanya dan Dakota. Beberapa pengawal yang Athes sengaja bawa—langsung memblokir jalan wartawan yang mengajukan rentetan pertanyaan pada Audrey. Tak selang lama, dua buah mobil mewah memasuki halaman parkir. Terlihat Xander baru saja turun dari mobil didampingi kedua orang tuanya. Sebagian wartawan pun langsung mengerumuni Xander dan juga Marco serta Angela. Sayangnya, wartawan tetap tak bisa menjangkau Xander karena Marco membawa pengawal untuk memblokir jalan wartawan.Sesaat, Audrey dan Xander saling bertukar pandang. Tatapan mereka begitu dalam dan seakan membuat mereka hanyut mengikuti aliran sungai teduh yang tak tahu berakhir di mana.Manik mata abu-abu Audrey nampak nyaris berembun, namun mati-matian Audrey menahan air matanya. Sedangkan Xander? Tak perlu ditanya. Manik mata cokelat Xander memendung jelas kesedihan yang tertutupi ego.“T
Audrey melangkah keluar dari ruang persidangan bersama dengan keluarganya. Dan sebelum pergi Audrey sempat berjabat tangan dengan pengacaranya, karena telah membantu dalam proses perceraiannya dengan Xander berjalan lancar.Audrey tak lagi menatap Xander. Meskipun Audrey tahu sudah sejak tadi Xander menatapnya tapi tetap Audrey memilih untuk mengabaikan tatapan Xander.Audrey merasakan hatinya seperti ditancap oleh sebilah pisau yang menembus jantungnya. Terlebih dikala sang hakim telah memutuskan dirinya resmi bercerai dengan Xander. Detik itu juga, Audrey merasakan hidupnya telah hancur berkeping-keping.Di depan ruang persidangan, Athes hendak mengajak Audrey masuk ke dalam. Akan tetapi gerak Athes terhenti kala sosok pria menghadangnya berdiri di depan seolah tak ingin membiarkan Audrey pergi.“Minggir,” tukas Athes tajam dengan tatapan penuh amarah pada Xander—yang menghalanginya.“Aku ingin bicara dengan Audrey,” jawab Xander dingin.“Apa lagi yang harus kau bicarakan dengan Aud
Kesunyian dan kesepian melingkupi diri Xander. Aura wajah dingin bercampur frustrasi kala Xander memasuki apartemennya. Sesaat, pria itu mengendarkan pandangan ke sekitar melihat apartemennya begitu kosong dan sunyi. Tak lagi ada sambutan hangat Audrey. Bahkan tak ada lagi senyuman indah yang kerap menyambut Xander.Xander merasakan dirinya telah kehilangan sesuatu yang berharga. Kenapa ini? Bukankah harusnya Xander bisa bahagia melepas Audrey? Impiannya selama ini telah terwujud. Harusnya tak perlu lagi Xander memikirkan Audrey dikala hakim sudah mengetuk palu. Tapi kenapa sekarang Xander merasakan hatinya sangat sesak?Xander berusaha menepis semua hal yang mengusik pikirannya. Pria itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Namun, langkah kaki Xander terhenti kala melihat pelayan membawa sebuah keranjang yang berisikan tumpukan buku.“Itu buku siapa? Kenapa kau bawa keluar?” tanya Xander dingin dengan sorot mata lekat.“Tuan Xander, ini adalah buku-buku bacaan Nyonya Audrey. Te
Audrey menatap para pelayan membawa koper-koper miliknya, memindahkan ke dalam mobil. Tampak raut wajah Audrey begitu muram. Kilat matanya memancarkan jelas tatapan penuh kerapuhan.Mata Audrey sembab akibat tangisnya sepanjang malam. Beruntung make-up mampu menutupi kesedihan di wajah Audrey. Ya, sekuat apa pun Audrey berusaha untuk kuat tetap saja dirinya akan lemah kala kehilangan bagian dari hidupnya.Melepas bukanlah hal yang mudah. Meskipun Audrey telah mengikhlaskan tapi tetap hatinya begitu sesak dan sakit. Pria yang satu-satunya selalu ada di hati Audrey kini telah pergi. Tak bisa memungkiri Audrey benar-benar hancur berkeping-keping.Audrey tak pernah mengira akan berada di titik melepas Xander. Keegoisannya membuat pria yang dia cintai harus hidup menderita. Sungguh, Audrey menyesali semuanya. Andai saja dirinya tak bersikap kekanakan maka tak akan jadi seperti ini.“Audrey, barang-barangmu semua sudah dibawa oleh pelayan. Apa ada barang yang tertinggal?” Dakota melangkah m
Miranda tak henti-hentinya menangis di pelukan Athes kala dokter tengah memeriksa keadaan Audrey. Helen pun ikut menangis di pelukan Darren. Sedangkan Dakota sejak tadi memegang ponselnya. Dakota ingin menghubungi Xander, akan tetapi Dakota langsung mengurungkan niatnya. Tak mungkin Dakota menghubungi Xander. Posisi saat ini Audrey telah resmi bercerai dengan Xander.“Athes, kenapa dokter lama sekali memeriksa putri kita?” Tatapan Miranda menatap lirih sang suami. Tatapan yang terlihat jelas betapa takut akan terjadi sesuatu pada putrinya.“Tunggulah, Miranda. Putri kita pasti baik-baik saja.” Athes mengecup kening Miranda, menenangka istrinya itu.“Miranda, apa yang dikatakan Athes benar. Audrey pasti baik-baik saja,” sambung Darren menenangkan adiknya.“Audrey bukan wanita lemah. Aku yakin Audrey hanya kelelahan saja,” ujar Helen dengan begitu yakin kalau keponakannya tak memiliki masalah di kesehatannya.Ceklek! Pintu ruang rawat terbuka. Sang dokter berdiri di ambang pintu. Denga
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k