Audrey menatap para pelayan membawa koper-koper miliknya, memindahkan ke dalam mobil. Tampak raut wajah Audrey begitu muram. Kilat matanya memancarkan jelas tatapan penuh kerapuhan.Mata Audrey sembab akibat tangisnya sepanjang malam. Beruntung make-up mampu menutupi kesedihan di wajah Audrey. Ya, sekuat apa pun Audrey berusaha untuk kuat tetap saja dirinya akan lemah kala kehilangan bagian dari hidupnya.Melepas bukanlah hal yang mudah. Meskipun Audrey telah mengikhlaskan tapi tetap hatinya begitu sesak dan sakit. Pria yang satu-satunya selalu ada di hati Audrey kini telah pergi. Tak bisa memungkiri Audrey benar-benar hancur berkeping-keping.Audrey tak pernah mengira akan berada di titik melepas Xander. Keegoisannya membuat pria yang dia cintai harus hidup menderita. Sungguh, Audrey menyesali semuanya. Andai saja dirinya tak bersikap kekanakan maka tak akan jadi seperti ini.“Audrey, barang-barangmu semua sudah dibawa oleh pelayan. Apa ada barang yang tertinggal?” Dakota melangkah m
Miranda tak henti-hentinya menangis di pelukan Athes kala dokter tengah memeriksa keadaan Audrey. Helen pun ikut menangis di pelukan Darren. Sedangkan Dakota sejak tadi memegang ponselnya. Dakota ingin menghubungi Xander, akan tetapi Dakota langsung mengurungkan niatnya. Tak mungkin Dakota menghubungi Xander. Posisi saat ini Audrey telah resmi bercerai dengan Xander.“Athes, kenapa dokter lama sekali memeriksa putri kita?” Tatapan Miranda menatap lirih sang suami. Tatapan yang terlihat jelas betapa takut akan terjadi sesuatu pada putrinya.“Tunggulah, Miranda. Putri kita pasti baik-baik saja.” Athes mengecup kening Miranda, menenangka istrinya itu.“Miranda, apa yang dikatakan Athes benar. Audrey pasti baik-baik saja,” sambung Darren menenangkan adiknya.“Audrey bukan wanita lemah. Aku yakin Audrey hanya kelelahan saja,” ujar Helen dengan begitu yakin kalau keponakannya tak memiliki masalah di kesehatannya.Ceklek! Pintu ruang rawat terbuka. Sang dokter berdiri di ambang pintu. Denga
Tiga tahun berlalu … Tokyo, Japan. Seorang wanita cantik berdiri di podium megah memimpin meeting pembahasan tentang perusahaan dipimpinnya. Wanita berparas anggun dan menawan itu begitu fasih dalam menggunakan bahasa Jepang. Dress berwarna hitam membuat wanita itu tampak begitu sempurna. Heels tinggi yang dipakainya membuat kaki jenjangnya sangat indah.Dia Audrey Russel—salah satu pewaris Russel Group berhasil membuat terobosan baru dan mampu memperkokoh Russel Group di pasar Asia. Kecerdasannya tak lagi diragukan. Semua bisnis mulai dari apartemen, hotel, mall, supermarket, berhasil menduduki posisi atas dunia.Tiga tahun Audrey tinggal di Jepang, wanita itu fokus akan pengembangan bisnis keluarganya di pasar Asia. Sedangkan untuk pasar Eropa dan Amerika masih dipegang ayahnya. Adapun dua adik laki-laki Audrey sudah membantu namun belum sepenuhnya. Pasalnya kedua adik laki-laki Audrey memang sekarang tengah fokus pada pendidikan. Hingga ketika Audrey menutup meeting tersebut, su
Roma, Italia. Seorang pria dengan tubuh tinggi gagah menatap perkotaan Roma dari balik kaca ruang kerjanya. Sorot mata dingin dan tajam begitu melekat di aura ketegasan pria tampan itu. Gelas sloki yang berisikan whisky ada di tangannya. Urat-urat maskulin di pergelangan tangan pria itu begitu nampak jelas menunjukan kegagahannya. Bahu lebar, dada bidang. Kemeja berwarna navy membungkus tubuh kekarnya menjadikan sang pria layaknya seperti Dewa Adonis.“Tuan Xander.” Chad—asisten Xander melangkah mendekat pada Xander.“Ada apa kau ke sini, Chad?” tanya Xander dengan aura wajah dingin dan penuh ketegasan.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Tapi saya hanya ingin mengatakan kalau tadi pagi Nona Serry ke kantor Anda. Beliau mencari Anda, tuan,” jawab Chad sopan dan patuh.Xander terdiam sejenak. Pria itu mengalihkan pandangannya pada Chad. “Bilang padanya nanti aku akan menghubunginya. Aku masih sibuk tidak ingin diganggu.”“Hm, Tuan. Sebenarnya Tuan Serry tadi meninggalkan pesan,” ujar Chad me
Keesokan hari, Audrey sudah bersiap-siap akan meeting dengan salah satu perusahaan besar yang merupakan rekan bisnis Spencer Group. Sampai detik ini, Audrey memang belum memberitahu kedua orang tuanya kalau dirinya berada di Roma. Bukan tidak mau, tapi Audrey memilih fokus membantu Dakota lebih dulu. Lagi pula, Audrey yakin pasti anak buah ayahnya sudah melaporkan ayahnya kalau dirinya berada di Roma.“Audrey, ini dokumen yang dibutuhkan di meeting nanti.” Dakota memberikan dokumen yang ada di tangannya pada Audrey.“Siapa nama perusahaan yang menjadi rekan bisnis Spencer Group?” tanya Audrey lagi untuk memastikan.“Ewald Group. Nanti kau akan bertemu dengan CEO Ewald Group yang bernama Frank Ewald,” jawab Dakota memberitahu.“Ewald Group, kalau tidak salah baru-baru ini perusahaan besar itu berhasil memasuki sepuluh besar di Amerika. Benar kan?” tanya Audrey memastikan.Dakota mengangguk. “Tepat sekali. Aku takut salah bicara, Audrey. Nanti malah masalah akan rumit. Bisa-bisa aku aka
“Hi, Audrey. Aku tidak menyangka perwakilan Spencer Group adalah dirimu.” Wanita itu menyapa dengan senyuman yang anggun. Terlihat pancaran mata wanita itu sedikit terkejut melihat Audrey di hadapannya.“Hi, Serry. Aku juga tidak menyangka perwakilan Ewald Group adalah dirimu.” Audrey duduk di depan wanita itu. Nada bicaranya berusaha untuk tenang dan seolah tak peduli.Audrey tak menyangka kalau perwakilan Ewald Group adalah Serry. Kalau saja dia tahu maka dia lebih memilih untuk tidak datang. Meski telah berdamai dengan kenyataan tapi setiap kali melihat Serry tetap saja hati Audrey begitu sesak. Tak mudah berjalan melewati badai.“Ya, aku adalah Direktur pemasaran di Ewald group. Hari ini Tuan Frank Ewald tidak bisa hadir karena beliau memiliki meeting dengan rekan bisnisnya dari Melbourne,” ujar Serry memberitahu. “Anyway, lama tidak melihatmu, Audrey. Kau semakin cantik dan dewasa. Tadi aku sedikit tidak mengenalimu.”“Terima kasih.” Audrey tersenyum tipis begitu professional. Da
Serry menatap Xander yang tengah melajukan mobil dengan raut wajah nampak berbeda. Sejak di restoran tadi, kekasihnya itu lebih banyak diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dalam hati, entah kenapa Serry seperti merasakan sesuatu. Sesuatu hal yang sudah lama mengusik hati dan pikirannya. Bahkan membuat keresahan muncul dalam lubuk hatinya terdalam. “Apa kau memikirkan Audrey, Xander?” tegur Serry dengan nada pelan namun tersirat menuntut Xander untuk menjawabnya.Xander terdiam sejenak mendengar pertanyaan Serry. Perlahan, laju mobil Xander diperlambat. Aura wajah dingin melekat. Sepasang iris mata cokelat Xander berkilat memendung sebuah rasa yang bercampur. Marah, kesal, penyesalan, bersalah, semua telah melebur menjadi satu.“Aku dan Audrey dulunya adalah sepasang suami istri. Kalau sekarang kami kembali bertemu, pasti aku memikirkan kabarnya. Selain itu Audrey dan aku tumbuh besar bersama. Jadi hal normal kalau aku memikirkannya,” tukas Xander menegaskan dan penuh penekanan.Se
Cuaca pagi hari begitu dingin akibat salju turun cukup lebat. Jendela apartemen Audrey telah mengumpul salju di sana. Biasanya jika di Jepang, Audrey akan bermain bola salju dengan putra kesayangannya. Namun, kali ini Audrey harus menahan diri tak bermain dengan putranya. Setelah semua pekerjaan selesai di Roma, maka Audrey akan segera kembali ke Jepang.“Audrey! Astaga gawat, Audrey! Matilah aku!” Dakota menerobos kamar Audrey dengan wajah yang begitu cemas dan takut.“Ada apa, Dakota? Kenapa kau berteriak-teriak seperti orang hutan?” Audrey menatap dingin Dakota yang berteriak-teriak tidak jelas.Dakota menggigit kukunya seraya mondar-mandir tidak jelas di hadapan Audrey. Terlihat raut wajah Dakota begitu panik dan cemas. “Audrey, aku baru saja dimarahi Paman Athes. Astaga, Paman Athes tampan kenapa galak sekali? Bagaimana ini, Audrey? Paman Athes marah padaku.”“Ayahku marah padamu? Kenapa, Dakota? Memangnya kau berbuat salah apa sampai ayahku marah padamu?” Kening Audrey mengerut,
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k