“Hi, Audrey. Aku tidak menyangka perwakilan Spencer Group adalah dirimu.” Wanita itu menyapa dengan senyuman yang anggun. Terlihat pancaran mata wanita itu sedikit terkejut melihat Audrey di hadapannya.“Hi, Serry. Aku juga tidak menyangka perwakilan Ewald Group adalah dirimu.” Audrey duduk di depan wanita itu. Nada bicaranya berusaha untuk tenang dan seolah tak peduli.Audrey tak menyangka kalau perwakilan Ewald Group adalah Serry. Kalau saja dia tahu maka dia lebih memilih untuk tidak datang. Meski telah berdamai dengan kenyataan tapi setiap kali melihat Serry tetap saja hati Audrey begitu sesak. Tak mudah berjalan melewati badai.“Ya, aku adalah Direktur pemasaran di Ewald group. Hari ini Tuan Frank Ewald tidak bisa hadir karena beliau memiliki meeting dengan rekan bisnisnya dari Melbourne,” ujar Serry memberitahu. “Anyway, lama tidak melihatmu, Audrey. Kau semakin cantik dan dewasa. Tadi aku sedikit tidak mengenalimu.”“Terima kasih.” Audrey tersenyum tipis begitu professional. Da
Serry menatap Xander yang tengah melajukan mobil dengan raut wajah nampak berbeda. Sejak di restoran tadi, kekasihnya itu lebih banyak diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dalam hati, entah kenapa Serry seperti merasakan sesuatu. Sesuatu hal yang sudah lama mengusik hati dan pikirannya. Bahkan membuat keresahan muncul dalam lubuk hatinya terdalam. “Apa kau memikirkan Audrey, Xander?” tegur Serry dengan nada pelan namun tersirat menuntut Xander untuk menjawabnya.Xander terdiam sejenak mendengar pertanyaan Serry. Perlahan, laju mobil Xander diperlambat. Aura wajah dingin melekat. Sepasang iris mata cokelat Xander berkilat memendung sebuah rasa yang bercampur. Marah, kesal, penyesalan, bersalah, semua telah melebur menjadi satu.“Aku dan Audrey dulunya adalah sepasang suami istri. Kalau sekarang kami kembali bertemu, pasti aku memikirkan kabarnya. Selain itu Audrey dan aku tumbuh besar bersama. Jadi hal normal kalau aku memikirkannya,” tukas Xander menegaskan dan penuh penekanan.Se
Cuaca pagi hari begitu dingin akibat salju turun cukup lebat. Jendela apartemen Audrey telah mengumpul salju di sana. Biasanya jika di Jepang, Audrey akan bermain bola salju dengan putra kesayangannya. Namun, kali ini Audrey harus menahan diri tak bermain dengan putranya. Setelah semua pekerjaan selesai di Roma, maka Audrey akan segera kembali ke Jepang.“Audrey! Astaga gawat, Audrey! Matilah aku!” Dakota menerobos kamar Audrey dengan wajah yang begitu cemas dan takut.“Ada apa, Dakota? Kenapa kau berteriak-teriak seperti orang hutan?” Audrey menatap dingin Dakota yang berteriak-teriak tidak jelas.Dakota menggigit kukunya seraya mondar-mandir tidak jelas di hadapan Audrey. Terlihat raut wajah Dakota begitu panik dan cemas. “Audrey, aku baru saja dimarahi Paman Athes. Astaga, Paman Athes tampan kenapa galak sekali? Bagaimana ini, Audrey? Paman Athes marah padaku.”“Ayahku marah padamu? Kenapa, Dakota? Memangnya kau berbuat salah apa sampai ayahku marah padamu?” Kening Audrey mengerut,
Audrey menatap bingung sekaligus sedikit terkejut kala Xander membawanya ke sebuah penthouse asing. Penthouse ini belum pernah Audrey datangi sebelumnya. Pun, Audrey tak mungkin lupa penthouse pribadi milik Xander.Benak Audrey mulai menerka-nerka, mungkin saja penthouse ini adalah penthouse baru Xander. Itu yang ada di dalam benak Audrey. Tak mungkin Xander membawanya ke apartemen yang dulu mereka tempati. Pasti Serry sudah tinggal di apartemen milik Xander itu.“Xander, kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Audrey dingin dan sorot mata lekat serta penuh tuntutan pada Xander.“Ini penthouse baruku. Aku tinggal di sini sekarang.” Xander membawa Audrey duduk di sofa, lalu pria itu meminta pelayan membawakan kotak obat.“Tinggal di sini? Kenapa kau pindah?” Raut wajah Audrey berubah mendengar ucapan Xander. Manik mata abu-abu Audrey memancarkan jelas rasa penasarannya.“Karena aku ingin tinggal di sini. Aku ingin mencari suasana baru,” jawab Xander memberitahu seraya menatap hangat Audre
“Aku tidak tinggal dengan Serry. Aku tinggal di sini sendiri. Alasan aku pindah dari apartemen kita ke penthouse ini karena aku ingin tenang. Aku tidak ingin diganggu siapa pun. Hidupku benar-benar merasa kosong saat kau pergi, Audrey,” jawab Xander seraya menatap dalam manik mata abu-abu Audrey.Audrey terdiam mendengar semua kata-kata Xander. Audrey tak mengira kalau ternyata Xander tidak tinggal dengan Serry. “Aku pergi semua karena keinginanmu, Xander. Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”Xander memejamkan matanya. “Tapi kenyataannya, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Semua yang kau pikirkan salah, Audrey.”Mata Audrey nyaris berkaca-kaca. Buru-buru, Audrey segera menyeka air matanya. Audrey tak mau sampai Xander melihatnya menangis. “Aku harus pulang sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini.”Audrey bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba tubuh Audrey berputar kala Xander menarik tangannya cukup keras. Refleks, Audrey terkejut bahkan dirinya tak bis
Audrey duduk di sofa kamar apartemennya seraya memeluk lututnya. Derai air mata Audrey tak henti berlinang membayangkan kejadian tadi, kejadian di mana Xander bersikap egois bahkan bertindak sesukanya.Ingatan Audrey pun seakan tergali akan masa lalunya. Masa lalu yang telah menghancurkannya. Bertahan di tengah luka hatinya bukanlah hal yang mudah. Rasa sakit yang Audrey alami lebih dari dirinya mendapatkan ribuan luka tusuk.Audrey tak pernah mengira kalau Xander akan terus mengusik hidupnya. Tujuan Audrey berada di Roma hanya karena ingin membantu Dakota menyelesaikan masalah pekerjaan. Tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran Audrey untuk kembali melihat Xander. Audrey menyadari rasa cintanya pada Xander sangatlah kuat. Namun, cinta itu telah terselimuti rasa marah, kecewa, dan benci.“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Xander? Bukankah aku sudah menuruti keinginanmu?” Bahu Audrey bergetar akibat tangisnya yang begitu pilu. Audrey terisak pelan. Sungguh, Audrey membenci dirinya
“Audrey, hari ini kau akan menemui kedua orang tuamu, kan?” Dakota bertanya seraya duduk di samping Audrey yang tengah menikmati sarapan. Wanita itu pun mengambil sandwich tuna yang ada di atas meja, dan memakannya perlahan. Seperti biasa, Dakota dan Audrey sarapan di kamar. Mereka berdua memang kurang menyukai sarapan di ruang makan. Hanya terkadang saja mereka akan sarapan di ruang makan.“Iya, hari ini aku akan menemui keluargaku, Dakota,” jawab Audrey pelan. “Jadwalmu hari ini apa, Dakota? Apa kau sibuk?” tanyanya ingin tahu.“Seperti biasa, aku bekerja dan bekerja. Sangat membosankan. Padahal aku sudah ingin sekali berlibur, tapi ayahku masih belum mengizinkanku berlibur. Lihat saja kalau aku sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik, aku akan berlibur satu bulan. Aku ingin berjalan-jalan menikmati kehidupanku,” balas Dakota dengan senyuman di wajahnya.Benak Dakota saat ini hanya memikirkan tentang liburan. Dulu memang Dakota terkenal dengan hobby berlibur ke berbagai n
Waktu menunjukan pukul empat sore. Audrey tengah melajukan mobilnya. Audrey sudah pulang dari rumah kedua orang tuanya. Tadi, Audrey menikmati waktu bersama dengan kedua orang tuanya serta Frank. Tak banyak percakapan yang terjalin antara dirinya dan Frank. Hanya sesekali Frank menanyakan hobby Audrey. Frank dan ayahnya lebih banyak membahas tentang pekerjaan.Namun, sialnya di tengah-tengah obrolan pekerjaan, ayahnya itu meminta Audrey untuk membantu project baru ayahnya yang bekerja sama dengan Ewald Group. Audrey tahu ayahnya tidak memaksa tapi tetap saja ayahnya sekaan meminta dirinya untuk lebih sering bertemu dengan Frank Ewald. Yang Audrey harapkan adalah semoga dirinya tak lagi bertemu dengan Serry. Setiap kali melihat Serry hati Audrey selalu merasa seperti lukanya disiram oleh alkohol. Begitu perih dan menyakitkan.Mobil yang dilajukan Audrey mulai memasuki kediaman keluarga Foster. Ya, Audrey menuruti keinginan orang tuanya yang meminta dirinya untuk bertemu dengan Marco da
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k