Suara detuman musik memekak telinga. Sebuah klub malam terkenal di Roma itu menjadi tempat di mana para pengusaha, model, dan artis berkumpul menikmati indahnya hiburan dunia malam. Klub malam yang sering dijumpai banyak orang dari kalangan atas itu kerap menjadi tempat one night stand bagi para pria dan wanita yang bosan dengan pasangan mereka.
Aroma tembakau bercampur dengan anggur mahal serta suara dentingan gelas sloki memenuhi klub malam ini. Terlihat seorang wanita cantik duduk dengan anggun menikmati minumannya di salah satu tempat khusus tamu VIP. Tamu yang siap merogoh kocek tidak sedikit hanya untuk membuka table di tempat khusus para tamu VIP.
“Xander kau menyebalkan!” Audrey menegak vodka di tangannya hingga tandas. Entah sudah berapa kali dia minum vodka itu. Benak Audrey begitu kacau. Xander—sang tunangan terus ingin menunda pernikahan mereka. Terlebih perkataan Xander kemarin sangat menusuk hati Audrey. Kata-kata yang sering sekali Xander ucapkan tapi selalu diabaikan olehnya.
Tampak tatapan semua pria terus tertuju pada Audrey yang duduk sendiran. Gaun panjang berwarna merah, dengan belahan dada yang tinggi membuat Audrey sangat memukau. Penampilan yang menawan. Paras cantik. Rambut pirang terjuntai indah. Audrey bak sosok putri raja yang berada di tengah-tengah klub malam.
“Nona, Anda sudah mabuk. Apa Anda bersama dengan sopir?” Seorang pelayan bertanya dengan sopan pada Audrey.
“Aku tidak mabuk. Kau tidak usah mengurusiku. Aku mampu mengurus diriku sendiri. Sekarang pergilah,” ucap Audrey yang sengaja mengusir pelayan itu. Pun sang pelayan tak berani mengganggu Audrey. Pelayan itu segera pamit undur diri dari hadapan Audrey.
Audrey mengambil ponselnya. Tatapan wanita itu terlalih pada fotonya dengan Xander yang ada di layar ponselnya. Senyuman di wajahnya terlukis. Senyuman yang seperti menertawakan dirinya sendiri. Selama ini dirinya menginginkan Xander. Tapi tidak dengan pria itu. Lagi dan lagi sang tunangan selalu menolak dirinya. Lelah? Jelas iya! Audrey lelah. Namun, meski lelah Audrey tak akan pernah melepas Xander. Pria itu adalah cinta pertama dan Audrey ingin pria itu juga menjadi cinta terakhirnya.
Saat Audrey tengah memerhatikan fotonya dengan Xander; otak Audrey mendorongnya untuk mencari nomor Xander di kontak ponselnya, dan segera menghubungi sang tunangan. Namun, sayangnya tak ada jawaban. Seperti biasa Xander kerap mengabaikannya. Menjawab telepon darinya adalah hal yang tersulit. Sibuk dan sibuk. Itu yang akan selalu dikatakan oleh Xander. Ketika Audrey baru saja ingin menutup panggilan itu, tiba-tiba Audrey mendapatkan jawaban telepon.
“Hallo, Xander?” sapa Audrey setengah mabuk saat panggilan terhubung.
“Audrey, kau di klub malam?” seru Xander dari seberang sana yang tentunya menyadari kalau Audrey berada di klub malam.
“Xander, kau menyebalkan. Kenapa kau selalu saja menunda pernikahan kita?” racau Audrey. Wanita itu sudah berada di dalam pengaruh alkohol.
“Shit, Audrey! Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan menjemputmu.” Nada bicara Xander terdengar menggeram emosi kala tahu Audrey berada di klub malam.
Panggilan terputus. Audrey mengangkat bahunya tak acuh kala Xander lebih dulu memutuskan panggilan itu. Xander mau menjemputnya? Mustahil! Di jam seperti ini, tunangannya itu pasti sibuk dengan pekerjaannya. Audrey sudah sangat hafal dengan sifat Xander.
Audrey kembali menegak vodka-nya. Alkohol adalah obat di mana Audrey jauh lebih tenang. Khusus malam ini, Audrey sengaja mendatangi klub malam demi menghilangkan penat di kepalanya.
Malam semakin larut. Susana di klub malam itu semakin meriah. Jika semua orang berpasangan lain halnya dengan Audrey yang duduk di kursi seorang diri tanpa ada siapa pun yang menemaninya. Kosong. Audrey merasakan kekosongan hatinya. Sejak kejadian di pesta ulang tahunnya, Audrey merasa sangat terluka tapi sayangnya Audrey tak bisa mundur. Rasa cintanya begitu kuat pada Xander. Saat Audrey tengah menikmati minumannya, tiba-tiba tangan Audrey digeret paksa oleh tangan kokoh. Refleks, Audrey mendongakan kepalanya, menatap sang pemilik tangan kokoh itu. “Xander? It’s that you?” Audrey tersenyum dengan mata sayu menatap Xander lekat. Xander tak mengindahkan ucapan Audrey. Pria itu langsung menggendong tubuh Audrey layaknya karung beras—dan langsung membawa Audrey meninggalkan klub malam itu. “Xander! Turunkan aku! Kenapa kau menggendongku seperti ini? Kau membuat kepalaku pusing!” seru Audrey seraya memukul-mukul punggung Xander. Lagi. Xander tak mengindahkan ucapan Audrey. Pria itu te
Mata Audrey mengerjap beberapa kali ketika merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Audrey memijat pelan pelipisnya saat rasa sakit di kepalanya menyerang. Hingga ketika sakit di kepala Audrey mulai membaik, wanita itu membuka kedua matanya seraya mengendarkan pandangan ke sekitarnya—namun seketika raut wajah Audrey berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar nuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tak asing. Ditambah aroma parfume yang dia hafal menyeruak ke indra penciumannya. “Kenapa aku ada di apartemen Xander?” Audrey langsung menyadari bahwaa dirinya berada di apartemen pribadi Xander. Tentu Audrey tak akan mungkin lupa kamar di apartemen pribadi Xander. Tatanan kamar maskulin. Ranjang. Aroma parfume. Semua sangat Audrey hafal. Sesaat, Audrey terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa ada di apartemen Xander. Seingatnya tadi malam dirinya mendatangi klub malam akibat begitu frustrasi dengan sikap Xander yang selalu mengabaikannya. Pun Audrey mengingat diri
Xander mengembuskan napas kasar. Berusaha mengendalikan diri. Setiap kali bertemu dengan ayahnya tidak akan mungkin jika tidak berdebat. Ingin sekali Xander menghindar tapi Xander tahu dirinya tak mungkin bisa menghindar sekarang. Terlebih Audrey pun berada di sini. “Minta ayahku untuk tunggu. Aku akan segera menemuinya,” ucap Xander dingin dan raut wajah begitu terpaksa. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Xander dan Audrey. Xander mengalihkan pandangannya, menatap Audrey yang sejak tadi hanya diam namun menunjukan kemuraman di wajahnya. “Mandilah. Aku akan menemui ayahku.” Audrey mengangguk mematuhi ucapan Xander. Pun Audrey lelah berdebat dengan Xander. Karena perdebatannya akan selalu sama yaitu tentang sifat Xander yang begitu acuh padanya. *** Xander melangkahkan kakinya menuju ruangan di mana ayahnya berada. Tampak aura wajah Xander begitu dingin dan tegas serta tersirat menahan rasa kesalnya. Hingga
“Xander, apa Paman Marco sudah pulang?” Audrey melangkahkan kakinya keluar dari walk-in closet. Menatap Xander yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat tubuh Audrey sudah terbalut dress berwarna merah muda motif daun kecil yang membuat Audrey tampil begitu cantik. Rambut pirang Audrey terjuntai memukau.Mata abu-abunya cerah dan memesona. Bibir mewah mudanya telah dipoles oleh lip gloss. Meski tak memakai riasan tebal tapi Audrey tetaplah sangat cantik. Sekitar beberapa jam sebelum Audrey bangun tidur, Xander sudah meminta orangnya untuk membelikan pakaian untuk Audrey. Tak mungkin Audrey memakai gaun yang sama seperti yang dipakai di klub malam. “Sudah,” jawab Xander singkat dan raut wajah yang dingin. Audrey mendesah pelan. Raut wajahnya menunjukan kekecewannya mendengar Marco sudah pulang. “Padahal tadi aku ingin sekali menemui Paman Marco, Xander. Harusnya kau tadi bilang pada Paman Marco untuk menungguku sebentar. Aku ingin menyapa Paman Marco.” “Kau bisa menghubunginya
Sebuah restoran Perancis ternama di Roma menjadi tempat di mana Xander membawa Audrey untuk makan siang bersama. Kedua insan itu duduk di kursi meja makan di dekat jendela sesuai keinginan Audrey yang ingin melihat pemandangan indah di kota Roma. Pelayan mulai menghidangkan beberapa makanan khas Perancis dan minuman beralkohol. Tepat makanan sudah terhidang, Audrey lebih dulu menikmati makanan. Sedangkan Xander lebih memilih meminum whisky yang sudah pria itu pesan. “Xander, nanti aku ingin konsep pernikahan kita mewah seperti pernikahan putri raja. Ah, iya. Aku juga ingin gaun pengantinku nanti aku akan memesan di designer terbaik. Aku ingin pernikahan kita benar-benar sempurna, Xander,” seru Audrey dengan senyuman di wajahnya.Benak Audrey sudah membayangkan pernikahan seperti putri raja. Dekorasi yang indah dan mewah terngiang dalam benak Audrey. Amarah dan sakit hatinya akan perkataan Xander seolah lenyap kala mengingat dirinya dan Xander akan segera menikah. “Terserah kau atur
Langit begitu mendung. Sinar matahari telah tertutup oleh awan gelap. Meski hujan sebentar lagi turun, tapi tak menghentikan Audrey berdiri di depan restoran. Ya, Audrey menunggu Xander yang tadi berlari pergi meninggalkannya begitu saja.Sudah lebih dari dua jam Audrey menunggu sampai Xander kembali tapi nyatanya Xander tak kunjung kembali. Ribuan pesan dan telepon tak juga direspon oleh pria itu. Sungguh, Audrey mencemaskan Xander. Audrey takut terjadi sesuatu pada Xander.“Xander di mana? Kenapa dia tidak kembali juga?” gumam Audrey pelan dan resah. Tadi Xander begitu terburu-buru seperti ingin menemui seseorang. Tapi menemui siapa? Sejak tadi Xander bersama dirinya. Bahkan Xander pun sedang tidak menjawab panggilan telepon.Saat Audrey masih menunggu di depan restoran tiba-tiba suara gelegar petir terdengar. Refleks, Audrey terkejut. Audrey hendak masuk ke dalam restoran tapi semua terlambat karena hujan turun begitu deras membuat tubuh Audrey basah kuyub.Audrey sedikit panik kar
Xander melajukan mobil sport miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tampak raut wajah pria itu begitu dingin dan sorot mata begitu tajam. Jika saja Chad tak memberitahukan dirinya kalau Audrey sakit; maka sudah pasti Xander lupa kalau tadi siang dia meninggalkan Audrey di restoran. Kala itu pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok wanita yang mirip dengan wanita yang selalu ada di hati dan pikirannya.Mobil yang dilajukan Xander memasuki gedung apartemen di mana unit apartemen Audrey berada. Sebenarnya Audrey biasa tinggal bersama dengan keluarga. Hanya saja kalau di moment-moment tertentu Audrey memilih menginap di apartemen pribadi wanita itu.Xander turun dari mobil dan segera menuju unit apartemen di mana Audrey berada. Menjalin hubungan sejak lama dengan Audrey tentu Xander mengetahui segalanya tentang Audrey. Termasuk sifat bodoh dan naif wanita itu.Saat tiba di depan unit apartemen Audrey, Xander segera menekan password apartemen Audrey. Dan ketika pintu berhasil terbuka, Xa
Sudah tiga hari Audrey sakit dan tak melakukan aktivitas apa pun selain hanya istirahat di apartemen. Seluruh pekerjaan Audrey, terpaksa ditangani sepenuhnya oleh asistennya. Audrey memang memimpin salah satu perusahaan cabang milik keluarganya.Audrey memiliki dua adik laki-laki yang masih berusia sangat muda. Adik laki-laki Audrey nomor dua berusia 17 tahun dan adik laki-laki bungsu berusia 15 tahun. Kedua adik laki-lakinya masih terlalu muda. Jika saja kedua adik Audrey sudah tumbuh dewasa pasti Audrey akan sedikit bersantai mengurus perusahaan.Tiga hari ini, Audrey tak memberitahukan kedua orang tuanya kalau dirinya sakit. Pasalnya Audrey tak ingin membuat kedua orang tuanya mencemaskan dirinya. Karena Audrey tahu kalau saja kedua orang tuanya mengetahui dirinya sakit, maka pasti kedua orang tuanya akan panik. Meski sudah berusia 23 tahun tapi Audrey kerap diperilakukan seperti anak kecil. Mungkin itu juga alasan di mana Audrey terkadang bersikap kekanakan.Selama Audrey sakit Xa
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k