Langit begitu mendung. Sinar matahari telah tertutup oleh awan gelap. Meski hujan sebentar lagi turun, tapi tak menghentikan Audrey berdiri di depan restoran. Ya, Audrey menunggu Xander yang tadi berlari pergi meninggalkannya begitu saja.
Sudah lebih dari dua jam Audrey menunggu sampai Xander kembali tapi nyatanya Xander tak kunjung kembali. Ribuan pesan dan telepon tak juga direspon oleh pria itu. Sungguh, Audrey mencemaskan Xander. Audrey takut terjadi sesuatu pada Xander.
“Xander di mana? Kenapa dia tidak kembali juga?” gumam Audrey pelan dan resah. Tadi Xander begitu terburu-buru seperti ingin menemui seseorang. Tapi menemui siapa? Sejak tadi Xander bersama dirinya. Bahkan Xander pun sedang tidak menjawab panggilan telepon.
Saat Audrey masih menunggu di depan restoran tiba-tiba suara gelegar petir terdengar. Refleks, Audrey terkejut. Audrey hendak masuk ke dalam restoran tapi semua terlambat karena hujan turun begitu deras membuat tubuh Audrey basah kuyub.
Audrey sedikit panik karena tubuhnya basah kuyub. Ditambah dia pun tak membawa mobil. Audrey ke sini bersama dengan Xander. Tubuh Audrey sudah menggigil kedinginan. Bibirnya bergetar menahan dingin akibat terkena guyuran hujan.
Hatchiiii
Audrey bersin-bersin. Dinginnya air hujan telah menelusup ke dalam tubuhnya. Audrey ingin pergi meninggalkan tempat itu tapi Audrey takut kalau Xander mencarinya. Akan tetapi Audrey menyadari tak mungkin dia terus berada di sini terlebih tubuhnya sudah dalam keadaan basah kuyub.
“Lebih baik aku pulang saja,” ucap Audrey menahan rasa kesalnya. Detik selanjutnya, Audrey menuju ke halte, dan terpaksa Audrey menghentikan taksi. Audrey tak memiliki pilihan lain. Audrey terpaksa pulang menggunakan taksi. Bisa saja Audrey menelepon sopir untuk menjemputnya namun itu pasti akan memakan waktu untuk menunggu.
***
“Berengsek!” Xander mengumpat kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa apartemennya. Tampak raut wajah Xander begitu kacau. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Emosi terkumpul dalam dirinya seakan ingin meledak.
Sejenak, Xander berusaha untuk mengendalikan emosi. Xander memejamkan mata singkat. Wajahnya menunjukan raut wajah yang begitu frustrasi. Tadi siang Xander berusaha mengejar sosok wanita yang sangat mirip dengan sosok wanita yang Xander cari-cari selama ini. Akan tetapi sayangnya Xander tadi kehilangan jejak dan tak bisa menemukannya.
Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Xander mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk. Sebelum kembali ke apartemen, Xander meminta Chad—asistennya untuk datang.
“Tuan Xander,” sapa Chad sopan.
Xander membuka matanya, menatap dingin asistennya yang ada di hadapannya. “Kau sudah mencari tahu di mana Serry berada?” tanyanya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Xander meminta Chad untuk mencari keberadaan Serry—wanita yang sejak dulu ada di hati Xander. Namun, wanita itu juga yang menghilang dan menghindar darinya. Sejak dulu Xander sudah mencari keberadaan Serry. Namun kenyataannya Xander tak bisa menemukan Serry.
“Maaf, Tuan Xander. Saya sudah melihat list data pendatang di Roma tidak ada yang bernama Serry Ace. Saya yakin tadi pasti Anda salah melihat,” jawab Chad memberitahu Xander.
Xander mengembuskan napas kasar. Tujuh tahun sudah Xander mencari-cari keberadaan Serry. Namun tak ada satu pun petunjuk yang menunjukan keberadaan Serry.
Setiap kali mengingat moment di mana dirinya berpisah dengan Serry selalu membuat hati Xander sesak. Perpisahannya dengan Serry dikarenakan dirinya yang begitu pengecut terlalu lama bertindak dalam memperjuangkan hubungan mereka.
“Kau boleh pergi, Chad. Selesaikan pekerjaanmu yang lain,” ucap Xander dingin dan tegas.
“Maaf, Tuan Xander. Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ujar Chad dengan serius.
“Ada apa?” Xander menatap lekat Chad.
“Tadi di jalan saya tidak sengaja bertemu dengan Tina, asisten Nona Audrey. Tina sedang menuju apotek membeli obat. Tina mengatakan Nona Audrey sakit karena kehujanan,” jawab Chad yang langsung membuat Xander mengerutkan keningnya.
“Audrey sakit?” Xander terdiam beberapa saat. Ingatan Xander langsung mengingat tadi siang dirinya meninggalkan Audrey di restoran. Pun tadi sempat turun hujan. Apa Audrey menunggunya di luar sampai kehujanan? Shit! Bodoh! Xander mengumpati kebodohan Audrey kalau benar wanita itu rela menunggunya sampai kehujanan.
“Benar, Tuan. Nona Audrey sakit. Tapi beliau tidak mau diperiksa dokter. Itu kenapa Tina pergi ke apotek mencari obat untuk Nona Audrey,” jawab Chad melaporkan.
“Di mana Audrey sekarang?” tanya Xander dingin namun tersirat nada yang sedikit khawatir.
“Nona Audrey sekarang ada di apartemen pribadinya, Tuan,” jawab Chad lagi.
Tanpa banyak bicara, Xander menyambar jaket kulit dan kunci mobilnya—lalu pria itu berlari meninggalkan apartemennya, menuju parkiran mobil. Tak ada pilihan lain, Xander harus menemui Audrey. Xander tak mau disalahkan jika sampai terjadi sesuatu pada wanita bodoh itu. Jika saja Audrey tak menunggunya; maka Audrey tak akan sakit.
Xander melajukan mobil sport miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tampak raut wajah pria itu begitu dingin dan sorot mata begitu tajam. Jika saja Chad tak memberitahukan dirinya kalau Audrey sakit; maka sudah pasti Xander lupa kalau tadi siang dia meninggalkan Audrey di restoran. Kala itu pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok wanita yang mirip dengan wanita yang selalu ada di hati dan pikirannya.Mobil yang dilajukan Xander memasuki gedung apartemen di mana unit apartemen Audrey berada. Sebenarnya Audrey biasa tinggal bersama dengan keluarga. Hanya saja kalau di moment-moment tertentu Audrey memilih menginap di apartemen pribadi wanita itu.Xander turun dari mobil dan segera menuju unit apartemen di mana Audrey berada. Menjalin hubungan sejak lama dengan Audrey tentu Xander mengetahui segalanya tentang Audrey. Termasuk sifat bodoh dan naif wanita itu.Saat tiba di depan unit apartemen Audrey, Xander segera menekan password apartemen Audrey. Dan ketika pintu berhasil terbuka, Xa
Sudah tiga hari Audrey sakit dan tak melakukan aktivitas apa pun selain hanya istirahat di apartemen. Seluruh pekerjaan Audrey, terpaksa ditangani sepenuhnya oleh asistennya. Audrey memang memimpin salah satu perusahaan cabang milik keluarganya.Audrey memiliki dua adik laki-laki yang masih berusia sangat muda. Adik laki-laki Audrey nomor dua berusia 17 tahun dan adik laki-laki bungsu berusia 15 tahun. Kedua adik laki-lakinya masih terlalu muda. Jika saja kedua adik Audrey sudah tumbuh dewasa pasti Audrey akan sedikit bersantai mengurus perusahaan.Tiga hari ini, Audrey tak memberitahukan kedua orang tuanya kalau dirinya sakit. Pasalnya Audrey tak ingin membuat kedua orang tuanya mencemaskan dirinya. Karena Audrey tahu kalau saja kedua orang tuanya mengetahui dirinya sakit, maka pasti kedua orang tuanya akan panik. Meski sudah berusia 23 tahun tapi Audrey kerap diperilakukan seperti anak kecil. Mungkin itu juga alasan di mana Audrey terkadang bersikap kekanakan.Selama Audrey sakit Xa
Mobil yang membawa Xander dan Audrey telah memasuki gedung pencakar langit yang ada di Roma milik Forster Group. Xander dan Audrey bersamaan turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam perusahaan.beberapa staff yang ada di area lobby menyapa Xander dan Audrey dengan ramah. Pun Audrey membalas sapaan para staff dengan senyuman samar di wajahnya. Sedangkan Xander sama sekali tak merespon. Pria itu hanya memberikan wajah dingin seolah tak ingin ditegur.“Selamat pagi Tuan Xander, Nona Audrey,” sapa Chad—asisten Xander menyapa Xander dan Audrey yang baru saja keluar dari lift.“Hi, Chad. Apa kabar?” tanya Audrey ramah.“Saya baik, Nona. Bagiamana dengan Anda? Terakhir saya dengar Anda sedang kurang sehat,” ujar Chad ramah dan sopan.“Aku baik, Chad. Terima kasih sudah mencemaskanku.” Audrey memberikan senyuman hangat pada asisten tunangannya itu.“Chad, apa dokumen yang aku minta sudah kau siapkan?” tanya Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Saya sudah siapkan
“Xander, temanmu sudah pulang?” Audrey menatap Xander yang melangkah mendekat padanya. Satu harian ini Audrey berdiam diri di kamar pribadi Xander yang ada di ruang kerja tunangannya itu.Tak ada yang Audrey lakukan selain bermain sosial media, belanja online, ataupun membaca majalah. Semua Audrey lakukan demi menuruti permintaan Xander yang menginginkan dirinya untuk patuh selama ikut ke kantor tunangannya itu.“Sudah.” Xander menjawab dingin pertanyaan Audrey kala tiba di depan wanita itu.Audrey bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu memeluk erat Xander sambil berkata, “Aku tidak ingat temanmu yang bernama Dylan. Apa benar aku pernah bertemu dengannya?”“Dia yang melihatmu. Kau tidak pernah melihatnya,” jawab Xander lagi datar. Pria itu tak membalas pelukan Audrey. Pun tak menolak pelukan Audrey.“Ah, begitu.” Audrey menganggukan kepalanya dari dalam pelukan Xander. Lantas Audrey mengurai pelukannya sebentar dan bertanya ingin tahu, “Tadi Dylan ke sini karena memiliki bisnis de
Awan terang mulai menghilang tergantikan awan gelap. Jam dinding menunjukan pukul delapan malam. Xander sudah menyudahi semua pekerjaannya. Pria itu ingin segera kembali ke apartemennya namun ingatan Xander mengingat kalau Audrey berada di dalam kamarnya. Sejak tadi Audrey tak pernah mau pulang duluan. Terpaksa Xander harus ke kamar pribadinya—di mana Audrey berada.“Tuan Xander?” sapa Chad sopan di kala berpapasan dengan Xander yang ingin masuk ke dalam kamar.“Apa yang dilakukan Audrey?” tanya Xander dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Nona Audrey sudah tidur, Tuan,” jawab Chad memberi tahu.Xander mendecakan lidahnya. Dia meminta Audrey untuk pulang duluan tapi wanita itu tak mau. Tapi malah sekarang wanita itu tertidur. Shit! Menyusahkan saja! “Aku akan menemui Audrey,” ucap Xander dingin dan datar.“Baik, Tuan.” Chad mempersilahkan Xander untuk masuk ke dalam kamar.Xander segera masuk ke dalam kamar pribadinya. Chad pun langsung menundukan kepala kala Xander sudah pergi
Persiapan pernikahan Audrey dan Xander bisa dikatakan hampir seratus persen. Segala kebutuhan yang diperlukan sudah selesai. Mulai dari gedung, souvenir, dekorasi, gaun pengantin dan segalanya yang diperlukan dalam proses pernikahan telah diurus.Tentu Audrey tak mengurus pernikahannya sendiri. Keluarga besar Audrey dan keluarga besar Xander turut terlibat dalam proses persiapan pernikahan. Terlebih Audrey dan Xander sama-sama anak pertama di keluarga. Itu yang membuat persiapan pernikahan haruslah matang dan sempurna.Di awal sebelum persiapan pernikahan memang Athes dan Marco memang sudah meminta pernikahan Audrey dan Xander haruslah meriah. Bahkan tamu udangan yang hadir akan sangat banyak. Pun pernikahan Audrey dan Xander haruslah disorot oleh media.Well, sebenarnya Xander hanya menginginkan pernikahan yang sederhana tapi Athes dan Marco tak sependapat dengan keinginan Xander. Akhirnya Xander pun memilih mengalah dan membiarkan keluarganya serta keluarga Audrey yang mempersiapkan
Para pelayan mondar-mandir begitu sibuk mengantarkan segala kebutuhkan sang pengantin yang kini tengah dirias. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan Audrey. Hari di mana Audrey akan menikah dengan pria yang begitu dia cintai.Tak pernah Audrey sangka kalau hari ini akan terjadi dalam hidupnya. Mimpi yang selama ini Audrey impikan selangkah lagi akan terwujud. Dan hal itu yang membuat Audrey menunjukan wajah yang bahagia.“Perfect,” ucap sang make-up artist kala sudah merias wajah Audrey. “Anda sangat cantik, Nona. Mata Anda benar-benar indah. Oh astaga, wajah Anda mirip seperti boneka. Tuhan benar-benar memberikan kesempurnaan pada Anda.”Audrey tersenyum. “Terima kasih banyak. Ini juga karena berkat tanganmu.”“Tidak, Nona. Ini bukan hanya karena riasan wajah tapi karena memang Anda sangat cantik,” puji sang make-up artist. “Baiklah, Nona, mari saya bantu untuk menggantikan gaun pengantin Anda.”Audrey menganggukan kepalanya merespon ucapan sang make-up artist. Lantas
Jepretan kamera tersorot pada Audrey yang melangkah masuk ke dalam ballroom hotel bersama dengan Athes. Ribuan tamu undangan tak henti melihat penampilan Audrey yang begitu memukau layaknya seorang putri raja.Gaun pengantin yang tak terlalu terbuka tapi begitu menunjukan kelas. Tak bisa menampik sosok Audrey Russel selalu dikenal dengan sosok yang mahal. Para wartawan tampak sibuk mengambil gambar Audrey dan Athes yang tengah memasuki ballroom hotel. Pernikahan Xander dan Audrey memang sangat meriah dan mewah sesuati yang diinginkan oleh kedua keluarga besar mereka.Para keluarga sejak tadi pun menatap kagum dan memuja penampilan Audrey. Tak sedikit yang memuji penampilan Audrey hari ini. Diusia yang sudah 23 tahun tapi Audrey memiliki paras yang awet muda. Orang berpikir kalau Audrey belum sampai diusia 20 tahun. Wajah mirip boneka itu jarang memakai riasan tebal. Bahkan di hari penting pernikahan saja Audrey memakai riasan flawless namun malah membuat wanita itu semakin sangat can
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k