Jepretan kamera tersorot pada Audrey yang melangkah masuk ke dalam ballroom hotel bersama dengan Athes. Ribuan tamu undangan tak henti melihat penampilan Audrey yang begitu memukau layaknya seorang putri raja.Gaun pengantin yang tak terlalu terbuka tapi begitu menunjukan kelas. Tak bisa menampik sosok Audrey Russel selalu dikenal dengan sosok yang mahal. Para wartawan tampak sibuk mengambil gambar Audrey dan Athes yang tengah memasuki ballroom hotel. Pernikahan Xander dan Audrey memang sangat meriah dan mewah sesuati yang diinginkan oleh kedua keluarga besar mereka.Para keluarga sejak tadi pun menatap kagum dan memuja penampilan Audrey. Tak sedikit yang memuji penampilan Audrey hari ini. Diusia yang sudah 23 tahun tapi Audrey memiliki paras yang awet muda. Orang berpikir kalau Audrey belum sampai diusia 20 tahun. Wajah mirip boneka itu jarang memakai riasan tebal. Bahkan di hari penting pernikahan saja Audrey memakai riasan flawless namun malah membuat wanita itu semakin sangat can
Resepsi pernikahan Audrey dan Xander telah selesai. Audrey tampak sedikit kelelahan. Tentu saja karena begitu banyak para tamu undangan yang hadir. Xander mengundang beberapa teman terdekat di masa kuliah dan termasuk mengundang rekan bisnisnya. Pun Audrey mengundang teman-temannya dan juga rekan bisnisnya. Bisa dikatakan tamu yang paling banyak hadir adalah kerabat dari kedua orang tua Audrey dan Xander.Aroma ruangan musk bercampur dengan aroma rose menyeruak ke indra penciuman Audrey dan Xander—yang memasuki kamar pengantin mereka. Kamar pengantin yang begitu mewah, dan elegan.Nuansa gold kombinasi cokelat tua menyempurnakan kamar pengantin Audrey dan Xander. Taburan bunga mawah memenuhi lantai kamar pengantin. Tatanan lilin aromaterapi bercampur dengan pengharum ruangan meninggalkan aroma yang hangat dan menyejukan. Aroma itu tak menyengat melainkan membuat orang yang menciumnya begitu tenang.“Audrey, mandilah. Aku juga ingin mandi,” ucap Xander pada Audrey seraya melepaskan tux
“Audrey, kenapa kau memakai pakaian itu,” geram Xander menahan emosi tepatnya pria itu menahan hasratnya. Tak munafik, Xander adalah pria normal. Seks tidak memerlukan cinta.“Memangnya aku harus memakai apa? Bikini?” Audrey dengan berani duduk di pangkuan Xander. Melingkarkan tangannya ke leher Xander dan memberikan kecupan di bibir sang suami.“Audrey. Tidurlah, ini sudah malam.” Xander hendak menurunkan tubuh Audrey yang duduk di pangkuannya. Namun alih-alih menurut malah Audrey semakin menekan dadanya menempel pada dada Xander.“Aku belum mau tidur sekarang, Xander.” Audrey membawa tangan Xander, dan meletakannya ke dadanya. “Touch me, Xander, please,” bisiknya sensual.‘Shit!’ Xander mengumpat dalam hati kala Audrey menggodanya. Tanpa sadar, Xander pun memberikan remasan di payudara Audrey.“Audrey, jangan melakukan hal yang akan kau sesali nanti.” Xander ingin menjauhkan tangannya dari payudara Audrey, namun Audrey menahan tangan Xander.“Aku tidak akan pernah menyesalinya, Xand
Xander menyesap vodka di tangannya. Waktu menunjukan pukul lima pagi. Di luar masih gelap. Xander terbangun dikala dirinya memimpikan satu sosok wanita yang dia selama ini rindukan. Sayang semua itu hanyalah mimpi. Bukan kenyataan.Xander tahu wanita itu telah pergi dan tak mungkin kembali padanya. Sampai detik ini, takdir tak pernah mempertemukannya pada sosok wanita yang dia rindukan. Semua mengartikan mungkin memang dirinya tak bisa bersatu dengan sosok wanita yang selalu ada di pikiran dan hatinya.Xander mengembuskan napas panjang. Tatapan Xander teralih pada Audrey yang tertidur pulas di ranjang tanpa sehelai benang pun di tubuh Audrey. Hanya selimut tebal yang membungkus tubuh Audrey.Xander memejamkan mata singkat. Benak Xander memikirkan apa yang terjadi tadi. Pria itu tak pernah mengira kalau dia lepas kendali. Padahal sejak awal Xander berusaha menahan diri.Sebagai pria normal rasanya sulit untuk mengendalikan diri. Xander tak menampik kalau Audrey memang sangat cantik dan
Jam dinding menunjukan pukul sepuluh pagi. Setelah selesai mandi, kini Audrey menikmati sarapan di kamar bersama dengan Xander. Hotel mewah yang menjadi tempat di mana Audrey dan Xander mengadakan resepsi pernikahan adalah hotel mewah milik keluarga Audrey dari sisi sang ibu.Saat resepsi pernikahan Audrey dan Xander berakhir, seluruh keluarga besar Audrey dan Xander pulang ke rumah mereka. Tak ada satu pun yang menginap di hotel demi membuat Audrey dan Xander merasa nyaman tak ada yang membuntuti. “Xander, nanti kita tinggal di mana?” tanya Audrey seraya menikmati sarapannya.“Setelah kita sarapan, kita akan ke apartemen baru. Aku sudah meminta orangku membeli apartemen yang lebih besar untuk kita,” jawab Xander datar.“Apa kita tinggal di penthouse?”“Aku juga sudah membeli penthouse dan mansion tapi sekarang lebih baik kita tinggal di apartemen biasa saja. Kita juga baru menikah. Mungkin tiga bulan atau enam bulan lagi kau bisa tentukan ingin kita tinggal di penthouse atau di mans
“X-Xander?”Tubuh Xander membeku menatap mata cokelat wanita yang berdiri di hadapannya. Sesaat, Xander dan wanita itu saling bertatapan begitu dalam seperti tersesat di dalam hutan dan tak bisa kembali.Mereka seolah lupa kalau di tempat itu tak hanya mereka berdua saja. Pun Xander benar-benar lupa kalau Audrey sejak tadi memeluknya. Tatapan Xander mengisyaratkan kalau dunia pria itu hanya tertuju pada sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya.“Apa kalian saling mengenal?” tanya Audrey yang sukses membuat Xander dan sosok wanita di hadapan Xander menghentikan tatapan itu. Terlihat jelas sang wanita menjadi salah tingkah.Ya, Audrey mendengar saat wanita di hadapannya itu memanggil nama ‘Xander’, namun sayangnya Audrey tak mengenali wanita di hadapannya itu. Audrey berusaha mengingat tapi tetap juga tak mengenalinya.“Oh, maaf. Aku hanya terkejut teman semasa kuliahku,” ucap wanita itu dengan tenang dan memalingkan pandangannya tak mau melihat Xander.“Teman semasa kuliah?” Keni
“Xander, ayo kita masuk ke dalam apartemen kita. Aku lelah, Xander. Aku ingin istirahat,” ucap Audrey manja, tak sabar ingin masuk ke dalam apartemennya.“Ya,” jawab Xander singkat seraya mulai menjauhkan tatapannya dari unit apartemen Serry. Pria itu membawa Audrey masuk ke dalam apartemen baru yang sudah dia beli. Hati dan pikiran Xander begitu berkecamuk tak menentu.Saat tiba di apartemen baru, Xander membawa Audrey masuk ke dalam kamar mereka. Kamar yang bernuansa abu-abu dipadukan dengan silver sukses menjadikan kamar itu sangat berkelas dan mewah. Kamar berukuran besar dan telah didesign rapi.“Audrey, kau istirahatlah. Aku harus memeriksa pekerjaanku,” kata Xander dingin.“Memangnya kau tidak libur? Bukankah kita baru saja menikah? Kenapa tidak ambil cuti satu atau dua hari?” ujar Audrey dengan bibir tertekuk. Padahal kemarin baru saja mereka menikah. Tapi kenapa Xander malah langsung bekerja?“Ada dokumen yang harus aku periksa, Audrey. Mengertilah,” jawab Xander dingin dan t
“I found you, Serry.” Xander berbisik serak tepat di depan bibir Serry. Pria itu menekan tubuh Serry agar tak bisa berontak. Manik mata cokelat Xander bertemu dengan manik mata cokelat Serry. Xander pun melihat kemerahan di mata Serry. Xander yakin kalau tadi Serry menangis.Senyuman patah di wajah Serry terlukis kala mendengar apa yang Xander katakan. Senyuman yang tak sempurna menunjukan kerapuhan dan luka mendalam. “Pergilah, Xander. Istrimu menunggumu. Aku tidak mau mengganggu suami orang,” ucapnya lirih menahan air mata yang nyaris keluar.Xander mengembuskan napas kasar. Perlahan Xander melepaskan Serry dari kungkungannya. “Ke mana saja kau, Serry? Aku nyaris gila mencarimu!” serunya dengan nada tinggi.Xander tak mengindahkan ucapan Serry yang memintanya untuk pergi. Selama ini pria itu tak pernah lelah mencari keberadaan Serry, dan sekarang dirinya dipertemukan dengan Serry dalam keadaan yang begitu rumit.“Untuk apa kau mencariku, Xander? Aku tanya padamu, untuk apa lagi? Buk
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k