“I found you, Serry.” Xander berbisik serak tepat di depan bibir Serry. Pria itu menekan tubuh Serry agar tak bisa berontak. Manik mata cokelat Xander bertemu dengan manik mata cokelat Serry. Xander pun melihat kemerahan di mata Serry. Xander yakin kalau tadi Serry menangis.Senyuman patah di wajah Serry terlukis kala mendengar apa yang Xander katakan. Senyuman yang tak sempurna menunjukan kerapuhan dan luka mendalam. “Pergilah, Xander. Istrimu menunggumu. Aku tidak mau mengganggu suami orang,” ucapnya lirih menahan air mata yang nyaris keluar.Xander mengembuskan napas kasar. Perlahan Xander melepaskan Serry dari kungkungannya. “Ke mana saja kau, Serry? Aku nyaris gila mencarimu!” serunya dengan nada tinggi.Xander tak mengindahkan ucapan Serry yang memintanya untuk pergi. Selama ini pria itu tak pernah lelah mencari keberadaan Serry, dan sekarang dirinya dipertemukan dengan Serry dalam keadaan yang begitu rumit.“Untuk apa kau mencariku, Xander? Aku tanya padamu, untuk apa lagi? Buk
Xander nyaris tak mampu berkata-kata di kala rasa bersalah menyelimutinya, namun dia tak mungkin hanya diam saja. Jika dulu dirinya pernah kehilangan Serry, sekarang dirinya tak akan membiarkan sosok wanita yang dia cintai kembali pergi.“Kau salah, Serry. Siapa yang mengatakan kita tidak bisa bersama? Bukankah dulu sebelum kau meninggalkanku; kau mengatakan kalau kita bertemu lagi artinya memang kita ditakdirkan bersama?”Xander membalikan ucapan Serry. Tak mungkin Xander lupa kata-kata Serry yang pernah mengatakan kalau mereka kembali bertemu; maka artinya takdir memang mendukung hubungan mereka.“Itu tidak berlaku lagi! Kau telah memiliki istri, Xander! Kalau saja kau belum menikah dengan Audrey, maka kata-kataku akan tetap berlaku! Sekarang kondisinya sudah berubah!” seru Serry dengan air mata yang kembali berlinang. Nadanya bergetar pilu. Ingatannya terus teringat di kala Xander memperkenalkan Audrey sebagai istrinya. Hancur hatinya tak bisa lagi tertahankan.“Aku tidak peduli de
Mata Audrey mengerjap beberapa kali dan menggeliat kala dia telah terbangun dari tidurnya. Perlahan, Audrey mengalihkan pandangannya—ke arah jam dinding—waktu menunjukan pukul empat sore. Tampak mata Audrey melebar melihat sudah jam empat sore. Astaga! Audrey tertidur lama sekali.“Ck! Kenapa aku tidur siang kenapa sampai lama sekali?” Audrey bergumam kesal pada diri sendiri. Lantas, Audrey menoleh ke samping—melihat ke ranjang di mana seharusnya Xander berada.Namun, sayangnya Audrey harus menelan kekecewaan kala tak ada Xander di sampingnya. Padahal seharusnya, Xander ada di sisinya. Sebelum Audrey tidur siang, wanita itu sudah berpesan pada Xander untuk segera menyusulnya. Tapi kenapa Xander sampai detik ini belum juga menyusulnya?Audrey mengembuskan napas panjang. Wanita itu menyibak selimut, dan turun dari ranjang. Mungkin Xander memiliki banyak pekerjaan. Itu yang ada dalam benak wanita itu.Audrey melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Audrey hendak menuju dapur untuk mengamb
Audrey tiba di depan pintu apartemen Serry, wanita itu memencet bell. Raut wajah nya terlihat senang. Selama ini memang Audrey tak terlalu memiliki banyak teman dekat. Sejak kecil memang ruang pertemanan Audrey dibatasi.Hanya beberapa orang yang bisa dekat dengannya. Lebih tepatnya Audrey paling dekat dengan sepupunya sendiri. Jadi kalau Audrey memiliki teman baru tentu saja Audrey akan sangat senang.Ceklek! Pintu apartemen Serry terbuka. Refleks, Serry terkejut kala melihat Audrey di hadapannya. Tubuh Serry membeku. Raut wajah Serry begitu memucat seperti tengah bertemu dengan seseorang yang telah dia sakiti.“A-Audrey? K-kau di sini?” Serry berusaha untuk bersikap biasa kala melihat Audrey.Audrey tersenyum. “Hi, Serry. Apa aku mengganggumu?”“Oh, tidak. Kau sama sekali tidak mengganggu. Ada apa, Audrey?” tanya Serry yang tak mengerti kenapa ada Audrey di hadapannya.“Aku ke sini karena ingin mengundangmu makan malam bersama. Apa kau bisa, Serry?” tanya Audrey dengan senyuman di
Keadaan ruang makan menjadi canggung, di kala Audrey mengajukan pertanyaan pada Serry. Sebuah pertanyaan, yang nampaknya sangat rumit untuk Serry jawab. Pun Xander yang ada di sana terkejut akan apa yang telah Serry tanyakan.“Pelan-pelan, Serry.” Audrey segera mengambil air putih untuk Serry.Serry menerima air putih itu dan meminumnya perlahan. “Terima kasih, Audrey.” Wanita itu meletakan kembali gelas yang masih berisikan setengah air putih ke atas meja. “Hm, maaf, tadi kau tanya apa, Audrey?” ujarnya pelan, berpura-pura tak mendengar akan apa yang telah Audrey tanyakan.“Aku bertanya apa kau sudah memiliki pasangan?” tanya Audrey lagi, seraya menatap Serry penuh kehangatan.“Belum, aku belum punya pasangan, Audrey.” Serry menjawab ucapan Audrey dengan nada pelan, dan membuat Xander menatap Serry lekat-lekat, seolah menunjukan Xander tak suka dari jawaban Serry.“Kau sangat cantik, Serry. Semoga kau mendapatkan pria yang terbaik dalam hidupmu,” balas Audrey hangat.Serry tersenyum
Audrey duduk di sofa kamar dengan raut wajah yang muram. Wanita itu baru saja mengantarkan Serry ke depan pintu apartemen bersama dengan Xander, namun Audrey lebih dulu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Xander—yang sekarang berada di ruang kerjanya karena menerima telepon dari asistennya.Audrey tampak terdiam. Pancaran mata abu-abu wanita itu begitu lemah memendung kesedihan yang mendalam. Dalam benak Audrey memikirkan kejadian tadi, kejadian di mana Audrey menumpahkan cake di baju Serry dan Xander begitu peduli pada Serry. Sungguh, hati Audrey sangat sakit dan sesak. Bahkan tadi Xander sampai membentak dirinya.Audrey sudah berusaha menyingkirkan pikiran negative, tapi Audrey tak bisa dipungkiri Audrey cemburu karena Xander menunjukan peduliannya pada Serry. Kepedulian yang menunjukan melampui batas pertemanan.Tidak! Tidak mungkin! Audrey buru-buru menepis segala pikiran buruk yang menerpa benaknya saat ini. Sejak dulu Audrey sangat percaya pada Xander melebihi apa pun yang ada di
ByurrrrAudrey melompat ke dalam kolam renang. Wanita itu berenang dengan gaya bebas. Audrey begitu hebat dalam berenang. Beberapa gerakan dalam berenang dia kuasai. Cuaca pagi yang cerah, Audrey memilih untuk berenang. Air dingin yang menerpa kulitnya membuat Audrey terasa segar. Rasa penat dan lelah di tubuhnya seakan lenyap. Hingga ketika Audrey sudah puas berenang, wanita itu muncul di permukaan—lalu naik ke tepi kolam. Tepat disaat Audrey sudah naik ke tepi kolam, sudah ada satu pelayan yang memberikan handuk dan bathrobe untuk Audrey.“Terima kasih,” ucap Audrey kala sang pelayan memberikan handuk padanya. Wanita itu pun segera memakai bathrobe dan melilit rambutnya dengan handuk.“Nyonya, tadi Tuan Xander mencari Anda. Beliau juga baru selesai berolah raga,” ujar sang pelayan dengan sopan memberitahu tahu. Audrey.Audrey terdiam beberapa saat. Tadi pagi, Xander bangun lebih awal karena pria itu berolah raga. Sedangkan Audrey pun memilih untuk berenang. Bisa dikatakan pagi ini
Serry menghela napas pelan seraya meremas ponsel di tangannya. Tampak Serry sedikit gelisah. Sudah hampir sepuluh menit setelah Serry mengirimkan pesan untuk Xander, tapi malah Xander tak kunjung muncul. Padahal Serry berharap sekali kalau Xander langsung datang kala dirinya memberi pesan padannya.“Apa Xander tidak datang, ya?” gumam Serry gelisah.Serry mendecakan lidahnya pelan. Ada sesuatu hal menyelinap dalam hati dan pikirannya yang membuat wanita itu tak tenang. Sungguh, Serry merasa tak nyaman akan ini semua.Saat Serry tengah mondar-mandir gelisah; tiba-tiba Serry mendengar suara bell pintu apartemennya berbunyi. Refleks, Serry langsung berlari ke arah pintu dan membuka kenop pintu apartemennya itu.“Xander?” Seketika senyuman di wajah Serry terlukis melihat Xander tiba di hadapannya. Detik berikutnya, Serry menarik tangan Xander masuk ke dalam apartemennya, menutup pintu apartemen—dan langsung memeluk tubuh Xander begitu erat. Pun Xander membalas pelukan Serry tak kalah erat
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k