ByurrrrAudrey melompat ke dalam kolam renang. Wanita itu berenang dengan gaya bebas. Audrey begitu hebat dalam berenang. Beberapa gerakan dalam berenang dia kuasai. Cuaca pagi yang cerah, Audrey memilih untuk berenang. Air dingin yang menerpa kulitnya membuat Audrey terasa segar. Rasa penat dan lelah di tubuhnya seakan lenyap. Hingga ketika Audrey sudah puas berenang, wanita itu muncul di permukaan—lalu naik ke tepi kolam. Tepat disaat Audrey sudah naik ke tepi kolam, sudah ada satu pelayan yang memberikan handuk dan bathrobe untuk Audrey.“Terima kasih,” ucap Audrey kala sang pelayan memberikan handuk padanya. Wanita itu pun segera memakai bathrobe dan melilit rambutnya dengan handuk.“Nyonya, tadi Tuan Xander mencari Anda. Beliau juga baru selesai berolah raga,” ujar sang pelayan dengan sopan memberitahu tahu. Audrey.Audrey terdiam beberapa saat. Tadi pagi, Xander bangun lebih awal karena pria itu berolah raga. Sedangkan Audrey pun memilih untuk berenang. Bisa dikatakan pagi ini
Serry menghela napas pelan seraya meremas ponsel di tangannya. Tampak Serry sedikit gelisah. Sudah hampir sepuluh menit setelah Serry mengirimkan pesan untuk Xander, tapi malah Xander tak kunjung muncul. Padahal Serry berharap sekali kalau Xander langsung datang kala dirinya memberi pesan padannya.“Apa Xander tidak datang, ya?” gumam Serry gelisah.Serry mendecakan lidahnya pelan. Ada sesuatu hal menyelinap dalam hati dan pikirannya yang membuat wanita itu tak tenang. Sungguh, Serry merasa tak nyaman akan ini semua.Saat Serry tengah mondar-mandir gelisah; tiba-tiba Serry mendengar suara bell pintu apartemennya berbunyi. Refleks, Serry langsung berlari ke arah pintu dan membuka kenop pintu apartemennya itu.“Xander?” Seketika senyuman di wajah Serry terlukis melihat Xander tiba di hadapannya. Detik berikutnya, Serry menarik tangan Xander masuk ke dalam apartemennya, menutup pintu apartemen—dan langsung memeluk tubuh Xander begitu erat. Pun Xander membalas pelukan Serry tak kalah erat
Raut wajah Xander berubah kala membaca pesan masuk dari Dylan. Pancaran mata Xander menunjukan jelas kobaran kemarahan. Rahangnya mengetat. Sorot mata tajam menakutkan seperti ingin membunuh.“Berengsek!” umpat Xander kasar.“Xander, kau kenapa?” tanya Serry bingung melihat Xander yang begitu marah.Xander tak henti meloloskan umpatan kasar dalam hatinya. Xander tak mengerti kenapa bisa Dylan mengetahui alamat apartemen barunya. Padahal, belum ada satu pun yang tahu alamat apartemen barunya kecuali asistennya sendiri. Bahkan keluarganya ataupun keluarga Audrey belum juga tahu alamat apartemen terbarunya. Tapi kenapa Dylan bisa tahu?“Xander?” tegur Serry kala Xander hanya diam dan tak mengatakan sepatah kata pun padanya.“Serry, aku harus pergi sekarang. Ada hal penting yang harus aku kerjakan.” Xander berucap seraya mengecup kening Serry, namun Serry segera menahan lengan Xander.“Xander, jangan pergi,” pinta Serry yang tak rela Xander pergi.Xander membelai pipi Serry. “Maaf, aku ha
“Xander? Kau sudah pulang?” Audrey tersenyum kala melihat Xander mendekat padanya. Wajah polos Audrey menatap wajah Xander yang jelas menunjukan amarah tertahan. Sorot mata tajam Xander membuat Audrey menciut.Audrey tak mengerti ada apa dengan Xander yang baru saja pulang langsung memasang wajah marah padanya. Sedangkan Dylan yang berdiri di samping Audrey memasang wajah tanpa dosa. Karena memang Dylan merasa tidak bersalah sama sekali.“Kenapa kau tadi berpelukan dengan Dylan?” Xander tak basa-basi pada Dylan. Nadanya dingin penuh tuntutan. Pria itu langsung menegur Audrey, meminta penjelasan pada Audrey.Mendengar pertanyaan Xander membuat Audrey langsung mendekat, dan memeluk lengan suaminya itu, sambil berkata, “Tadi aku mau jatuh, Xander. Beruntung tadi Dylan menangkap tubuhku. Kalau tidak pasti aku akan jatuh.”Mata Xander menatap dingin dan tajam Dylan yang berdiri di hadapannya. Meski sudah mendengarkan penjelasan Audrey tetap saja amarah Xander masih membakar dirinya. Xander
Kening Audrey mengerut, tatapannya semakin menatap bingung Xander. “Aku bukan berpelukan dengan Dylan. Tadi itu aku tersandung dan hampir jatuh. Harusnya malah kau berterima kasih pada Dylan. Kalau saja Dylan tidak menangkap tubuhku pasti aku akan jatuh, Xander.” Audrey berusaha menjelaskan pada Xander.Napas Xander memburu. Menunjukan emosi yang tertahan. Benak Xander terus mengingat kala Dylan memeluk pinggang Audrey. Ditambah Audrey memakai dress tipis dan seksi. Membuat amarah dalam diri Xander terkumpul menjadi satu.“Xander, kau masih marah?” Audrey melangkahkan kakinya kian mendekat pada Xander. Namun, dikala baru saja Audrey tiba di depan Xander; Xander langsung menarik tengkuk leher Audrey, melumat dengan liar bibir Audrey. Refleks, Audrey terkejut kala Xander melumat bibirnya. Ciuman itu begitu agresif hingga membuat Audrey kewalahan.“Xander—” Audrey berusaha mengambil napas di sela-sela ciuman itu.“Kau harus dihukum, Audrey,” bisik Xander penuh ancaman tepat di depan bibi
Xander berdiri di balkon kamar seraya mengisap rokok, dan mengembuskan asap ke udara. Sorot mata lurus ke depan, dengan pikiran yang memikirkan jutaan hal. Tampak raut wajah Xander dingin dan tegas itu seperti kacau karena ada hal yang mengusik pikirannya.Xander menegak whisky-nya. Memejamkan mata singkat. Sungguh, Xander tak pernah mengira amarahnya telah melahap hingga lepas kendali menyentuh Audrey untuk kesekian kali. Xander tak mengerti kenapa dia sampai melampui batas seperti ini.Dinding pertahanan dibangun tinggi seolah runtuh dan tak tersisa. Xander menyadari dirinya tak bisa mengendalikan diri jika sudah berada di dekat Audrey. Ya, mungkin saja semua ini karena posisi Audrey adalah istri resminya. Itu kenapa Xander tak mampu mengendalikan diri.Xander menekan putung rokok ke asbak. Lantas pria itu berbalik, dan hendak masuk ke dalam kamar—di mana Audrey masih terlelap setelah pergulatan panas mereka. Saat Xander tiba di kamar, tatapan Xander melihat Audrey tertidur dengan
“Aw—” ringis Audrey perih kala tubuhnya ditangkap oleh Xander. Tampak Audrey sedikit malu kala tubuhnya ditangkap oleh Xander dalam keadaan telanjang tanpa memakai sehelai benang pun. Meski Xander sudah pernah melihat tubuhnya tapi tetap saja Audrey sedikit malu kalau dalam posisi seperti ini.“X-Xander—”“Masih sakit?” Xander merasa iba melihat Audrey yang meringis kesakitan.Audrey mengangguk lemah. “Iya, masih sakit.”Xander tak banyak bicara. Pria itu bangkit berdiri menggendong tubuh Audrey gaya bridal. Lantas Xander membawa Audrey masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Audrey hanya patuh kala Xander menggendongnya. Audrey melingkarkan tangannya di leher Xander dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.Saat tiba di dalam kamar mandi, Xander meletakan tubuh Audrey ke dalam jacuzzi. Pun pria itu membantu memberikan aroma sabun susu dicampur lavender di air. Aroma sabun yang kerap dipakai oleh Audrey ketika berendam.“Berendamlah. Aku akan menunggumu di luar.” Xander h
“Xander, jadi malam ini kita datang ke undangan jamuan makan malam perusahaan Dylan?” ujar Audrey bertanya pada Xander yang tengah minum kopi susu. Seperti biasa saat pagi menyapa, mereka sarapan bersama. Namun, mereka tak sarapan di ruang makan. Mereka sarapan di kamar sesuai keinginan Xander yang sedang malas makan di ruang makan.Xander meletakan cangkir yang berisikan kopi susu ke atas meja, lantas Xander menatap Audrey lekat. “Ya,” jawabnya dingin dan datar merespon ucapan Audrey.Audrey menganggukan kepalanya. “Untung aku memiliki stock gaun terbaru, Xander. Kalau saja aku tidak memiliki stock gaun terbaru, aku pasti pusing harus memakai gaun apa di pesta nanti malam.”“Kau selalu memiliki banyak gaun terbaru, Audrey. Bukankah ibuku dan ibumu nyaris setiap hari mengirimkanmu gaun terbaru?” Xander mendengkus kasar mendengar ucapan Audrey.Audrey meringis malu. Apa yang dikatakan oleh Xander adalah benar. Hampir setiap hari Audrey selalu mendapatkan kiriman gaun terbaru dari peran
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k