“Aw—” ringis Audrey perih kala tubuhnya ditangkap oleh Xander. Tampak Audrey sedikit malu kala tubuhnya ditangkap oleh Xander dalam keadaan telanjang tanpa memakai sehelai benang pun. Meski Xander sudah pernah melihat tubuhnya tapi tetap saja Audrey sedikit malu kalau dalam posisi seperti ini.“X-Xander—”“Masih sakit?” Xander merasa iba melihat Audrey yang meringis kesakitan.Audrey mengangguk lemah. “Iya, masih sakit.”Xander tak banyak bicara. Pria itu bangkit berdiri menggendong tubuh Audrey gaya bridal. Lantas Xander membawa Audrey masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Audrey hanya patuh kala Xander menggendongnya. Audrey melingkarkan tangannya di leher Xander dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.Saat tiba di dalam kamar mandi, Xander meletakan tubuh Audrey ke dalam jacuzzi. Pun pria itu membantu memberikan aroma sabun susu dicampur lavender di air. Aroma sabun yang kerap dipakai oleh Audrey ketika berendam.“Berendamlah. Aku akan menunggumu di luar.” Xander h
“Xander, jadi malam ini kita datang ke undangan jamuan makan malam perusahaan Dylan?” ujar Audrey bertanya pada Xander yang tengah minum kopi susu. Seperti biasa saat pagi menyapa, mereka sarapan bersama. Namun, mereka tak sarapan di ruang makan. Mereka sarapan di kamar sesuai keinginan Xander yang sedang malas makan di ruang makan.Xander meletakan cangkir yang berisikan kopi susu ke atas meja, lantas Xander menatap Audrey lekat. “Ya,” jawabnya dingin dan datar merespon ucapan Audrey.Audrey menganggukan kepalanya. “Untung aku memiliki stock gaun terbaru, Xander. Kalau saja aku tidak memiliki stock gaun terbaru, aku pasti pusing harus memakai gaun apa di pesta nanti malam.”“Kau selalu memiliki banyak gaun terbaru, Audrey. Bukankah ibuku dan ibumu nyaris setiap hari mengirimkanmu gaun terbaru?” Xander mendengkus kasar mendengar ucapan Audrey.Audrey meringis malu. Apa yang dikatakan oleh Xander adalah benar. Hampir setiap hari Audrey selalu mendapatkan kiriman gaun terbaru dari peran
“Xander! Lepaskan aku!” Serry berontak kala Xander menariknya masuk ke dalam ruang kerja pria itu.Xander mendorong tubuh Serry, membenturkan punggung Serry ke dinding. Menghimpit tubuh wanita itu hingga kesulitan bergerak. “Kenapa kau selalu saja tidak percaya padaku, Serry?” serunya menekankan.Serry nyaris tertawa kala mendengar ucapan Xander. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kau tidak membalas pesanku. Tidak juga mengangkat teleponku. Kemarin kau pergi begitu saja meninggalkanku. Apa yang kau lakukan dengan Audrey sampai-sampai kau sesibuk itu, Xander?” jawabnya menahan amarah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.“Serry, ini tidak seperti yang kau pikir.”“Lalu bagaimana, hah? Kapan kau akan menceraikan Audrey? Kapan, Xander? Kau bilang kau hanya mencintaiku. Tapi kenapa sulit sekali kau melepaskan Audrey?”Xander mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata singkat. “Serry, berikan aku waktu sebentar. Semua ini tidak mudah.”“Semua mudah kalau memang kau hanya mencintaiku. Le
“Audrey! Kau itu kenapa lama sekali? Ini sudah hampir jam 7, Audrey.” Suara Xander berseru meminta Audrey agar cepat. Sudah dua jam Audrey berias di kamar tapi belum juga Audrey muncul.Hal yang paling konyol adalah pesta undangan jamuan makan malam Dylan ada di jam 7 malam. Well, itu sama saja Audrey membuatnya datang terlambat. Padahal Xander paling benci kalau datang ke suatu pesta terlambat. Ini tak berlaku hanya pesta saja tapi memang Xander membenci orang yang tidak bisa datang tepat waktu di sebuah acara.Xander mendecakan lidahnya seraya melirik arloji yang ada di tangannya sekilas. Raut wajah Xander menunjukan jelas rasa kesal dan kemarahannya. Jika dalam lima menit Audrey belum juga muncul; maka Xander akan menarik Audrey keluar dari kamar. Tak peduli Audrey sudah selesai berias ataupun belum.Xander mengatur napasnya seraya memejamkan mata singkat. Jarum jam bergerak cepat menunjukan detik dan menit telah berganti. Hingga ketika, kesabaran Xander telah menipis—pria itu hend
“Anyway, Xander. Apa kau tahu Serry ada di Roma? Hari ini aku mengundang Serry datang ke pestaku. Aku sendiri terkejut saat tahu Serry ada di Roma,” ujar Dylan yang sontak membuat raut wajah Xander berubah.“Kau mengundang Serry?” ulang Xander memastikan.Dylan menganggukan kepalanya. “Ya, aku mengundang Serry. Kemarin, aku tidak sengaja bertemu dengan Serry di supermarket. Ternyata Serry ada di Roma. Jadi aku mengundangnya saja.”“Wah, Dylan! Aku lupa kalau kau juga teman kuliah Xander,” ujar Audrey riang. “Serry kan sekarang menjadi tetanggaku dan Xander, Dylan. Aku sampai lupa bertanya padamu tentang Serry.”“Serry tetangga kalian?” Kening Dylan mengerut, menatap terkejut Audrey.Audrey menganggukan kepalanya. “Iya, Serry tinggal di apartemen yang sama denganku dan Xander. Jarak apartemen Serry dan apartemen kami sangat dekat, Dylan. Oh, ya di mana Serry sekarang, Dylan? Aku tidak melihatnya.”Dylan terdiam beberapa saat tak langsung menjawab pertanyaan Audrey. Lantas, tatapan Dyla
Audrey berdiri di lobby hotel menunggu Xander datang. Jamuan makan malam telah berakhir namun entah kenapa Xander tak kunjung datang. Padahal sebelumnya, Xander sendiri yang bilang pada Audrey untuk menunggu.Audrey menghela napas dalam. Sejak tadi Audrey berdiri di lobby seraya memberikan senyuman pada tamu undangan yang satu persatu mulai pulang. Bisa dikatakan di lobby itu hanya ada beberapa tamu undangan yang diwawancarai oleh para wartawan.Audrey berdiri sedikit jauh dari para wartawan. Pasalnya, Audrey enggan jika harus diwawancarai dalam keadaan hati yang sedang tidak mood. Di hadapan publik, Audrey tetap dipaksa mengulas wajahnya dengan senyuman.Tentu alasannya karena Audrey tidak mau masuk ke dalam buku halaman depan gossip. Ditambah, tadi pun Xander menggendong Serry. Pasti Audrey yakin banyak wartawan yang akan memberitakan hal yang sembarangan.“Audrey? Kau masih di sini?” Dylan terkejut kala melihat Audrey berdiri di lobby hotel.“Iya, aku menunggu Xander,” jawab Audrey
Xander menatap cemas sang dokter yang tengah memeriksa keadaan Serry. Tampak jelas raut wajah Xander menunjukan kekhawatirannya di wajah pria itu. Sepasang iris mata cokelat gelap Xander memancarkan rasa khawatir. Kepanikan yang melanda Xander hingga membuat pria itu melupakan segalanya.Saat sang dokter sudah selesai memeriksa Serry, Xander melangkah mendekat pada sang dokter dengan memberikan tatapan menuntut. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya mendesak agar sang dokter menjawab.“Tuan, kondisi Nona Serry baik-baik saja. Tulangnya tidak ada yang patah. Kaki beliau sedikit bengkak karena terpeleset. Saya sudah memberikan resep obat untuk Nona Serry. Bengkak di kaki Nona Serry tidaklah para, Tuan. Pasti akan segera berangsur-angsur membaik,” jawab sang dokter memberitahu.“Kau yakin tidak ada yang serius di kaki Serry?” ulang Xander memastikan. Tatapan pria itu menunjukan bahwa dia ingin sang dokter memastikan kondisi Serry baik-baik saja.“Saya yakin, Tuan. Tidak ada luka serius di kak
“Audrey!” Xander masuk ke dalam apartemennya, dan langsung menuju kamar. Amarah begitu terlihat di wajah pria itu. Bahkan Xander tak memedulikan kala tadi para pelayan menyapanya. Yang Xander inginkan adalah bertemu dengan Audrey. Emosi dalam diri Xander seakan ingin meledak. Ditambah dia ingat bahwa Audrey diantar oleh pria lain.“Audrey!” Xander kembali berseru seraya mengendarkan pandangannya ke sekitar. Menatap kamarnya kosong tak ada Audrey. Padahal tadi Dylan mengatakan sudah mengantar Audrey pulang.“Audrey! Kau di mana!” Xander menelusuri kamarnya, mulai dari walk-in closet hingga ke seluruh ruangan yang ada di kamar megah itu. Namun, tiba-tiba gerak Xander terhenti melihat pintu kamar mandi terbuka.“Xander? Kau sudah pulang?” Audrey melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuh wanita itu hanya memakai bathrobe dan rambut yang dililit oleh handuk. Meski kecewa tapi Audrey tetap berusaha menutupi itu. Bahkan Audrey tetap memberikan senyuman pada sang suami.Xander menatap dingin A
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k