Mata Audrey mengerjap beberapa kali ketika merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Audrey memijat pelan pelipisnya saat rasa sakit di kepalanya menyerang. Hingga ketika sakit di kepala Audrey mulai membaik, wanita itu membuka kedua matanya seraya mengendarkan pandangan ke sekitarnya—namun seketika raut wajah Audrey berubah kala melihat dirinya berada di sebuah kamar nuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tak asing. Ditambah aroma parfume yang dia hafal menyeruak ke indra penciumannya.
“Kenapa aku ada di apartemen Xander?” Audrey langsung menyadari bahwaa dirinya berada di apartemen pribadi Xander. Tentu Audrey tak akan mungkin lupa kamar di apartemen pribadi Xander. Tatanan kamar maskulin. Ranjang. Aroma parfume. Semua sangat Audrey hafal.
Sesaat, Audrey terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa ada di apartemen Xander. Seingatnya tadi malam dirinya mendatangi klub malam akibat begitu frustrasi dengan sikap Xander yang selalu mengabaikannya.
Pun Audrey mengingat dirinya minum sangat banyak dan pastinya mabuk. Tapi kenapa sekarang bisa ada di apartemen Xander? Apa mungkin Xander menjemputnya di klub malam? Tidak. Itu sangat mustahil! Tidak mungkin Xander menjemputnya. Audrey sangat mengenal dengan baik tunangannya itu.
“Selamat pagi, Nona Audrey.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Audrey seraya membawakan nampan yang berisikan susu cokelat hangat. “Silahkan diminum, Nona. Saya membuatkan susu cokelat hangat untuk Anda.”
“Terima kasih.” Audrey menerima susu cokelat itu, dan meminumnya perlahan. Lalu ketika susu yang diberikan oleh pelayan telah habis, Audrey mengembalikan gelas itu pada sang pelayan sambil bertanya, “Di mana Xander? Kenapa aku tidak melihatnya?”
“Tuan Xander berada di ruang kerjanya, Nona. Beliau sedang memeriksa pekerjaannya. Mungkin sebentar lagi Tuan Xander akan ke sini,” jawab sang pelayan sopan.
Audrey menganggukan kepalanya. “Kau boleh pergi sekarang. Terima kasih sudah membuatkanku susu hangat.”
“Dengan senang hati, Nona Audrey. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.
Saat pelayan itu sudah pergi, Audrey menyibak selimut, turun dari ranjang dan hendak menuju kamar mandi. Namun gerak Audrey terhenti kala kenop pintu bergerak menandakan akan ada yang masuk ke dalam kamar.
Ceklek!
Pintu terbuka. Tampak senyuman samar di wajah Audrey terlukis melihat Xander melangkah masuk ke dalam kamar. Rasa sakit di hatinya seakan lenyap kala melihat Xander. Sejak dulu, Audrey memang tak pernah bisa marah lama dengan Xander. Berkali-kali diabaikan dan ditolak tetap saja tidak akan membuat cinta Audrey berkurang.
“Xander, tadi malam kau yang menjemputku?” Audrey melangkahkan kakinya mendekat pada Xander. Wanita itu menatap Xander dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.
“Bisakah kau satu kali saja tidak menyusahkan hidupku, Audrey? Kenapa kau pergi ke klub malam sendirian? Kalau terjadi sesuatu padamu maka aku yang akan disalahkan!” seru Xander meninggikan suaranya. Tatapan pria itu menatap Audrey begitu tajam.
Audrey sedikit menunduk. Harus Audrey akui dirinya lah yang bersalah karena pergi ke klub malam seorang diri. Rasa putus asa dan patah hati yang mendorong Audrey melampiaskan pergi ke klub malam.
Sebenarnya Audrey pun cukup sering mendatangi klub malam tapi biasanya Audrey akan bersama dengan sepupunya dan tentu dijaga dua pengawal yang menemeninya. Namun, tadi malam Audrey memutuskan melarikan diri beralasan pada kedua orang tuanya ingin mengerjakan pekerjaan di apartemen pribadinya.
“Aku pergi ke klub malam karena aku kesepian, Xander. Setelah pesta ulang tahunku, kau tidak pernah membalas pesanku,” ucap Audrey pelan dan raut wajah yang begitu muram.
Tak lagi terhitung berapa ratus kali Audrey mengirimkan pesan untuk Xander. Meski hati Audrey terluka dengan kata-kata Xander tetap saja Audrey mengirimkan pesan untuk sang tunangan. Tapi tak ada satu pun pesan yang dijawab oleh Xander.
“Aku sibuk,” jawab Xander dingin dan begitu acuh.
“Kau bisa membalas pesan dari asistenmu ataupun karyawanmu di kantor. Tapi kenapa kau satu kali saja tidak bisa membalas pesanku, Xander?” seru Audrey dengan wajah yang memerah menahan rasa kesal.
“Aku tidak mau bertengkar, Audrey! Berhenti bersikap kekanakan!” Xander menatap Audrey tajam dan penuh peringatan.
Mata Audrey memerah menahan air matanya agar tak tumpah. Setiap kali berdebat dengan Xander; maka Xander akan selalu mengatakan dirinya selalu kekanakan. “Aku tunanganmu, Xander. Aku bukan bersikap kekanakan tapi aku hanya ingin kau memberikan kabar padaku! Apa sulit bagimu untuk memberikan kabar padaku? Aku setiap hari selalu memberikan kabar padamu. Tapi kenapa kau tidak bisa melakukan apa yang seperti aku lakukan padamu?”
Xander memejamkan mata singkat. Berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Jangan meminta aku untuk melakukan hal yang sering kau lakukan. Kau jelas tahu, sejak dulu aku tidak pernah menginginkan itu. Berhenti mengharapkan sesuatu hal yang tidak mungkin!”
Audrey mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak dulu Audrey memiliki keyakin kalau sifat dingin dan kasar Xander adalah bentuk dari ungkapan perasaan pria itu padanya. Namun, setelah Audrey beranjak dewasa, Audrey merasakan kekosongan. Bahkan Audrey merasakan Xander tidak pernah benar-benar peduli padanya.
“Tuan Xander?” Seorang pelayan melangkah mendekat pada Xander. Refleks, Xander mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.
“Ada apa?” tanya Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi saya ke sini ingin memberitahu kalau Tuan Marco datang. Beliau sudah menunggu Anda di depan,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Xander berubah menjadi kesal.
‘Shit!’ Xander mengumpat dalam hati mendengar ayahnya datang. Sejak kejadian di pesta ulang tahun Audrey; Xander memang tidak pernah muncul di depan keluarganya. Tak hanya itu saja tapi Xander selalu menghindari kedua orang tuanya. Pasalnya setiap kali bertemu keluarganya, Xander akan selalu terpancing emosi.
Xander mengembuskan napas kasar. Berusaha mengendalikan diri. Setiap kali bertemu dengan ayahnya tidak akan mungkin jika tidak berdebat. Ingin sekali Xander menghindar tapi Xander tahu dirinya tak mungkin bisa menghindar sekarang. Terlebih Audrey pun berada di sini. “Minta ayahku untuk tunggu. Aku akan segera menemuinya,” ucap Xander dingin dan raut wajah begitu terpaksa. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Xander dan Audrey. Xander mengalihkan pandangannya, menatap Audrey yang sejak tadi hanya diam namun menunjukan kemuraman di wajahnya. “Mandilah. Aku akan menemui ayahku.” Audrey mengangguk mematuhi ucapan Xander. Pun Audrey lelah berdebat dengan Xander. Karena perdebatannya akan selalu sama yaitu tentang sifat Xander yang begitu acuh padanya. *** Xander melangkahkan kakinya menuju ruangan di mana ayahnya berada. Tampak aura wajah Xander begitu dingin dan tegas serta tersirat menahan rasa kesalnya. Hingga
“Xander, apa Paman Marco sudah pulang?” Audrey melangkahkan kakinya keluar dari walk-in closet. Menatap Xander yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat tubuh Audrey sudah terbalut dress berwarna merah muda motif daun kecil yang membuat Audrey tampil begitu cantik. Rambut pirang Audrey terjuntai memukau.Mata abu-abunya cerah dan memesona. Bibir mewah mudanya telah dipoles oleh lip gloss. Meski tak memakai riasan tebal tapi Audrey tetaplah sangat cantik. Sekitar beberapa jam sebelum Audrey bangun tidur, Xander sudah meminta orangnya untuk membelikan pakaian untuk Audrey. Tak mungkin Audrey memakai gaun yang sama seperti yang dipakai di klub malam. “Sudah,” jawab Xander singkat dan raut wajah yang dingin. Audrey mendesah pelan. Raut wajahnya menunjukan kekecewannya mendengar Marco sudah pulang. “Padahal tadi aku ingin sekali menemui Paman Marco, Xander. Harusnya kau tadi bilang pada Paman Marco untuk menungguku sebentar. Aku ingin menyapa Paman Marco.” “Kau bisa menghubunginya
Sebuah restoran Perancis ternama di Roma menjadi tempat di mana Xander membawa Audrey untuk makan siang bersama. Kedua insan itu duduk di kursi meja makan di dekat jendela sesuai keinginan Audrey yang ingin melihat pemandangan indah di kota Roma. Pelayan mulai menghidangkan beberapa makanan khas Perancis dan minuman beralkohol. Tepat makanan sudah terhidang, Audrey lebih dulu menikmati makanan. Sedangkan Xander lebih memilih meminum whisky yang sudah pria itu pesan. “Xander, nanti aku ingin konsep pernikahan kita mewah seperti pernikahan putri raja. Ah, iya. Aku juga ingin gaun pengantinku nanti aku akan memesan di designer terbaik. Aku ingin pernikahan kita benar-benar sempurna, Xander,” seru Audrey dengan senyuman di wajahnya.Benak Audrey sudah membayangkan pernikahan seperti putri raja. Dekorasi yang indah dan mewah terngiang dalam benak Audrey. Amarah dan sakit hatinya akan perkataan Xander seolah lenyap kala mengingat dirinya dan Xander akan segera menikah. “Terserah kau atur
Langit begitu mendung. Sinar matahari telah tertutup oleh awan gelap. Meski hujan sebentar lagi turun, tapi tak menghentikan Audrey berdiri di depan restoran. Ya, Audrey menunggu Xander yang tadi berlari pergi meninggalkannya begitu saja.Sudah lebih dari dua jam Audrey menunggu sampai Xander kembali tapi nyatanya Xander tak kunjung kembali. Ribuan pesan dan telepon tak juga direspon oleh pria itu. Sungguh, Audrey mencemaskan Xander. Audrey takut terjadi sesuatu pada Xander.“Xander di mana? Kenapa dia tidak kembali juga?” gumam Audrey pelan dan resah. Tadi Xander begitu terburu-buru seperti ingin menemui seseorang. Tapi menemui siapa? Sejak tadi Xander bersama dirinya. Bahkan Xander pun sedang tidak menjawab panggilan telepon.Saat Audrey masih menunggu di depan restoran tiba-tiba suara gelegar petir terdengar. Refleks, Audrey terkejut. Audrey hendak masuk ke dalam restoran tapi semua terlambat karena hujan turun begitu deras membuat tubuh Audrey basah kuyub.Audrey sedikit panik kar
Xander melajukan mobil sport miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tampak raut wajah pria itu begitu dingin dan sorot mata begitu tajam. Jika saja Chad tak memberitahukan dirinya kalau Audrey sakit; maka sudah pasti Xander lupa kalau tadi siang dia meninggalkan Audrey di restoran. Kala itu pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok wanita yang mirip dengan wanita yang selalu ada di hati dan pikirannya.Mobil yang dilajukan Xander memasuki gedung apartemen di mana unit apartemen Audrey berada. Sebenarnya Audrey biasa tinggal bersama dengan keluarga. Hanya saja kalau di moment-moment tertentu Audrey memilih menginap di apartemen pribadi wanita itu.Xander turun dari mobil dan segera menuju unit apartemen di mana Audrey berada. Menjalin hubungan sejak lama dengan Audrey tentu Xander mengetahui segalanya tentang Audrey. Termasuk sifat bodoh dan naif wanita itu.Saat tiba di depan unit apartemen Audrey, Xander segera menekan password apartemen Audrey. Dan ketika pintu berhasil terbuka, Xa
Sudah tiga hari Audrey sakit dan tak melakukan aktivitas apa pun selain hanya istirahat di apartemen. Seluruh pekerjaan Audrey, terpaksa ditangani sepenuhnya oleh asistennya. Audrey memang memimpin salah satu perusahaan cabang milik keluarganya.Audrey memiliki dua adik laki-laki yang masih berusia sangat muda. Adik laki-laki Audrey nomor dua berusia 17 tahun dan adik laki-laki bungsu berusia 15 tahun. Kedua adik laki-lakinya masih terlalu muda. Jika saja kedua adik Audrey sudah tumbuh dewasa pasti Audrey akan sedikit bersantai mengurus perusahaan.Tiga hari ini, Audrey tak memberitahukan kedua orang tuanya kalau dirinya sakit. Pasalnya Audrey tak ingin membuat kedua orang tuanya mencemaskan dirinya. Karena Audrey tahu kalau saja kedua orang tuanya mengetahui dirinya sakit, maka pasti kedua orang tuanya akan panik. Meski sudah berusia 23 tahun tapi Audrey kerap diperilakukan seperti anak kecil. Mungkin itu juga alasan di mana Audrey terkadang bersikap kekanakan.Selama Audrey sakit Xa
Mobil yang membawa Xander dan Audrey telah memasuki gedung pencakar langit yang ada di Roma milik Forster Group. Xander dan Audrey bersamaan turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam perusahaan.beberapa staff yang ada di area lobby menyapa Xander dan Audrey dengan ramah. Pun Audrey membalas sapaan para staff dengan senyuman samar di wajahnya. Sedangkan Xander sama sekali tak merespon. Pria itu hanya memberikan wajah dingin seolah tak ingin ditegur.“Selamat pagi Tuan Xander, Nona Audrey,” sapa Chad—asisten Xander menyapa Xander dan Audrey yang baru saja keluar dari lift.“Hi, Chad. Apa kabar?” tanya Audrey ramah.“Saya baik, Nona. Bagiamana dengan Anda? Terakhir saya dengar Anda sedang kurang sehat,” ujar Chad ramah dan sopan.“Aku baik, Chad. Terima kasih sudah mencemaskanku.” Audrey memberikan senyuman hangat pada asisten tunangannya itu.“Chad, apa dokumen yang aku minta sudah kau siapkan?” tanya Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Saya sudah siapkan
“Xander, temanmu sudah pulang?” Audrey menatap Xander yang melangkah mendekat padanya. Satu harian ini Audrey berdiam diri di kamar pribadi Xander yang ada di ruang kerja tunangannya itu.Tak ada yang Audrey lakukan selain bermain sosial media, belanja online, ataupun membaca majalah. Semua Audrey lakukan demi menuruti permintaan Xander yang menginginkan dirinya untuk patuh selama ikut ke kantor tunangannya itu.“Sudah.” Xander menjawab dingin pertanyaan Audrey kala tiba di depan wanita itu.Audrey bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu memeluk erat Xander sambil berkata, “Aku tidak ingat temanmu yang bernama Dylan. Apa benar aku pernah bertemu dengannya?”“Dia yang melihatmu. Kau tidak pernah melihatnya,” jawab Xander lagi datar. Pria itu tak membalas pelukan Audrey. Pun tak menolak pelukan Audrey.“Ah, begitu.” Audrey menganggukan kepalanya dari dalam pelukan Xander. Lantas Audrey mengurai pelukannya sebentar dan bertanya ingin tahu, “Tadi Dylan ke sini karena memiliki bisnis de
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k