Karina dan ketiga sahabatnya jalan bersama menuju Lemonade Cafe. Mereka hendak mengerjakan tugas sambil makan siang. Sebelumnya Karina mengirim pesan pada Mark, sebab bisa heboh kalau Mark khawatir. Bahkan Chenle sangat hapal bagaimana posesifnya Mark sebagai sahabat Karina.
"Sudah mengabari Mark?" tanya Chenle sambil membenarkan posisi duduknya. Mereka sudah tiba di Cafe.
Gadis itu mengangguk. "Sudah."
Isi pesannya;
Mark, aku ke Lemonade Cafe dengan yang lain.11.15 KST"Na, kau kenal dengan Jeno?" Ninging tiba-tiba memulai pembicaraan setelah mereka duduk.
Mengernyitkan dahi. "Ye? Ah, tidak kenal. Hanya tahu dari Mark. Kenapa?" sahutnya.
Ningning menggeleng sekali. "Tak apa-apa Na, hanya bertanya saja."
"Karena, kemarin saat kita berbincang di depan kelas, dia melihatmu terus," lanjutnya.
Sebenarnya Ningning sangat penasaran terhadap lelaki bernama Jeno itu. Tak sekali Ningning memergoki Jeno sedang memerhatikan Karina.
"Benarkah? Perasaanmu saja mungkin." Karina tak ingin ambil pusing.
Mengernyitkan dahi. "Mungkin," jawab Ningning sambil meneguk Americano Ice yang sudah ia pesan lebih dulu.
Ah benarkah? Kapan dia melihatnya? Batin Karina.
"Na, kenapa diam saja?" sentak Chenle.
"Hah?" Karina sedikit terkejut. "Ah, tidak apa-apa."
"Jadi bagaimana? Tugas mana yang harus dikumpulkan lebih dulu. Atau kita kumpulkan saja yang sudah selesai minggu lalu ya dan ..."
Mereka sibuk dengan tugas masing-masing dan kelompok. Tak jarang Karina dibuat kesal oleh Ningning yang selalu mengajukan saran asal. Atau Chenle ikut-ikutan dan sekongkol dengan Ningning. Bahkan Giselle tak banyak membantu juga. Tapi, Karina bersyukur memiliki mereka bertiga.
Ditengah asyiknya mereka mengerjakan tugas tiba-tiba ponsel Karina berdering.
"Yoboseyo."
"Ye? Aaah ne."
Ketiga sahabatnya menatap Karina yang langsung merapikan alat tulisnya. Lalu tak lama kemudian, gadis itu beranjak dari duduk. "Aku pergi sebentar ya."
"Mau kemana?" tanya Chenle. Bisa dibilang sebagai lelaki satu-satunya di antara mereka, Chenle yang paling protektif setelah Mark.
"Dipanggil Pak Chanyeol ke ruang dosen, ada data yang harus aku kumpulkan."
Karina menjinjing tas notebooknya. "Aku akan kembali kalau waktunya cukup. Sampai jumpa," ucapnya sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati," teriak Ningning.
"Jangan lewat jalan pintas deket Cafe," teriak Giselle setelah Karina agak jauh dari tempat mereka duduk. Sepertinya gadis itu tak mendengarnya.
Karina berhenti sebentar di pertigaan jalan. "Hm, ke mana ya?" Ia bingung harus melewati jalan mana agar cepat sampai ke kampus. "Ah, lewat sana saja."
Akhirnya gadis itu bergegas ke arah jalan pintas yang dekat dengan Cafe. Padahal tadi Giselle sudah memperingatkan jangan ambil jalan itu. Namun, Karina tak mendengarnya. Benar saja, terlihat tidak jauh dari tempatnya berdiri ada beberapa orang dengan pakaian seperti preman. Seketika Karina merutuki dirinya sendiri.
Karina yang melihat itu pun, hendak berbalik arah menghindari orang-orang tersebut. Tapi sebelum gadis itu melangkah, salah satu orang itu berlari dan hampir meraih lengannya. Tentu saja Karina merasa ketakutan.
Akhirnya ia berlari tanpa melihat arah. Tapi sialnya, orang-orang itu mengejarnya dan menyudutkan ia di ujung lorong tersebut. Karina tak bisa berkutik, ia pun sudah berteriak sekencang yang ia bisa. Tapi naas, tak ada satupun yang mendengarnya karena jalanan tersebut benar-benar sepi. Karina pun memejamkan mata dan terus meminta tolong.
Salah satu orang itu tak memedulikan Karina yang sudah sangat ketakutan. Orang itu malah memegang tangan Karina. Sontak membuat Karina merasa risih.
"Tolong lepaskan aku!" teriak Karina.
Gadis itu meronta-ronta meminta dilepaskan sambil terus memejamkan mata. Hingga tiba-tiba sedikit demi sedikit genggaman orang-orang itu terlepas. Karena penasaran, ia memberanikan diri untuk membuka matanya perlahan.
"Ya Tuhan!" pekik Karina sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Di depan Karina sudah ada seseorang yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya. Ya, ada Jeno yang sedang berkelahi dengan orang-orang jahat itu.
Jeno unggul dalam perkelahian tersebut, dan orang-orang jahat itu akhirnya pergi. Tapi karena lelaki itu berkelahi seorang diri, ia sedikit babak belur. Karina pun menjadi tak enak hati.
Sedangkan Jeno yang melihat Karina diam mematung di tempatnya berdiri, pun menghampiri gadis itu. Karina sedikit gemetar.
"Hai," ucap Jeno sambil melambaikan tangan di depan wajah gadis itu. Ia bingung ada apa dengan Karina. "Kau baik-baik saja?"
Karina akhirnya tersadar. "Hah?" Ia sedikit linglung. "Ah, aku tidak apa," lanjutnya lagi.
"Syukur lah," jawab Jeno, dan berbalik.
Sebelum Jeno melangkah jauh, Karina menghentikan langkah lelaki itu. Ia belum mengucapkan terima kasih dan menanyakan bagaimana keadaannya.
"Tunggu."
Jeno pun menoleh sambil menautkan kedua alis matanya. "Ada apa?" tanyanya karena Karina tak kunjung mengatakan apa-apa.
"Ah, itu. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?" tanya Karina sambil menunjuk ke arah pelipis Jeno. "Izinkan Aku mengobatinya. Sebagai tanda terima kasih."
"Tidak apa, aku akan ke Klinik kampus saja," jawab lelaki itu.
Karina menggeleng dua kali. Ia paling tidak bisa menerima bantuan tanpa balasan. Maksudnya Karina tak ingin ada hutang budi. "Ya sudah, biar aku saja yang mengobatinya di Klinik kampus, kebetulan aku juga ingin kembali ke sana. Ayo," ucapnya sambil tersenyum simpul.
Tanpa sadar, Karina meraih tangan Jeno dan membuatnya tertegun atas apa yang barusan gadis itu lakukan padanya. Namun detik berikutnya Karina sadar, ia pun menjauhkan jemarinya.
Ternyata tidak sedingin kata orang. Batin Jeno dan tersenyum.
***
"Terima kasih sudah menolongku," ucap Karina yang sedang mengobati luka Jeno. Gadis itu tak berani menatap kedua mata Jeno.
Jeno mengangguk. "Iya sama-sama. Omong-omong kau dari mana? Kenapa bisa lewat sana?" tanyanya.
Karina masih sibuk membersihkan luka Jeno. Sebenarnya ia enggan untuk membahas masalah tadi. Sebab ada sedikit trauma yang membekas di ingatan Karina dan sedang ia tahan untuk tidak menangis.
"Sshh," rintih Jeno.
Gadis itu terkesiap. "Ah, maaf kalau sedikit sakit."
Jeno menjawab dengan mengangguk.
"Menjawab pertanyaanmu, aku habis dari Lemonade Cafe. Aku ingin ambil jalan pintas tapi malah terjebak seperti itu tadi," jawabnya, lagi.
Karina sedikit menggigit bibir bawahnya mengingat kejadian tadi. Sungguh, ia membutuhkan Mark saat ini. Haruskah ia meninggalkan Jeno sekarang? Ia tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya pada orang lain.
Namun, Jeno yang melihat pun hanya tersenyum. Sangat menggemaskan. Batinnya.
"Hm, lain kali jangan lewat jalan itu. Memang banyak orang jahat berkeliaran di sana," ucap Jeno.
Karina mengangguk cepat. "Iya tidak akan. Aku beruntung sekali karena ada kau di sana."
Sekitar sepuluh menit akhirnya gadis itu selesai mengobati Jeno. Tiba-tiba ia teringat oleh Mark dan tadi sempat melihat balasan chat darinya, pasti lelaki itu khawatir.
Karina pun meraih ponselnya yang ada di dalam tas dan membuka aplikasi LINE.
Mark
| Dengan siapa?| Jangan sendirian(11.30)| Na
| Masih di Cafe?| Balas(14.35)| Kata Ningning, kau sudah kembali ke kampus
| Sekarang kau di mana?(14.58)Read| Na?
Maaf Mark baru balas |
Aku sudah di kampus |Lagi di klinik |(15.45)ReadPonsel Karina berdering, tentu saja itu dari Mark. Mau tak mau Karina meresponnya, tapi ia melirik sebentar ke arah Jeno.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa di Klinik? Hey, Karina jawab aku?!" Terdengar nada khawatir dari Mark.
"Aku baik-baik saja. Nanti aku ceritakan ya. kau ada di mana sekarang?"
Mark terlihat mondar-mandir. "Benar tidak apa? Aku susul ya? Aku di lobi deket kelasku."
"Tidak usah. Aku saja yang ke sana. Tunggu ya."
"Tapi Na —"
Belum selesai Mark berbicara, Karina sudah mengakhiri panggilannya.
Gadis itu menatap Jeno. "Terima kasih banyak..."
Jeno mengangguk, lalu ia mengulurkan satu tangannya. Rasanya tak enak kalau belum berkenalan resmi secara langsung.
"Lee Jeno imnida," ucapnya.
Sedikit ragu, akhirnya Karina menerima uluran tangan Jeno. "Aku, Karina Jung. Panggil saja Karina."
"Oke, terima kasih Karina-ssi sudah mengobatiku."
Karina mengangguk, lalu tersenyum samar. "Baiklah, aku duluan ya mau—"
"— bertemu Mark 'kan? Ya sudah, ayo jalan bersama. Aku sekelas dengannya," potong Jeno.
Gadis itu menggaruk tengkuknya lehernya yang tidak gatal. "Ah, itu—" ucapnya ragu-ragu.
"Kenapa? Kau tidak mau ya?"
Karina menggelengkan kepalanya sekali. "Bukan itu. Ah, baiklah." Jangan lupa dengan senyuman manis yang ia tunjukan kepada Jeno.
Jeno sedikit terkesima. Benar kata Jaemin, senyumnya menular. Batinnya dalam hati, dan secara tidak langsung ia ikut tersenyum.
"Aish! Aku tidak bisa diam saja di sini," gumam Mark.Laki-laki itu mondar-mandir dengan tangan kiri di pinggang dan tangan kanan memijat keningnya pelan. Rasanya gemas ingin menyusul Karina ke Klinik, tapi kalau ia tetap nekat ke sana, yang ada Karina akan marah.Namun Mark sungguh khawatir. "Aku akan menyusulnya!" Baru saja laki-laki itu ingin melangkahkan kakinya, tiba-tiba ada suara seseorang menyerukan namanya."Mark!" seru Karina sambil menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya erat.Sungguh gadis itu sangat ketakutan ketika dikejar-kejar oleh orang jahat tadi. Tapi, ia tidak bisa menunjukan kelemahannya di depan orang yang baru ia kenal seperti Jeno."Ada apa denganmu
Kalau kau memulainya dengan tidak baik, jangan berharap mendapatkan hasil yang baik.***Saat ini Jeno sedang duduk di ruang tamu rumah Karina. Lelaki itu ditatap oleh kelima pasang mata, Mark, Ningning, Chenle dan pemilik rumah yaitu Karina serta Jisung."Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya Mark sambil menatap sinis ke arah Jeno.Sedikit tak nyaman, Jeno berusaha biasa saja. "Aku ingin memberikanfilepenting dari Kakakku untuk Kak Dejun."Chenle mengernyit. "Memangnya siapa kakakmu?" tanyanya."Hendery," jawabnya singkat.Karina sedikit terkejut,
Bolehkah aku memiliki perasaan ini untukmu? Tidak, kau tidak perlu membalasnya. Cukup tidak melarangku untuk mencintaimu dalam diam.***Dua bulan lebih telah berlalu, setelah kejadian di mana Jeno meminta izin untuk menjadi lebih dekat dengan Karina. Hubungan mereka pun semakin dekat, bahkan dengan sahabat-sahabat dari mereka masing-masing.Juga, Mark lebih banyak mengalah untuk membiarkan Karina lebih banyak menghabiskan waktu dengan Jeno. Ia cukup menjaganya dari jauh dan... mencintai dalam diam --menurutnya.---"Na, boleh tidak kalau aku lebih dekat selangkah denganmu?" tanya Jeno kala itu."Hah? Maksudmu
Satu hal yang pasti, cinta tak akan tumbuh jika wadahnya tak dibiarkan terbuka. Makanya kenapa setiap orang yang patah hati sukar untuk memupuk cinta, karena wadahnya sudah tak utuh lagi.***"Aku pulang!" teriak Karina yang baru saja tiba di rumah.Jisung datang menghampiri, dengan berbagaisnackdi kedua tangannya. Ia baru saja dari dapur. "Pulang dengan siapa? Diantar Kak Mark?" sahutnya. Kemudian ia kembali duduk di sofa.Karina menggeleng sekali, lalu ikut duduk di samping Jisung dan menyomotsnackmilik pemuda itu. "Bukan, aku diantar Jeno.""Aku lihat akhir-akhir ini, sepertinya Kakak lebih sering pulang bersama Kak Jeno ya? Meman
Disarankan sambil mendengarkan lagu Davichi - Days Without You *** Cintailah orang yang kau sayang sepenuh hati, selagi dia masih hidup apa pun keadaannya. Pernahkah kau mengatakan 'aku mencintaimu' kepadanya, ataukah kau menunggu untuk mengatakan itu disaat seseorang itu telah tiada.Jika tidak...kau masih mempunyai kesempatan untuk mencintainya lebih. ***Beberapa tahun lalu.Karina memiliki masalalu --kisah cinta yang sulit untuk dilupakan, namun enggan dikenang. Bagaimana tidak? Kisah yang seharusnya berjalan sesusai dengan rencana. Tapi, tidak dengan kisah Karina dan tunangannya.Ya, gadis itu menjadi seperti sekarang k
Di kediaman keluarga Lee. Jeno sedang menerima telepon dari seseorang."Halo.""..."Tidak ada jawaban dari sang penelepon."Maaf, ini dengan siapa?"Masih tidak ada jawaban juga. Hal itu membuat Jeno geram.Siapa yang meneleponku seperti ini, biasanya Haechan yang selalu mengerjaiku tapi saat ini dia ada bersamaku.Batin Jeno sambil melirik ke arah Haechan yang sedang berkutat dengan daging yang menyangkut di behelnya."Yeoboseyo. Jika kau hanya ingin mengerjaiku. Akan kututup teleponnya."Baru saj
Karina Jung; gadis itu sedang gelisah karena tidak biasanya Mark susah dihubungi. Hari ini sudah genap seminggu pemuda itu jarang menemuinya."Coba kau tenang. Kau sudah menelepon rumahnya atau Ibunya?" tanya Giselle.Karina mengangguk satu kali. "Aku sudah menghubungi ponsel Ibunya, telepon rumah bahkan semua teman-teman Mark yang aku tahu," sahutnya."Mungkin Mark sedang ada urusan atau ponselnya habis baterai?" ucap Giselle asal menebak.Karina tetap khawatir. "Tapi akhir-akhir ini Mark sangat jarang menghubungiku. Aku khawatir padanya.""Aku mengerti Na, ya sudah lebih baik kita tidur saja. Kau harus istirahat. Aku tahu kau telah berusaha tegar atas kejadian hari ini," ucap Gisel
Aku tidak berjalan di depanmu, bukan juga berjalan di belakangmu. Tapi aku berjalan di sampingmu, mendoakanmu dan bersedia berjuang bersamamu. Jangan lepaskan genggamanmu yang telah ada padaku.***"Aigooo, Mark! Kau ke mana saja selama ini? Kau tidak tahu, aku sangat merindukanmu!" pekik Karina setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya.Karina memeluk Mark dengan sangat erat dan cukup lama. Hingga lelaki itu meregangkan pelukannya."Aku ke mana? Aku ada di depanmu sekarang," jawab Mark dan tersenyum sangat manis.Karina pun mengapit lengan Mark. "Ayo masuk ke dalam, aku ingin mendengar cerita darimu selama menghilang."