Tubuh Ayse menegang. Dengan gemetar ia meremat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa helaian pakaian. Ia menelan saliva susah payah. Keringat dingin itu sudah terasa di keningnya.
“Kau sudah bangun, Ayse?”
Suara bariton itu membuat pandangan Ayse langsung teralih ke sumber suara. Ia membeliak. Mendapati pria bertubuh tinggi di depan pintu hanya mengenakan celana jeans.
Wajahnya bersemu melihat perut liat dan dada bidang itu tercetak sempurna. Dulu, saat usia pria itu menginjak tujuh belas tahun, tubuhnya tidak terlihat sangat seksi seperti sekarang.
Meskipun untuk rerata usia tersebut, sudah mampu membuat perempuan di sekolahnya mengidolakan pria berdarah Turki itu. Tidak sedikit perempuan yang terpesona, membanjiri sosial media seorang Yavuz Can Sener.
“Apa yang kau lakukan di sini, Can?” cicitnya ketika pria berdarah Turki itu semakin masuk ke dalam.
Perempuan berambut coklat itu tertegun Can mengulurkan satu gelas berisi air putih. “Ambil dan minumlah,” ucapnya dengan lembut.
Manik hazel itu mengerjap, menatap bingung Can, sekaligus memperlihatkan raut takut sekaligus penuh tanya.
“Kau ... Kau melakukannya padaku?”
Can. Pria berambut hitam itu menatap lekat manik hazel yang masih duduk, mencoba menutupi tubuh sempurnanya.
“Kau takut padaku, Ayse?” tanya pria itu balik.
Ayse tertegun.
Senyum tipis itu diperlihatkan Can. “Kau mendapati diriku sudah berubah padamu? Atau sejak perpisahan itu, kau tidak bisa menganggapku sebagai orang terdekatmu?”
“Kenapa kau terlihat takut padaku?” tanyanya.
Tubuh Ayse bergetar ketika pria itu mengambil duduk di sisi ranjang. Ia tertegun mendapati pria yang bertelanjang dada itu duduk di hadapannya. Ia pun menaruh gelas di atas nakas.
Manik coklat dan hazel mereka saling bertemu. Menepis keadaan mereka dalam keadaan sekarang. Karena sesaat mereka tenggelam dalam hal ‘lalu’.
Ayse menelan salivanya susah payah. “Jangan seperti ini, Can ...” bisiknya nyaris bergetar.
Can tetap diam, sampai ia mendapati Ayse beringsut mundur, takut dengan tatapan tajam Can. Perempuan itu sangat gelisah dengan keadaannya.
“Apa kita sudah—“
“—Aku akan keluar dari sini. Gaunmu sudah aku letakkan di atas sofa di sana,” tunjuk Can pada sofa lebar di kamar asing itu.
Ayse tidak mengingat apa pun. Mungkin, belum sepenuhnya karena ia terlalu syok, mendapati dirinya bangun di atas ranjang besar dengan pria yang ia kenal sejak mereka remaja.
Sayangnya, ini pertemuan kali pertama mereka setelah Ayse berusia lima belas tahun. Ayse tertegun melihat kalung berbentuk jangkar yang melingkar di leher Can. Pria berambut hitam itu segera beranjak dari duduknya, lalu membiarkan pintu kamar tertutup rapat.
“Pakaianmu sudah tidak melekat sedikitpun di tubuhmu, Ayse,” ucapnya nyaris bergetar.
“Apa aku—“
Ayse tertegun dan ia memberanikan diri beranjak dari duduknya.
Dengan tangan gemetar, ia turun, membalut keseluruhan tubuh perempuan itu dengan selimut dan menatap takut ke atas ranjang.
Namun, ia tertegun. Tidak menemukan noda yang tertinggal.
“Dia ... Dia tidak melakukan apa pun, semalam?”gumamnya lebih pada meyakinkan diri sendiri.
Ayse mengerjap. Manik hazelnya masih mencoba fokus, melihat ranjang itu. Tapi yang terlihat hanyalah ranjang yang sedikit berantakan.
“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya penuh kebingungan.
**
Can melihat kedatangan Ayse dengan gaun hitam yang ia pakai semalam. Gaun yang memperlihatkan bahu putihnya, berlengan panjang. Gaun itu hanya membalut sampai setengah dari tungkai atasnya.
Pria itu bisa melihat jelas betapa semampai—seksinya—perempuan dengan tinggi 175 senti itu. Ia mengambil duduk di hadapan Can, tepat di meja makan berukuran persegi yang hanya bisa diisi empat kursi saja.
“Jelaskan apa yang terjadi dengan kita semalam, Can,” tekannya menatap pria yang sibuk mengolesi selai di atas roti miliknya.
Pria yang sudah memakai kaus polos berwarna abu-abu itu menatapnya lekat. Ayse tertegun. Paras itu semakin tampan diusia dewasanya.
“Temanmu ingin merusak tubuhmu,” jelasnya membuat Ayse membeliak.
Napasnya tercekat.
“Semalam adalah pesta reuni sekolah menengah pertamamu, kan? Kau datang ke Klub sendirian dan aku tidak sengaja mengenali salah satu di antara kalian. Aku memerhatikanmu. Kemudian teman priamu terlalu kuat menginginkan tubuhmu.”
Suara perempuan berambut panjang itu bergetar, “Kenapa kau ada di sana?”
Can tersenyum tipis. “Bukankah ini takdir, Ayse? Seharusnya kau bersyukur kita dipertemukan lagi,” balasnya penuh makna tersirat.
Ayse merasakan degup jantungnya bertalu kuat. Kedua tangannya terkepal kuat saat pandangannya mendapati manik coklat itu menatapny rapuh.
Kau memang sangat keterlaluan, Ayse. Pikir perempuan itu tertunduk lemah.
Ia merasakan sesak menjalar dalam tubuhnya.
“Kenapa kau meninggalkanku, Ayse?”
Degup jantungnya semakin tidak keruan. Suara itu sangat lirih. Seorang Yavuz Can Sener mempertanyakan masa lalu mereka?
“Seharusnya kau mampu menungguku, Ayse. Aku lulus dua tahun lebih cepat. Tapi apa yang aku dapatkan? Kau sudah pergi dari asrama sejak usiamu tujuh belas tahun.”
“Bahkan, kau tidak menepati janji kita untuk saling komunikasi,” lanjutnya membuat Ayse menatap Can.
“Aku tidak mungkin berada di sana selamanya, Can,” tandasnya dengan sorot tegas.
“Di sana aku tidak punya siapa pun dan—“
“—Dan kau, memilih tinggal bersama pria dewasa itu? Kau bersama pria yang pernah sekolah di Yayasan milik orangtuaku! Tempat kau mengenyam pendidikan juga!”
Ayse terdiam. Napas perempuan itu tercekat.
Can tidak lagi bernafsu memakan roti yang sudah ia baluri dengan selai. Tatapannya terlalu kuat menatap Ayse. Perempuan bermanik hazel itu menatapnya nanar. Namun, di balik semua itu, Can ingin juga memperlihatkan sorot rapuh yang sama.
Tapi kenapa ia tidak bisa? Apa semua ini karena pengkhianatan Ayse dulu? Ia membuang kepercayaan yang sudah Can pertahankan.
“Kita melakukan hal yang lebih jauh semalam?”
Can menatap tidak percaya Ayse yang mengalihkan pembicaraan. Kekesalannya tidak digubris, menggorekan luka dalam hatinya saat perasaannya diabaikan.
Ia menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Can mencoba menormalkan detak jantung dan tidak terlihat emosi.
“Seperti yang kau lihat pagi ini, tanpa helaian pakaian,” ucapnya datar.
Ayse membeliak. “Kau ... Juga ...” Ia berucap terbata dengan perasaan tidak keruan.
“Tentu, Ayse. Kau tidak sadar?”
“Aku tidak terlalu mengingatnya, tapi ...” Ayse menggantungkan ucapannya ketika ingatan itu hadir perlahan.
Suara desahan itu perlahan menyeruak bersamaan sentuhan yang Ayse lakukan pada tubuh di atasnya yang sudah menanggalkan bajunya. Menyisakan celana jeans yang tadi pagi terlihat oleh Ayse.
Ia menelan saliva susah payah.
Can tersenyum tipis. “Apa aku memang bersalah melakukannya?”
Tatapan keduanya bertemu.
Can tampak menegakkan tubuhnya, memandang lurus Ayse dan berkata, “Bolehkah aku tidak menyesali yang terjadi semalam, Ayse? Saat aku melihat tubuh sempurnamu? Karena pagi ini kau terlihat sangat seksi, membalut tubuhmu dengan selimut tebal itu.”
Napas Ayse tercekat.
**
Halo! Selamat datang dicerita Alice. Semoga suka sama plot dari cerita Ayse dan Can, ya! Follow Instagram @jasmineeal untuk informasi seputar cerita.
Tubuh Ayse membeku, memerhatikan pria bermanik coklat itu mulai beranjak dari tempatnya duduk.Can berjalan tegap dan perlahan, pria itu sudah berdiri menjulang di hadapan Ayse. Perempuan itu sadar napasnya memburu bersama detak jantung yang bertalu kuat. Pria itu terlihat berbeda saat usianya masih remaja.Di hadapannya, Can bertransformasi menjadi pria tampan—dewasa dan berkharisma—itu yang terlihat di majalah bisnis dan teve. Kehidupan pria itu tidak luput dari perhatian media.Tanpa diduga, dagu Ayse ditarik lembut Can. Saat itu pula manik hazelnya membeliak mendapati Can menempelkan permukaan bibir keduanya. Sedangkan mata Can sudah tertutup, merasakan betapa lembutnya bibir ranum yang semalam ia rasakan kembali.Jantung keduanya berdegup kuat bersama perasaan berdesir dalam tubuh mereka.Can masih menunduk, meraih dagu Ayse untuk berbagi sentuhan yang pernah mereka lakukan.“C
Pertemuan Ayse bersama Can begitu cepat. Bukan tanpa alasan, melainkan ketika pria itu menyatakan cintanya dan semua seolah begitu mengalir dengan mudah.Ayse sudah merasa nyaman berada di pelukan Can. Pria itu duduk di sampingnya, merangkul pinggang Ayse menatap gedung pencakar langit di Istanbul.“Rumahmu di Ankara. Kenapa bisa sampai ke mari?”Can mengulum senyum seraya menyisir helaian rambut panjang Ayse. “Sudah kukatakan. Tiga bulan terakhir, aku tau keberadaanmu. Tentu selanjutnya bisa aku dapatkan informasi dengan mudah. Termasuk mendapati namamu terdaftar dalam acara reuni,” ungkap Can.Ayse menatap lekat manik coklat di sampingnya. “Kau banyak berubah, Can,” cetus Ayse.“Aku bukan pria yang menganggap semuanya layaknya pertemanan biasa lagi. Aku ingin mengungkapkan semuanya, termasuk perasaanku,” balas pria itu tanpa sungkan.“Seharusnya aku yang berkata demikian. Kau terl
Ayse menatap beberapa gaun yang sudah ditaruh di atas ranjangnya. Ia tidak tahu jika Can sudah menyiapkan beberapa paper bag berisi pakaian ganti, termasuk pakaian kasual untuknya.Ia tersenyum manis.“Pria itu tidak pernah berubah. Selalu saja ada perhatian kecil yang dia berikan untukku,” ucapnya memilih gaun tanpa lengan dengan panjang selutut warna hijau tua.Ia mencoba melekatkan pakaian tersebut di tubuhnya dan melihat apakah pantas atau tidak jika ia memakainya.“Kau tampak manis jika memakainya,” celetuk Can diambang pintu.Ayse tersenyum kikuk saat pria itu kembali masuk ke kamar sementara miliknya yang ada di apartemen Can.Anak buah pria itu sudah membawakan banyak gaun dan beberapa high heels serta pakaian dalam untuk Ayse.“Dari sorot matamu, kau mengingat pagi tadi, bukan?” jahilnya membuat pipi putih itu bersemu.“Kau tau, Can? Kita t
“Wine?”“Tidak. Terima kasih.”Bibir ranum dari perempuan bermanik coklat itu terulas indah. Ia menuangkan wine dalam gelas berkaki tinggi hanya satu saja. Pria di atas sofa lebar—tepat di samping kaca jendela besar—menampilkan keadaan Kota Rotterdam di malam hari, memilih bertelanjang dada dipadukan jeans panjang.Pandangannya terus teralihkan pada keindahan di kota yang sudah ia tempati dua tahun ini.Tubuh perempuan yang berbalut kemeja milik Can—pria bertubuh tegap di sana—berjalan menghampirinya. Kaki jenjangnya semakin dekat dan perempuan dengan tinggi 165 senti itu tersenyum menggoda.Ia membawa tubuhnya duduk di atas perut yang tercetak sempurna. Olahraga yang pria itu sering lakukan. Pria dengan dada bidangnya, menggantung manis sebuah kalung berbentuk jangkar. Terlihat semakin seksi, terutama saat manik coklat itu pun menatapnya balik dalam tatapan teduhnya.“Sayang, aku d
“Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka akan menjadi bridesmaid untukmu, Ayse!” pekik perempuan yang bertandang ke rumah Ayse.Rumah mewah yang ditempati dirinya bersama Akman sejak pria itu sudah menjadi pengusaha muda yang sukses. Apa pun pria itu berikan pada Ayse, sekalipun tunangannya tidak pernah meminta padanya.Banyak teman maupun sahabatnya mengatakan jika Ayse sangat beruntung mendapatkan pria yang memiliki perusahaan di bidang fashion itu.Ayse mengulum senyum memerhatikan salah satu sahabatnya. Perempuan itu mengecat kukunya dan menatap Ayse dengan binaran bahagia.“Sebenarnya aku terlalu gugup,” aku Ayse membuat mereka terkekeh pelan.Ketiga sahabat Ayse datang ke rumahnya dan anggota bridesmaid lain akan datang di waktu yang telah ditentukan menjelang pernikahan.Nur dengan rambut pendeknya mengedipkan sebelah matanya. “Bagaimana? Sudah belajar untuk memuaskan seorang suami
Jika perasaan bisa memilih untuk mendaratkan cintanya kepada siapa. Can tidak ingin menjatuhkan perasaan pada perempuan yang salah.Tapi ia terlalu naif untuk menepis rasa yang ada. Can masih menginginkan Ayse-nya. Sekalipun pria itu sudah mendapati Ayse duduk di depannya bersama calon suaminya.“Ternyata kalian sudah dewasa, ya? Aku nyaris masih mengingat kalian yang muda, penuh keinginan kuat untuk impian kalian saat itu.”Akman tersenyum teduh ketika wanita yang pernah memberikannya perhatian lebih di sekolah. Sebagai istri dari pemilik yayasan di mana ia sekolah. Ia mendapati manik itu berkaca-kaca, merasa terharu melihat dirinya dan Ayse datang diusia yang semakin dewasa.“Undangan pernikahan ini sebagai tanda, jika kami tidak pernah melupakan kebaikan Anda, Nyonya dan Tuan Sener,” ucap Akman membuat Tuan Sener mengangguk.“Kalian tampak serasi,” balasnya.“Doakan yang terbaik
Can tidak pernah memperkirakan jika atmosfer yang ia dapatkan hari ini begitu indah. Ia merasakan letupan membuncah seolah menjadikan dirinya sebagai pria muda yang baru saja jatuh cinta.Padahal, pria berusia dua puluh lima tahun itu bukanlah seseorang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Tapi, mungkin karena di depannya adalah perempuan yang ia tunggu.Cinta-nya.Ia mengulum senyum mendapati Ayse datang ke perusahaannya. Pria itu sudah lebih dulu menyelesaikan rapat tanpa menggunakan basa-basi; bercengkerama dengan rekan kerjanya.“Merhaba,” sapa Can disambut Ayse yang berdiri, menyadari kedatangan Can ke ruangannya.Ayse bersemu ketika Can mencium kedua pipinya saat merengkuh tubuhnya dan diakhiri dengan ciuman mesra di bibir ranumnya.“Merhaba,” balasnya membiarkan Can kembali ke kursi kerjanya.Pria itu tidak bisa menutupi senyum manis seraya melepas jas ke
Tidak ada yang bisa mengukur rasa bahagia di antara mereka saat berjalan berdampingan; menghabiskan waktu berdua.Ayse membiarkan Can merangkul mesra pinggangnya saat memasuki kawasan Mal dan membiarkan Ayse sibuk dengan mangkuk kecil berisi es krim di tangannya. Mereka berdua pergi cukup jauh dari daerah perusahaan dan memakai mantel serta kacamata. Termasuk Ayse yang memakai syal.Keduanya berusaha menutupi identitas dari orang yang mengenali.“Bagaimana rasanya?”Ayse memasukkan sejenak suapan kelima dalam mulutnya. “Sangat manis,” balasnya menatap pria dengan kacamata hitamnya.Ia memerhatikan sejenak hidung mancung dan bibir tipis merah muda milik Can. Sangat tampan dan ia selalu bisa menghipnotis perempuan manapun dengan tatapan teduhnya. Sayangnya manik coklat itu tertutup oleh kacamata yang membingkai paras tampannya.Pria itu mengulum senyumnya dan berkata, “Tapi tidak sema
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal