Ayse menatap beberapa gaun yang sudah ditaruh di atas ranjangnya. Ia tidak tahu jika Can sudah menyiapkan beberapa paper bag berisi pakaian ganti, termasuk pakaian kasual untuknya.
Ia tersenyum manis.
“Pria itu tidak pernah berubah. Selalu saja ada perhatian kecil yang dia berikan untukku,” ucapnya memilih gaun tanpa lengan dengan panjang selutut warna hijau tua.
Ia mencoba melekatkan pakaian tersebut di tubuhnya dan melihat apakah pantas atau tidak jika ia memakainya.
“Kau tampak manis jika memakainya,” celetuk Can diambang pintu.
Ayse tersenyum kikuk saat pria itu kembali masuk ke kamar sementara miliknya yang ada di apartemen Can.
Anak buah pria itu sudah membawakan banyak gaun dan beberapa high heels serta pakaian dalam untuk Ayse.
“Dari sorot matamu, kau mengingat pagi tadi, bukan?” jahilnya membuat pipi putih itu bersemu.
“Kau tau, Can? Kita tanpa helaian pakaian dan aku tidak terlalu mengingat semalam kecuali pertemuan kita di klub dan sentuhan malam itu di atas ranjang.”
“Sedikit. Hanya sedikit.”
Can tertawa kecil mendengar pengakuan Ayse. Ia memeluk perempuan itu dari belakang, merasa nyaman jika merengkuh tubuh ramping itu.
Ia mencium pelan pipi kanan Ayse. “Aku ingin melihatnya kembali, bagaimana?” suara nakal itu menyahut, membuat Ayse mendengkus sebal.
Perempuan itu pun merasa malu jika mengingatnya.
“Maaf, aku berpikir jika—“
“—Aku hanya menyentuh tubuhmu, Sayang. Tidak mengambil kesempatan lebih jauh di saat kesadaranmu sepenuhnya tidak utuh,” papar Can membuat perasaan Ayse lega.
Mungkin, mereka memang sudah sama-sama dewasa dan Ayse tidak mempermasalahkan jika ia pun semalam menikmatinya dalam ketidakberdayaannya.
“Aku ingin merasakan sentuhanmu lagi, Ayse,” bisik Can nyaris membuat Ayse memekik ketika pria itu membopongnya, menjatuhkan perempuan itu di ranjang nyamannya.
Jantung Ayse berdetak kuat bersama napasnya yang tersengal, terkungkung oleh tubuh besar Can. Tubuh yang sangat proporsional dengan dada bidang dan perut yang tercetak sempurna.
Can memejamkan sejenak matanya ketika Ayse membawa jemari tangannya mengusap rahang Can yang bersih tanpa bulu halus.
“Kau semakin tampan, Can,” bisik Ayse yang selalu saja mengatakan kekagumannya.
“Biarkan hanya kau yang mengatakan semua itu padaku, Ayse. Aku sangat suka rayuanmu ini hanya untukku,” ungkapnya membuat Ayse mengulum senyumnya.
“Aku sepenuhnya sadar telah menyakiti perasaan Akman. Tapi aku tidak bisa menampik perasaanku juga padamu,” akunya jujur.
Can menatap lekat manik hazel yang memandangnya sendu. “Kembalilah padaku, Ayse. Aku akan membuatmu bahagia.”
“Lalu bagaimana dengan Akira?”
“Aku bisa mengatakan semuanya baik-baik. Aku tidak ingin membiarkan hatiku terus sakit tanpa kehadiranmu.”
“Delapan tahun aku menunggumu. Menyimpan kenangan kita satu-satunya dengan sangat baik. Sekalipun itu sangat menyakitkan karena harus memikirkan kenangan yang menjadi kepahitan dalam kisah percintaanku,” jelasnya mengeluarkan kalung berbentuk jangkar dari balik kaus polosnya.
Ayse meraih, memegangnya dengan penuh rasa bersalah.
“Kau membuangnya, Ayse? Di mana kalung yang sama dengan warna yang berbeda itu?”
Ayse menatap Can dengan senyum hangatnya. “Tidak sekalipun aku berniat membuangnya, Can. Aku selalu menyimpan di lemari, menyimpan dalam salah satu kotak perhiasanku dan di saat malam, terkadang aku mengenang bersama tangan yang mengenggam erat kalung yang sama.”
Perasaan Can membuncah mendengar pengakuan Ayse. Keduanya tersenyum dan Ayse membiarkan Can kembali memagut bibir ranumnya dengan sangat lembut.
Kedua tangan perempuan itu melingkar di leher Can, sesekali mengusap tengkuk pria itu.
Ayse pernah takut untuk menginjakkan kakinya kembali ke Turki. Tapi, di Kota Istanbul pertemuannya bersama Can kembali terkenang penuh keindahan.
Desahan mereka semakin mengisi keheningan ruangan. Tangan Can tidak ingin berdiam saja. Ia mengantarkan gelenyar dalam tubuh perempuan-nya lewat sentuhan memabukkan.
Hidungnya menghidu aroma menguar dari ceruk leher Ayse. Semakin turun sampai Ayse membiarkan dirinya mendongak, memegang kepala belakang Can saat pria itu berhenti di tengah dadanya.
Perut Ayse terasa menggelitik dan sensasi liar mengisi pikirannya ketika Can mencium lembut pertengahan dadanya.
“Kau tumbuh begitu cantik, Ayse,” bisik Can menggigit cuping telinga perempuan-nya.
Ayse menggeliat saat Can tidak berhenti di sana. Ia terus menggoda Ayse dengan sentuhan memabukkan.
“Kau tumbuh sebagai perayu andal, kan?”
Can berhenti menggoda Ayse dan menatap mesra perempuan itu yang bersemu. Menahan hasrat sama seperti dirinya.
“Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Lalu, apa yang membuat aku harus terlihat seperti anak lelaki polos berusia sepuluh tahun?”
Ayse mendengkus geli dan mengusap rahang kokoh Can. Ia menatap lekat manik coklat di atasnya. “Kenapa kau sangat kuat bertahan, melihatku tanpa helaian pakaian saat malam itu?”
Meskipun malu, Ayse ingin bertanya. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana tubuhnya yang polos dan mendapati tatapan liar dari Can.
Ia hanya berpikir alasan Can berusaha keras menahan dirinya saat itu.
Can mengulum senyum dan mengusap permukaan bibir ranum Ayse. Ia menunduk, mensejajarkan kedua wajah mereka dan menatap mesra Ayse yang bersemu. Perempuan itu salah tingkah ditatap pria yang pernah menjadi ciuman pertamanya saat sekolah menengah.
“Kau berpikir aku bisa menahannya semalam, Ayse?”
Pria itu menekan tubuh bawahnya di milik Ayse membuat perempuan itu membeliak.
Can tersenyum nakal, “Bahkan, dia pun sudah menegang tanpa perlu melihatmu melepaskan seluruh pakaianmu sendiri,” bisiknya mesra, semakin membuat Ayse merona.
Sebuah ciuman manis mendarat di pipi Ayse dan Can berbisik di sana, “Aku terlalu mencintaimu, Ayse. Sampai aku tidak ingin terkalahkan oleh rasa bersalah saat kau sadar. Lebih baik aku meyakinkan hatimu baru mendapatkan apa yang kerap dipikirkan pria dewasa sepertiku.”
Detak jantung Ayse kembali terasa kuat. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa senang sekaligus yakin jika Can yang ia kenal dulunya belum berubah. Pria itu masih sama, penuh kasih sayang pada orang terdekatnya.
Melakukan segala sesuatu tanpa mengedepankan ego.
Can selalu disukai pribadinya oleh siapa pun yang mengenal baik ataupun orang yang baru bertemu dengannya.
“Bagaimana jika malam ini kita kencan?”
**
Angin malam memainkan helaian rambut coklat Ayse. Ia memejamkan mata, merasakan debaran jantung sekaligus sensasi intim dan begitu layak disebut kencan. Ia tersenyum seraya membuka kembali mata, memandang di samping area terbuka. Memperlihatkan kapal pribadi Can berlayar di bawah Jembatan Bosphorus, Istanbul.
Keadaan malam sangat mengagumkan.
“Apa aku sudah layak menjadi kekasih gelapmu, Ayse? Apa dia jauh lebih romantis dibandingkan diriku?”
Ayse terkekeh pelan dengan pertanyaan Can.
Ia diam-diam selalu yakin jika ‘Can-nya’ memang tidak pernah berubah. Pria muda itu masih saja ada di dalam diri Can yang dewasa.
Ayse menatap lekat manik coklat Can yang duduk di depannya.
Sejenak ia memerhatikan malam malam romantis dengan lilin menghiasi di atas meja.
“Aku tidak mungkin menjadikanmu kekasih gelapku, Can. Kau sangat layak mendapatkan perempuan yang lebih cantik atau setidaknya seseorang yang tidak pernah menyakiti perasaanmu,” ucapnya tertunduk lemah.
Ia masih saja tidak enak hati dengan yang sudah Ayse lakukan pada Can.
Pria itu mengulum senyum. Meraih satu tangan Ayse yang bebas, mengenggam erat dan berkata, “Takdir sudah mempertemukan kita kembali, Ayse. Jika ada hal yang perlu disesali itu adalah mengorbankan diri kita untuk terus melangkah di kehidupan percintaan yang salah.”
Ayse terdiam, menatap lekat manik coklat yang memandangnya lurus.
“Jadi, apa pun yang kita lakukan hari ini, kau tidak perlu menyesalinya. Bukankah kita tengah memperbaiki sesuatu yang dulunya sangat disesali?”
“Berhentilah membuatku semakin lemah, Ayse. Aku sudah menjatuhkan hatiku padamu saat perpisahan kita dulu. Jarak yang membentang sudah cukup lama dan kita memang selayaknya memulai semuanya kembali.”
Ayse seharusnya bersyukur dengan ketulusan dari cinta yang Can hadirkan. Ia tidak bisa menyembunyikan buncahan bahagia dan letupan manis dalam dirinya kala Can mencium punggung tangannya.
Pria itu menatap mesra Ayse yang malam ini semakin terlihat cantik.
“Aku akan membicarakan semua ini pada orangtuaku dan mengajakmu bertemu mereka. Aku ingin memulai semuanya dengan lebih indah, Ayse,” ungkap Can membuat air mata Ayse membumbung tinggi di pelupuk matanya.
“Sikapmu tidak pernah berubah padaku, Can. Aku selalu mendapatkan rasa bahagia dan perlakuan manis darimu,” ucapnya dibalas senyum manis Can.
“Di malam itu, aku berpikir kau tidak mengenali diriku atau setidaknya kau memang sangat membenciku. Tatapanmu sangat dingin padaku di Klub.”
“Aku memang melakukannya untuk melihat apakah kau masih menyiratkan kerinduan di dalam matamu untukku,” tuturnya membuat Ayse terkekeh pelan.
“Aku sangat merasakannya, Can. Pertemuan itu membawa kerinduan untukku padamu.”
“Dan kau juga telah menyelamatkanku dari sikap tidak baik mereka.”
Rahang Can mengetat mengingatnya. “Aku sudah memberikan pelajaran pada pria itu,” tandasnya tidak suka.
“Bukankah dia pernah menyukaimu?”
Ayse membeliak, tidak percaya Can mengetahuinya. “Kau tau?”
Can mendengkus sebal. “Ayse ... Pria mana pun akan menyukaimu, bahkan menginginkanmu untuk menjadi kekasihnya.”
Ayse mengulum senyum. “Aku suka kau cemburu, Can,” ucapnya bersemu.
Can terkekeh pelan dan mengajak Ayse makan malam bersamanya.
Ini hari terakhir mereka bersama dan besok, Can dan Ayse akan kembali ke kota masing-masing. Mereka ingin memulai semuanya dengan lebih baik dalam menapaki hidup.
**
Silakan tinggalkan review-nya jika suka, ya! Tambahkan ke rak baca Beautiful Fault agar tidak ketinggalan update-nya. Instagram @jasmineeal
“Wine?”“Tidak. Terima kasih.”Bibir ranum dari perempuan bermanik coklat itu terulas indah. Ia menuangkan wine dalam gelas berkaki tinggi hanya satu saja. Pria di atas sofa lebar—tepat di samping kaca jendela besar—menampilkan keadaan Kota Rotterdam di malam hari, memilih bertelanjang dada dipadukan jeans panjang.Pandangannya terus teralihkan pada keindahan di kota yang sudah ia tempati dua tahun ini.Tubuh perempuan yang berbalut kemeja milik Can—pria bertubuh tegap di sana—berjalan menghampirinya. Kaki jenjangnya semakin dekat dan perempuan dengan tinggi 165 senti itu tersenyum menggoda.Ia membawa tubuhnya duduk di atas perut yang tercetak sempurna. Olahraga yang pria itu sering lakukan. Pria dengan dada bidangnya, menggantung manis sebuah kalung berbentuk jangkar. Terlihat semakin seksi, terutama saat manik coklat itu pun menatapnya balik dalam tatapan teduhnya.“Sayang, aku d
“Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka akan menjadi bridesmaid untukmu, Ayse!” pekik perempuan yang bertandang ke rumah Ayse.Rumah mewah yang ditempati dirinya bersama Akman sejak pria itu sudah menjadi pengusaha muda yang sukses. Apa pun pria itu berikan pada Ayse, sekalipun tunangannya tidak pernah meminta padanya.Banyak teman maupun sahabatnya mengatakan jika Ayse sangat beruntung mendapatkan pria yang memiliki perusahaan di bidang fashion itu.Ayse mengulum senyum memerhatikan salah satu sahabatnya. Perempuan itu mengecat kukunya dan menatap Ayse dengan binaran bahagia.“Sebenarnya aku terlalu gugup,” aku Ayse membuat mereka terkekeh pelan.Ketiga sahabat Ayse datang ke rumahnya dan anggota bridesmaid lain akan datang di waktu yang telah ditentukan menjelang pernikahan.Nur dengan rambut pendeknya mengedipkan sebelah matanya. “Bagaimana? Sudah belajar untuk memuaskan seorang suami
Jika perasaan bisa memilih untuk mendaratkan cintanya kepada siapa. Can tidak ingin menjatuhkan perasaan pada perempuan yang salah.Tapi ia terlalu naif untuk menepis rasa yang ada. Can masih menginginkan Ayse-nya. Sekalipun pria itu sudah mendapati Ayse duduk di depannya bersama calon suaminya.“Ternyata kalian sudah dewasa, ya? Aku nyaris masih mengingat kalian yang muda, penuh keinginan kuat untuk impian kalian saat itu.”Akman tersenyum teduh ketika wanita yang pernah memberikannya perhatian lebih di sekolah. Sebagai istri dari pemilik yayasan di mana ia sekolah. Ia mendapati manik itu berkaca-kaca, merasa terharu melihat dirinya dan Ayse datang diusia yang semakin dewasa.“Undangan pernikahan ini sebagai tanda, jika kami tidak pernah melupakan kebaikan Anda, Nyonya dan Tuan Sener,” ucap Akman membuat Tuan Sener mengangguk.“Kalian tampak serasi,” balasnya.“Doakan yang terbaik
Can tidak pernah memperkirakan jika atmosfer yang ia dapatkan hari ini begitu indah. Ia merasakan letupan membuncah seolah menjadikan dirinya sebagai pria muda yang baru saja jatuh cinta.Padahal, pria berusia dua puluh lima tahun itu bukanlah seseorang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Tapi, mungkin karena di depannya adalah perempuan yang ia tunggu.Cinta-nya.Ia mengulum senyum mendapati Ayse datang ke perusahaannya. Pria itu sudah lebih dulu menyelesaikan rapat tanpa menggunakan basa-basi; bercengkerama dengan rekan kerjanya.“Merhaba,” sapa Can disambut Ayse yang berdiri, menyadari kedatangan Can ke ruangannya.Ayse bersemu ketika Can mencium kedua pipinya saat merengkuh tubuhnya dan diakhiri dengan ciuman mesra di bibir ranumnya.“Merhaba,” balasnya membiarkan Can kembali ke kursi kerjanya.Pria itu tidak bisa menutupi senyum manis seraya melepas jas ke
Tidak ada yang bisa mengukur rasa bahagia di antara mereka saat berjalan berdampingan; menghabiskan waktu berdua.Ayse membiarkan Can merangkul mesra pinggangnya saat memasuki kawasan Mal dan membiarkan Ayse sibuk dengan mangkuk kecil berisi es krim di tangannya. Mereka berdua pergi cukup jauh dari daerah perusahaan dan memakai mantel serta kacamata. Termasuk Ayse yang memakai syal.Keduanya berusaha menutupi identitas dari orang yang mengenali.“Bagaimana rasanya?”Ayse memasukkan sejenak suapan kelima dalam mulutnya. “Sangat manis,” balasnya menatap pria dengan kacamata hitamnya.Ia memerhatikan sejenak hidung mancung dan bibir tipis merah muda milik Can. Sangat tampan dan ia selalu bisa menghipnotis perempuan manapun dengan tatapan teduhnya. Sayangnya manik coklat itu tertutup oleh kacamata yang membingkai paras tampannya.Pria itu mengulum senyumnya dan berkata, “Tapi tidak sema
“Kau ingin pergi ke mana, Nak?”Can tersenyum mendapati Nyonya Sener masuk ke dalam kamarnya saat pria itu sudah memakai jaket kulit berwarna coklat. Ia melapisi kaus putih polos di dalamnya dan memadukan bersama jeans panjang juga sepatu olahraganya.“Aku ingin merilekskan pikiranku, Ma,” balasnya membiarkan Nyonya Sener sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan teduh.Wanita itu menangkup sisi wajah Can dan menatap putra semata wayang yang sangat didominasi oleh paras tampan suaminya.Ia mengulas senyum hangat. “Kau ada janji bersama Akira?”Can menggeleng pelan. “Tidak. Aku keluar sendirian saja. Hanya beberapa jam, aku janji, Mama,” balasnya memaparkan.“Aku juga berjanji tidak akan mabuk,” sambungnya membuat Nyonya Sener tertawa kecil.Ia menepuk pelan sisi wajah Can. “Anak yang penurut,” balasnya menerbitkan senyum manis pada Can.Pria itu me
Emosi Dariga tersulut. Perempuan yang selalu berusaha menjadi sahabat terbaik Ayse itu tidak ingin membiarkan Ayse mendeklarasikan jika dirinya sangat bahagia mendapatkan pengkhianatan di antara dirinya dan Akman.Ayse harus lebih terluka dan bisa menunjukkan rasa sakit hatinya teramat dalam. Ia tersenyum miring memerhatikan Ayse yang berubah tampak lebih angkuh. Rahangnya mengetat dengan sorot penuh kebencian.Perempuan di hadapannya baru saja menghina dan mencaci maki dirinya.Dariga tersenyum miring dan berucap sinis, “Kau ingin melihat sesuatu, Ayse?” tanyanya dengan sorot penuh arti.Akman menatap perempuan itu khawatir. Ia memang mengakui kesalahan terbesarnya adalah mengkhianati Ayse. Tapi itu sudah berlalu dengan segala kekhilafan yang Akman pikir akan selesai tepat di masa lalu.Ia hanya ingin menata kehidupan bersama calon istrinya; Ayse. Perempuan yang pernah tumbuh besar di yayasan yang
Ayse mencoba mengabaikan segala hal yang terjadi kemarin. Meskipun ia masih menyimpan luka, dikhianati sahabat dan mendengar duka tentang bagaimana mantan sahabatnya tega membunuh satu nyawa.“Aku harus menjalani kehidupan ini tanpa harus melihat ke belakang,” gumam Ayse menguatkan dirinya dan menatap diri dari pantulan cermin.Ia berusaha mengulas senyum kecil, memberikan kesempatan untuk terlihat bahagia.“Kau bisa bertahan, Ayse,” ucapnya membenarkan letak helaian rambutnya di kedua bahu.Perempuan yang mengenakan kaus lengan panjang dan celana pendeknya itu baru saja selesai membersihkan diri.Ia bangun terlalu pagi dan memutuskan untuk menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri. Ayse sudah cukup terbiasa hidup di rumah mewah Akman dengan banyaknya asisten rumah tangga yang memenuhi kebutuhan Ayse.Sekarang, ia pun harus bisa lebih mandiri dan mengandalkan tabungannya. Tidak
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal