Pertemuan Ayse bersama Can begitu cepat. Bukan tanpa alasan, melainkan ketika pria itu menyatakan cintanya dan semua seolah begitu mengalir dengan mudah.
Ayse sudah merasa nyaman berada di pelukan Can. Pria itu duduk di sampingnya, merangkul pinggang Ayse menatap gedung pencakar langit di Istanbul.
“Rumahmu di Ankara. Kenapa bisa sampai ke mari?”
Can mengulum senyum seraya menyisir helaian rambut panjang Ayse. “Sudah kukatakan. Tiga bulan terakhir, aku tau keberadaanmu. Tentu selanjutnya bisa aku dapatkan informasi dengan mudah. Termasuk mendapati namamu terdaftar dalam acara reuni,” ungkap Can.
Ayse menatap lekat manik coklat di sampingnya. “Kau banyak berubah, Can,” cetus Ayse.
“Aku bukan pria yang menganggap semuanya layaknya pertemanan biasa lagi. Aku ingin mengungkapkan semuanya, termasuk perasaanku,” balas pria itu tanpa sungkan.
“Seharusnya aku yang berkata demikian. Kau terlihat kaku. Di mana sosok perempuan manis dan terlihat seperti pria?”
Wajah Ayse bersemu ketika Can mengingatkan ia yang terlihat seperti seorang pria dibandingkan perempuan. Terlihat jelas dari pakaian dan juga kegiatan olahraga basket yang sering dilakukan perempuan dengan tinggi 175 senti itu.
Can tertawa kecil, meraih dagu Ayse dan menyematkan ciuman manis di sana. Ayse masih saja merespons kaku. Terutama kaget dengan perlakuan manis Can.
“Tidak masalah. Kita baru saja bertemu semalam. Perlahan akan terbiasa kembali,” ucapnya tersenyum manis.
“Aku masih tidak menyangka kau bisa mencintaiku, Can,” ucap perempuan itu, tidak menyadari teh mereka masih terisi lebih dari setengah.
Obrolan mereka terlalu banyak, sampai tidak bisa disela oleh sebuah minuman hangat di pagi hari. Banyak hal yang ingin mereka ceritakan sampai usai.
“Aku juga tidak menyangka, kau menerima pernyataan cintaku.”
Ayse bersemu dengan wajah tertunduk malu.
Can terkekeh pelan.
“Semua ini aku lakukan karena keseriusanmu saat di dalam tadi, Can. Maafkan aku yang harus pergi dari Yayasan milik orangtuamu dan memutuskan komunikasi di antara kita.”
“Tidak ada tempat yang bisa membuat aku merasa hidup.”
“Itu karena kau tidak mau menungguku, Ayse,” sahut Can cepat yang sudah melepas rangkulannya.
Pria itu menatap tegas perempuan yang dicintainya.
“Seandainya kau tetap di sana, tumbuh dan menjadi perempuan dewasa di sana, kita akan bertemu selang empat tahun. Aku sudah pulang dan mencarimu. Tapi takdir tengah mempermainkan kita.”
Ayse mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Can. Sampai sekarang dipikiranku hanyalah rasa terima kasih dan ingin membalas budi dengan kebagian Akman.”
“Aku bisa mengganti semua materi,” balas Can membuat Ayse menatapnya cepat.
Sorot Can jika membahas pria dewasa yang pernah mengenyam pendidikan di Yayasan Keluarga Sener selalu saja tidak baik. Ayse bisa melihat tatapan cemburu di sana.
“Itu tidak mungkin,” lirih Ayse.
Can bukanlah pria yang selalu mengedepankan ego. Bersikap dengan perasaan kerasnya. Ia masih bisa berpikir dengan kepala dingin.
Jadi, ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahasnya.
Can sudah meraih wajah Ayse, menatapnya lekat dengan tangkupan lembut itu.
Senyum pria itu mendebarkan perasaan Ayse.
“Aku tidak bisa pernah melupakan ciuman pertama kita, Ayse,” ungkap pria itu membuat pipi Ayse bersemu.
Can mengulum senyumnya. “Saat itu aku tidak tau apa yang aku pikirkan. Mungkin, aku melakukannya karena naluriah sebagai seorang pria muda,” lanjutnya dibalas anggukan pelan Ayse.
“Aku ... Aku juga membalasmu di area lapangan basket di Yayasan saat itu,” balasnya dan menghadirkan degup di jantung mereka kembali.
“Kau tidak sedang mempermainkanku kan, Ayse? Cintamu masih besar untukku?”
Ayse menatap lekat manik coklat dan mendapati keraguan di sana.
“Aku takut kau meninggalkanku,” balasnya membuat Ayse menggeleng.
Kini giliran perempuan itu meraih wajah Can, menangkup paras tampan di hadapannya.
“Justru aku yang harusnya takut kehilanganmu, Can. Selama ini aku juga memantau bagaimana perkembanganmu. Diam-diam aku tersenyum akan prestasi yang kau raih. Tapi, di saat itu pula aku tau, sainganku bukanlah perempuan mudah.”
“Dia Akira. Perempuan yang sekaligus menjadi teman masa kecilmu.”
Can mengusap pipi Ayse dan berucap lembut, “Aku melakukannya karena tidak ada pilihan lain, dibandingkan aku harus menjalin hubungan dengan perempuan lain. Akira jauh lebih mengenal diriku,” ucapnya membuat perasaan Ayse sedikit gelisah.
Ia tampak menyiratkan kecemburuan. “Hubungan kalian sudah sangat jauh,” cetusnya lirih.
Can mengulum senyum. “Kau juga sama dengan Akman, Ayse,” ungkap Can.
Ayse tampak malu dengan pernyataannya sendiri. Karena apa yang Can katakan sungguh benar.
Namun, belum sempat Ayse mengutarakan kalimat selanjutnya. Perempuan itu nyaris memekik mendapati Can sudah meraih pinggangnya dan mendudukkan perempuan itu di pangkuannya.
Ayse salah tingkah. Wajahnya bersemu malu, menatap Can yang memandangnya dengan penuh kerinduan. Ayse pun tampak melihat hasrat pria itu di manik coklatnya.
“Kau mendapati sesuatu di dalam mataku, Ayse?”
Perempuan itu menjawab tidak percaya diri. “Kerinduan dan ... hasrat,” bisiknya dibalas tawa kecil Can.
Ia mengangguk tegas. Pria itu mendekati kepalanya dan berbisik di telinga Ayse lalu berkata, “Kau pernah menjadi fantasi liarku, Sayang,” bisiknya membuat tubuh Ayse menegang.
Can tersenyum nakal seraya mengusap lengan perempuan itu. “Akman pria sukses yang mana baru membawamu ke depan wartawan tiga bulan lalu.”
“Di saat itu aku sadar, kau sudah tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan sangat seksi,” lanjutnya semakin mengantarkan gelenyar dalam tubuh Ayse.
“Kau ... Semakin pandai menggoda dan merayu rupanya.”
Can terbahak. Ia dengan gemas mengeratkan pelukan pada pinggang Ayse dan mencium bergantian pipi perempuan itu.
“Aku mencintaimu, Ayse.”
“Perasaan ini sudah kupendam lama dan aku tidak akan menutupinya lagi. Aku bisa menyesal seumur hidupku jika tidak menyampaikan perasaanku padamu,” lanjutnya yang tidak sanggup membuat Ayse menahan kedua kedutan sudut bibirnya.
“Kau semakin manis saja, Can ...”
“Ucapanmu terkesan seperti perayu ulung,” ungkap perempuan itu dibalas tawa kecil Can.
“Boleh aku menciummu lagi?” bisik Can mendaratkan kecupan manis di tengkuk Ayse ketika ia menyampirkan helaian rambut panjang perempuan-nya.
Ayse menatap Can dengan sebelah alis terangkat. “Apa dari tadi kau sudah meminta izin padaku?”
Can tampak berpikir, mengikuti jahilnya Ayse yang setengah meledek. “Tidak. Aku baru sadar, ternyata tidak sama sekali.”
Ayse tidak bisa menutupi tawanya dan dengan gerakan selaras, tubuh mereka mendekat.
Perempuan itu tidak bisa membohongi perasaannya lebih lama jika Ayse masih mengharapkan kebersamaan mereka kembali nyata.
Ayse melingkarkan kedua tangan di tengkuk Can. Membiarkan pria itu meraih lembut tengkuknya, berbagi candu yang direngguk kembali. Mencecap dan berbagi di sana, begitu memabukkan.
Senyum mereka sesekali terlihat dan sangat mendebarkan. Terutama saat perlahan wajah mereka bergerak miring, menyesuaikan dengan tiap ritme yang diciptakan.
“Kau canduku sejak usiaku genap tujuh belas tahun, Ayse,” bisik Can dengan menggoda menggigit permukaan bibir bawah Ayse.
Perempuan itu bersemu, ikut menyematkan ciuman sejenak di sana. “Setelah ini, aku tidak mungkin lagi bersikap asing di depanmu, Can. Aku tidak pernah bisa melakukannya. Karena aku sudah mendapatkan jawaban dari segala kegelisahanku selama ini.”
Senyum Can terbit.
“Seni Seviyorum,” bisik Ayse dan dengan cepat, Can meraih tengkuk Ayse, menaikkan ritme lebih kasar dan liar.
Bisikan cinta itu terlalu berisiko untuk detak jantungnya yang semakin tidak keruan.
**
Silakan tinggalkan jejaknya di kolom review jika suka, ya. Selamat datang di cerita Beautiful Fault. Semoga suka dan jangan lupa follow Instagram @jasmineeal
Ayse menatap beberapa gaun yang sudah ditaruh di atas ranjangnya. Ia tidak tahu jika Can sudah menyiapkan beberapa paper bag berisi pakaian ganti, termasuk pakaian kasual untuknya.Ia tersenyum manis.“Pria itu tidak pernah berubah. Selalu saja ada perhatian kecil yang dia berikan untukku,” ucapnya memilih gaun tanpa lengan dengan panjang selutut warna hijau tua.Ia mencoba melekatkan pakaian tersebut di tubuhnya dan melihat apakah pantas atau tidak jika ia memakainya.“Kau tampak manis jika memakainya,” celetuk Can diambang pintu.Ayse tersenyum kikuk saat pria itu kembali masuk ke kamar sementara miliknya yang ada di apartemen Can.Anak buah pria itu sudah membawakan banyak gaun dan beberapa high heels serta pakaian dalam untuk Ayse.“Dari sorot matamu, kau mengingat pagi tadi, bukan?” jahilnya membuat pipi putih itu bersemu.“Kau tau, Can? Kita t
“Wine?”“Tidak. Terima kasih.”Bibir ranum dari perempuan bermanik coklat itu terulas indah. Ia menuangkan wine dalam gelas berkaki tinggi hanya satu saja. Pria di atas sofa lebar—tepat di samping kaca jendela besar—menampilkan keadaan Kota Rotterdam di malam hari, memilih bertelanjang dada dipadukan jeans panjang.Pandangannya terus teralihkan pada keindahan di kota yang sudah ia tempati dua tahun ini.Tubuh perempuan yang berbalut kemeja milik Can—pria bertubuh tegap di sana—berjalan menghampirinya. Kaki jenjangnya semakin dekat dan perempuan dengan tinggi 165 senti itu tersenyum menggoda.Ia membawa tubuhnya duduk di atas perut yang tercetak sempurna. Olahraga yang pria itu sering lakukan. Pria dengan dada bidangnya, menggantung manis sebuah kalung berbentuk jangkar. Terlihat semakin seksi, terutama saat manik coklat itu pun menatapnya balik dalam tatapan teduhnya.“Sayang, aku d
“Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka akan menjadi bridesmaid untukmu, Ayse!” pekik perempuan yang bertandang ke rumah Ayse.Rumah mewah yang ditempati dirinya bersama Akman sejak pria itu sudah menjadi pengusaha muda yang sukses. Apa pun pria itu berikan pada Ayse, sekalipun tunangannya tidak pernah meminta padanya.Banyak teman maupun sahabatnya mengatakan jika Ayse sangat beruntung mendapatkan pria yang memiliki perusahaan di bidang fashion itu.Ayse mengulum senyum memerhatikan salah satu sahabatnya. Perempuan itu mengecat kukunya dan menatap Ayse dengan binaran bahagia.“Sebenarnya aku terlalu gugup,” aku Ayse membuat mereka terkekeh pelan.Ketiga sahabat Ayse datang ke rumahnya dan anggota bridesmaid lain akan datang di waktu yang telah ditentukan menjelang pernikahan.Nur dengan rambut pendeknya mengedipkan sebelah matanya. “Bagaimana? Sudah belajar untuk memuaskan seorang suami
Jika perasaan bisa memilih untuk mendaratkan cintanya kepada siapa. Can tidak ingin menjatuhkan perasaan pada perempuan yang salah.Tapi ia terlalu naif untuk menepis rasa yang ada. Can masih menginginkan Ayse-nya. Sekalipun pria itu sudah mendapati Ayse duduk di depannya bersama calon suaminya.“Ternyata kalian sudah dewasa, ya? Aku nyaris masih mengingat kalian yang muda, penuh keinginan kuat untuk impian kalian saat itu.”Akman tersenyum teduh ketika wanita yang pernah memberikannya perhatian lebih di sekolah. Sebagai istri dari pemilik yayasan di mana ia sekolah. Ia mendapati manik itu berkaca-kaca, merasa terharu melihat dirinya dan Ayse datang diusia yang semakin dewasa.“Undangan pernikahan ini sebagai tanda, jika kami tidak pernah melupakan kebaikan Anda, Nyonya dan Tuan Sener,” ucap Akman membuat Tuan Sener mengangguk.“Kalian tampak serasi,” balasnya.“Doakan yang terbaik
Can tidak pernah memperkirakan jika atmosfer yang ia dapatkan hari ini begitu indah. Ia merasakan letupan membuncah seolah menjadikan dirinya sebagai pria muda yang baru saja jatuh cinta.Padahal, pria berusia dua puluh lima tahun itu bukanlah seseorang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Tapi, mungkin karena di depannya adalah perempuan yang ia tunggu.Cinta-nya.Ia mengulum senyum mendapati Ayse datang ke perusahaannya. Pria itu sudah lebih dulu menyelesaikan rapat tanpa menggunakan basa-basi; bercengkerama dengan rekan kerjanya.“Merhaba,” sapa Can disambut Ayse yang berdiri, menyadari kedatangan Can ke ruangannya.Ayse bersemu ketika Can mencium kedua pipinya saat merengkuh tubuhnya dan diakhiri dengan ciuman mesra di bibir ranumnya.“Merhaba,” balasnya membiarkan Can kembali ke kursi kerjanya.Pria itu tidak bisa menutupi senyum manis seraya melepas jas ke
Tidak ada yang bisa mengukur rasa bahagia di antara mereka saat berjalan berdampingan; menghabiskan waktu berdua.Ayse membiarkan Can merangkul mesra pinggangnya saat memasuki kawasan Mal dan membiarkan Ayse sibuk dengan mangkuk kecil berisi es krim di tangannya. Mereka berdua pergi cukup jauh dari daerah perusahaan dan memakai mantel serta kacamata. Termasuk Ayse yang memakai syal.Keduanya berusaha menutupi identitas dari orang yang mengenali.“Bagaimana rasanya?”Ayse memasukkan sejenak suapan kelima dalam mulutnya. “Sangat manis,” balasnya menatap pria dengan kacamata hitamnya.Ia memerhatikan sejenak hidung mancung dan bibir tipis merah muda milik Can. Sangat tampan dan ia selalu bisa menghipnotis perempuan manapun dengan tatapan teduhnya. Sayangnya manik coklat itu tertutup oleh kacamata yang membingkai paras tampannya.Pria itu mengulum senyumnya dan berkata, “Tapi tidak sema
“Kau ingin pergi ke mana, Nak?”Can tersenyum mendapati Nyonya Sener masuk ke dalam kamarnya saat pria itu sudah memakai jaket kulit berwarna coklat. Ia melapisi kaus putih polos di dalamnya dan memadukan bersama jeans panjang juga sepatu olahraganya.“Aku ingin merilekskan pikiranku, Ma,” balasnya membiarkan Nyonya Sener sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan teduh.Wanita itu menangkup sisi wajah Can dan menatap putra semata wayang yang sangat didominasi oleh paras tampan suaminya.Ia mengulas senyum hangat. “Kau ada janji bersama Akira?”Can menggeleng pelan. “Tidak. Aku keluar sendirian saja. Hanya beberapa jam, aku janji, Mama,” balasnya memaparkan.“Aku juga berjanji tidak akan mabuk,” sambungnya membuat Nyonya Sener tertawa kecil.Ia menepuk pelan sisi wajah Can. “Anak yang penurut,” balasnya menerbitkan senyum manis pada Can.Pria itu me
Emosi Dariga tersulut. Perempuan yang selalu berusaha menjadi sahabat terbaik Ayse itu tidak ingin membiarkan Ayse mendeklarasikan jika dirinya sangat bahagia mendapatkan pengkhianatan di antara dirinya dan Akman.Ayse harus lebih terluka dan bisa menunjukkan rasa sakit hatinya teramat dalam. Ia tersenyum miring memerhatikan Ayse yang berubah tampak lebih angkuh. Rahangnya mengetat dengan sorot penuh kebencian.Perempuan di hadapannya baru saja menghina dan mencaci maki dirinya.Dariga tersenyum miring dan berucap sinis, “Kau ingin melihat sesuatu, Ayse?” tanyanya dengan sorot penuh arti.Akman menatap perempuan itu khawatir. Ia memang mengakui kesalahan terbesarnya adalah mengkhianati Ayse. Tapi itu sudah berlalu dengan segala kekhilafan yang Akman pikir akan selesai tepat di masa lalu.Ia hanya ingin menata kehidupan bersama calon istrinya; Ayse. Perempuan yang pernah tumbuh besar di yayasan yang
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal