Tengah malam saat semua orang-orang normal tidur untuk beristirahat, Dominic dan Franco berjalan menuju ruang rahasia tempat mereka bekerja. Tidak peduli walau mata pria itu mengantuk kokain yang Dominic konsumsi membuatnya segar kembali.
"Franco, siapkan saja anak buah kita yang ada di Meksiko." Dominic tidak ingin membawa anak buahnya yang ada di Yunani.
"Baiklah, aku akan menghubungi mereka dan juga Zac untuk bersiap." Franco langsung menghubungi anak buahnya.
Dengan langkah yang tegas Dominic dan Franco berjalan memasuki pesawat pribadinya. Mereka langsung terbang ke Meksiko untuk menggerebek markas Jason. Setelah Dominic selidiki lebih lanjut, Jason memang bekerja untuk Marcus. Mereka berdua menginginkan Dominic untuk hancur.
Sesampainya di Meksiko, Dominic langsung menuju tempat yang Zac sediakan. Gudang senjata. Senjata api berjajar di hadapan Dominic. Pria itu mengambil salah satu pistol kesukaannya dan mengelusnya penuh kasih sayang.
Louisa terduduk ketakutan di hadapan Dominic. Pria itu memberikan Louisa sebotol alkohol sambil menyeringai. Wanita malang itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bertemu dengan Dominic adalah kematian bagi Louisa."Cicipi lah, selagi kau masih bernapas." Dominic menarik tangan Louisa dan menaruh botol minuman di tangannya."Ayo minum, minum Louisa!" teriak Dominic. Louisa menganggukkan kepalanya takut-takut dan mulai meminum alkohol di tangannya itu."Minuman itu berkadar alkohol tinggi kau bisa mati, sedikit saja." Louisa yang sedang minum jadi tersedak. Wanita itu masih beruntung dia yang meminum satu teguk dan ditegukan ke dua dia tersedak karena perkataan Dominic."Jangan permainkan aku, Dominic!" teriak Louisa. Dia sudah tidak tahan lagi. Wajah Dominic langsung memerah. Pria itu membanting botol alkohol yang satunya tepat di samping Louisa. Wanita itu menjerit dan menutupi wajahnya."Aku mempermainkanmu
Tubuh Louisa lemas. Darah perlahan keluar dari punggungnya membasahi bajunya. Wanita itu sekarat dan Dominic masih setia memeluknya. Dia diam saja. Merasakan Louisa yang bergerak gelisah di pelukannya. Wanita itu juga mengerang kesakitan."Bagaimana rasanya?" tanya Dominic."Cukup sakit." Louisa menelan ludahnya. Napasnya sudah mulai berkurang."Apa dadamu terasa sesak?" Dominic menyeringai."Tentu saja. Rasanya tulang punggungku retak." Louisa mulai memejamkan matanya."Maafkan aku Dominic," ucap Louisa. Wanita itu langsung pingsan. Dia tertembak di bagian yang tidak akan membuatnya mati kalau segera di tangani oleh dokter. Tapi Dominic diam saja.
Sudah empat hari berlalu sejak Samuel ditangkap oleh Franco dan Dominic. Mereka mendapatkan makanan yang layak. Dominic masih setia frustrasi karena beberapa bisnis ilegalnya gagal. Franco semakin kesusahan menangani Dominic. Belum lagi dia juga harus memastikan keadaan Louisa.Dominic mengikuti Franco yang berjalan menuju kamar Louisa. Hari ini dokter memeriksanya lagi. Franco tahu Dominic sudah kesal pada Louisa. Pria itu sudah meneriaki Franco agar Louisa mati saja."Kenapa kau masih berjuang menyelamatkannya? Apa kau kurang pekerjaan?" tanya Dominic. Franco diam saja."Jawab aku! consigliere!" teriak Dominic pada Franco."Dominic! Aku tidak tahu ke mana akal sehatmu, kau terlalu banyak minum-minum." Franco tersenyum pada Dominic."Sepertinya di sini kau yang terlalu banyak minum! Aku sudah mengatakan biarkan saja wanita itu mati! Kau tidak mematuhi perkataanku consigliere!" tegas Dominic. Pria itu mencengkram lenga
Louisa menahan sakit di tangannya. Belum selesai luka di punggungnya tapi Dominic sudah menyiksanya lagi. Louisa benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ada dipikiran Dominic. Pria itu sakit jiwa!"Mafia sialan!" jerit Samuel. Louisa membungkus tangannya dengan bajunya."Berikan kuncinya padaku," pinta Samuel. Louisa menendang kunci sel tahanan itu pada Samuel.Dengan cepat Samuel mengambil kuncinya. Dia mencoba untuk memasukkan kunci itu pada gemboknya. Samuel sudah berusaha untuk memutar kuncinya tapi tidak bisa. Dia semakin geram."Apa kau tidak bisa membuka kuncinya?" tanya Bernard. Pria itu hanya diam saja karena takut pada Dominic."Tutup mulutmu, kalau aku tidak bisa lalu kau juga tidak akan bisa!" geram Samuel. Ia menarik rambutnya."Biar aku yang coba." Louisa menatapi tangannya yang memerah. Tapi dia harus kuat. Perlahan dia mencoba memutar kuncinya. Agak susah karena gemboknya berkarat.
Dominic menatap anak buahnya yang sedang menyeret tubuh Samuel dan Louisa. Wajah Samuel sudah hancur berdarah dan membiru. Begitu pula dengan Louisa, wanita itu juga tidak sadar karena nyeri punggungnya yang hebat. Mereka berdua sudah mendapatkan siksaan yang cukup berat. Tapi itu bukan salah Dominic. Siksaan itu sudah ketentuan dari dulu."Letakkan Samuel kembali ke penjara bawah, berikan perawatan pada Louisa," pinta Dominic."Bagaimana dengan Samuel?" Franco menatap Dominic. Pria itu tidak menjawab. Dia tidak peduli."Kau yakin? Dia bisa mati Dominic!" Franco mencoba untuk bernegosiasi."Sepertinya, kau sangat menyukai Louisa dan adiknya." Dominic menyeringai."Mereka bisa sangat menguntungkan Dominic! Berapa kali aku harus jelaskan padamu!" teriak Franco."Aku tidak bisa menoleransi Samuel dan Louisa lagi, tidak bisa!" teriak Dominic tidak kalah kerasnya.Raulo dan Maria yang melihat Louis
Franco membukakan pintu kamar yang paling mewah di kastil itu. Semuanya sudah diperbarui sesuai keinginan Stella. Tapi sayangnya wanita itu belum puas. Seprai berwarna pink bermotif bunga-bunga itu membuatnya marah."Apa ini Franco? Apa aku memesan seprai bunga-bunga?" tanya Stella."Nona, hanya ini yang paling baru dan bagus." Franco tersenyum."Baiklah, selama ini mahal tidak masalah." Stella masuk ke dalam kamarnya. Ia memicingkan matanya ketika dia melihat debu jendelanya."Franco! Apa pelayan di sini tidak bisa membersihkan kamar? Apa ini?" gerutu Stella. Wanita itu menunjuk pada jendela kamarnya."Akan aku bereskan besok, selamat malam." Franco menutup pintu kamar Stella dan b
Sudah seminggu sejak kedatangan Stella. Wanita itu, merengek untuk dinikahi oleh Dominic. Pria itu memang sudah melamar Stella sejak lama tapi Dominic belum yakin untuk menikahi Stella. Seperti biasanya, wanita pirang itu meratapi cincin yang tersemat di jarinya itu dan mulai menatap Dominic yang tidur di sampingnya. Pria itu tertidur sangat lelap. Stella hanya bisa menghela napasnya dan beranjak dari ranjangnya.Dominic sudah terbangun sejak awal. Tapi dia tidak bisa membuka matanya sebelum Stella keluar dari kamar mereka. Pria itu sudah bosan karena Stella akan terus menanyakan kapan Dominic akan menikahinya. Suara shower membuat Dominic yakin kalau wanita itu sedang mandi. Tidak lama kemudian Stella masuk kembali ke kamar."Aku tahu kau sudah bangun." Stella melepaskan handuk yang melilit tubuhnya lalu melempar handuk basah itu pada Dominic. Mau tidak mau Dominic harus bangun dan menatap Stella yang kesal padanya."Kau ingin sarapan apa?" ta
Sudah jam empat pagi dan Louisa belum bisa tidur. Pikirannya masih berputar pada Stella. Dia tidak melihat wanita itu makan tapi kenapa Samuel bisa mengatakan kalau dia keracunan. Wanita pemberani itu turun dari ranjangnya dan mengambil mantel tebalnya. Semakin pagi, udara di Kastil ini semakin dingin dan menusuk tulang. Tapi tidak mengurungkan niat Louisa untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Stella.Wanita itu menuju dapur. Semuanya bersih dan tertata rapi. Mata Louisa melihat setiap sudut ruangan tapi dia tidak menemukan apapun. Dia yakin Maria sudah membereskan dapur. Louisa bisa mendengar derap langkah kaki seseorang menuju dapur. Wanita itu berpura-pura mengambil minum."Louisa?" Maria berdiri di depan pintu dapur dan Louisa hanya bisa tersenyum sambil memegang gelas yang berisi air putih."Apa yang kau lakukan pagi buta di sini? Apa kau lapar?" tanya Maria."Maria, aku tidak bisa tidur. Kastil ini terlalu mengerikan.
Sinar matahari menyusup masuk ke dalam kamar dan mengenai wajah Louisa. Tidur nyenyak wanita itu jadi terganggu akan tetapi dia langsung membuka matanya saat ia ingat kalau dirinya tidur di kamar Dominic. Louisa tidak mendapati pria itu ada di sampingnya. Mata Louisa melihat pada jam yang terpajang di dinding. masih pukul enam pagi."Dominic?" teriak Louisa. Wanita itu tidak mendengar ada yang menjawabnya. Ia bangun dari ranjang dan melihat-lihat sekitar kamar tetapi dia tidak menemukan pria itu.Louisa keluar dari kamar Dominic. Dia langsung menuju ruang tengah. Benar saja, Dominic sedang berbicara dengan Franco. mereka berbicara dengan sangat serius. Louisa memilih untuk tidak mendekat pada mereka dan dia kembali masuk ke dalam mansion. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Samuel, akan tetapi Samuel sedang berdiri di depan pintu kamarnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Louisa."Dia sedang ganti baju." Louisa menger
Franco menyeret dua orang wanita untuk keluar dari rumah sakit. Pria itu langsung memasukkan mereka di ke mobil bersama Jack. Franco membawa dua orang wanita itu ke mansion untuk diinterogasi. Saat sampai di mansion, Bernard sudah ada di depan halaman. Franco mengodekan agar mereka semua ikut ke area halaman tengah mansion. Jack mendudukkan dua orang wanita tahanan itu di depan Franco."Wanita seperti kalian pasti bekerja dengan orang yang penting," ucap Franco. Wanita-wanita itu hanya diam saja."Sekarang katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian?" Tak kunjung mendapatkan jawaban. Jack dan Bernard merogoh saku baju dua orang wanita itu. Ponsel, senjata paling ampuh untuk mengetahui siapa penyuruhnya."Banyak sekali nomor tidak dikenal." Franco tersenyum miring. Dia langsung menghubungi nomor yang baru dua orang wanita itu hubungi semalam. Panggilan telepon Franco tidak kunjung dijawab."Halo? Apa tugas kalian sudah selesai?" Mata
Dominic yang tertidur pulas menjadi tidak tenang karena dia lapar. Pria itu membuka matanya dan melirik Samuel yang sedang makan dengan lahap di sampingnya. Ini membuat Dominic kesal karena dia tidak bisa bergerak. Tangannya patah dan butuh waktu untuk pulih."Ke mana Franco?" tanya Dominic pada Samuel."Pria tua itu pulang ke mansion, apa kau tidak kasihan padanya? Dia berjaga sepanjang malam di sini." Samuel menunjuk Dominic dengan sendoknya. Ini membuat perut Dominic semakin lapar."Apa aku juga dapat jatah makan?" Dominic tidak bisa menahan laparnya lagi."Tentu saja, di mejamu." Mata Dominic hanya bisa melirik saja. Dalam hatinya dia menggerutu."Samuel apa kau bisa menyuapiku?" Makanan yang sedang Samuel kunyah mendadak masuk ke dalam hidungnya karena dia mendengarkan ucapan Dominic hingga tersedak."Apa kau gila?" Dominic hanya bisa berdehem."Aku kelaparan!" seru Dominic. Samuel menata
Samuel yang melihat Louisa kebingungan menjadi tidak fokus. Pria itu muak sekali. Dia langsung menendang perut lawannya dan menghantam rahangnya sampai lawannya itu terkulai lemas. Samuel berlari menuju Louisa. Tapi dia melihat seorang pria mengarahkan pistolnya pada Louisa."Louisa! Menyingkir!" teriak Samuel.Louisa mencari-cari sumber suara adiknya itu. Samuel tidak bisa membiarkan kakaknya tertembak. Dia langsung berlari dan menghalau peluru yang mengarah pada Louisa."Samuel! Tidak!" Louisa berteriak keras-keras. Perut Samuel mengeluarkan darah sampai membasahi bajunya. Louisa meninggalkan Dominic dan berlari menangkap tubuh adiknya itu."Samuel!" Louisa menarik adiknya itu untuk menjauh."Sialan!" Samuel berusaha menahan perutnya."Samuel!" Louisa mencoba melihat luka Samuel yang ternyata sangat dalam."Jaga napasmu Samuel, kau harus tenang," pinta Louisa. Wanita itu kalut sekarang. Ini bagaik
Louisa duduk di kursi sebelah Dominic. Wanita itu terus tersenyum kecut sambil menginjak kaki Dominic berkali-kali. Dia sudah muak dengan drama pesta ini. Dominic memang licik. Benar-benar licik. "Kapan kalian akan menikah?" tanya Seorang wanita yang sudah sangat renta. "Lima bulan lagi." Louisa tersenyum dan tangannya bergerak meninju lengan Dominic. "Lima bulan itu terlalu lama bukan? Aku tahu kau pasti ingin segera menikahinya," bisik wanita tua itu. Louisa benar-benar tidak tahu harus bagaimana. "Sedikit informasi saja. Wanita di Malta ini sangat cantik-cantik. Jadi kau harus segera menikah, tenang saja aku akan membantumu." Wanita tua itu mengelus bahu Louisa. "Tuan Muda, sepertinya kalian harus segera menikah, lima bulan itu terlalu lama." Louisa langsung melotot. "Ah, tidak-tidak. Dia masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Louisa jadi gelagapan. "Tidak apa-apa. Justru d
Mansion milik Dominic di Malta sudah di sulap menjadi tempat pesta yang megah dan meriah. Semua itu hasil kerja para pelayan dan pasukan khusus juga. Tapi malam ini bukanya menyuruh untuk menikmati pesta, tapi Dominic menyuruh Samuel dan teman-temannya untuk mengawasi segala sesuatunya. Tidak ada yang boleh kurang.Louisa memilih untuk tetap berada di kamar. Dia tidak ingin keluar dan tidak perlu keluar. Ini pesta Dominic bukan dan bukan urusan Louisa lagi. Wanita itu menikmati pemandangan indah dari luar jendela. Lampu-lampu menyala banyak orang datang. Louisa mulai melatih pengelihatannya. Banyak orang penting di sana. Mereka semuanya berbisik-bisik.Dance floor sudah penuh dengan para tamu yang berdansa. Musik tradisional khas Malta bergema di seluruh penjuru mansion. Louisa menahan napasnya. Dia rindu dengan ibunya yang ada di Meksiko. Dia ingin menghubunginya tapi dia tidak bisa. Samuel juga berada dengannya. Louisa yakin kalau ibunya pasti sedang menc
Louisa merasakan sakit di wajahnya. Tulang punggungnya retak rasanya karena berguling ke tangga sedangkan wanita itu juga sama kesakitannya seperti Louisa tapi dia tidak mau berhenti. Wanita itu mengambil tongkat baseball yang ada di dekatnya dan menyerang ke arah Louisa."Kau tidak akan hidup setelah ini!" serunya. Louisa mendorong Franco agar pria tua itu tidak ikut campur dengan perkelahiannya.Wanita itu terus memukul ke arah Louisa tapi dia berhasil menghindar. Louisa memegang tongkat baseball. itu dan menendang perut wanita itu. Kini tongkat baseball itu ada di tangan Louisa dan dia langsung membuangnya. Louisa dan wanita itu saling menatap. Mereka saling berlari ke arah satu sama lain dan saling menghantam. Louisa mencengkram bahu wanita itu dan membenturkan kepalanya pada kepala wanita itu. Tidak ada ampun. Kedua wajah mereka sudah lebam dan mengeluarkan darah.Mereka saling menggulingkan tubuh dari tembok ke tembok yang lainya. Louisa
Louisa duduk di samping Dominic. Wanita itu menatap ke luar jendela. Ia tidak tahu rencana apa yang sudah disiapkan oleh Dominic. Louisa benar-benar tidak mengerti. Baik Dominic maupun Franco mereka sama-sama licik. Saat pesawat sudah sampai di Malta. Franco meminta pasukan khusus untuk berbaris. Dia memberikan mereka masing-masing senjata."Columbia, Berlin, Spanyol, Denmark, Jamaika. Ingat baik-baik, jangan sebut nama asli kalian." Franco mencoba memperingati. Mereka semua menganggukkan kepalanya lalu turun. Franco menahan Louisa dan Dominic."Louisa, bawa tas ini," pinta Franco."Aku bukan wanita yang gila barang branded." Louisa tidak melihat wajah Franco. Dia tidak sudi melihat wajah Franco atau Dominic sekarang.Dominic membawa tas branded itu dan menarik tangan Louisa untuk turun. Dari kejauhan dia bisa melihat Taixeira, dia mafia penguasa Malta. Dominic semakin merapatkan Louisa padanya."Mendekat
Louisa tertidur begitu lelap karena kelelahan berpikir. Wanita itu sama sekali tidak mendengar ketukan pintu. Maria sudah berkali-kali mengetuk pintunya tapi Louisa sama sekali tidak bergerak sedangkan Dominic, Franco, Samuel dan teman-temannya sudah siap."Apa dia sudah bangun?" tanya Dominic."Belum." Maria menggelengkan kepalanya."Apa wanita itu kabur?" Dominic menatap Franco. Tanpa basa-basi lagi Dominic menuju kamar Louisa dan membuka pintunya.Louisa masih setia tidur dengan earphone di telinganya. Yah, mendengarkan musik pengantar tidur memang membantu bagi Louisa karena wanita itu tidak bisa tidur. Dominic tersenyum miring. Pria itu menatap Maria dan Franco bergantian.Dominic menarik selimut Louisa dan dia menarik pinggang wanita itu. Louisa yang semula tertidur pulas langsung tersentak. Refleks. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Dominic dan pria itu menurunkan Louisa dari ranjangnya. Wanita