“Gio, jangan lupa besok jam sepuluh kita ada meeting di Melon TV.”
“Meeting buat apa, Mbak? Perasaan kita nggak ada project bareng Melon TV.” Gio mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat apakah ia pernah membaca dan menandatangani kontrak dengan Melon TV.
“Gausah pura-pura lupa lo! Pulang dari Malang, kontraknya udah lo tanda tanganin ya.”
Gio memutar matanya sebal, Mbak Namira, manager-nya itu mulutnya memang perlu dicabein biar nggak kurang ajar padanya. “Emang acara apa sih, Mbak?”
“Jangan bilang lo nggak baca kontraknya,” Gio mengedikkan bahunya. Mbak Namira mendengus kasar, melihat dari respon artisnya, ia tahu bahwa Gio sama sekali tak membaca isi kontraknya, “kebiasaan lo!”
“Kan biasanya juga gitu, Mbak. Kontrak-kontrak yang sampek ke gue udah lo pilah-pilah dulu tinggal gue tanda tanganin.” Gio mengubah posisi duduknya menjadi selonjoran di sofa ruang tamu apartement-nya.
“Kali ini belom gue sortir, gue kan baru cuti, Yo!”
“Oh iya. Besok meeting buat variety show doang kan, Mbak? Briefing buat gue jadi bintang tamu aja, kan?”
“Nope. Besok meeting buat variety show punya lo sendiri.”
“Hmmm…” Gio tetap memejamkan matanya, mengistirahatkan tubuhnya yang sangat pegal gara-gara syuting adegan baku hantam untuk music video salah satu grup band paling laku saat itu, “bukan konten prank kan, Mbak?”
“Bukan sih, cuma variety show buat cari jodoh aja.”
Hah. Gio membuka matanya, mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Mbak Namira dengan mata yang menyipit. Dia tadi nggak salah dengar, kan? Mbak Namira tadi beneran ngomong acara cari jodoh? Gila! Nggak mungkin banget. Seorang Giornino Morgan, aktor tampan nan berbakat, pemenang aktor pendamping pria terbaik versi FFI dan pernah masuk Under Thirty majalah Forbes Indonesia harus dibuatkan acara hanya untuk ajang cari jodoh? Ini benar-benar gila sih. Harga dirinya mau ditaruh dimana?
“Lo bercanda ya, Mbak?”
“Pernah lo liat gue bercanda masalah kerjaan?”
Gio meringis, manager-nya itu memang tak pernah bercanda untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Menurut wanita dengan potongan rambut bob itu, pekerjaan adalah sesuatu yang serius dan tidak untuk dibercandain. Sedikit strict memang tapi berbanding lurus dengan kinerjanya yang tak pernah tidak beres.
“Udah ya, Yo. Gue balik dulu,” Mbak Namira beranjak dari duduknya, mengambil tas jinjing merek Zara yang sudah menemai aktifitasnya setahun belakangan ini. “Jangan sampek telat bangun, besok lo berangkat bareng Nath.” Ucap Mbak Namira sebelum benar-benar keluar dari apartement Gio.
Beberapa saat setelah manager-nya pergi pun, Gio masih berada dalam posisinya. Terduduk lemas di sofa ruang tamu dengan pikiran yang melayang. Pria itu kembali memikirkan nasibnya.
Bodoh! Ia kembali merutuki dirinya sendiri. Jika saja ia tidak ceroboh. Jika saja ia menanyakan pada Mbak Namira apakah kontraknya udah dipilih atau belum. Jika saja ia baca dulu kontraknya. Gio yakin ia tak akan terjebak dalam kontrak reality show yang mengumbar kisah cintanya.
Pria itu mengacak rambutnya kasar. Gio terbayang dengan gadis cantik nan anggun yang telah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini. Rencananya untuk melancarkan aksi PDKT sepertinya harus ditunda karena acara itu. Duh.. merana sekali kisah percintaannya. Hampir empat tahun ia menjomblo, tapi saat ia menemukan seseorang yang menarik perhatiannya, semesta seolah tak merestuinya.
Belum lagi bayangan-bayangan tentang respon netizen. Ia mungkin tak akan dihujat tapi image seorang actor tampan nyaris sempurna yang dengan susah payah ia bangun selama ini pasti akan hancur. Ya coba saja dipikir, mana ada orang nyaris sempurna yang cari pacar saja harus dibantuin. Mana ditayangin di TV lagi. Hancur sudah pasarannya.
Gio mendengus sebal. Tak ada gunanya ia pusing memikirkan itu sekarang. Pria itu beranjak dari sofa ruang tamunya. Gio memutuskan untuk segera tidur, bukan hanya untuk beristirahat tapi juga untuk sebentar lari sadi kenyataan.
♦♦ Be With You ♦♦
"Dimana sih? Please lah… masa ilang sih."
Angeline membuka semua laci yang ada dikamarnya, mengeluarkan isinya satu per satu semi mencari barang kesayangannya. Bukan barang mewah sebenarnya, tapi barang itu sangat berarti untuknya. Sebuah gantungan kunci berbentuk patahan hati pemberian seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang tak pernah ia ketahui namanya tapi mampu membuat semangat hidupnya kembali lagi.
Gadis itu segera berpindah ke lemari pakaiannya dan mengeluarkan semua isinya. Namun hasilnya tetap nihil. Angeline mengacak rambutnya frustasi. Gadis itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang queen size-nya yang sudah penuh dengan pakaian dan bukunya. Namun bahkan saat kamarnya sudah luluh lantak, ia tetep tak menemukan barang yang dicarinya.
Ceklek.
"Astaga, Angeline!!!! Siapa yang mengajarimu menjadi gadis yang jorok begini hah?"
Angel menoleh, gadis itu menatap nanar kakak angkatnya yang kini tengah berdiri diambang pintu. Pria itu berangsek maju, memungut buku, pakaian juga sepatu yang berserakan di lantai. Deva mengerutkan dahinya heran, Angel tak biasanya seperti ini. Kamar adiknya selalu rapi tapi kenapa sekarang terlihat seperti baru terjadi tsunami di kamar itu?
"Kalo kamu jorok begini mana ada cowok yang mau sama kamu. Jadi cewek tuh harus bisa masak, bersih-bersih. Biar disayang mertua." Angel memutar matanya jengah. Ia sudah muak dengan ucapan Deva yang itu-itu saja.
"Berisik Kak. Aku lagi pusing nih!"
Deva mendekati Angel, menyentuh kening gadis itu dengan punggung tangannya. Pria itu mengerutkan dahinya saat mendapati suhu tubuh Angel normal-normal saja.
"Kamu kenapa?"
"Gantungan kunciku ilang"
Deva tersenyum geli. Jadi hanya karena gantungan kunci itu adiknya jadi uring-uringan tak jelas begini. Memang apa sih istimewanya gantungan kunci itu. Kan bisa membeli lagi jika memang sudah hilang, kalaupun tak ada dia bisa memesan pada seorang pengrajin untuk membuatkan yang sama persis.
"Kak Dev tau gantungan kunciku dimana?" Angel langsung mendongak. Gadis itu menatap Deva dengan tatapan penuh harap. Pria itu mengulurkan tangnnya untuk mengacak rambut Angel.
"Kakak bakal bantu cari gantungan kuncimu kalo kamu mau nurut sama kakak." Angel menatap Dave curiga. Kalo udah mau bantuin gini pasti ada maunya. Deva tersenyum mengetahui pemikiran adiknya itu.
"Don’t do it." Angel meraih buku untuk menutupi wajahnya. Kakaknya yang satu itu memang selalu dapat membaca pikiran Angel. Entah karena pria itu memang memiliki kemampuan istimewa atau Angel yang memang seperti buku yang terbuka.
"Okay. Tapi kamu harus nurut sama kakak! Promise?"
Angel menggerutu sebal. Duh pasti dia mau ngerjain aku, dasar kakak durhaka, kurang ajar!! Awas aja aku kerjain balik nanti, begitu pikirnya.
"Aku mendengarmu dek"
"Kak Dev! Udah berapa kali aku bilang jangan baca pikiranku lagi!" Angel berteriak didepan wajah kakaknya itu. Deva terkekeh geli, “Gimana? Deal?”
Angel menghela nafas berat, ini pasti tak akan mudah tapi ia tak mau barang itu hilang. Dengan berat hati gadis itu mengangguk, “Okay. Deal.”
Deva tersenyum senang. Pria itu merogoh saku celana jeans-nya dan memberikan gantungan kunci berbentuk patahan hati pada Angel. Angel tercengang, jadi ini semua hanya akal bulus Deva agar ia mau menuruti semua kemauannya.
"Nanti sore jam tiga, Adek Kecil. Jangan kabur!" Ucap Deva sebelum berlalu meninggalkan Angel dan semua barang-barangnya yang bertebaran dimana-mana dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.
"Kak Deva!!!"
Angel menjerit gila-gilaan. Gadis itu kesal bukan main. Deva Mahenra, yang biasa ia panggil Kak Dev sebagai panggilan sayangnya, telah membodohinya habis-habisan. Deva adalah personil band dengan genre pop rock. Ia tergabung dalam band X-BOYS bersama teman-temannya. Deva pada vokal, Ryan pada Bass, Dion pada Drum dan Rico pada Gitar. Mereka sudah bersahabat sejak kecil, bandnya pun terbentuk karena kesamaan hobi mereka dibidang musik juga aliran musik yang mereka sukai.
Angeline menghembuskan nafasnya berat, angannya melayang kembali pada saat ia masih kecil, saat hidupnya terlunta-lunta sampai Deva datang menghampiri dan memungutnya dari tempat lusuh itu.
Angeline menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran yang mengganggunya. Gadis itu menatap sekelilingnya. Astaga, ternyata kegiatannya mencari gantungan kunci bisa membuat kamarnya berantakan melebihi berantakannya kapal yang abis nabrak karang. Oh okay, sekarang dia punya PR untuk membereskan kamarnya dan nanti ia akan masuk kedalam perangkap Dave.
Angeline, welcome to your nightmare.
Angeline berjalan lunglai kearah ruang tamu tempat personil X-BOYS berkumpul. Gadis itu dapat melihat semua personil X-BOYS tengah berkumpul dan berbicara serius tentang sesuatu. Angel semakin mendekati mereka. Ia mengerutkan keningnya saat mendapati mereka langsung menghentikan obrolan mereka saat Angel mendekat. Angel tahu ada yang mereka sembunyikan darinya. "Hey Baby girl... Silahkan duduk adek manis.”Deva menyapa Angel dengan riang. Pria itu mengembangkan senyumnya sangat-sangat lebar. Angel memutar matanya menanggapi sapaan Deva. Berjalan lunglai ke single sofa yang tersisa dan menghempaskan tubuhnya disana. Angeline menatap personil X-BOYS satu per satu, Deva, Mbak Namiran, Ryan dan ....Lho dimana Rico? Perasaan beberapa saat yang lalu pria berambut jabrik itu masih duduk manis di sebelah Mbak Namiran, tapi dimana pria itu sekarang? Angel menghela nafas, terserah Rico mau kemana ia tak peduli. Yang Angel khawatirkan sekarang adalah nasibnya sendiri, pasti ini ak
Angel berjalan males-malesan memasuki terminal pemberangkatan, kedua tangannya digenggam oleh Dion dan Deva. Kedua pria itu memegangi Angel, takut gadis itu melarikan diri. Angel menggerutu pelan, menyumpahi kakak-kakak angkat tak berperikemanusiaan yeng telah memaksanya untuk ikut acara paling tidak berguna yang pernah ia dengar.Deva menghentikan langkahnya di ruang tunggu. Pria itu menghempaskan bokongnya pada kursi yang ada di sana, diikuti oleh Ryan dan Dion yang juga ikut duduk di kursi tunggu. Sedangkan Rico, ia lebih memilih untuk duduk di atas koper besar Angel yang tadi dibawanya. Mereka berempat memang sengaja membeli tiket yang sama dengan Angel agar dapat menemani gadis itu di ruang tunggu, sekaligus memastikan ia tak kabur.Angel berdiri di samping Rico. Gadis itu enggan untuk duduk dan memilih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angel memutar bola matanya saat mengetahui sebagian besar orang yang ada disitu melihat kearah mereka. Selalu saja seperti ini, pasti ada s
Angel menyeret kopernya menuju toilet. Gadis itu langsung masuk kesalah-satu bilik di dalam toilet, menaruh kopernya di atas lantai dan membukanya. Angel mengerutkan dahinya mendapati tumpukan gaun beraneka warna yang berada di dalamnya. Seingatnya ia tak pernah memiliki gaun dengan warna yang sangat mencolok seperti yang tengah ia pegang saat ini. Gadis itu mengangkat salah satu gaun berwarna merah bata yang ada dalam genggamannya, membentangkannya hingga terlihat jelas bagaimana model gaun itu. Tipikal seorang Rico. Angel sudah menduga bila Rico akan memenuhi kopernya dengan baju-baju yang sangat terbuka dan kekurangan bahan. Gadis itu mengeluarkan beberapa gaun, memilah mana yang mungkin cocok untuk ia kenakan. Selesai memilah-milah, Angel membuang beberapa crop top dan mini dress yang ada, hingga menyisakan setengah koper yang menurutnya masih masuk untuk karakternya. Angel kemudian mengambil kemeja flannel dari kopernya, mengganti blouse biru mudanya denga
Angel melangkah malas-malasan menuju ruang tengah. Dengan T-shirt kebesaran dan muka bantalnya ia bergabung dengan gadis-gadis lain yang sudah terlihat rapi dan sudah duduk dengan anggun di sofa. Angel memasang wajah sebal, bagaimana tidak? Saat enak-enaknya menyelam di alam mimpi, ia malah dibangunkan untuk bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Apa mereka tidak tahu kalau ini masih terlalu pagi untuk membangunkan seseorang? Bahkan jarum jam saja masih menunjukkan kalau ini masih jam tiga pagi. Sekali lagi jam TIGA PAGI. Ini benar-benar mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Seorang pria berusia awal tiga puluhan memasuki ruang tengah bersama seorang gadis yang terlihat masih sangat muda. Gadis itu membawa seember bunga beraneka warna juga pembungkus dan pita. Gadis itu meletakkan semua barang yang dibawanya diatas meja dan kembali mensejajarkan dirinya dengan si pria yang tak lain adalah host dari Panah Asmara Giornino. Kamera sudah menyala dan sudah merekam semua aktivitas sejak
Seorang gadis berambut hitam legam lurus berjalan pelan menghampiri gadis lain yang tengah termenung di balkon kamarnya. Anisa Rahma, gadis cantik asli Bandung yang sangat mengidolakan Giornino seperti kebanyakan gadis seusianya."Hei... lagi ngapain?" Anisa menatap gadis yang ada di depannya itu dengan senyum yang menghiasi bibir. Gadis itu membalas senyum dari Anisa.Angel mengangkat buku yang ada dalam genggamannya, mengisyaratkan pada gadis bersurai hitam itu apa yang tengah ia lakukan. Angel menggeser duduknya, memberi sedikit tempat untuk Anisa duduk disebelahnya."Terima kasih." ucap Anisa setelah duduk di samping Angel. Angel hanya mengangguk, meletakkan bukunya di pangkuan dan mulai menikmati pemandangan indah langit biru dengan semburat jingga yang mengagumkan."Indah ya?"Lagi-lagi Angel hanya mengangguk. Anisa menoleh kearahnya, meneliti penampilan satu-satunya gadis yang ditanyai oleh Giornino saat sedang melakukan penilaian untuk misi pertama tadi pagi. Jujur saja eksis
Angel menghela nafas berat. Mengapa waktu seakan melambat saat ia berada di rumah karantina ini? Gadis itu merasa sudah begitu lama tinggal di rumah itu padahal ia baru seminggu berada di sana. Beruntung ada Anisa yang bisa menjadi teman ngobrolnya. Ternyata Anisa juga menyukai band pop rock yang di gawangi oleh kakak-kakak angkatnya. Bukan hanya X-BOYS tapi juga semua band, penyanyi, ataupun aktor yang memiliki wajah rupawan. Intinya Anisa akan menyukai semua public figure yang memiliki wajah rupawan.Angel memetik setangkai bunga krisan yang ada di taman belakang rumah itu lalu melangkah menuju ayunan yang ada di sana. Namun saat tinggal selangkah lagi ia sampai di ayunan itu, seseorang sudah menyerobotnya terlebih dahulu. Ariska- gumam Angel. Gadis itu tersenyum tipis dan beranjak meninggalkan Ariska yang fokus pada majalah yang dipegangnya. Dasar sombong, baru jadi model gitu aja sombongnya nggak ketulungan.Angel merutuki kesombongan Ariska yang menurutnya sangat berlebihan. Hei,
"Angelinnneeeee...." Angel menyeringai mendengar teriakan dari guru kepribadian yang melatih semua gadis di tempat karantina itu. Angel buru-buru mengubah ekspresi wajahnya menjadi innocent. Gadis itu kembali berdiri dan menaruh buku tebal hard cover-nya di atas kepala. "Lihat teman-teman kamu! Mereka jatuh gara-gara kamu. Angel! Kenapa sih kamu nggak bisa kayak, Ariska? Look at her. Dia kelihatan anggun nggak kayak kamu yang urakan ini." Angel memutar matanya jengah. "Bentar deh Miss, teman? Duh, Miss Rara yang cantik badai, teman saya di sini tuh cuma Anisa. Lagian ya jangan dibandingin dong saya sama Ariska, dia kan model jadi udah biasa kayak gitu." Rara menggeram, gadis dihadapannya itu benar-benar. Ia belum pernah menemui gadis yang seperti itu, berpenampilan cupu tapi kelakuan urakan. Rara menatap tajam pada Angel yang terlihat tak terpengaruh sama sekali, wajahnya masih terlihat datar-datar saja. "Kamu ini!" "Ngomelnya nanti aja ya, Miss. Saya mau nganterin Anisa ke ka
Anisa duduk termenung menatap foto yang ada di ponselnya. Itu adalah fotonya bersama sang mama. Anisa hanya tinggal bersama mamanya di Bandung. Sang ayah sudah meninggal sejak usianya masih sembilan tahun, sampai sekarang pun mamanya belum mau mencari pengganti ayahnya karena rasa cinta sang mama sangatlah dalam. Air matanya menetes perlahan, gadis itu sangat merindukan mamanya. Anisa memang tak pernah berpisah lama dengan mamanya, gadis itu selalu tak tega meninggalkan mamanya seorang diri. Tapi kini ia harus meninggalkan mamanya demi mengikuti acara yang bisa dibilang konyol ini. "Hey, kenapa nangis?" Anisa segera mengusap air matanya saat mendengar suara yang dua minggu terakhir ini ikut mewarnai hari-harinya. Anisa menoleh dan tersenyum pada Angel. "Kangen mama." jawabnya dengan suara parau. Angel tersenyum lalu mengangguk ia juga merindukan ibunya, ibu yang tak akan mungkin ia temui lagi. "Setidaknya lo lebih beruntung daripada gue, Anisa." Anisa mendongak, menatap raut sedi
Angel dan keempat kakaknya tengah duduk bergerombol di bawah pohon kelapa. Mereka memutuskan untuk menghabiskan siang mereka dengan duduk bersantai di bawah pohon kelapa ditemani dengan es kelapa muda yang begitu segar. Mereka bersama-sama menikmati indahnya pemandangan yang ada di pantai itu. Anna tak ikut berkumpul karena ia lebih memilih untuk berselancar karena ombak di pantai itu lumayan bagus. Sudah lama sekali Anna tidak berselancar dan ia sangat merindukan nuansa dimana sinar matahari menyengat kulitnya, gesekan kakinya dengan air dan caranya menyeimbangkan tubuh di atas sebilah papan."Anna itu beneran teman lo, Ngel?" Tanya Rico tanpa mengalihkan pandangannya di Anna yang sedang bermain-main dengan ombak."Ya, kenapa?""Nggak. Nggak nyangka aja, lo bisa punya temen sexy begitu." ucap Rico masih tetap melihat pada Anna yang kini tengah berjalan dengan papan selancar di tangan kirinya. Tubuh gadis itu benar-benar terekpos karena ia hanya mengenakan bikin
Giornino menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar sedangkan kedua tangannya ditekuk dan dijadikan bantal untuk menopang kepalanya. Giornino menghela nafas panjang tapi setelah itu terlihat lengkungan kecil di bibirnya. Angannya melayang membayangkan apa yang akan terjadi beberapa hari yang akan datang. Apa yang akan terjadi di pulau pribadi yang disewa oleh tim Panah Asmara Giornino sebagai reward untuk pemenang acara itu. Senyumnya semakin melebar saat mengingat ia mendapatkan bocoran dari managernya jika di sana nanti ia juga akan candle light dinner bersama Ariska.Bisa dibilang Giornino sudah menunggu saat-saat seperti ini semenjak sebulan yang lalu, semenjak ia melihat foto Ariska untuk pertama kalinya. Memang beberapa waktu lalu perhatiannya agak teralihkan oleh sosok Angel tapi karena kebersamaan mereka -Giornino dan Ariska- beberapa hari belakangan ini, perasaan Giornino kembali pada Ariska meskipun sedikit berkurang dibandingkan dengan pertama
Angel membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, matanya terpejam dan senyumnya terkembang saat angin menerpa tubuhnya. Terik matahari yang membakar kulit tak membuatnya gentar untuk menikmati suasana damai yang sangat jarang ia rasakan. Namun sepertinya keadaan tak mengijinkannya merasakan santai untuk sedikit lebih lama lagi. Seseorang yang berdiri tak jauh darinya berteriak keras-keras. Angel membuka matanya, tangannya yang terbentang ia turunkan namun senyumnya masih bertahan bahkan kini makin lebar. Gadis itu tahu siapa pemilik suara itu, dia adalah pangeran berkuda putihnya, orang yang diharapkannya bisa menjadi teman hidupnya. "I LOVE BEACH!!!" Angel memalingkan wajahnya, menatap Rico yang hanya berjarak satu meter darinya. Gadis itu memasang wajah datar, seolah sebal dengan Rico yang mengganggu me time-nya."Beach or bitch?" seru Angel dengan nada sarkasnya. Rico memandang Angel, menelengkan kepalanya dengan evil smile-nya."You know me so well, my little Angel."A
Angel membawa semangkuk mie instan rebus yang masih mengepulkan uap panas ke teras belakang. Menaruhnya disamping gelas air putih miliknya. Gadis itu segera duduk dan menyalakan laptopnya, menyuapkan sesendok mienya sambil menunggu laptopnya menyala. Hari ini ia sudah berjanji pada salah seorang temannya di jejaring sosial untuk chatting pukul 4 sore. Jadi di sinilah Angel sekarang, duduk di teras belakang dengan laptop di atas meja dan semangkuk mie rebus.Angel segera membuka aplikasi sosial medianya dan segera log in. Gadis itu memakai nama aslinya sebagai username akun pribadinya itu. Ternyata sudah ada sebuah chat yang masuk ke akun pribadinya itu, Angel segera mengklik username itu dan mulai chatting. Sesekali ia juga menyuapkan mienya itu saat ia menanti balasan. Teman chat Angel bernama Anna, gadis cantik berambut pirang yang berasal dari Toronto, Kanada.On Chat Anna : Hi Angel Ang
Giornino merasa bingung dengan dirinya, beberapa saat lalu ia berada di apartmentnya dan sekarang ia sudah di sini, di koridor Rumah Sakit dengan parsel buah di tangannya. Tadi Giornino sudah bertanya pada resepsionis di mana para personil X-BOYS dirawat. Giornino menghela nafas pelan, pria itu meneruskan langkahnya menuju ruang rawat inap yang sudah di depan mata. Pria itu membuka pintu itu perlahan dan matanya langsung terpaku pada mata coklat cerah di seberang ruangan yang juga menatapnya. Mata coklat yang telah menghipnotisnya. Mata coklat yang indah, mata coklat yang tak akan membuatnya bosan meskipun ia telah lama memandangnya."Giornino!! My Bro!!"Giornino memutuskan fokusnya pada mata coklat itu dan memandang keempat sahabatnya yang tengah berada di atas ranjang rumah sakit. Dengan senyum kecilnya, Giornino melangkah mendekati Rico yang posisinya berada paling dekat dengan pintu. Pria itu berdiri di samping ranjang Rico, mengamati kondisi sahabat-saha
Matahari sudah meninggi saat satu persatu personil X-BOYS bangun dari tidurnya. Mereka masih berada di ruang UGD jadi mereka bisa melihat keadaan satu sama lain. Dion adalah orang yang bangun paling akhir, pria itu mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepalanya terasa berat dan ia merasakan nyeri di tubuhnya. Dion mencoba untuk duduk, kepalanya terasa semakin sakit saat ia semakin berusaha. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya dan sebelahnya lagi memegangi kepalanya yang terasa sakit."Hei boys, lihat sleeping beauty kita sudah bangun." seru seseorang dibarengi dengan suara kekehan yang lainnya.Dion tak menyahuti, pria itu masih memusatkan perhatiannya pada rasa sakit di kepalanya. Saat rasa sakitnya sudah mendingan, pria itu menatap teman satu grupnya yang berada disekitarnya, lebih tepatnya di ranjang mereka masing-masing. Tanpa harus diberitahu, ia tahu ia berada di rumah sakit saat ini. Selimut dan ranjang yang digunakan oleh teman-tem
Matahari sudah meninggi saat satu persatu personil X-BOYS bangun dari tidurnya. Mereka masih berada di ruang UGD jadi mereka bisa melihat keadaan satu sama lain. Dion adalah orang yang bangun paling akhir, pria itu mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepalanya terasa berat dan ia merasakan nyeri di tubuhnya. Dion mencoba untuk duduk, kepalanya terasa semakin sakit saat ia semakin berusaha. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya dan sebelahnya lagi memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Hei boys, lihat sleeping beauty kita sudah bangun." seru seseorang dibarengi dengan suara kekehan yang lainnya. Dion tak menyahuti, pria itu masih memusatkan perhatiannya pada rasa sakit di kepalanya. Saat rasa sakitnya sudah mendingan, pria itu menatap teman satu grupnya yang berada disekitarnya, lebih tepatnya di ranjang mereka masing-masing. Tanpa harus diberitahu, ia tahu ia berada di rumah sakit saat ini. Selimut dan ranjang yang digunakan oleh teman-te
Angel membuka matanya perlahan lalu menoleh kearah Anisa. Gadis itu melambai-lambaikan tangan di depan wajah Anisa memastikan bahwa gadis itu telah tenggelam dalam alam mimpi. Yakin bahwa teman sekamarnya itu telah tidur, Angel segera menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. Gadis itu berjingkat-jingkat mendekati pintu, kemudian membukanya dengan perlahan. Gadis itu berusaha sebisa mungkin tak menimbulkan kegaduhan.Beberapa kali Angel menoleh kearah Anisa yang tengah terlelap, memastikan dirinya tak tertangkap basah ingin melarikan diri. Angel mengedarkan pandangannya ke segala arah, mengamati lorong panjang di depan pintu kamarnya dengan perasaan was-was. Gadis itu juga menajamkam pendengarannya, mencoba menangkap suara sekecil apapun namun ia tak dapat mendengar apapun. Artinya kondisi sudah bisa dibilang aman. Lagipula siapa yang masih mau terjaga di pagi buta seperti ini?Angel kembali ke ranjangnya, memakaikan wig pada gulingnya dan menutupi guling itu dengan selimut hingg
Anisa membuka pintu kamarnya dengan perlahan, ia tahu Angel dalam kondisi badmood saat ini dan ia tak mau membuat mood gadis itu bertambah buruk. Anisa melangkah perlahan sampai di tengah ruangan, dari sana ia dapat melihat Angel yang tidur menelungkup di atas kasurnya. Anisa menghela nafas berat."Gue percaya sama lo." ucapnya lirih.Kalimat itu tak hanya ia ucapkan hanya untuk menenangkan Angel saja tapi karena memang itu yang ia rasakan. Anisa percaya Angel tak mungkin melakukan hal itu. Enam minggu menjadi teman sekamar Angel cukup untuknya mengetahui kebiasaan gadis itu, meskipun Angel juga bukanlah tipe orang yang terbuka.Angel berguling ke samping lalu mengambil posisi duduk, gadis itu memandang Anisa lekat-lekat mencari sesuatu dari mata gadis bersurai hitam itu. Tapi Angel tak menemukan apa-apa selain ketulusan. Senyum tipis sedikit demi sedikit mulai terbentuk di bibir merahnya.Gadis itu mengangguk dan menepuk kas