Share

Kesedihan

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-01-02 02:04:32

"Bagaimana, BI? Kamu sudah membuang anak itu?" tanya Meria yang datang menghampiri sang asisten.

Asisten rumah tangga itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tangannya gemetar saat memberikan foto bayi yang ia ambil sebelumnya. Bayi itu terlihat sedang tidur dengan kain membungkus tubuh mungilnya, seolah-olah sudah tidak bernyawa.

Meria memandang foto itu dengan puas, senyumnya penuh kepuasan. “Akhirnya masalah ini selesai. Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik. Pastikan kau tidak mengungkit hal ini lagi, apa pun yang terjadi.”

“Iya, Non. Saya mengerti,” jawab asisten rumah tangga, suaranya bergetar.

Meria menyimpan foto itu di ponselnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar dengan ekspresi penuh kemenangan. Di balik wajah tenangnya, ada rencana besar untuk menutupi skandal ini dari semua orang.

Sementara itu, asisten rumah tangga berdiri mematung, napasnya tersengal. Ia tahu tindakannya berbahaya, tetapi hatinya tidak tega membuang bayi yang tidak bersalah itu.

“Maafkan Bibi, Nak." Air matanya jatuh, perasaan bersalah bercampur dengan ketakutan akan apa yang akan terjadi jika rahasianya terbongkar.

Sementara itu di dalam ruangan, Ros yang masih lemah mendengar langkah Meria mendekat. Perasaan cemas dan harapan membaur di dalam dirinya. “Di mana anakku? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya dengan suara lemah.

Meria menatapnya dengan wajah berpura-pura sedih. “Ros, aku harus memberitahumu sesuatu. Anakmu tidak berhasil bertahan. Dia meninggal beberapa menit setelah lahir. Aku turut berduka.”

Ros merasakan dunianya hancur seketika. “Tidak… tidak mungkin…” tangisnya pecah, tubuhnya yang lemah gemetar hebat. “Anakku… anakku…”

Meria hanya memandangnya dingin. Di dalam hatinya, ia merasa menang. Lalu, datang ayah dan ibu sambungnya.

"Ros, cukup. Harusnya kamu senang anak pembawa sial itu mati!" Bukanya menenangkan Ros, Bu Haniva malah membuat Ros semakin terpukul.

"Kembalilah ke kehidupan normalmu. Anggap saja tidak pernah ada kehamilan dan kelahiran bayi sialan itu. Carilah laki-laki kaya yang bisa membantu perusak ayah bangkit, Ros," ujar Pak Bagaskara.

Ros hanya bisa menangis dalam diam, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata ayah dan ibunya menghantamnya lebih keras daripada tamparan. Mereka tidak hanya mengabaikan rasa sakitnya, tetapi juga memperlakukan anak yang baru saja dilahirkannya seolah tidak berarti apa-apa.

“Kenapa kalian begitu kejam?” gumam Ros di tengah tangisannya, suara yang nyaris tidak terdengar. “Dia anakku… darah dagingku… bagaimana kalian bisa bicara seperti itu?”

Bu Haniva mendengus, menatap Ros dengan tatapan penuh cemooh. “Kejam? Kau yang memalukan keluarga ini, Ros. Kejadian ini harusnya jadi pelajaran untukmu. Tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang sudah mati.”

Pak Bagaskara menambahkan dengan nada dingin. “Haniva benar. Anak itu tidak punya masa depan. Kau seharusnya bersyukur dia tidak hidup, karena dia hanya akan menjadi bebanmu dan beban kami.”

Ros meremas ujung seprai lebih kuat, seolah mencoba menahan semua amarah, rasa sakit, dan kekecewaan yang membanjiri dirinya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Perlahan, di balik tangisannya, ada api kecil yang mulai menyala di dalam hatinya.

Ia mengangkat wajahnya, meskipun matanya masih basah oleh air mata. “Kalian salah,” katanya dengan suara yang mulai tegas, meskipun lemah. “Anak itu bukan pembawa sial. Dia adalah segalanya untukku. Dan kalian… kalian tidak punya hak untuk mengatur hidupku lagi.”

Pak Bagaskara terkejut mendengar kata-kata itu. “Apa maksudmu, Ros?”

Ros menatap ayahnya, meskipun matanya masih penuh air mata. “Aku akan bangkit. Aku akan melanjutkan hidupku, tapi bukan dengan cara yang kalian inginkan. Aku tidak butuh laki-laki kaya atau bantuan siapa pun. Aku akan menjadi kuat sendiri, untuk anakku, meskipun dia sudah tiada.”

Bu Haniva tertawa kecil, sinis. “Oh, sungguh? Dan bagaimana kau akan melakukannya, Ros? Kau bahkan tidak punya apa-apa.”

Ros berdiri perlahan, meskipun tubuhnya masih lemah. “Kalian lihat saja. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak butuh kalian, atau siapa pun, untuk menjadi seseorang yang lebih baik.”

"Jangan gila kamu Ros! Kamu masih lemah dan pendarahan tadi jika bukan kami yang menolong mungkin nasib kamu akan sama dengan anak kandung kamu." Lagi, Haniva membuat Ros semakin emosi.

"Kenapa tidak kalian biarkan aku mati hah? Aku tidak Sudi berhutang nyawa dengan kalian!" Ros menatap tajam ibu sambungnya, tangan itu kembali mengepal keras. Namun, tubuhnya masih sangat lemah untuk bangkit bahkan bangun dari tempat tidur.

Haniva tertawa kecil, sinis, menatap Ros dengan penuh kemenangan. “Kau ingin mati? Jangan konyol, Ros. Kau pikir kematian itu akan menyelesaikan semuanya? Tidak. Kami menyelamatkanmu karena kami masih punya rencana untukmu. Jangan sia-siakan itu.”

Ros semakin gemetar mendengar kata-kata itu. Napasnya terasa sesak, amarahnya memuncak, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Matanya memerah, penuh dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.

“Kalian tidak menyelamatkanku karena peduli. Kalian menyelamatkanku karena kalian hanya peduli pada rencana busuk kalian sendiri,” kata Ros dengan suara bergetar. “Aku benci kalian… aku tidak butuh kalian…”

Pak Bagaskara mendekat, suaranya rendah namun tajam. “Berhenti berdrama, Ros. Hidup ini keras, dan kau harus realistis. Kalau kau mau tetap hidup, ikut aturan kami. Bangkit, bersihkan nama keluarga ini, dan lakukan apa yang seharusnya kau lakukan.”

Ros memalingkan wajahnya, air mata terus mengalir. Ia merasa seperti boneka yang dipermainkan, tak punya hak untuk memilih jalannya sendiri.

“Tapi ingat ini, Ros,” Haniva menambahkan dengan nada penuh ancaman, “kalau kau melawan, kau tidak akan punya apa-apa. Kau akan sendirian, dan aku jamin dunia di luar sana tidak akan lebih baik untukmu. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum melawan kami.”

Ros tetap diam, tidak menjawab. Dalam hatinya, dia tahu bahwa mereka tidak akan pernah berubah. Namun, dia bersumpah dalam diam, dia akan menemukan caranya sendiri untuk bangkit. Meskipun tubuhnya lemah sekarang, hatinya tidak akan menyerah.

Ia hanya menunggu waktu.

"Cukup, jangan pikir aku akan menjadi boneka kalian lagi. Kenapa tidak Meria saja yang kalian tumbalkan, kenapa harus aku?"

Related chapters

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pemberontakan

    Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu. "Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram. Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan. "Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra." "Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sen

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pertemuan dengan Nyoba Baik

    "Non, saya tidak tahu apa pun. Bayi Non memang sudah meninggal. Tangisnya sempat berhenti saat non pendarahan lali kehabisan oksigen yang memang harusnya bayi baru lahir itu mendapati hal yang lebih baik."Lagi-lagi Ros kecewa. Dia berharap ini semua mimpi. Namun, kembali terpatahkan oleh kenyataan."Non, anak Non sudah meninggal dan sudah takdir."Ros terdiam, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Bi Mina. Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang mampu mengalir. Rasanya seperti seluruh harapan yang tersisa kembali hancur berkeping-keping.“Takdir?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa semuanya selalu menyebut ini takdir? Kenapa takdir Tuhan begitu kejam padaku?”Bi Mina menghela napas panjang, hatinya terasa berat melihat Ros yang semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan apa pun. Ancaman Meria masih membayangi pikirannya.“Non, kadang kita tidak tahu rencana Tuhan. Tapi Non harus kuat, meskipun ini berat,”

    Last Updated : 2025-01-02
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Sebuah Penghinaan

    “Pria mana yang sudah membayarmu, hah? Berapa yang kamu dapatkan!?”Rosa menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak percaya kalimat merendahkan itu keluar dari calon ibu mertuanya.Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia untuk Rosa. Ia akan menikah dengan pacarnya setelah sekian lama menjalin hubungan dan Rosa diundang ke rumah Narendra, tunangannya, untuk membicarakan pernikahan. Namun, semuanya hancur sesaat ketika Rosa tiba-tiba pingsan di tengah-tengah makan malam dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah, dokter yang memeriksanya kemudian menyatakan bahwa Rosa tengah hamil.Tepat ketika Rosa dinyatakan hamil, cacian langsung dilontarkan padanya secara bertubi-tubi dari keluarga tunangannya.Terutama sang ibu yang sebenarnya masih tidak menghendaki putranya menikah dengan Rosa.“Jujur, aku bahkan tidak terkejut,” ucap ibu Narendra, sekali lagi. “Tapi apakah menurutmu putraku masih sudi menikahi wanita murahan sepertimu?”Hati Rosa mencelos. Seperti baru tersadar akan k

    Last Updated : 2025-01-01
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Tangis Kesedihan

    Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka."Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!"Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk

    Last Updated : 2025-01-01
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Melahirkan

    "Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?" tanya sang ayah."Ayah cukup, anak ini bukan anak pembawa sial," ucap Ros dengan tangis."Kamu bilang bukan pembawa sial? Lalu apa namanya kalau kehadirannya membuat semua berantakan. Pernikahan kamu dan Naren batal juga investasi yang keluarga Narendra janjikan di batalkan dan kamu tahu semua itu berdampak besar dalam bisnis ayah!" Pak Bagaskara meradang dengan apa yang di lontarkan sang anak.Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.“Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa

    Last Updated : 2025-01-01
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Buang Bayi itu!

    Ros tersenyum lemah, kelelahan yang luar biasa terpancar di wajahnya. Tapi ketika ia melihat bayi mungil itu, hatinya seolah diselimuti rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya jatuh, bukan lagi karena sakit atau sedih, tetapi karena kebahagiaan yang luar biasa.“Anakku… laki-laki…” bisiknya dengan suara gemetar, tangannya perlahan terulur untuk menyentuh wajah kecil itu.Bayi itu menangis dengan keras, tubuhnya masih merah dan basah, namun terlihat sehat. Namun, perkataan asisten rumah tangga membuat Ros sedikit terkejut. “Tanda hitam?” tanyanya lemah, matanya mencari tanda yang dimaksud.Asisten rumah tangga menunjuk sebuah tanda hitam berbentuk seperti bulan sabit kecil di pinggang bayi itu. “Iya, Non. Tapi jangan khawatir, mungkin itu cuma tanda lahir,” ujarnya mencoba menenangkan Ros, meskipun ada sedikit keraguan di matanya."Non, bayi non kenapa berhenti menangis?""Ni, ada apa?"Ros panik, tapi dia kembali merasakan sakit luar biasa. Darah terus mengali

    Last Updated : 2025-01-01

Latest chapter

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pertemuan dengan Nyoba Baik

    "Non, saya tidak tahu apa pun. Bayi Non memang sudah meninggal. Tangisnya sempat berhenti saat non pendarahan lali kehabisan oksigen yang memang harusnya bayi baru lahir itu mendapati hal yang lebih baik."Lagi-lagi Ros kecewa. Dia berharap ini semua mimpi. Namun, kembali terpatahkan oleh kenyataan."Non, anak Non sudah meninggal dan sudah takdir."Ros terdiam, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Bi Mina. Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang mampu mengalir. Rasanya seperti seluruh harapan yang tersisa kembali hancur berkeping-keping.“Takdir?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa semuanya selalu menyebut ini takdir? Kenapa takdir Tuhan begitu kejam padaku?”Bi Mina menghela napas panjang, hatinya terasa berat melihat Ros yang semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan apa pun. Ancaman Meria masih membayangi pikirannya.“Non, kadang kita tidak tahu rencana Tuhan. Tapi Non harus kuat, meskipun ini berat,”

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pemberontakan

    Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu. "Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram. Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan. "Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra." "Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sen

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Kesedihan

    "Bagaimana, BI? Kamu sudah membuang anak itu?" tanya Meria yang datang menghampiri sang asisten.Asisten rumah tangga itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tangannya gemetar saat memberikan foto bayi yang ia ambil sebelumnya. Bayi itu terlihat sedang tidur dengan kain membungkus tubuh mungilnya, seolah-olah sudah tidak bernyawa.Meria memandang foto itu dengan puas, senyumnya penuh kepuasan. “Akhirnya masalah ini selesai. Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik. Pastikan kau tidak mengungkit hal ini lagi, apa pun yang terjadi.”“Iya, Non. Saya mengerti,” jawab asisten rumah tangga, suaranya bergetar.Meria menyimpan foto itu di ponselnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar dengan ekspresi penuh kemenangan. Di balik wajah tenangnya, ada rencana besar untuk menutupi skandal ini dari semua orang.Sementara itu, asisten rumah tangga berdiri mematung, napasnya tersengal. Ia tahu tindakannya berbahaya, tetapi hatinya tidak tega membuang bayi yang tidak bersa

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Buang Bayi itu!

    Ros tersenyum lemah, kelelahan yang luar biasa terpancar di wajahnya. Tapi ketika ia melihat bayi mungil itu, hatinya seolah diselimuti rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya jatuh, bukan lagi karena sakit atau sedih, tetapi karena kebahagiaan yang luar biasa.“Anakku… laki-laki…” bisiknya dengan suara gemetar, tangannya perlahan terulur untuk menyentuh wajah kecil itu.Bayi itu menangis dengan keras, tubuhnya masih merah dan basah, namun terlihat sehat. Namun, perkataan asisten rumah tangga membuat Ros sedikit terkejut. “Tanda hitam?” tanyanya lemah, matanya mencari tanda yang dimaksud.Asisten rumah tangga menunjuk sebuah tanda hitam berbentuk seperti bulan sabit kecil di pinggang bayi itu. “Iya, Non. Tapi jangan khawatir, mungkin itu cuma tanda lahir,” ujarnya mencoba menenangkan Ros, meskipun ada sedikit keraguan di matanya."Non, bayi non kenapa berhenti menangis?""Ni, ada apa?"Ros panik, tapi dia kembali merasakan sakit luar biasa. Darah terus mengali

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Melahirkan

    "Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?" tanya sang ayah."Ayah cukup, anak ini bukan anak pembawa sial," ucap Ros dengan tangis."Kamu bilang bukan pembawa sial? Lalu apa namanya kalau kehadirannya membuat semua berantakan. Pernikahan kamu dan Naren batal juga investasi yang keluarga Narendra janjikan di batalkan dan kamu tahu semua itu berdampak besar dalam bisnis ayah!" Pak Bagaskara meradang dengan apa yang di lontarkan sang anak.Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.“Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Tangis Kesedihan

    Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka."Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!"Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Sebuah Penghinaan

    “Pria mana yang sudah membayarmu, hah? Berapa yang kamu dapatkan!?”Rosa menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak percaya kalimat merendahkan itu keluar dari calon ibu mertuanya.Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia untuk Rosa. Ia akan menikah dengan pacarnya setelah sekian lama menjalin hubungan dan Rosa diundang ke rumah Narendra, tunangannya, untuk membicarakan pernikahan. Namun, semuanya hancur sesaat ketika Rosa tiba-tiba pingsan di tengah-tengah makan malam dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah, dokter yang memeriksanya kemudian menyatakan bahwa Rosa tengah hamil.Tepat ketika Rosa dinyatakan hamil, cacian langsung dilontarkan padanya secara bertubi-tubi dari keluarga tunangannya.Terutama sang ibu yang sebenarnya masih tidak menghendaki putranya menikah dengan Rosa.“Jujur, aku bahkan tidak terkejut,” ucap ibu Narendra, sekali lagi. “Tapi apakah menurutmu putraku masih sudi menikahi wanita murahan sepertimu?”Hati Rosa mencelos. Seperti baru tersadar akan k

DMCA.com Protection Status