Share

Pemberontakan

Penulis: Galuh Arum
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 12:13:34

Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu.

"Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram.

Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan.

"Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra."

"Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sendiri?”

Pak Bagaskara menatapnya dengan mata menyala. “Diam, Ros! Jangan bicara seolah-olah kau tidak bersalah. Semua ini terjadi karena kebodohanmu sendiri!”

Ros tertawa kecil, meskipun air matanya mengalir deras. “Kebodohan? Apa cinta itu salah, Ayah? Apa aku salah mencintai Narendra dengan tulus? Atau salahku karena kalian tidak bisa mendapatkan keuntungan dari hubungan kami? Aku tahu, sejak awal semua ini bukan tentang aku, tapi tentang keserakahan kalian!”

Haniva, yang berdiri di samping Pak Bagaskara, tampak gusar. “Cukup, Ros! Kau sudah berbicara terlalu jauh. Kau harus tahu tempatmu!”

Ros menggelengkan kepala, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya semakin kuat. “Aku tahu tempatku, Bu Haniva. Tempatku bukan di sini, bukan di keluarga yang hanya melihatku sebagai alat. Aku bukan kalian. Aku masih punya hati, sesuatu yang jelas-jelas kalian buang demi ambisi.”

Pak Bagaskara mengangkat tangannya, seolah ingin menampar Ros lagi. Namun kali ini, ia menghentikan dirinya sendiri. Amarahnya hanya membuatnya terdiam, tidak mampu membantah kebenaran yang diucapkan putrinya.

Ros memalingkan wajahnya, tidak ingin menunjukkan kelemahannya lagi di hadapan mereka. Dengan suara yang lemah tapi penuh keyakinan, ia berkata, “Aku akan pergi dari sini. Kalian sudah kehilangan aku sejak lama. Tapi ingat satu hal aku tidak akan pernah memaafkan kalian atas semua ini apalagi dengan kematian anakku!"

Ros menangis tersedu-sedu, tangannya menutupi wajah, seolah ingin menghapus rasa sakit yang menghantam hatinya tanpa ampun. Tubuhnya yang lemah semakin gemetar, dipenuhi amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam.

Haniva hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Berhentilah menyalahkan orang lain, Ros. Ini sudah takdir. Anak itu memang tidak seharusnya hidup.”

Ros menurunkan tangannya perlahan, menatap Haniva dengan mata merah yang penuh air mata. “Bukan takdir! Kalian yang memutuskan semuanya. Kalian yang memilih untuk membiarkanku terlambat mendapatkan bantuan! Jangan pernah bicara soal takdir jika kalian adalah penyebab semuanya!”

Pak Bagaskara yang berada di samping Haniva mencoba meredam situasi, meskipun nada suaranya tetap keras. “Ros, berhentilah! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan terus menyalahkan kami. Kehidupan ini memang tidak selalu adil. Terima kenyataan dan lanjutkan hidupmu.”

Ros menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir. “Adil? Apa arti keadilan bagi kalian? Tuhan memang mungkin memberikan cobaan, tapi kejamnya kalian yang membuat segalanya lebih buruk! Aku kehilangan anakku… dia satu-satunya alasan aku bertahan di tengah semua ini. Dan sekarang dia sudah tiada, semua karena kalian!”

Ia menunduk lagi, menangis tanpa suara. Lalu, dengan suara lirih namun penuh rasa sakit, ia bergumam, “Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa aku yang harus mengalami semua ini? Apa salahku?”

Hening sejenak, hanya suara tangisan Ros yang memenuhi ruangan. Haniva dan Bagaskara memilih diam, tidak mampu menjawab kata-kata Ros. Di satu sisi, mereka merasa bahwa Ros hanya berlebihan, tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa mereka tidak sepenuhnya tak bersalah.

Namun, bagi Ros, semua itu tidak lagi penting. Di dalam dirinya, amarah, rasa sakit, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi ia juga tahu, di dalam kehancurannya, ia harus menemukan cara untuk bangkit, meskipun jalannya penuh duri dan luka.

***

Tiga hari Ros sudah diperbolehkan pulang. Pedih rasanya, dia melihat orang lahiran pulang membawa bayi mereka. Sedangkan Ros, dia hanya bisa menangisi kehilangan nya.

"Non Ros sudah pulang?" tanya asisten rumah tangganya.

Wanita tua itu ingin sekali mengatakan hal sebenernya tentang sang bayi, tapi Meria sudah mengancam untuk diam dan tak boleh buka suara.

Ros mengangguk lemah, wajahnya pucat tanpa semangat. Ia berjalan masuk ke rumah dengan langkah gontai, matanya masih sembab karena tangis yang tak kunjung reda. “Iya, Bi… aku sudah pulang,” jawabnya dengan suara serak.

Asisten rumah tangga itu, seorang wanita tua bernama Bi Mina, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. Hatinya terasa berat melihat kondisi Ros yang begitu hancur. Ia tahu kebenaran yang sebenarnya, tapi ancaman Meria membayanginya seperti awan gelap.

“Non… Non harus kuat, ya,” ucap Bi Mina dengan hati-hati, mencoba memberi sedikit kekuatan.

Ros tersenyum pahit, menatap Bi Mina dengan mata yang penuh luka. “Kuat, Bi? Untuk apa aku kuat? Aku bahkan tidak punya alasan untuk bertahan lagi…” suaranya pecah di akhir kalimat, membuat air mata kembali mengalir di pipinya.

Ros mengemasi bajunya, tekadnya bulat untuk pergi dari neraka itu. Entah kemana, dirinya pun belum tahu arah dan tujuan nya kali ini.

Bi Mina ingin sekali mengatakan sesuatu, ingin memberitahu bahwa bayi Ros sebenarnya masih hidup. Tapi bayangan ancaman Meria membuatnya menelan kembali kata-kata yang hampir terucap.

“Sabar, Non. Tuhan pasti punya rencana lain untuk Non,” ucap Bi Mina dengan nada lembut, meskipun hatinya diliputi rasa bersalah.

Ros hanya diam, tak merespons. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal erat-erat, seolah mencari pelukan yang tak bisa lagi ia dapatkan. Bi Mina memandangnya dengan air mata menggenang di sudut mata.

“Maafkan Bibi, Non,” gumam Bi Mina pelan, hampir seperti bisikan yang hanya bisa ia dengar sendiri. “Suatu saat… Bibi harap Non akan tahu kebenarannya.”

Namun untuk saat ini, Bi Mina hanya bisa diam, berdoa agar Tuhan memberikan jalan terbaik bagi Ros, sekaligus kekuatan untuk menanggung semua beban yang menimpanya.

"Non mau ke mana? Bukannya masih sangat lemas?" tanya Bi Mina.

"Aku tidak bisa lama-lama di rumah ini. Bi, satu pertanyaan aku tolong jawab dengan benar."

"Apa non?"

"Kenapa bisa anakku meninggal sedangkan saat aku melihatnya dia menangis kencang?"

Bi Mina terkesiap saat itu, entah apa yang akan dia katakan bahkan dusta yang mungkin akan dia simpan seumur hidup.

"Bi, apa ini ada hubungannya dengan mereka? Atau sebenarnya anakku masih hidup dan bibi menyembunyikan nya?"

Bab terkait

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pertemuan dengan Nyoba Baik

    "Non, saya tidak tahu apa pun. Bayi Non memang sudah meninggal. Tangisnya sempat berhenti saat non pendarahan lali kehabisan oksigen yang memang harusnya bayi baru lahir itu mendapati hal yang lebih baik."Lagi-lagi Ros kecewa. Dia berharap ini semua mimpi. Namun, kembali terpatahkan oleh kenyataan."Non, anak Non sudah meninggal dan sudah takdir."Ros terdiam, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Bi Mina. Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang mampu mengalir. Rasanya seperti seluruh harapan yang tersisa kembali hancur berkeping-keping.“Takdir?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa semuanya selalu menyebut ini takdir? Kenapa takdir Tuhan begitu kejam padaku?”Bi Mina menghela napas panjang, hatinya terasa berat melihat Ros yang semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan apa pun. Ancaman Meria masih membayangi pikirannya.“Non, kadang kita tidak tahu rencana Tuhan. Tapi Non harus kuat, meskipun ini berat,”

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Nyonya Agata

    Ada sebuah keraguan di mata Ros, wanita tua di hadapannya baru saja dia kenal bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Mana mungkin bisa menceritakan kesedihannya pada orang yang baru baru dan mungkin saja sangat bahaya. Belajar dari sebuah pengalaman yang ternyata menghancurkan hidupnya. "Nak, katakan apa yang membuat kamu seperti sedang tertekan?" tanya Nyonya itu. Manik mata yang sudah tua itu, menatap penuh harap. "Maaf, saya tidak apa-apa dan tidak sedang tertekan." Ros mencoba berdusta, tapi nyatanya dia sangat gugup. "Kamu bisa percaya sama saya. Saya tidak jahat dan bisa membantu kamu," ujar nyonya Agata kembali meyakinkan Ros. "Ta--tapi saya benar-benar tidak sedang ada masalah." Lagi, Ros mencoba untuk tidak menceritakan hal yang baginya sangat sensitif pada orang asing. Nyonya Agata menarik napas panjang. "Baiklah jika kamu merasa belum bisa cukup percaya. Kamu mau saya antar pulang?" tanya Nyonya Agata lagi. Ros menatap Nyonya Agata dengan ragu. Tawaran itu terdeng

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Jadilah Cucuku

    "Apa kau pikir aku orang jahat?" tanya Oma Agata kali ini. "Bukan seperti, tapi saya tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang baru saya kenal Oma. Hidup saya pun hancur berawal dari orang yang tidak saya kenal." Akhirnya Ros berani mengeluarkan suara lagi."Benarkah itu?" Oma Agata serius dengan bertanya pada Ros kembali. Ros menarik napas panjang, dia tak mau kembali mengingat tapi bagaimana pun kejadian itu andil dalam hidupnya kini.Ros menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang kembali muncul. Napasnya tersendat, namun tatapan Oma Agata yang penuh pengertian membuatnya merasa sedikit lebih nyaman untuk bicara.“Ya, Oma. Semuanya dimulai dari seseorang yang aku kira tidak penting. Orang asing yang tiba-tiba masuk ke hidupku dan… menghancurkan segalanya. Sejak itu, aku sulit percaya pada siapa pun,” ucap Ros dengan suara bergetar.Oma Agata mengangguk perlahan, menyimak dengan penuh perhatian. “Aku bisa mengerti. Luka seperti itu pasti meninggalkan bekas yang dalam. Tapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pertemuan dengan ayah dan anak

    Lima tahun kemudian Ros sudah sampai di rumah megah milik Nyonya Agata. Dirinya sengaja pulang dulu dan berganti pakaian. Dirinya sangat lelah karena setelah dia bertugas mengecek beberapa pasien anak yang baru saja akan pulang, dirinya pun harus menjaga Oma Agata yang sedang di rawat di rumah sakit. "Non, hari ini apa kondisi Nyonya besar sudah pulih?" tanya Bi Siti. "Alhamdulillah sudah, Bi. Tadi saya enggak bawa baju. Mandi di rumah sakit agak gimana gitu, Bi," ucap Ros. "Iya sih. Non, pokonya kabarin kondisi Nyonya. Sepi banget kalau enggak ada Nyonya besar." Bi Siti kepala pelayan kembali bicara. Ros tersenyum tipis, meskipun hatinya masih sedikit gundah. "Iya, Bi. Saya pasti kabarin terus. Doain aja Nyonya cepat pulih, ya."Bi Siti mengangguk semangat, matanya penuh harap. "Pasti, Non. Saya selalu doain yang terbaik buat Nyonya besar. Kalau Nyonya sudah pulang, rumah ini pasti ramai lagi. Rasanya kosong banget kalau beliau enggak ada.""Non, kalau Non Ros capek, istirahat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Pertimbangan

    Nicolas mencoba menarik napas dan menghilangkan egonya. sang anak sangat nyaman dengan Ros. mana mungkin dia asal mengambilnya. Nicolas memperhatikan Rosa dengan tatapan tak lepas, bagaimana wanita itu dengan penuh kesabaran membersihkan darah yang mengalir di sekitar infus di tangan kecil El. Gerakannya begitu lembut, hampir seperti takut menyakiti bocah itu. Sesekali, Rosa berbicara pelan pada El, menenangkan anak itu dengan senyuman yang tulus. Nicolas berusaha memahami perasaan aneh yang menjalari hatinya. Pandangannya bergantian tertuju pada Rosa dan El—dua sosok yang tampak begitu serasi dalam momen ini. "Apakah karena El tak pernah punya ibu," gumam Nicolas lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri, "aku jadi melihat keduanya seperti ibu dan anak kandung?" Rosa mendongak sebentar, memberi anggukan kecil. "Sudah selesai," katanya singkat, suaranya tetap lembut. Ia kembali mengelus kepala El. Nicolas menelan ludah, perasaan rumit menggelayuti benaknya. Dari k

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Sebuah Tawaran

    Rosa menunduk sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Tawaran itu begitu menggiurkan, tapi juga membingungkan. Ia tidak pernah membayangkan akan dihadapkan pada pilihan seperti ini."Terima kasih atas tawarannya, Nyonya," jawab Rosa akhirnya, suaranya tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. "Tapi... ini adalah keputusan besar. Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkannya?"Nyonya Sandrina tersenyum tipis, seolah telah menduga jawaban itu. "Tentu saja, Rosa. Saya tidak meminta keputusan segera. Pikirkan baik-baik. Saya hanya ingin yang terbaik untuk El, dan saya percaya, kamu adalah orang yang tepat."Rosa mengangguk pelan. Matanya kembali terarah pada El. Dalam benaknya, bayangan tentang pekerjaan baru itu mulai terbentuk—kesempatan besar, namun penuh tanggung jawab. Di satu sisi, banyak hal yang akan tertunda. Semua yang sudah di planing olehnya mungkin akan dia jadwal ulang kembali. "Saya akan memberi kabar secepatnya, Nyonya," kata Rosa, menatap Nyonya S

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Kebimbangan

    "Tuan, di mana kita pernah bertemu?" tanya Ros. Ros merasa aneh, pria kaya dan tampan seperti Nicolas pernah bertemu dengannya, tapi di mana? "Ah, sudah lupakan. Ros, saya pergi dulu." Rosa mengernyit mendengar jawaban itu. Ada sesuatu yang terasa ganjil, seperti ada cerita yang belum diungkapkan sepenuhnya oleh Nicolas. Tapi sebelum ia sempat menanyakan lebih lanjut, pria itu sudah berbalik. "Tuan Nicolas, tunggu," panggil Rosa. Ia melangkah maju, merasa ada sesuatu yang penting untuk dipahami. "Kenapa Anda bilang kita harus melupakan? Kalau memang kita pernah bertemu, saya ingin tahu." Nicolas berhenti sejenak, punggungnya masih menghadap Rosa. Ia tampak ragu, seperti sedang mempertimbangkan apakah ia harus menjelaskan atau tetap diam. "Ada banyak hal dalam hidup yang lebih baik dibiarkan berlalu, Rosa," ucap Nicolas tanpa menoleh. "Tapi—" Rosa ingin menyela, namun Nicolas melanjutkan. "Dan tentang tawaran ibuku," ia berbalik sedikit, matanya bertemu dengan Rosa. "A

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Peraturan sang Tuan

    Ros tergesa-gesa menghampiri ruangan El karna cemas anak itu menangis dan tidak tenang. "Bagaimana Tuan muda El? tanya RosKetika Rosa masuk ke ruangan El, ia melihat Suster Ana sedang mencoba menenangkan anak itu yang tampak gelisah di tempat tidurnya. Wajah El memerah, dan ia menggerakkan tangan kecilnya dengan resah."Tuan muda El kenapa?" tanya Rosa dengan nada cemas, segera menghampiri tempat tidur.Suster Ana menoleh, ekspresinya penuh kelelahan. "Dia terbangun mendadak dan menangis terus-menerus. Sepertinya dia merasa tidak nyaman atau sedang mencari seseorang."Rosa segera duduk di samping El dan menyentuh pipi kecilnya dengan lembut. "Tuan muda El, ini aku, Rosa," katanya dengan suara menenangkan. Anak itu membuka mata perlahan, lalu memandang Rosa dengan sorot mata yang masih basah oleh air mata.Seketika, tangis El mereda. Ia menggenggam jari Rosa dengan erat, seolah menemukan kenyamanan yang telah hilang.Suster Ana memperhatikan dengan takjub. "Sepertinya dia memang sang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Flash Back

    Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap. Suaranya tegas namun tetap lembut, mencoba meyakinkan wanita muda di depannya."Tidak masalah, Ros. Dan aku mau kamu menikah dengan Nicolas."Ros terkejut mendengar pernyataan itu. Hatinya mencelos, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Pernikahan? Dengan Nicolas? Itu terdengar mustahil baginya.Ros menggeleng pelan. "Nyonya… aku tidak pantas untuk Tuan Nicolas."Matanya mulai memanas, ada begitu banyak luka yang belum sembuh, begitu banyak beban yang masih ia pikul. Bagaimana bisa ia menjadi istri pria itu? Seorang pria yang bahkan tidak mencintainya? Seorang pria yang dulu, tanpa sadar, telah menghancurkan hidupnya?Nyonya Sandrina mendekat, menggenggam tangan Ros erat.Nyonya Sandrina menatap Ros dengan penuh harap, berharap wanita muda itu menerima keputusannya.Nyonya Sandrina berkata lembut namun tegas. "Nicolas harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Aku tahu menjadi dirimu sa

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Dugaan

    "Ada apa denganmu, Nic?" Bu Sandrina bingung dengan wajah penuh cemas sang anak. Apalagi saat sekarang Nico berbicara sangat pelan. Apa yang dia takutkan? Ini rumahnya kenapa seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katakan ada apa?" Tidak sabar, Bu Sandrina kembali memaksa Nicolas "Rosalia, adalah wanita yang pernah aku ceritakan pada Mama saat enam tahun lalu sebelum aku menikahi Erika." Bu Sandrina terkejut lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa ini pikirnya, sebuah kebetulan ataukah.... "Dan, aku baru tahu hari ini dan juga Rosalia pernah hamil anakku sepertinya. Tapi, dia bilang anak itu sehat saat dilahirkan. Akan tetapi, setelah itu tidak lama mereka mengatakan bayi Ros meninggal." Nicolas berkata dengan suara pelan. Lagi-lagi dia takut ada yang mendengar walau sudah tertutup pintu ruangan kerja miliknya. "Ada yang aku heran, kenapa Ros bertanya padaku tentang El? Apa dia kira El adalah anaknya?""Kalau El anaknya, ya berarti El anak kandung kamu juga." Sontak uc

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    sesuatu yang mustahil

    "Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Maaf yang terlambat

    Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Sebuah Kenyataan

    "Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Api Cemburu

    Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Sebuah Kebenaran

    Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Tangis El

    Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki

  • Bayi Presdir: Tante, Jadi Mamaku Ya!    Kecemasan

    Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status