Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu.
"Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram. Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan. "Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra." "Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sendiri?” Pak Bagaskara menatapnya dengan mata menyala. “Diam, Ros! Jangan bicara seolah-olah kau tidak bersalah. Semua ini terjadi karena kebodohanmu sendiri!” Ros tertawa kecil, meskipun air matanya mengalir deras. “Kebodohan? Apa cinta itu salah, Ayah? Apa aku salah mencintai Narendra dengan tulus? Atau salahku karena kalian tidak bisa mendapatkan keuntungan dari hubungan kami? Aku tahu, sejak awal semua ini bukan tentang aku, tapi tentang keserakahan kalian!” Haniva, yang berdiri di samping Pak Bagaskara, tampak gusar. “Cukup, Ros! Kau sudah berbicara terlalu jauh. Kau harus tahu tempatmu!” Ros menggelengkan kepala, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya semakin kuat. “Aku tahu tempatku, Bu Haniva. Tempatku bukan di sini, bukan di keluarga yang hanya melihatku sebagai alat. Aku bukan kalian. Aku masih punya hati, sesuatu yang jelas-jelas kalian buang demi ambisi.” Pak Bagaskara mengangkat tangannya, seolah ingin menampar Ros lagi. Namun kali ini, ia menghentikan dirinya sendiri. Amarahnya hanya membuatnya terdiam, tidak mampu membantah kebenaran yang diucapkan putrinya. Ros memalingkan wajahnya, tidak ingin menunjukkan kelemahannya lagi di hadapan mereka. Dengan suara yang lemah tapi penuh keyakinan, ia berkata, “Aku akan pergi dari sini. Kalian sudah kehilangan aku sejak lama. Tapi ingat satu hal aku tidak akan pernah memaafkan kalian atas semua ini apalagi dengan kematian anakku!" Ros menangis tersedu-sedu, tangannya menutupi wajah, seolah ingin menghapus rasa sakit yang menghantam hatinya tanpa ampun. Tubuhnya yang lemah semakin gemetar, dipenuhi amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Haniva hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Berhentilah menyalahkan orang lain, Ros. Ini sudah takdir. Anak itu memang tidak seharusnya hidup.” Ros menurunkan tangannya perlahan, menatap Haniva dengan mata merah yang penuh air mata. “Bukan takdir! Kalian yang memutuskan semuanya. Kalian yang memilih untuk membiarkanku terlambat mendapatkan bantuan! Jangan pernah bicara soal takdir jika kalian adalah penyebab semuanya!” Pak Bagaskara yang berada di samping Haniva mencoba meredam situasi, meskipun nada suaranya tetap keras. “Ros, berhentilah! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan terus menyalahkan kami. Kehidupan ini memang tidak selalu adil. Terima kenyataan dan lanjutkan hidupmu.” Ros menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir. “Adil? Apa arti keadilan bagi kalian? Tuhan memang mungkin memberikan cobaan, tapi kejamnya kalian yang membuat segalanya lebih buruk! Aku kehilangan anakku… dia satu-satunya alasan aku bertahan di tengah semua ini. Dan sekarang dia sudah tiada, semua karena kalian!” Ia menunduk lagi, menangis tanpa suara. Lalu, dengan suara lirih namun penuh rasa sakit, ia bergumam, “Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa aku yang harus mengalami semua ini? Apa salahku?” Hening sejenak, hanya suara tangisan Ros yang memenuhi ruangan. Haniva dan Bagaskara memilih diam, tidak mampu menjawab kata-kata Ros. Di satu sisi, mereka merasa bahwa Ros hanya berlebihan, tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa mereka tidak sepenuhnya tak bersalah. Namun, bagi Ros, semua itu tidak lagi penting. Di dalam dirinya, amarah, rasa sakit, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi ia juga tahu, di dalam kehancurannya, ia harus menemukan cara untuk bangkit, meskipun jalannya penuh duri dan luka. *** Tiga hari Ros sudah diperbolehkan pulang. Pedih rasanya, dia melihat orang lahiran pulang membawa bayi mereka. Sedangkan Ros, dia hanya bisa menangisi kehilangan nya. "Non Ros sudah pulang?" tanya asisten rumah tangganya. Wanita tua itu ingin sekali mengatakan hal sebenernya tentang sang bayi, tapi Meria sudah mengancam untuk diam dan tak boleh buka suara. Ros mengangguk lemah, wajahnya pucat tanpa semangat. Ia berjalan masuk ke rumah dengan langkah gontai, matanya masih sembab karena tangis yang tak kunjung reda. “Iya, Bi… aku sudah pulang,” jawabnya dengan suara serak. Asisten rumah tangga itu, seorang wanita tua bernama Bi Mina, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas. Hatinya terasa berat melihat kondisi Ros yang begitu hancur. Ia tahu kebenaran yang sebenarnya, tapi ancaman Meria membayanginya seperti awan gelap. “Non… Non harus kuat, ya,” ucap Bi Mina dengan hati-hati, mencoba memberi sedikit kekuatan. Ros tersenyum pahit, menatap Bi Mina dengan mata yang penuh luka. “Kuat, Bi? Untuk apa aku kuat? Aku bahkan tidak punya alasan untuk bertahan lagi…” suaranya pecah di akhir kalimat, membuat air mata kembali mengalir di pipinya. Ros mengemasi bajunya, tekadnya bulat untuk pergi dari neraka itu. Entah kemana, dirinya pun belum tahu arah dan tujuan nya kali ini. Bi Mina ingin sekali mengatakan sesuatu, ingin memberitahu bahwa bayi Ros sebenarnya masih hidup. Tapi bayangan ancaman Meria membuatnya menelan kembali kata-kata yang hampir terucap. “Sabar, Non. Tuhan pasti punya rencana lain untuk Non,” ucap Bi Mina dengan nada lembut, meskipun hatinya diliputi rasa bersalah. Ros hanya diam, tak merespons. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal erat-erat, seolah mencari pelukan yang tak bisa lagi ia dapatkan. Bi Mina memandangnya dengan air mata menggenang di sudut mata. “Maafkan Bibi, Non,” gumam Bi Mina pelan, hampir seperti bisikan yang hanya bisa ia dengar sendiri. “Suatu saat… Bibi harap Non akan tahu kebenarannya.” Namun untuk saat ini, Bi Mina hanya bisa diam, berdoa agar Tuhan memberikan jalan terbaik bagi Ros, sekaligus kekuatan untuk menanggung semua beban yang menimpanya. "Non mau ke mana? Bukannya masih sangat lemas?" tanya Bi Mina. "Aku tidak bisa lama-lama di rumah ini. Bi, satu pertanyaan aku tolong jawab dengan benar." "Apa non?" "Kenapa bisa anakku meninggal sedangkan saat aku melihatnya dia menangis kencang?" Bi Mina terkesiap saat itu, entah apa yang akan dia katakan bahkan dusta yang mungkin akan dia simpan seumur hidup. "Bi, apa ini ada hubungannya dengan mereka? Atau sebenarnya anakku masih hidup dan bibi menyembunyikan nya?""Non, saya tidak tahu apa pun. Bayi Non memang sudah meninggal. Tangisnya sempat berhenti saat non pendarahan lali kehabisan oksigen yang memang harusnya bayi baru lahir itu mendapati hal yang lebih baik."Lagi-lagi Ros kecewa. Dia berharap ini semua mimpi. Namun, kembali terpatahkan oleh kenyataan."Non, anak Non sudah meninggal dan sudah takdir."Ros terdiam, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Bi Mina. Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang mampu mengalir. Rasanya seperti seluruh harapan yang tersisa kembali hancur berkeping-keping.“Takdir?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa semuanya selalu menyebut ini takdir? Kenapa takdir Tuhan begitu kejam padaku?”Bi Mina menghela napas panjang, hatinya terasa berat melihat Ros yang semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan apa pun. Ancaman Meria masih membayangi pikirannya.“Non, kadang kita tidak tahu rencana Tuhan. Tapi Non harus kuat, meskipun ini berat,”
“Pria mana yang sudah membayarmu, hah? Berapa yang kamu dapatkan!?”Rosa menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak percaya kalimat merendahkan itu keluar dari calon ibu mertuanya.Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia untuk Rosa. Ia akan menikah dengan pacarnya setelah sekian lama menjalin hubungan dan Rosa diundang ke rumah Narendra, tunangannya, untuk membicarakan pernikahan. Namun, semuanya hancur sesaat ketika Rosa tiba-tiba pingsan di tengah-tengah makan malam dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah, dokter yang memeriksanya kemudian menyatakan bahwa Rosa tengah hamil.Tepat ketika Rosa dinyatakan hamil, cacian langsung dilontarkan padanya secara bertubi-tubi dari keluarga tunangannya.Terutama sang ibu yang sebenarnya masih tidak menghendaki putranya menikah dengan Rosa.“Jujur, aku bahkan tidak terkejut,” ucap ibu Narendra, sekali lagi. “Tapi apakah menurutmu putraku masih sudi menikahi wanita murahan sepertimu?”Hati Rosa mencelos. Seperti baru tersadar akan k
Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka."Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!"Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk
"Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?" tanya sang ayah."Ayah cukup, anak ini bukan anak pembawa sial," ucap Ros dengan tangis."Kamu bilang bukan pembawa sial? Lalu apa namanya kalau kehadirannya membuat semua berantakan. Pernikahan kamu dan Naren batal juga investasi yang keluarga Narendra janjikan di batalkan dan kamu tahu semua itu berdampak besar dalam bisnis ayah!" Pak Bagaskara meradang dengan apa yang di lontarkan sang anak.Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.“Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa
Ros tersenyum lemah, kelelahan yang luar biasa terpancar di wajahnya. Tapi ketika ia melihat bayi mungil itu, hatinya seolah diselimuti rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya jatuh, bukan lagi karena sakit atau sedih, tetapi karena kebahagiaan yang luar biasa.“Anakku… laki-laki…” bisiknya dengan suara gemetar, tangannya perlahan terulur untuk menyentuh wajah kecil itu.Bayi itu menangis dengan keras, tubuhnya masih merah dan basah, namun terlihat sehat. Namun, perkataan asisten rumah tangga membuat Ros sedikit terkejut. “Tanda hitam?” tanyanya lemah, matanya mencari tanda yang dimaksud.Asisten rumah tangga menunjuk sebuah tanda hitam berbentuk seperti bulan sabit kecil di pinggang bayi itu. “Iya, Non. Tapi jangan khawatir, mungkin itu cuma tanda lahir,” ujarnya mencoba menenangkan Ros, meskipun ada sedikit keraguan di matanya."Non, bayi non kenapa berhenti menangis?""Ni, ada apa?"Ros panik, tapi dia kembali merasakan sakit luar biasa. Darah terus mengali
"Bagaimana, BI? Kamu sudah membuang anak itu?" tanya Meria yang datang menghampiri sang asisten.Asisten rumah tangga itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tangannya gemetar saat memberikan foto bayi yang ia ambil sebelumnya. Bayi itu terlihat sedang tidur dengan kain membungkus tubuh mungilnya, seolah-olah sudah tidak bernyawa.Meria memandang foto itu dengan puas, senyumnya penuh kepuasan. “Akhirnya masalah ini selesai. Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik. Pastikan kau tidak mengungkit hal ini lagi, apa pun yang terjadi.”“Iya, Non. Saya mengerti,” jawab asisten rumah tangga, suaranya bergetar.Meria menyimpan foto itu di ponselnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar dengan ekspresi penuh kemenangan. Di balik wajah tenangnya, ada rencana besar untuk menutupi skandal ini dari semua orang.Sementara itu, asisten rumah tangga berdiri mematung, napasnya tersengal. Ia tahu tindakannya berbahaya, tetapi hatinya tidak tega membuang bayi yang tidak bersa
"Non, saya tidak tahu apa pun. Bayi Non memang sudah meninggal. Tangisnya sempat berhenti saat non pendarahan lali kehabisan oksigen yang memang harusnya bayi baru lahir itu mendapati hal yang lebih baik."Lagi-lagi Ros kecewa. Dia berharap ini semua mimpi. Namun, kembali terpatahkan oleh kenyataan."Non, anak Non sudah meninggal dan sudah takdir."Ros terdiam, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Bi Mina. Matanya memerah, tapi tidak ada lagi air mata yang mampu mengalir. Rasanya seperti seluruh harapan yang tersisa kembali hancur berkeping-keping.“Takdir?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa semuanya selalu menyebut ini takdir? Kenapa takdir Tuhan begitu kejam padaku?”Bi Mina menghela napas panjang, hatinya terasa berat melihat Ros yang semakin tenggelam dalam kesedihan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan apa pun. Ancaman Meria masih membayangi pikirannya.“Non, kadang kita tidak tahu rencana Tuhan. Tapi Non harus kuat, meskipun ini berat,”
Semua terdiam mendengar ucapan Ros. Benar kata Ros, untuk apa dirinya yang menjadi korban keserakahan mereka. Walaikumsalam pada dasarnya hubungannya dengan Nicolas adalah murni atas dasar saling cinta, tapi ayahnya malah memanfaatkan hal itu. "Kenapa kalian diam? Atau memang aku sejak awal sudah unggul bukan dari anak sambung ayah?" Seulas senyum Ros membuat Haniva dan sang ayah menjadi tambah geram. Ros memegangi pipinya yang kini memerah akibat tamparan ayahnya. Namun, senyumnya tidak pudar. Ia menatap ayahnya dengan mata yang penuh luka, tapi juga keberanian yang selama ini tak pernah ia tunjukkan. "Kalau saja kamu tidak bodoh tidur dan hamil dari laki-laki tak dikenal. Mungkin, saat ini kamu sudah bahagia bersama Narendra." "Aku atau kalian yang bahagia? Lihatlah dirimu, Ayah,” ucap Ros dengan suara rendah namun tajam. “Tega sekali memukul anakmu sendiri hanya karena aku mengatakan kebenaran. Apa aku salah jika akhirnya aku sadar kalau kalian hanya peduli pada diri kalian sen
"Bagaimana, BI? Kamu sudah membuang anak itu?" tanya Meria yang datang menghampiri sang asisten.Asisten rumah tangga itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tangannya gemetar saat memberikan foto bayi yang ia ambil sebelumnya. Bayi itu terlihat sedang tidur dengan kain membungkus tubuh mungilnya, seolah-olah sudah tidak bernyawa.Meria memandang foto itu dengan puas, senyumnya penuh kepuasan. “Akhirnya masalah ini selesai. Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik. Pastikan kau tidak mengungkit hal ini lagi, apa pun yang terjadi.”“Iya, Non. Saya mengerti,” jawab asisten rumah tangga, suaranya bergetar.Meria menyimpan foto itu di ponselnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar dengan ekspresi penuh kemenangan. Di balik wajah tenangnya, ada rencana besar untuk menutupi skandal ini dari semua orang.Sementara itu, asisten rumah tangga berdiri mematung, napasnya tersengal. Ia tahu tindakannya berbahaya, tetapi hatinya tidak tega membuang bayi yang tidak bersa
Ros tersenyum lemah, kelelahan yang luar biasa terpancar di wajahnya. Tapi ketika ia melihat bayi mungil itu, hatinya seolah diselimuti rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya jatuh, bukan lagi karena sakit atau sedih, tetapi karena kebahagiaan yang luar biasa.“Anakku… laki-laki…” bisiknya dengan suara gemetar, tangannya perlahan terulur untuk menyentuh wajah kecil itu.Bayi itu menangis dengan keras, tubuhnya masih merah dan basah, namun terlihat sehat. Namun, perkataan asisten rumah tangga membuat Ros sedikit terkejut. “Tanda hitam?” tanyanya lemah, matanya mencari tanda yang dimaksud.Asisten rumah tangga menunjuk sebuah tanda hitam berbentuk seperti bulan sabit kecil di pinggang bayi itu. “Iya, Non. Tapi jangan khawatir, mungkin itu cuma tanda lahir,” ujarnya mencoba menenangkan Ros, meskipun ada sedikit keraguan di matanya."Non, bayi non kenapa berhenti menangis?""Ni, ada apa?"Ros panik, tapi dia kembali merasakan sakit luar biasa. Darah terus mengali
"Ros! Kau gila! Kesialan apa lagi yang akan kita terima jika kau melahirkan anak sialan itu, hah?" tanya sang ayah."Ayah cukup, anak ini bukan anak pembawa sial," ucap Ros dengan tangis."Kamu bilang bukan pembawa sial? Lalu apa namanya kalau kehadirannya membuat semua berantakan. Pernikahan kamu dan Naren batal juga investasi yang keluarga Narendra janjikan di batalkan dan kamu tahu semua itu berdampak besar dalam bisnis ayah!" Pak Bagaskara meradang dengan apa yang di lontarkan sang anak.Ros memejamkan matanya erat, berusaha menahan tangis yang tak terbendung. Kata-kata ayahnya bagai belati yang menoreh luka baru di hatinya. Ia mengusap perutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan dari kehadiran kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan.“Aku memang salah, Ayah, aku manusia yang penuh dosa. Tapi aku tidak akan membuang anak ini hanya karena kalian malu,” suara Ros bergetar, namun ada ketegasan yang baru tumbuh di dalam dirinya. “Aku akan melindungi dia, apa
Tanpa menunggu lama, Ros berbalik dan melangkah keluar dengan air mata mengalir di pipinya. Namun, langkahnya mantap, meski hatinya berantakan.Di belakangnya, Narendra hanya berdiri diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa kosong, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.Dia melangkah perlahan, meninggalkan ruangan itu dengan hati yang hancur. Di balik keteguhan wajahnya, gadis itu menggenggam tangan erat, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.Dan di saat pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan, menyisakan dua hati yang sama-sama terluka."Mereka menghinaku dengan apa yang sama sekali aku tak pernah aku bayangkan. Bahan, hinaan dan makian keluar dari pria yang sangat aku cinta. Narendra, lebih percaya mereka. Argh!"Rosalia kembali ke rumahnya dengan hati hancur. Kemahamilan yang tak terduga membuat hidupnya hancur seketika. Mimpi indah merajut kebahagiaan bersama sang kekasih pun kandas. Dia melangkah gontai dengan hati remuk juga perasaan tak karuan untuk
“Pria mana yang sudah membayarmu, hah? Berapa yang kamu dapatkan!?”Rosa menggelengkan kepala kuat-kuat, tidak percaya kalimat merendahkan itu keluar dari calon ibu mertuanya.Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia untuk Rosa. Ia akan menikah dengan pacarnya setelah sekian lama menjalin hubungan dan Rosa diundang ke rumah Narendra, tunangannya, untuk membicarakan pernikahan. Namun, semuanya hancur sesaat ketika Rosa tiba-tiba pingsan di tengah-tengah makan malam dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Di sanalah, dokter yang memeriksanya kemudian menyatakan bahwa Rosa tengah hamil.Tepat ketika Rosa dinyatakan hamil, cacian langsung dilontarkan padanya secara bertubi-tubi dari keluarga tunangannya.Terutama sang ibu yang sebenarnya masih tidak menghendaki putranya menikah dengan Rosa.“Jujur, aku bahkan tidak terkejut,” ucap ibu Narendra, sekali lagi. “Tapi apakah menurutmu putraku masih sudi menikahi wanita murahan sepertimu?”Hati Rosa mencelos. Seperti baru tersadar akan k