Tiba-tiba, tubuh Brisa menggeliat kecil. Kelopak matanya bergerak, lalu perlahan terbuka. Senyum manis segera terlukis di wajahnya begitu melihat Sagara. "Sudah pulang?" suaranya terdengar serak, tapi penuh kehangatan. Sagara tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Maaf mengganggu tidurmu." Brisa menggeleng pelan. "Aku tadi mimpiin kamu." Sagara menaikkan alis, tertarik. "Mimpi apa?" Brisa tersenyum samar. "Kita jalan-jalan di taman bunga yang indah. Aku bahagia sekali di sana." Sagara ikut tersenyum, lalu menarik tubuh Brisa dalam pelukannya. "Itu mimpi yang indah." Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung melainkan keheningan yang nyaman. Brisa menyandarkan kepalanya di dada Sagara, menikmati detak jantungnya yang menenangkan. "Aku lelah sekali hari ini," ucapnya pelan, suara itu terdengar begitu jujur. "Mau dipijit?" tawar Sagara lembut. Brisa mengangguk tanpa ragu. Sagara segera mulai memijat pundak dan lehernya dengan hati-hati, memberikan keny
"Ibu senang sekali, Sayang," ucap Bu Arini sambil mengusap lembut perut Brisa. "Akhirnya, keluarga kita akan semakin lengkap.""Ayah juga sangat bahagia," timpal Pak Raditya. "Sagara, jaga baik-baik istrimu, ya."Sagara mengangguk penuh keyakinan. "Tentu saja, Yah. Aku akan selalu menjaga Brisa dan anak kita."Brisa tersenyum kecil, tapi dalam hatinya, ia menjerit.Hari demi hari berlalu, dan Sagara tak pernah sekalipun menunjukkan tanda-tanda kecurigaan. Ia selalu ada untuk Brisa—memanjakannya, membantunya, menciptakan momen-momen penuh kasih yang seharusnya membuat Brisa merasa tenang. Mereka memilih nama untuk bayi mereka, membeli perlengkapan kecil yang menggemaskan, bahkan mengikuti kelas prenatal bersama. Tapi semakin sempurna kebersamaan mereka, semakin kuat perasaan bersalah itu menggerogoti Brisa.Malam itu, mereka duduk di beranda, menikmati semilir angin yang membawa aroma tanah basah setelah hujan. Sagara menggenggam tangannya erat, lalu tersenyum."Sayang, aku sangat baha
Brisa sedang fokus mengetik laporan, jemarinya lincah menari di atas keyboard. Namun, ketenangan itu buyar ketika Rani tiba-tiba muncul di sampingnya, ekspresinya penuh keraguan."Brisa…" Suara Rani terdengar ragu, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Brisa langsung berhenti mengetik.Brisa menoleh. "Kenapa?"Rani menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Aku tadi lihat suamimu di kafe sebelah…" Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, "Dia lagi ngobrol sama cewek cantik. Kayaknya mereka lagi berdebat."Seketika, udara di sekitar Brisa terasa menipis. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja dipukul palu godam. Jari-jarinya refleks mencengkeram tepi mejanya, mencoba mencari pegangan agar tetap tenang."Maksud kamu, Sagara?" suaranya bergetar tanpa ia sadari.Rani mengangguk pelan. "Iya. Aku nggak tahu mereka ngomongin apa, tapi dari gestur mereka kelihatannya serius."Brisa merasakan dadanya menghangat, tetapi bukan oleh kenyamanan—melainkan oleh gelombang emo
Di bawah sinar matahari sore yang hangat, Sagara dan Brisa berjalan menuju mobil, tangan mereka saling bertautan. "Sayang, kenapa kamu diam saja?" tanya Sagara, suaranya lembut, penuh perhatian. Brisa menoleh dan tersenyum tipis. "Aku hanya memikirkan nama bayi kita nanti." Sagara ikut tersenyum, matanya berbinar. "Nama apa yang kamu suka?" "Aku suka nama Aira. Artinya singa betina. Kedengarannya kuat dan cantik," jawab Brisa dengan penuh harapan. Sagara mengangguk, merenung sejenak. "Itu nama yang bagus. Tapi aku lebih suka sesuatu yang bermakna cahaya. Bagaimana kalau Nayara? Artinya cahaya rembulan." Brisa menatapnya dengan senyum lembut. "Nayara juga indah. Bagaimana kalau kita gabungkan? Aira Nayara. Singa betina yang bersinar seperti rembulan." Sagara menatapnya penuh kagum. "Ide yang luar biasa, Sayang. Aku setuju." Mereka melanjutkan percakapan, membayangkan seperti apa anak mereka kelak. Apakah ia akan memiliki mata biru tajam seperti Sagara atau mata hitam pekat pen
Sagara mengangguk pelan. "Dia mengirim pesan. Dia ingin pulang."Brisa menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu kamu sangat merindukannya."Sagara menelan ludah, mencoba menekan emosi yang mulai menyeruak. "Aku merindukannya lebih dari yang bisa kubayangkan. Dulu, kami sangat dekat, tapi sejak kejadian itu semuanya berubah."Brisa mengelus tangannya lembut. "Mungkin ini saatnya kalian memperbaiki segalanya. Hubungi dia! Jangan biarkan jarak semakin melebar."Sagara terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Terima kasih, Sayang! Kau selalu tahu cara menenangkanku."Dengan jantung berdegup kencang, ia akhirnya mengangkat telepon dan menekan nomor yang dulu begitu akrab, tetapi kini terasa asing. Satu dering. Dua dering. Napasnya tertahan."Halo?"Suara itu. Suara yang dulu selalu terdengar di sisinya, kini terasa jauh dan berbeda."Sagara?""Kak?" Sagara nyaris tak mengenali suaranya sendiri. Terlalu banyak emosi yang mendesak keluar. "Ini aku."Keheningan menyelimuti mereka beberapa deti
Brisa tersenyum, jemarinya mengusap lembut pipi suaminya. "Dia akan memaafkanmu. Kalian adalah saudara. Seberapa jauh pun jarak dan waktu memisahkan, ikatan itu tidak akan pernah hilang." Sagara menatap Brisa penuh rasa syukur. "Terima kasih, Sayang, karena selalu ada untukku." Brisa tersenyum, mengecup punggung tangan Sagara. "Selalu, Sayang. Aku selalu ada untukmu." Mereka berdua terdiam dalam pelukan, membiarkan kehangatan satu sama lain meresap ke dalam hati yang lelah. Sagara menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Dengan Brisa di sisinya, ia merasa lebih kuat. Ia yakin, dengan dukungan istrinya, ia bisa memperbaiki hubungannya dengan Brian.Cahaya matahari pagi menembus jendela, menyapu lembut wajah Sagara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, dan tubuhnya masih sedikit terasa hangat oleh uap air. Ia menguap panjang, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur.Layar menyala, menampilkan deretan notifikasi. Sebagia
"Iya," jawab Sagara. Mentari sore meredup perlahan, membiaskan cahaya jingga yang lembut di langit kota. Sagara menghela napas panjang sebelum memarkir mobilnya di depan gedung tempat Brisa bekerja. Ada kegembiraan di hatinya, hari ini ia ingin memberi kejutan pada istrinya, menjemputnya lebih awal, lalu mengajaknya makan malam di restoran favorit mereka, sehingga Brisa tidak perlu memasak untuknya malam ini. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung, menyapa beberapa karyawan yang berlalu-lalang, lalu menaiki lift menuju lantai tempat Brisa bekerja. Di dalam lift, ia membayangkan wajah istrinya yang terkejut sekaligus senang melihatnya datang tiba-tiba. Mungkin Brisa akan melompat kecil, memeluknya, lalu menggandeng tangannya dengan manja seperti biasa. Namun, ketika ia tiba di depan pintu ruangan Brisa, hatinya mendadak dipenuhi keraguan. Tangan yang hendak mengetuk pintu seketika terhenti saat ia mendengar suara tawa dari dalam ruangan. Suara itu begitu akrab, ringan, dan lepas—
Saat mereka sampai di meja, mata Brisa membulat saat melihat seikat mawar pink yang cantik tergeletak di atas meja."Untukmu, Sayang," ujar Sagara sambil menyodorkan bunga itu.Brisa menerima bunga itu dengan penuh haru. Ia tahu, ini adalah cara Sagara untuk mengatakan bahwa ia peduli, meskipun tak selalu mengungkapkannya dengan kata-kata."Terima kasih, Sayang! Kamu selalu romantis."Sagara hanya tersenyum, tetapi kali ini lebih tulus.Cahaya lilin berpendar lembut, menerangi wajah mereka saat mereka menikmati makan malam. Brisa menatap Sagara dengan penuh kasih sayang, menikmati setiap detik kebersamaan mereka."Aku sangat bahagia bisa bersamamu, Sayang," ucap Brisa dengan suara lirih.Sagara menatapnya dalam, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa utuh. "Aku juga, Sayang. Setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah bagiku."Percakapan mereka mengalir ringan, membicarakan banyak hal—tentang pekerjaan, tentang rencana liburan mereka di akhir bulan. Malam terasa begitu
Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan
Pukul lima sore, suasana kantor pusat milik keluarga Hendratama tampak sedikit berbeda dari biasanya. Lantai tertinggi yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang staf kini terasa lebih tenang, namun tetap formal. Penerangan hangat menyinari lorong menuju ruang CEO, dan dua staf keamanan berjaga di depan pintu utama.Pak Aryan dan Bu Tara berdiri di hadapan pintu kayu tinggi bertuliskan nama lengkap Brian Hendratama. Pak Aryan melirik jam tangannya, kemudian mengetuk pelan."Silakan masuk!" terdengar suara dari dalam.Saat pintu dibuka, Brian berdiri dari balik mejanya. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang masih rapi dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia sibuk sejak pagi, tapi matanya menyiratkan harapan."Pak Aryan, Bu Tara, silakan duduk! Saya senang sekali Bapak dan Ibu datang."Mereka bertiga duduk di sofa panjang dekat jendela besar. Kopi dan teh sudah disiapkan oleh sekretaris Brian, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya.Pak Aryan memulai
Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se
"Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb
Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak
Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah
Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc
Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La