Saat mereka sampai di meja, mata Brisa membulat saat melihat seikat mawar pink yang cantik tergeletak di atas meja."Untukmu, Sayang," ujar Sagara sambil menyodorkan bunga itu.Brisa menerima bunga itu dengan penuh haru. Ia tahu, ini adalah cara Sagara untuk mengatakan bahwa ia peduli, meskipun tak selalu mengungkapkannya dengan kata-kata."Terima kasih, Sayang! Kamu selalu romantis."Sagara hanya tersenyum, tetapi kali ini lebih tulus.Cahaya lilin berpendar lembut, menerangi wajah mereka saat mereka menikmati makan malam. Brisa menatap Sagara dengan penuh kasih sayang, menikmati setiap detik kebersamaan mereka."Aku sangat bahagia bisa bersamamu, Sayang," ucap Brisa dengan suara lirih.Sagara menatapnya dalam, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa utuh. "Aku juga, Sayang. Setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah bagiku."Percakapan mereka mengalir ringan, membicarakan banyak hal—tentang pekerjaan, tentang rencana liburan mereka di akhir bulan. Malam terasa begitu
Brisa buru-buru menarik diri, merasa malu. Arga tersenyum tipis. "Hati-hati, Brisa! Kamu harus lebih berhati-hati apalagi kamu sedang hamil." Brisa menatap Arga, matanya masih dipenuhi kebingungan dan perasaan campur aduk. Napasnya sedikit tertahan saat ia akhirnya mengucapkan, "Terima kasih, Arga." Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam riuh rendah suara kendaraan di luar. Arga tersenyum hangat, mencoba menenangkan hati Brisa yang jelas masih terguncang. "Sama-sama, Brisa. Kita kan teman." Mereka berjalan berdampingan menuju tempat parkir, namun keheningan yang menggantung di antara mereka terasa berat. Tidak ada kata yang terucap, hanya langkah kaki yang bergema di lantai dingin mall. Setelah beberapa saat, Arga akhirnya memecah kebisuan. "Brisa, kamu baik-baik saja?" Brisa mengangguk pelan, tapi senyum yang ia paksakan tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. "Aku hanya sedikit terkejut." Arga menatapnya dengan penuh perhatian. "Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman." Brisa
Sagara menatap Brisa dengan tatapan tajam yang menyayat hati."Kamu tidak perlu tahu," katanya dengan nada ketus, suaranya dingin dan tegas.Mendengar itu, Brisa merasa seperti disayat—luka yang tiba-tiba terbuka di dalam dadanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Sagara yang selama ini penuh kasih akan berbicara seperti ini padanya. Air matanya mulai mengalir, seolah menghanyutkan semua harapan yang pernah ada di antara mereka.Dengan suara bergetar, Brisa bertanya, "Aku tidak mengerti, Sayang. Kenapa kamu marah padaku?"Namun, Sagara hanya diam, membiarkan keheningan yang mencekam menyelimuti mereka.Brisa, dengan langkah gontai dan hati yang hancur, berjalan menuju kamar. Setiap langkah terasa berat, seakan dunia pun ikut menyesakkan dadanya. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu, dan ia menghela napas panjang sebelum memasuki kamar, berharap bisa menenangkan diri dari perlakuan dingin itu.Di dalam kamar, Brisa mendekati lemari pakaian dan menatap bayangannya di cermin besar. W
Bella menatap Sagara dengan bingung. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kenapa kamu marah?"Mata Sagara menyala penuh amarah. "Karena kamu tidak tahu apa-apa tentang Brisa!" suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang tertahan. "Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu!"Bella menelan ludah, namun ia tak mundur. "Bagaimana kalau memang iya?" bisiknya pelan, tapi menusuk. "Bukankah kamu sudah melihat sendiri buktinya?"Sagara terdiam. Napasnya berat. Ia ingin menyangkal, ingin percaya bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman, tapi bukti-bukti itu terlalu jelas, terlalu nyata.Dadanya terasa sesak. Seperti ada tangan tak kasatmata yang mencengkeram jantungnya erat-erat."Aku pergi," ucapnya dingin. Suaranya begitu datar, kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dadanya.Tanpa menunggu jawaban, Sagara melangkah keluar dari apartemen Bella.Hujan turun deras saat ia melangkah ke trotoar, membasahi rambut dan pakaiannya. Air mengalir di wajahnya, bercampur dengan air mata yang ta
Brisa berdiri di depan pintu kantor Sagara. Jantungnya berdebar tak karuan. Semalam suntuk ia tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi ketakutan. Ke mana Sagara pergi? Kenapa ia tidak bisa dihubungi?Cemas dan rasa bersalah membelit hatinya. Ia harus tahu. Ia harus bertemu dengan Sagara. Dengan napas terengah, Brisa mengetuk pintu."Masuk!" suara berat itu terdengar dari dalam.Brisa menelan ludah sebelum membuka pintu. Ia melangkah masuk dan mendapati Sagara duduk di balik meja kerjanya, ekspresinya dingin, matanya kelam.Brisa merasakan sesuatu yang tidak beres."Sagara, kenapa kamu pergi semalam? Aku sangat khawatir," katanya dengan suara bergetar.Sagara menatapnya dalam-dalam, matanya seakan mencari kebenaran yang mungkin masih tersisa di dalam diri Brisa."Aku ingin kita bicara serius, Brisa," ucapnya, suaranya datar.Brisa mengangguk perlahan. Jantungnya berdebar semakin cepat."Aku sudah tahu semuanya," kata Sagara.Brisa mengernyit. "Apa maksudmu?"Sagara tidak menjawab. Ia hany
Hening.Wajah Sagara seketika berubah. Ekspresi marahnya perlahan menghilang, digantikan oleh keterkejutan yang luar biasa. Rahangnya mengatup, seakan menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya."Aku tahu kamu tidak akan percaya padaku," suara Brisa semakin parau. "Tapi dengarkan aku, Sagara. Anak ini bukan hasil dari perselingkuhan. Aku….""Cukup!" Sagara memotongnya kasar, suaranya penuh luka yang begitu dalam. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun darimu!"Brisa terisak makin keras. "Sagara, tolong. Aku bersumpah, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bisa menjelaskan semuanya kalau kamu mau mendengar."Sagara menatapnya dengan tatapan yang membuat hati Brisa hancur berkeping-keping. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Brisa. Kau sudah mengakuinya sendiri. Anak itu bukan anakku. Apa pun alasannya, aku tidak peduli lagi."Brisa menggeleng dengan putus asa, mencoba meraih tangan Sagara, tapi pria itu segera menarik diri."Jadi ini akhirnya?" suara Brisa nyaris berbisik, nap
Sagara berjalan tanpa tujuan di bawah hujan yang semakin deras. Pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup, namun ia tidak peduli. Pikirannya penuh dengan suara Brisa, dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, dengan air mata yang mengalir di wajahnya."Ya, anak ini memang bukan anakmu."Kalimat itu terus berulang di benaknya seperti rekaman rusak yang tidak bisa dihentikan. Dada Sagara terasa sesak, seakan ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya begitu kuat.Brisa telah mengakui bahwa anak yang dikandungnya bukan anaknya. Itu seharusnya menjadi akhir dari semuanya. Seharusnya ia bisa dengan mudah pergi dan tidak menoleh ke belakang lagi. Namun, mengapa ada bagian dari dirinya yang tetap ingin bertahan? Mengapa ada suara kecil dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia harus mendengar penjelasan Brisa?Sagara mendongak ke langit yang gelap. Rintik hujan bercampur dengan air mata yang tak sadar menetes dari matanya."Bodoh!" Ia mengumpat pada dirinya sendiri.Kenapa harus sakit begin
Keesokan paginya, Brisa melangkahkan kaki perlahan menuju dapur. Rumah terasa sangat sunyi, sunyi sekali. Sejak pertengkarannya dengan Sagara kemarin suasana rumah terasa mencekam. Ia merindukan tawa dan canda Sagara yang biasa mengisi hari-harinya.Dengan tangan gemetar, Brisa mengambil panci dan mulai memasak spaghetti salmon aglio olio, makanan kesukaan Sagara. Ia berharap dengan memasak makanan kesukaan suaminyalt akan sedikit melunak dan mau mendengarkan penjelasannya.Sambil menunggu air mendidih, Brisa duduk di meja makan. Ia menatap foto pernikahannya dengan Sagara yang terpajang di dinding. Senyum tipis terukir di bibirnya saat mengingat hari bahagianya itu. Namun, senyuman itu segera luntur ketika ia memikirkan masalah yang sedang mereka hadapi.Brisa meremas serbet di tangannya. Ia sangat menyesal karena telah membuat Sagara marah. Ia tidak pernah berniat untuk menyakiti hati suaminya. Ia hanya ingin Sagara percaya padanya.Tidak lama kemudian, Brisa mendengar suara mobil y
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b
Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le
Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan
Pukul lima sore, suasana kantor pusat milik keluarga Hendratama tampak sedikit berbeda dari biasanya. Lantai tertinggi yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang staf kini terasa lebih tenang, namun tetap formal. Penerangan hangat menyinari lorong menuju ruang CEO, dan dua staf keamanan berjaga di depan pintu utama.Pak Aryan dan Bu Tara berdiri di hadapan pintu kayu tinggi bertuliskan nama lengkap Brian Hendratama. Pak Aryan melirik jam tangannya, kemudian mengetuk pelan."Silakan masuk!" terdengar suara dari dalam.Saat pintu dibuka, Brian berdiri dari balik mejanya. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang masih rapi dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia sibuk sejak pagi, tapi matanya menyiratkan harapan."Pak Aryan, Bu Tara, silakan duduk! Saya senang sekali Bapak dan Ibu datang."Mereka bertiga duduk di sofa panjang dekat jendela besar. Kopi dan teh sudah disiapkan oleh sekretaris Brian, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya.Pak Aryan memulai
Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se
"Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb
Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak