Saat istirahat siang, Brisa memilih menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kantor. Ia berjalan tanpa tujuan di sekitar gedung, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang terasa hangat oleh kegelisahan. Rasanya sesak berada di dalam ruangan terlalu lama dengan pikiran yang terus berputar.Ia menemukan sebuah bangku taman yang sepi, lalu duduk dan mendongak menatap langit. Biru cerah membentang luas, seakan menawarkan ketenangan yang sulit ia genggam. Dalam diam, ia mengelus perutnya yang masih rata, hatinya dipenuhi kebimbangan.Setelah istirahat selesai, Brisa kembali ke meja kerjanya, mencoba membenamkan diri dalam rutinitas. Ia menyalakan komputer, membuka email, namun pikirannya masih melayang entah ke mana. Hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja.Nomor asing.Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. "Halo?""Brisa? Ini aku, Ivana!"Brisa terdiam sesaat, lalu matanya membesar. "Ivana?" suaranya hampir tercekat oleh keterkejutan. "Kamu?""Iya, ini aku! Astaga, aku kangen
“Terima kasih, Ma, Pa,” ucapnya lirih, penuh rasa syukur. Mereka bertiga lalu duduk bersama, mengobrol panjang lebar tentang pernikahan Brisa dan Sagara. Mereka membicarakan tanggal, tempat, dan segala persiapan yang diperlukan. Brisa mendengarkan dengan mata berbinar, hatinya terasa begitu ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebahagiaan yang utuh. *** Brisa duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jantungnya berdetak kencang saat melihat nama Sagara muncul di layar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan debaran di dadanya sebelum akhirnya menekan tombol hijau. “Halo, Sayang!” suara Sagara terdengar hangat, seperti pelukan di malam yang dingin. Brisa menggigit bibirnya, senyum tersungging di wajahnya. “Halo, Sagara!” Suaranya sedikit gemetar. “Aku mau bilang, aku terima lamaranmu.” Keheningan menyelimuti sejenak, hanya ada suara napas tertahan di ujung telepon. Lalu, tawa bahagia meledak dari seberang sana. “Benarkah, Sayang
“Siapa sih pengirimnya? Jangan bikin penasaran, dong,” goda Rani dengan nada menggoda.Brisa hanya tersenyum tipis, matanya berbinar dengan kilau misterius saat ia menatap Kartika. “Seseorang yang baik,” jawabnya singkat.Kartika mengerjap, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Seseorang yang baik? Ah, jangan bikin penasaran! Ayo, spill dong!” desaknya sambil mencubit lengan Brisa pelan.Seketika, ruangan menjadi lebih ramai. Rekan-rekan kerja yang tadinya sibuk dengan pekerjaan mereka kini menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini, Brisa dikenal sebagai sosok mandiri, hampir tidak pernah terlihat dekat dengan pria mana pun. Maka, kemunculan buket mawar itu menjadi topik paling menarik hari ini.“Wah, ada yang lagi dimabuk cinta, nih,” seru Kartika, disambut tawa beberapa rekan kerja lainnya.“Siapa sih? Cowok ganteng, kan?” tanya Rani sambil mengangkat alis, penuh rasa ingin tahu.Brisa hanya tertawa kecil, pipinya mulai memanas. Ia tidak menyangka reaksi teman-temannya akan s
Saat pembicaraan beralih ke persiapan pernikahan, atmosfer semakin dipenuhi antusiasme. Mereka membahas tanggal, konsep, hingga tamu yang akan diundang. "Bagaimana kalau kita mengadakan pernikahan di pantai?" usul Sagara, matanya berbinar penuh semangat. "Aku ingin kita menikah di tempat yang bisa jadi saksi keindahan cinta kita." Brisa tersenyum mendengar usul itu. "Aku suka idenya," jawabnya pelan, sarat dengan kebahagiaan. "Saya juga setuju," timpal Pak Raditya. "Pantai akan menjadi latar yang indah untuk awal perjalanan kalian." Bu Tara mengangguk penuh persetujuan. "Yang terpenting, kalian berdua merasa bahagia," ucapnya bijak. Keputusan pun dibuat. Mereka akan mengadakan pernikahan di pantai, dikelilingi keluarga dan sahabat tercinta. Setelah diskusi panjang, Brisa dan Sagara memilih untuk menghabiskan waktu berdua di halaman belakang rumah. Malam yang sejuk menyelimuti mereka, angin berembus lembut, membawa aroma bunga yang samar-samar menenangkan. "Capek juga, ya, ngomo
Mereka pun tenggelam dalam obrolan panjang tentang persiapan pernikahan. Brisa berbagi impian-impian kecilnya, sementara Ivana dengan antusias memberikan saran. Mereka tertawa, berbagi cerita, bahkan mengenang masa-masa mereka masih remaja."Dulu kita nggak nyangka ya, sekarang kita udah dewasa dan menjalani kehidupan masing-masing," ujar Ivana dengan nada sendu."Iya, rasanya seperti baru kemarin kita masih duduk di kelas, saling curhat soal cinta monyet," tambah Brisa, matanya berbinar penuh nostalgia.Ivana menatapnya dengan penuh arti. "Aku harap kita tetap seperti ini selamanya, Brisa.""Tentu saja," jawab Brisa tanpa ragu. "Kamu adalah bagian dari hidupku, Van."Ivana tersenyum, tapi kemudian ia menggigit bibirnya ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Brisa, tentang kehamilanmu."Brisa menegang.Ivana melanjutkan dengan suara pelan, "Aku khawatir kalau Sagara akan tahu dari orang lain, bukan darimu."Jantung Brisa berdetak lebih cepat. Kata-kata Ivana menggema di benaknya. Ini bu
Brisa melangkah ke dalam kantor dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Ada semacam kehangatan di dadanya, membayangkan bagaimana kehidupannya kini berubah dalam sekejap. Pertunangan kemarin masih terasa seperti mimpi yang indah, dan hari ini, ia kembali ke rutinitasnya, tetapi dengan hati yang jauh lebih ringan. "Brisa! Selamat ya!" seru Rani, langsung memeluknya erat begitu melihatnya masuk. Brisa tertawa kecil, merasa wajahnya memanas karena tersipu. "Terima kasih, Ran!" Ucapan selamat terus mengalir dari rekan-rekannya. Beberapa membawa kue, yang lain memberikan buket bunga. Kehangatan yang mereka berikan membuat Brisa semakin bersyukur memiliki lingkungan kerja yang begitu suportif. "Aku nggak nyangka kamu jadian sama anak bos kontraktor itu," celetuk Kartika sambil mengangkat alis. Brisa terkekeh. "Aku juga nggak nyangka. Semuanya terjadi begitu cepat." Kartika mencondongkan tubuhnya, matanya berbinar penasaran. "Jadi, kapan nikahnya?" "Bulan depan," jawab Brisa sambi
"A-aku maaf!" katanya terbata-bata, wajahnya memerah.Sagara menatapnya dengan ekspresi datar, tetapi ada sedikit rasa geli di hatinya. "Lain kali, lihat jalan sebelum berlari. Gedung ini belum selesai dan kau bisa celaka."Wanita itu menunduk malu, masih mencoba mengatur napasnya. Dari caranya menggigit bibir dan menggenggam ponselnya erat, Sagara bisa menebak bahwa ia bukan sekadar pekerja biasa di proyek ini.Dan entah kenapa, pertemuan ini terasa seperti awal dari sesuatu yang tak terduga.Refleks Sagara bekerja lebih cepat dari pikirannya. Ia segera meraih lengan wanita itu, menahannya agar tidak jatuh. Sejenak, waktu terasa berhenti.Mata mereka bertemu. Ada kehangatan yang familier dalam tatapan itu, sesuatu yang membangkitkan kenangan lama."Hai, Sagara!" sapanya ceria, senyumnya begitu khas.Sagara mengerjapkan mata, memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya. "Bella?"Wanita itu mengangguk antusias. "Ya, ini aku! Bella, sepupumu!"Sagara masih tak percaya. "Kenapa kau d
Brisa mengamati gaun yang dikenakannya, lalu beralih ke sebuah gaun lain dengan detail renda yang lebih banyak. “Bagaimana kalau aku coba yang ini?” tanyanya ragu. Sagara mengangguk, matanya penuh perhatian saat Brisa menghilang ke dalam ruang ganti. Beberapa menit kemudian, ia keluar dan Sagara kembali terdiam. Gaun itu membuat Brisa tampak begitu luar biasa, seperti diciptakan khusus untuknya. Napas Sagara nyaris tercekat. “Kamu yakin aku harus memilih yang ini?” tanya Brisa, mencari kepastian. Sagara mendekat, meraih kedua tangannya dengan lembut. “Aku sangat yakin, Sayang. Kamu terlihat sempurna.” Brisa tersenyum. Senyum yang menghangatkan hati Sagara, yang selalu berhasil membuat dunianya terasa lebih baik. Setelah sesi fitting selesai, mereka menikmati makan siang di sebuah restoran kecil yang nyaman. Suasana begitu intim—gelak tawa mereka bercampur dengan suara denting peralatan makan dan musik lembut yang mengalun di latar belakang. “Aku masih tidak percaya, dua minggu
Pukul lima sore, suasana kantor pusat milik keluarga Hendratama tampak sedikit berbeda dari biasanya. Lantai tertinggi yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang staf kini terasa lebih tenang, namun tetap formal. Penerangan hangat menyinari lorong menuju ruang CEO, dan dua staf keamanan berjaga di depan pintu utama.Pak Aryan dan Bu Tara berdiri di hadapan pintu kayu tinggi bertuliskan nama lengkap Brian Hendratama. Pak Aryan melirik jam tangannya, kemudian mengetuk pelan."Silakan masuk!" terdengar suara dari dalam.Saat pintu dibuka, Brian berdiri dari balik mejanya. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang masih rapi dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia sibuk sejak pagi, tapi matanya menyiratkan harapan."Pak Aryan, Bu Tara, silakan duduk! Saya senang sekali Bapak dan Ibu datang."Mereka bertiga duduk di sofa panjang dekat jendela besar. Kopi dan teh sudah disiapkan oleh sekretaris Brian, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya.Pak Aryan memulai
Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se
"Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb
Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak
Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah
Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc
Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La
Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan