“Saya juga dulu bingung dengan orang tuanya, apa mereka sama sekali tidak memikirkan anaknya?”
Tiara hanya menggelengkan kepalanya, berusaha konsentrasi penuh pada kertas ulangan di tangannya, bukan hal baru lagi jika sesama rekan gurunya mengeluh tentang satu dua orang siswanya yang memang bermasalah.“Ayahnya jarang di rumah, ibunya juga begitu, saya jadi bingung kalau dihubungi selslu bilang sibuk,” keluh guru yang lain.“Lho ibu tidak tahu orang tuanya memang sudah berpisah dan Dion tinggal bersama pembantunya saja,” kata guru yang sedikit tambun.“Lho masak, bu, tapi di data siswa mereka masih suami istri.”“Saya tidak tahu kalau tentang itu, tahun lalu saat Dion juga sering bermasalah saya mendatani rumahnya langsung dan dia hanya bersama pembantu paruh baya di rumah, Dion ikut mamanya, tapi mamanya sibuk kerja, dan papanya sudah menikah lagi dan sudah punya keluarga baru”Kali ini Tiara langsung mengangkat kepalanyaTiara mengernyitkan keningnya saat melihat panggilan video call dari Farhan. “Tumben video call,” gumam Tiara, dia menatap punggung Ilham yang sudah hilang ditelan pintu ruangan, dan menghela napas menormalkan wajahnya sebelum mengangkat panggilan dari sang suami. “Ya, Mas. ada apa?” tanyanya setelah mengucapkan salam yang dibalas Farhan dengan senyum tipis. Tiara menatap wajah farhan di layar yang terlihat lelah dan menyimpan kekesalan meski berusaha dsembunyikan dengan baik, tapi hidup bersama selama sepuluh tahun membuat Tiara tahu dengan jelas suasana hati suaminya. Dia jadi bertanya-tanya apa itu juga yang Farhan rasakan saat dia berusaha menyembunyikan ketegangannya barusan?“Ehm hanya ingin bilang saja, kalau aku nanti lembur sampai malam, banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.” Tiara mengangguk, meski benaknya bertanya-tanya, tidak biasanya suaminya ini video call hanya untk bilang seperti itu, biasanya hanya cukup kirim pesan saja. “Apa kamu tidak akan curiga?” tanya F
Kalau saja pandangan dapat membunuh orang, mungkin sekarang Tiara sudah menggelepar karena pandangan menusuk dari Karin. Tiara sampai terheran-heran melihatnya, kenapa wanita ini bisa muncul tiba-tiba seperti jelangkung saja. akan tetapi karena ini tempat umum tentu saja Tiara sama sekali tidak bisa protes, dia hanya menyayangkan takdir Tuhan yang sering mempertemukan mereka secara tak sengaja.“Munafik sekali kalian!” Fariz langsung menoleh dan matanya membulat saat tahu siapa yang ada di depannya, tapi ekspresi itu langsung sirna tertutup kesinisan yang tanpa perlu repot-repot dia tutupi.“kita masuk mbak aku sudah lapar,” kata Fariz tak peduli. Terdengar bunyi klik klik saat Tiara mengikuti langkah Fariz dengan tangan kanannya digandeng, lebih tepatnya diseret untuk segera pergi dari sana. terlihat sekali kalau Fariz sama sekali tidak ingin ada di dekat Karin. Tiara langsung meringis tapi bukan karena lengannya yang sakit karena di tarik Fariz, tapi lebih karena tak habis pikir
“Ibu Araz, ini Araz kok belum dijemput apa mbaknya sedang libur?” Tiara yang barus saja selesai mengajar mengerutkan kening saat melihat pesan dari guru Araz yang dikirim sepuluh menit yang lalu, berarti sudah tiga puluh menit dari jam pulang sekolah Araz? Apa mbak Sri sudah menjemputnya?Dengan rasa khawatir yang membuncah Tiara meletakkan begitu saja buu yang dia bawa dan mencari nomer telepon pengasuh anaknya itu. Mbak Sri setahunya tidak pernah telat menjemput Araz, jikapun tidak bisa menjemput Araz dia pasti akan bilang pada Tiara. Tiara mendesah kesal saat ternyata nomer mbak Sri tidak aktif. Tiara mengecek paket datanya, siapa tahu habis, bisa saja bukan hal seperti ini terjadi, tapi ternyata tidak. Dicobanya untuk mengirim pesan, tapi hanya centang satu. Cemas karena ponsel mbak Sri mati, Tiara memutuskan untuk menelepon guru Araz. “Apa Araz sudah dijemput, Bu?” tanya Tiara. “Kok mbak belum jemput
Tiara meneruskan pesan yang dia dapatkan pada Farhan. Tiara punya dugaan kuat siapa yang melakukan semua ini, tapi dia tidak punya bukti. Entah bagaimana tanggapan Farhan nanti, yang jelas dia begitu ketakutan. Masih teringat jelas olehnya kata-kata Ilham yang menawarkan bantuan, akan tetapi membuatnya ngeri jika sampai hal itu terjadi, nyatanya dia memang ebrhadapan dengan orang yang sama. Andai saja bisa memilih Tiara tidak ingin berhadapan dengan orang-orang seperti mereka, tapi Farhan telah menyeretnya masuk ke dalam lingkaran itu, Ditatapnya Alena yang masih terisak pelan sedikit dibuainya agar anak itu tenang. Jika memang ingin mengancamnya kenapa melalui Alena yang katanya adaah anak kandungnya, sebenarnya dia ibu macam apa. orang bilang harimau saja tidak akan memakan anaknya, nyatanya sekarang dia berhadapan dengan manusia yang lebih kejam dari harimau. Pesan yang dia kirim belum juga dibaca oleh Farhan. “Kita pulang dulu, Mbak. Nggak enak terlalu lama di sini,” Tiara t
Tiara menatap terkejut pada adik iparnya ini. Adik iparnya ini kenapa bersikap aneh, bukankah jika memang Karin bersalah dalam kematian Fira, ini waktu yang tepat untuk membalas wanita itu, meski Tiara tak yakin kasus itu bisa dibuka kembali. "Kenapa kamu berpikir begitu?" Fariz menghempaskan tubuhnya pada sofa di seberang Tiara, awalnya dia langsung ingin kembali ke kantor tapi dia tidak mungkin mengabaikan kakak iparnya yang pasti sekarang ini masih sangat ketakutan. "Karena kita tidak punya cukup bukti." Tiara yang tadinya menatap anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah kembali fokus pada Fariz. "Tapi ada saksi dan beberapa orang yang membantu mbak sri, dia tidak mungkin berbohong." Tiara tidak mungkin melupakan bagaimana mbak Sri begitu gemetar ketankutan saat sampai di sekolah Araz tadi, dan dia yakin itu bukan sandiwara. Fariz mengangkat bahunya. "Aku tidak bilang begitu, kita hanya berjaga-jaga saja. jikapun kita melapor prosesnya akan melelahkan dan belum tentu
Bersuamikan Farhan yang sama sekali tidak romantis dan tidak peka, membuat Tiara harus putar otak untuk membuat suaminya lebih peduli pada anak-anak mereka yang tidak akan mengerti kalau ayahnya tidak akan menjadi lebih perhatian tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Juga dengan kehadiran Alena yang tiba-tiba saja akan menjadi adik mereka, meski dilahirkan oleh ibu yang berbeda. Tiara takut suatu saat identitas Alena akan terbuka dan membuat mereka menjadi bahan ejekan, akan tetapi untuk menjelaskan kepada mereka sekarang yang sebenarnya rasanya Tiara masih bingung. "Kamu kok kayak nggak senang, Bu?" Tiara langsung tersentak baru dia sadari kalau dari tadi sang suami memperhatikannya dalam dia. "Kata siapa? aku suka kok, hanya aneh saja, kebun binatang hanya beberapa menit dari rumah kita kenapa kamu sampai cuti seminggu, kamu tidak berniat ganti profesi jadi pawang gajah bukan," elaknya. "Enak saja, tentu saja bukan itu, aku akan mengantar jemput kalian selama seminggu ini." "Ken
“Ayah beneran kita akan pergi ke kebun binatang?” tanya Araz entah untuk berapa kalinya, anak itu terlalu antusias dengan perubahan sang ayah. Tiara yang melihat Farhan lebih perhatian dari sebelumnya bukannya senang malah ketakutan, dia seperti tidak mengenal suaminya saja. “Bukankah dia kemarin memang berubah perhatian karena ada perjanjian denganmu,” kata keysa saat Tiara menghubunginya pagi-pagi sekali. “Iya tapi kemarin itu karena perjanjian, tapi sekarang dia terlihat begitu tulus, bahkan aku tidak perlu memintanya ini dan itu, aneh banget kayak bukan mas Farhan, apa mungkin jiwanya tertukar-“ “Otakmu yang mungkin tertukar, Ra,” omel Kaysa kesal. “Kamu itu memang aneh banget. Suami perhatian kamu protes dia nggak perhatian kamu ngamuk, mau kamu apa sebenarnya? Hadeh!” Nah lho apa coba maunya Tiara juga bingung sendiri. Apa benar ini hal yang wajar, tapi kenapa dia merasa ada hal yang mengganjal. “Yah bukan begitu juga kali–ah sudahlah terserah dia saja!” kata Tiara akhirn
Setidak pekanya Farhan yang sudah Tiara hapal di luar kepala, dia tidak akan jatuh ke lubng yang sama. Tiara menatap tajam sang suami yang hanya melongo menatap mantan istrinya yang hari ini tampil secantik barbie dalam baju kasul yang dia pakai. “Awas tuh ilernya netes,” sidir Tiara pada Farhan yang masih melongo bengong. Dengan salah tingkah Farhan langsung menatap istrinya dan tertawa canggung. “Sana samperin kan sudah diundang juga, sini Araznya.” “Itu tante jahat yang sering buat ayah dan ibu bertengkar ya..” kalimat Araz itu membuat kedua orang tuanya terdiam, tak ingin telinga anaknya terkontaminasi dengan hal yang tak patut dia dengar. “Araz ikut ibu dulu ya ayah sedang ada urusan,” kata Tiara, tapi Farhan ternyata punya pemikiran lain, dia menahan tangan Tiara dan tetap menggendong Araz dengan satu tangannya. “Araz tidak boleh bicara begitu ya, itu tidak baik.” Tiara langsung menaikkan alinya dengan penasaran, sedangkan Farhan langsung menghela napas panjang. “Maksud