“Ibu Araz, ini Araz kok belum dijemput apa mbaknya sedang libur?” Tiara yang barus saja selesai mengajar mengerutkan kening saat melihat pesan dari guru Araz yang dikirim sepuluh menit yang lalu, berarti sudah tiga puluh menit dari jam pulang sekolah Araz? Apa mbak Sri sudah menjemputnya?Dengan rasa khawatir yang membuncah Tiara meletakkan begitu saja buu yang dia bawa dan mencari nomer telepon pengasuh anaknya itu. Mbak Sri setahunya tidak pernah telat menjemput Araz, jikapun tidak bisa menjemput Araz dia pasti akan bilang pada Tiara. Tiara mendesah kesal saat ternyata nomer mbak Sri tidak aktif. Tiara mengecek paket datanya, siapa tahu habis, bisa saja bukan hal seperti ini terjadi, tapi ternyata tidak. Dicobanya untuk mengirim pesan, tapi hanya centang satu. Cemas karena ponsel mbak Sri mati, Tiara memutuskan untuk menelepon guru Araz. “Apa Araz sudah dijemput, Bu?” tanya Tiara. “Kok mbak belum jemput
Tiara meneruskan pesan yang dia dapatkan pada Farhan. Tiara punya dugaan kuat siapa yang melakukan semua ini, tapi dia tidak punya bukti. Entah bagaimana tanggapan Farhan nanti, yang jelas dia begitu ketakutan. Masih teringat jelas olehnya kata-kata Ilham yang menawarkan bantuan, akan tetapi membuatnya ngeri jika sampai hal itu terjadi, nyatanya dia memang ebrhadapan dengan orang yang sama. Andai saja bisa memilih Tiara tidak ingin berhadapan dengan orang-orang seperti mereka, tapi Farhan telah menyeretnya masuk ke dalam lingkaran itu, Ditatapnya Alena yang masih terisak pelan sedikit dibuainya agar anak itu tenang. Jika memang ingin mengancamnya kenapa melalui Alena yang katanya adaah anak kandungnya, sebenarnya dia ibu macam apa. orang bilang harimau saja tidak akan memakan anaknya, nyatanya sekarang dia berhadapan dengan manusia yang lebih kejam dari harimau. Pesan yang dia kirim belum juga dibaca oleh Farhan. “Kita pulang dulu, Mbak. Nggak enak terlalu lama di sini,” Tiara t
Tiara menatap terkejut pada adik iparnya ini. Adik iparnya ini kenapa bersikap aneh, bukankah jika memang Karin bersalah dalam kematian Fira, ini waktu yang tepat untuk membalas wanita itu, meski Tiara tak yakin kasus itu bisa dibuka kembali. "Kenapa kamu berpikir begitu?" Fariz menghempaskan tubuhnya pada sofa di seberang Tiara, awalnya dia langsung ingin kembali ke kantor tapi dia tidak mungkin mengabaikan kakak iparnya yang pasti sekarang ini masih sangat ketakutan. "Karena kita tidak punya cukup bukti." Tiara yang tadinya menatap anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah kembali fokus pada Fariz. "Tapi ada saksi dan beberapa orang yang membantu mbak sri, dia tidak mungkin berbohong." Tiara tidak mungkin melupakan bagaimana mbak Sri begitu gemetar ketankutan saat sampai di sekolah Araz tadi, dan dia yakin itu bukan sandiwara. Fariz mengangkat bahunya. "Aku tidak bilang begitu, kita hanya berjaga-jaga saja. jikapun kita melapor prosesnya akan melelahkan dan belum tentu
Bersuamikan Farhan yang sama sekali tidak romantis dan tidak peka, membuat Tiara harus putar otak untuk membuat suaminya lebih peduli pada anak-anak mereka yang tidak akan mengerti kalau ayahnya tidak akan menjadi lebih perhatian tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Juga dengan kehadiran Alena yang tiba-tiba saja akan menjadi adik mereka, meski dilahirkan oleh ibu yang berbeda. Tiara takut suatu saat identitas Alena akan terbuka dan membuat mereka menjadi bahan ejekan, akan tetapi untuk menjelaskan kepada mereka sekarang yang sebenarnya rasanya Tiara masih bingung. "Kamu kok kayak nggak senang, Bu?" Tiara langsung tersentak baru dia sadari kalau dari tadi sang suami memperhatikannya dalam dia. "Kata siapa? aku suka kok, hanya aneh saja, kebun binatang hanya beberapa menit dari rumah kita kenapa kamu sampai cuti seminggu, kamu tidak berniat ganti profesi jadi pawang gajah bukan," elaknya. "Enak saja, tentu saja bukan itu, aku akan mengantar jemput kalian selama seminggu ini." "Ken
“Ayah beneran kita akan pergi ke kebun binatang?” tanya Araz entah untuk berapa kalinya, anak itu terlalu antusias dengan perubahan sang ayah. Tiara yang melihat Farhan lebih perhatian dari sebelumnya bukannya senang malah ketakutan, dia seperti tidak mengenal suaminya saja. “Bukankah dia kemarin memang berubah perhatian karena ada perjanjian denganmu,” kata keysa saat Tiara menghubunginya pagi-pagi sekali. “Iya tapi kemarin itu karena perjanjian, tapi sekarang dia terlihat begitu tulus, bahkan aku tidak perlu memintanya ini dan itu, aneh banget kayak bukan mas Farhan, apa mungkin jiwanya tertukar-“ “Otakmu yang mungkin tertukar, Ra,” omel Kaysa kesal. “Kamu itu memang aneh banget. Suami perhatian kamu protes dia nggak perhatian kamu ngamuk, mau kamu apa sebenarnya? Hadeh!” Nah lho apa coba maunya Tiara juga bingung sendiri. Apa benar ini hal yang wajar, tapi kenapa dia merasa ada hal yang mengganjal. “Yah bukan begitu juga kali–ah sudahlah terserah dia saja!” kata Tiara akhirn
Setidak pekanya Farhan yang sudah Tiara hapal di luar kepala, dia tidak akan jatuh ke lubng yang sama. Tiara menatap tajam sang suami yang hanya melongo menatap mantan istrinya yang hari ini tampil secantik barbie dalam baju kasul yang dia pakai. “Awas tuh ilernya netes,” sidir Tiara pada Farhan yang masih melongo bengong. Dengan salah tingkah Farhan langsung menatap istrinya dan tertawa canggung. “Sana samperin kan sudah diundang juga, sini Araznya.” “Itu tante jahat yang sering buat ayah dan ibu bertengkar ya..” kalimat Araz itu membuat kedua orang tuanya terdiam, tak ingin telinga anaknya terkontaminasi dengan hal yang tak patut dia dengar. “Araz ikut ibu dulu ya ayah sedang ada urusan,” kata Tiara, tapi Farhan ternyata punya pemikiran lain, dia menahan tangan Tiara dan tetap menggendong Araz dengan satu tangannya. “Araz tidak boleh bicara begitu ya, itu tidak baik.” Tiara langsung menaikkan alinya dengan penasaran, sedangkan Farhan langsung menghela napas panjang. “Maksud
“Kamu itu ingin anak perempuan boleh saja, tapi jangan dengan sembarangan perempuan. Sudah punya istri yang bibit bebet bobotnya bagus kok malah orang gila kamu suruh melahirkan anakmu.” Tiara hanya menunduk saat mama mertuanya mengomel tak henti setelah Farhan terbangus setelah setengah hari hanya tertidur pada operasi. Seharusnya dia iba pada sang suami yang diomeli seperti anak kecil, tapi kalau ingat ini juga kesalahan farhan rasa itu langsung menguap sudah. “Apa kamu tidak berpikir kalau anakmu nanti mewarisi sikap kedua orang tuanya yang keras kepala dan mau menang sendiri.” Farhan makin menundukkan kepalanya dalam, bahkan ditubuhnya yang harus berseliweran kabel untuk menunjang hidupnya tak membuat Sang ibu mengasihani. Ruangan VIP yang menjadi tempatnya dirawat memiliki letak yang terpisah dengan rumah sakit induk, jadi meski ibunya berkata dengan kencang hal itu tidak akan membuat mereka menjadi bahan tontonan orang lain. Liburan yang dia kira akan dia jadikan momen
Tiara selama ini adalah istri yang patuh pada suami. Dia tidak pernah berbicara kasar, satu dua kali memang mereka sering berbeda pendapat dan berdebat, akan tetapi sejak masalah Karin ini mencuat, Tiara berubah. Yah berubah menjadi wonder woman. Farhan yang tidak peka dan kadang sangat labil membuatnya sebagai istri harus bisa mendorong sang suami untuk memberikan keputusan yang tepat untuk kelangsungan keluarga mereka, jika mulai saat ini dia menjadi pembangkang dan keras kepala, bukankah itu wajar. “Bailkah jika mas memutuskan untuk tidak memperpanjang kasus ini,” kata Tiara dengan tenang, sekarang Farhan yang begitu terkejut menatap istrinya. “Kenapa ada yang salah dengan ucapanku?” tantangnya saat melihat keterkejutan di wajah sang suami. “Kamu yakin, maksudku aku memang memikirkan masa depan Alena, bagaiamanapun Karin ibu kandungnya-“ “Dan kalau kalian berjodoh mungkin akan sangat memalukan beristrikan narapidana,” kata Tiara yang makin membuat Farhan bingung dengan sikap
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah