Suara musik yang menghentak menggema di setiap sudut kelab VIP itu.Lampu berwarna-warni bergerak-gerak, menerangi suasana kelab yang temaram. Di meja yang ada di sudut ruangan, Vivian mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.“Cheers!” pekiknya.Para teman sosialita Vivian juga mengangkat gelas mereka.Malam ini, Vivian tertawa lepas. Dia berdansa dengan heboh di tengah lantai dansa, meraih setiap orang yang ditemuinya dan mengajak mereka menari.“Kurasa Vivian benar-benar lepas kendali malam ini,” ungkap salah satu dari mereka.“Yeah, lihat saja. Dia mulai naik ke atas meja bar. Astaga, dia hampir terjungkal!”Untungnya salah satu bartender dengan sigap menahan tubuh Vivian agar tidak terjatuh. Beberapa teman Vivian mulai menyeret kembali wanita itu ke meja mereka.“Vi, kamu mabuk berat. Sebaiknya kita pulang.”Telunjuk Vivian bergerak-gerak. “No, no, no. Aku ingin berpesta sampai pagi!”“Astaga, ada apa sih dengan dirimu?” ucap salah satu dari mereka.Vivian menyeringai lalu menenggak mi
Wajah Melinda nampak sumringah melihat kedatangan menantu kesayangannya.Senyum lebar membingkai dengan kedua tangan yang membuka lebar.“Mama senang kamu kembali, Vivian…” Melinda memeluk erat Vivian. “Terima kasih sudah memaafkan Thomas.”“Aku melakukan ini demi Al, Ma,” balas Vivian datar.“Cucuku!” Melinda langsung mengambil Al dari dekapan pengasuh. Lantas mereka menuju ke teras belakang.Melinda sudah menyiapkan pesta penyambutan kecil-kecilan untuk Vivian dan Al.Balon-balon biru nampak menghiasi teras belakang. Sebuah kolam pasir kecil juga dibuat khusus oleh Melinda.Al na
Roman masih dilanda syok. Dia membiarkan foto Kirana terjatuh begitu saja.Vivian menyadari ekspresi Roman yang gundah. Namun, wanita itu tidak punya banyak waktu untuk mencari pengganti Roman. Lagi pula, dia sudah terlanjur percaya pada pria muda itu.“Roman?” tukas Vivian. “Roman!”Roman terkesiap. “Y-Ya?”“Fotonya jatuh,” terang Vivian heran. “Di amplop itu juga ada kartu akses masuk ke gedung, paham?”“Se-sepertinya aku enggak bisa melakukan ini,” ucap Roman masih tergagap.Kening Vivian langsung mengernyit. “Kenapa? Kamu sudah menyetujuinya, Roman! Seratus juta! Apa kamu mau menolak uang sebanyak it
Vivian berdiri dengan gelisah. Diliriknya jam tangannya berkali-kali.Seharusnya Thomas sudah berada di ruangan ini bersamanya. Dan dalam waktu lima belas menit ke depan mereka akan menghadapi para wartawan yang sudah menunggu di ballroom gedung ini.“Kemana dia?” Gumam Vivian sedikit jengkel.Lantas, sekretaris Thomas mulai berbicara di telepon dan tampangnya pun langsung pucat.“Ada apa?” Tanya Vivian seketika sesaat setelah sekretarisnya Thomas memutuskan sambungan telepon. Vivian merasa ada hal yang buruk terjadi.Apa Roman sudah melancarkan aksinya? Atau pria suruhannya itu ketahuan? Segala pikiran mulai berdatangan yang membuat Vivian tambah senewen.“Ada masalah, Nyonya,” ucap sekretarisnya Thomas.“Masalah?” Kedua alis Vivian bertautan.“Sepertinya, konferensi pers kali ini harus dibatalkan karena Tuan Thomas terluka. Dia ada di basement,” terangnya.Kedua mata Vivian membelalak. Di basement? Tidak seharusnya Thomas berada di sana! Pekik Vivian dalam hati. Karena di sanalah Ro
Kejadian nahas yang menimpa Thomas sengaja ditutupi dari publik. Keluarga Adijaya tidak ingin orang-orang di luar sana berspekulasi dan menambah keruh suasana. Apalagi melalui Rima, asisten kepercayaannya Melinda, Melinda tahu bahwa pelakunya bahkan menyebutkan keterlibatan Vivian.Tentu saja Melinda hanya menganggap itu fitnah, tapi demi melindungi menantu kesayangannya itu, maka Melinda memilih untuk merahasiakan kejadian ini. Kirana sudah sampai di kantor polisi. Saat dia bertemu dengan Romi, rasanya dia ingin menampar adiknya lagi.Namun, tenaganya sudah habis. Yang bisa dia lakukan hanya terduduk lesu, menatap Romi yang kacau.“Kenapa?” Suara Kirana nyaris tidak terdengar. “Sebenci itukah kamu denganku, Rom? Tapi kenapa harus Thomas?”Romi yang sedari tadi tertunduk, kini menengadahkan wajahnya.“Mbak… aku… aku enggak tahu kalau targetnya adalah dirimu,” balas Romi.“Plis, Rom… stop membuat masalah. Kalau Ibu sampai tahu, kondisinya pasti drop lagi. Kali ini, kamu benar-benar k
Pandangan kedua perempuan itu saling beradu.Sorot tajam Vivian seakan menembus ke dalam jantung Kirana, namun Kirana tidak gentar. Binar matanya tak kalah tajam dan menantang.“Apa katamu tadi?” Vivian memicingkan kedua bola matanya. “Bukti?”Kirana menangguk. “Ya, aku memiliki bukti kedekatan Nyonya dengan adikku. Ah!”Seketika Vivian mencengkram lengan Kiara dengan erat, sehingga membuat perempuan itu sedikit meringis kesakitan.“Dari mana kamu mendapatkannya?” desis Vivian tajam.Kening Kirana mengernyit dan melepas cengkraman Vivian. “Sebenarnya, aku hanya asal bicara, Nyonya. Aku enggak punya bukti apa-apa. Tapi melihat Nyonya yang ketakutan, sepertinya pengakuan adikku benar.”Sialan, rutuk Vivian. “Kamu sengaja menjebakku? Dasar rubah licik! Kamu seolah-olah membuatku mengenal adikmu itu.”Kirana menegakkan punggungnya. Dia tidak mau berlama-lama menghadapi Vivian. Hal itu hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lagi pula, dia harus mengatur emosinya selama kehamilannya ini. Di
Melinda hampir saja membanting ponselnya.Darahnya mendidih membaca berita perihal insiden yang terjadi pada Thomas.“Portal berita sialan,” geram wanita itu. “Bagaimana mungkin insiden itu bisa bocor ke media?! Padahal aku sudah menyogok orang-orang itu untuk tutup mulut! Sialan!” Yang membuat Melinda semakin senewen karena isi berita itu juga mengungkit soal pengakuan pelaku yang bilang kalau Vivian terlibat. Ada juga kemungkinan bahwa Vivian menargetkan seorang wanita yang diduga simpanannya Thomas.Kesimpulan berita itu mengawang, mempertanyakan pengakuan tidak masuk akal sang pelaku.“Hah, kesimpulan konyol!” Hardiknya lagi.Melinda bersandar di kursinya. Kepalanya kini berdenyut-denyut kencang.Akhir-akhir ini masalah terus saja menghampiri keluarganya. Tak lama, pintu ruangan Melinda terbuka pelan, muncul Vivian dari balik pintu.“Aku akan menuntut penulis berita itu serta medianya,” tandas Melinda. “Kamu sudah tahu kan kalau berita soal insiden yang menimpa Thomas bocor ke me
Cuaca kali ini nampak kelabu.Awan hitam menggantung di langit, diselingi gemuruh petir yang terdengar dari kejauhan.Untuk pertama kalinya dalam dua puluh enam tahun, Robert dan Ratna duduk berhadapan. Kafetaria di rumah sakit itu ramai, namun kesunyian menggantung sesaat di antara mereka. Sampai akhirnya Robert pun angkat bicara.“Selama jasad putriku belum ditemukan, aku selalu menaruh harapan kalau dia masih hidup,” terang pria itu. “Jadi, katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu, Ratna.”Pandangan Ratna terus mengarah ke permukaan meja yang licin.“Kesaksian saya masih sama, Tuan, karena saya memang tidak tahu menahu soal Nyonya Sophia yang berniat untuk mengakhiri hidupnya…” Suara Ratna terdengar gemetar. “Yang saya ingat, di malam itu, hujan turun dengan lebat. Saya tertidur pulas di kamar ART.”Robert menghela napas berat.“Sebenarnya, aku menyelidiki latar belakang hidupmu, Ratna,” tandas Robert.Jantung Ratna kembali berdebar.“Selama ini, aku merasa ada yan