Matahari siang bersinar menembus tirai di apartemen milik Vivian.Wanita itu sudah terbangun, duduk seorang diri di ruang tengah sambil membiarkan pintu geser itu membuka. Angin sepoi-sepoi berembus masuk menyapu wajahnya. Sudah lama dia tidak merokok, merasakan asap itu mengisi paru-parunya.Kepalanya masih terasa pening karena mabuk semalam sekaligus karena kebenciannya pada Kirana yang semakin memupuk.“Kamu yakin cerai dari Thomas dan membiarkan Kirana menang?” Ucapan Sandra kembali terngiang di benaknya.“Astaga, apa yang harus kulakukan?” gumam Vivian. Saat dia sedang berpikir keras, tiba-tiba Roman muncul bertelanjang dada.Pria muda itu tersenyum padanya setelah menguap lebar. “Aku lapar…”“Cari saja makanan di dapur. Sepertinya aku punya beberapa mi instan,” balas Vivian.Vivian memperhatikan gerak-gerik Roman di dapurnya. Mungkin dia bisa memanfaatkan pria itu, pikirnya lagi. Vivian pun mulai merajut rencana untuk memberi Kirana pelajaran karena sudah merebut Thomas darinya
Hujan di luar membuat udara dingin berembus masuk melalui celah jendela.Sesekali terdengar suara gemuruh petir dari kejauhan. Suasana yang mendung seakan mempengaruhi suasana hati Kirana yang semakin muram.Ratna tahu apa yang sedang dipikirkan putrinya itu.Sapuan pelan tangan Ratna di bahu Kirana, membuat pikiran Kirana buyar.“Lagi mikirin apa, Nak?” tanya Ratna dengan suara serak.“Aku memikirkan Al, Bu. Apa dia di sana baik-baik saja?” Kirana menghela napas pelan. Tawa, tangisan serta gumaman anaknya itu terus memenuhi benaknya.Rasanya begitu berat bagi Kirana untuk berpisah dengan Al. Ikatan mereka seolah sudah terjalin erat.“Ibu rasa Al pasti baik-baik saja di sana.”“Tetap saja, aku sudah terbiasa melihat Al setiap hari…” Binar di mata Kirana nampak sendu.“Kalau kamu kepikiran begini terus, kasihan janin di perutmu, Kirana. Janin itu bisa merasakan kesedihan pada ibunya,” terang Ratna, mengusap perut putrinya yang belum membesar.“Menurut Ibu, apa keputusanku sudah tepat?”
Suara musik yang menghentak menggema di setiap sudut kelab VIP itu.Lampu berwarna-warni bergerak-gerak, menerangi suasana kelab yang temaram. Di meja yang ada di sudut ruangan, Vivian mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.“Cheers!” pekiknya.Para teman sosialita Vivian juga mengangkat gelas mereka.Malam ini, Vivian tertawa lepas. Dia berdansa dengan heboh di tengah lantai dansa, meraih setiap orang yang ditemuinya dan mengajak mereka menari.“Kurasa Vivian benar-benar lepas kendali malam ini,” ungkap salah satu dari mereka.“Yeah, lihat saja. Dia mulai naik ke atas meja bar. Astaga, dia hampir terjungkal!”Untungnya salah satu bartender dengan sigap menahan tubuh Vivian agar tidak terjatuh. Beberapa teman Vivian mulai menyeret kembali wanita itu ke meja mereka.“Vi, kamu mabuk berat. Sebaiknya kita pulang.”Telunjuk Vivian bergerak-gerak. “No, no, no. Aku ingin berpesta sampai pagi!”“Astaga, ada apa sih dengan dirimu?” ucap salah satu dari mereka.Vivian menyeringai lalu menenggak mi
Wajah Melinda nampak sumringah melihat kedatangan menantu kesayangannya.Senyum lebar membingkai dengan kedua tangan yang membuka lebar.“Mama senang kamu kembali, Vivian…” Melinda memeluk erat Vivian. “Terima kasih sudah memaafkan Thomas.”“Aku melakukan ini demi Al, Ma,” balas Vivian datar.“Cucuku!” Melinda langsung mengambil Al dari dekapan pengasuh. Lantas mereka menuju ke teras belakang.Melinda sudah menyiapkan pesta penyambutan kecil-kecilan untuk Vivian dan Al.Balon-balon biru nampak menghiasi teras belakang. Sebuah kolam pasir kecil juga dibuat khusus oleh Melinda.Al na
Roman masih dilanda syok. Dia membiarkan foto Kirana terjatuh begitu saja.Vivian menyadari ekspresi Roman yang gundah. Namun, wanita itu tidak punya banyak waktu untuk mencari pengganti Roman. Lagi pula, dia sudah terlanjur percaya pada pria muda itu.“Roman?” tukas Vivian. “Roman!”Roman terkesiap. “Y-Ya?”“Fotonya jatuh,” terang Vivian heran. “Di amplop itu juga ada kartu akses masuk ke gedung, paham?”“Se-sepertinya aku enggak bisa melakukan ini,” ucap Roman masih tergagap.Kening Vivian langsung mengernyit. “Kenapa? Kamu sudah menyetujuinya, Roman! Seratus juta! Apa kamu mau menolak uang sebanyak it
Vivian berdiri dengan gelisah. Diliriknya jam tangannya berkali-kali.Seharusnya Thomas sudah berada di ruangan ini bersamanya. Dan dalam waktu lima belas menit ke depan mereka akan menghadapi para wartawan yang sudah menunggu di ballroom gedung ini.“Kemana dia?” Gumam Vivian sedikit jengkel.Lantas, sekretaris Thomas mulai berbicara di telepon dan tampangnya pun langsung pucat.“Ada apa?” Tanya Vivian seketika sesaat setelah sekretarisnya Thomas memutuskan sambungan telepon. Vivian merasa ada hal yang buruk terjadi.Apa Roman sudah melancarkan aksinya? Atau pria suruhannya itu ketahuan? Segala pikiran mulai berdatangan yang membuat Vivian tambah senewen.“Ada masalah, Nyonya,” ucap sekretarisnya Thomas.“Masalah?” Kedua alis Vivian bertautan.“Sepertinya, konferensi pers kali ini harus dibatalkan karena Tuan Thomas terluka. Dia ada di basement,” terangnya.Kedua mata Vivian membelalak. Di basement? Tidak seharusnya Thomas berada di sana! Pekik Vivian dalam hati. Karena di sanalah Ro
Kejadian nahas yang menimpa Thomas sengaja ditutupi dari publik. Keluarga Adijaya tidak ingin orang-orang di luar sana berspekulasi dan menambah keruh suasana. Apalagi melalui Rima, asisten kepercayaannya Melinda, Melinda tahu bahwa pelakunya bahkan menyebutkan keterlibatan Vivian.Tentu saja Melinda hanya menganggap itu fitnah, tapi demi melindungi menantu kesayangannya itu, maka Melinda memilih untuk merahasiakan kejadian ini. Kirana sudah sampai di kantor polisi. Saat dia bertemu dengan Romi, rasanya dia ingin menampar adiknya lagi.Namun, tenaganya sudah habis. Yang bisa dia lakukan hanya terduduk lesu, menatap Romi yang kacau.“Kenapa?” Suara Kirana nyaris tidak terdengar. “Sebenci itukah kamu denganku, Rom? Tapi kenapa harus Thomas?”Romi yang sedari tadi tertunduk, kini menengadahkan wajahnya.“Mbak… aku… aku enggak tahu kalau targetnya adalah dirimu,” balas Romi.“Plis, Rom… stop membuat masalah. Kalau Ibu sampai tahu, kondisinya pasti drop lagi. Kali ini, kamu benar-benar k
Pandangan kedua perempuan itu saling beradu.Sorot tajam Vivian seakan menembus ke dalam jantung Kirana, namun Kirana tidak gentar. Binar matanya tak kalah tajam dan menantang.“Apa katamu tadi?” Vivian memicingkan kedua bola matanya. “Bukti?”Kirana menangguk. “Ya, aku memiliki bukti kedekatan Nyonya dengan adikku. Ah!”Seketika Vivian mencengkram lengan Kiara dengan erat, sehingga membuat perempuan itu sedikit meringis kesakitan.“Dari mana kamu mendapatkannya?” desis Vivian tajam.Kening Kirana mengernyit dan melepas cengkraman Vivian. “Sebenarnya, aku hanya asal bicara, Nyonya. Aku enggak punya bukti apa-apa. Tapi melihat Nyonya yang ketakutan, sepertinya pengakuan adikku benar.”Sialan, rutuk Vivian. “Kamu sengaja menjebakku? Dasar rubah licik! Kamu seolah-olah membuatku mengenal adikmu itu.”Kirana menegakkan punggungnya. Dia tidak mau berlama-lama menghadapi Vivian. Hal itu hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lagi pula, dia harus mengatur emosinya selama kehamilannya ini. Di