Awal Jejak Kebenaran
Pagi itu, matahari baru saja terbit ketika Alvaro membuka kembali dokumen yang mereka curi dari markas Johan. Karin duduk di sampingnya, mengawasi setiap gerakan pria itu. Dalam ruangan kecil dengan pencahayaan seadanya, keheningan terasa menekan.“Aku masih tidak percaya,” gumam Alvaro, membaca nama-nama dalam daftar itu. “Rodrigo... Dia tidak hanya menjual informasi keluarga kita, tapi juga... merencanakan semuanya sejak awal.”
“Sejak kapan dia mengkhianati keluargamu?” tanya Karin, mencoba memahami situasi.
Alvaro tidak menjawab langsung. Kilasan ingatan masa kecilnya muncul, ketika Rodrigo sering membawa hadiah dan tersenyum ramah. Ternyata di balik semua itu, ada niat jahat yang ia sembunyikan.
“Mungkin sejak keluargaku menjadi ancaman bagi ambisinya,” jawab Alvaro dengan suara berat.
Karin menyentuh lengannya, mencoba menenangkan. “Kita ti
Luka yang Belum SembuhAlvaro berdiri di depan jendela, memandang kota yang mulai gelap. Hujan turun perlahan, membasahi jalan-jalan sempit yang penuh kenangan. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip samar, seakan menggambarkan harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Namun, pikirannya dipenuhi bayang-bayang masa lalu. Perasaan dendam terhadap Johan dan Rodrigo bercampur dengan rasa bersalah yang perlahan menggerogoti dirinya.Ia teringat pada malam ia ditemukan oleh keluarga angkatnya di kawasan kumuh, malam ketika ia kehilangan semua yang pernah dimilikinya. Tidak ada yang ia inginkan selain keadilan. Tapi apa yang ia kejar sekarang sudah melampaui itu—ia mencari kebenaran."Alvaro," suara Karin memecah keheningan. Ia masuk ke ruangan dengan ragu, membawa secangkir kopi. "Kau sudah seharian di sini. Kau harus istirahat.""Aku tidak bisa," jawab Alvaro tanpa menoleh. "Setiap kali aku mencoba tidur, aku merasa sepe
Mengurai Benang KusutKembali ke markas, suasana terasa berat. Surat yang mereka temukan di Katedral Hitam masih tergeletak di meja di depan Alvaro. Surat itu mengandung lebih dari sekadar pengakuan; itu adalah kunci untuk mengungkap pengkhianatan yang telah menghancurkan hidupnya.Victor berdiri di sudut ruangan, matanya tajam memperhatikan Alvaro. Karin, yang duduk di kursi dekat meja, mencoba membaca ekspresi Alvaro, tapi wajah pria itu begitu sulit ditebak."Jadi, siapa dia?" tanya Karin akhirnya, memecah keheningan.Alvaro mengangkat pandangannya perlahan. "Pamanku, Felix, tidak menyebutkan namanya secara langsung dalam surat ini. Tapi dia meninggalkan cukup banyak petunjuk untuk membuatku yakin. Orang yang mengkhianati keluargaku... adalah seseorang yang aku percayai."Karin dan Victor saling bertukar pandang. "Apa kau yakin?" tanya Victor.Alvaro mengangguk. "Aku harus yakin. Orang itu adalah kakak dari ayahk
Tempat Perlindungan yang Tak PastiPagi itu, setelah pelarian dari rumah Ricardo, Alvaro dan timnya menemukan perlindungan di sebuah vila tua yang tersembunyi di pegunungan. Vila itu adalah properti lama yang ditinggalkan keluarga Ricardo sejak beberapa dekade lalu. Dindingnya yang berlumut dan jendelanya yang pecah menunjukkan bahwa tempat ini jarang dijamah manusia.Mereka semua duduk di ruang tamu, yang meskipun berdebu, masih mempertahankan sisa-sisa kemegahannya. Ricardo tampak termenung di salah satu kursi, sementara Karin membersihkan senjata mereka di meja. Victor memeriksa pintu dan jendela untuk memastikan bahwa mereka tidak diikuti.“Ini bukan tempat yang sempurna,” kata Victor sambil menutup gorden jendela, “tapi ini cukup aman untuk sementara.”Alvaro mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi kemarahan dan kebingungan. Ia menatap jam tua di dinding yang berhenti berdetak. Setiap detik yang
Setelah Benteng SelatanFajar menyingsing ketika Alvaro dan timnya meninggalkan Benteng Selatan. Johan kini menjadi tawanan mereka, diikat di bagian belakang kendaraan mereka yang melaju cepat menuju tempat persembunyian baru. Meskipun Johan telah dilumpuhkan, kata-kata terakhirnya terus menghantui Alvaro.“Dia akan datang untukmu…”Alvaro berusaha menyatukan potongan-potongan informasi yang dia miliki. Kata-kata Johan tentang pengkhianat dalam keluarganya membuatnya gelisah, tetapi ia tahu bahwa pertanyaan itu tidak bisa dijawab segera.“Apa rencana kita sekarang?” tanya Karin sambil memeriksa senjata yang mulai kehabisan amunisi.“Kita interogasi Johan,” jawab Alvaro singkat. “Dia tahu lebih banyak dari yang dia katakan. Aku tidak akan berhenti sampai aku mendapatkan semuanya.”Ricardo mengangguk setuju. “Tapi kita harus hati-hati. Johan itu licik. Dia bis
Keputusan yang BeratMalam itu, Alvaro duduk sendirian di sudut ruangan, memandangi nama pamannya yang tertulis di dokumen. Pikirannya penuh dengan pertanyaan.“Kenapa dia melakukannya?” gumamnya pelan.Karin mendekatinya dengan hati-hati. “Alvaro, kita perlu membicarakan ini.”Alvaro menoleh, wajahnya tegang. “Apa yang harus kita bicarakan? Pamanku, orang yang aku percayai, adalah bagian dari ini semua. Dia mengkhianati keluargaku. Mengkhianati aku!”Karin menghela napas. “Aku tahu ini berat. Tapi kita tidak bisa terburu-buru. Kita butuh lebih banyak bukti sebelum mengambil langkah selanjutnya.”Ricardo, meskipun terluka, ikut memberikan pendapatnya. “Karin benar. Kalau kita langsung menyerang, kita bisa membuat semuanya lebih buruk. Kita harus memainkan permainan ini dengan cerdas.”Alvaro terdiam. Ia tahu mereka benar, tetapi emosinya sulit dikendal
Ketegangan di UdaraMalam itu begitu sunyi, namun ketegangan terasa menyesakkan. Alvaro berdiri di depan jendela besar persembunyian mereka, memandangi bulan purnama yang memancarkan cahaya redup di langit gelap. Dalam benaknya, ia terus memutar rencana yang akan segera mereka jalankan.“Sudah yakin dengan keputusan ini?” tanya Karin sambil menghampiri, membawa dua cangkir kopi.“Tidak ada jalan kembali,” jawab Alvaro. “Malam ini, semuanya harus selesai.”Karin menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tahu kau ingin mengungkap kebenaran. Tapi bagaimana jika—”“Tidak ada ‘jika’, Karin,” potong Alvaro tegas. “Mereka telah menghancurkan hidupku. Malam ini, aku akan memastikan mereka membayar.”Ricardo dan Victor bergabung ke ruang utama, membawa denah villa yang telah mereka susun bersama. Leo mengikuti dari belakang, membawa catatan kecil yang penuh dengan informasi penting.“Kita hanya punya satu kesempatan,” kata Ricardo sambil menunjukkan rute penyusupan. “Jika mereka tahu kit
Luka yang Masih TerbukaHujan deras mengguyur villa malam itu, membasuh darah dan keringat yang baru saja mengisi ruangan. Suara petir yang menggelegar seakan menjadi latar bagi perasaan Alvaro yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. Ia terduduk di lantai, menatap kosong ke arah tubuh pamannya yang tergeletak. Kata-kata terakhir pria itu terus terngiang di telinganya seperti gema yang tidak kunjung hilang."Ayahku? Bagaimana bisa?" gumamnya, hampir tidak terdengar di tengah hujan deras. Tangannya gemetar, masih memegang pistol yang dingin dan berat.Karin mendekati Alvaro dengan hati-hati. Wanita itu tahu bahwa ini adalah momen rapuh baginya. Ia berlutut di sampingnya, menempatkan tangannya di pundaknya. "Alvaro," katanya dengan lembut. "Kita harus pergi sekarang. Mereka pasti akan datang untuk mencari kita."Namun, Alvaro tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya, matanya memandang kosong ke arah jendela besar di ujung ruangan. I
Kabur dengan Harga MahalMalam terasa seperti tak berujung saat Alvaro dan kelompoknya berhasil melarikan diri dari markas ayahnya. Namun, meskipun mereka membawa bukti yang cukup untuk menjatuhkan pria itu, suasana di antara mereka penuh dengan ketegangan.Ricardo, yang masih terluka akibat insiden sebelumnya, mengamati layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. “Kita sudah jauh dari markas, tapi mereka pasti akan mengejar kita.”Alvaro menatap ke luar jendela mobil yang melaju kencang. Pikirannya dipenuhi berbagai skenario tentang siapa yang mungkin telah berkhianat dalam kelompok mereka.Karin duduk di samping Alvaro, mencoba menyeka darah di lengan Ricardo dengan kain. “Kita butuh tempat aman untuk beristirahat. Kalau terus seperti ini, kita tidak akan bertahan.”Alvaro mengangguk. “Kita harus mengatur ulang rencana. Dan aku harus tahu siapa di antara kita yang masih bermain dua sisi.”
Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata
Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe
Ricardo memacu truk di jalanan bersalju yang mulai tertutup kabut. Roda-roda besar kendaraan itu sesekali tergelincir di atas permukaan licin, tetapi dia tetap mengendalikannya dengan tenang. Di belakang mereka, dua mobil hitam dengan sirene pelan mulai mengejar.“Konstantin pasti tahu kita kabur dengan truk ini,” kata Selena sambil mengamati jalan di belakang melalui jendela kecil di ruang kargo. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Carlos duduk di atas salah satu peti amunisi sambil merakit senapan serbu. “Bagus. Itu artinya kita bisa menyerang sebelum mereka sempat menyusun rencana baru.”Alvaro yang berdiri di sampingnya mendesah. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?”Carlos menyeringai. “Bukankah
Van tua yang dikendarai Carlos melaju dengan kecepatan penuh, membelah jalanan Moskow yang masih sepi di pagi buta. Di belakang mereka, dua SUV hitam dengan logo organisasi Konstantin terpampang jelas di sisi pintunya terus mengejar, disertai suara sirene polisi yang seolah menggema dari segala arah.Ricardo memeriksa peluru di magazinnya. "Kita tidak akan bisa kabur hanya dengan kecepatan. Mereka punya kendaraan yang lebih baik!"Selena sudah membuka jendela samping, mengangkat senapan serbunya. "Maka kita harus membuatnya lebih adil."BRAK!Tembakan pertama dari musuh menghantam bagian belakang van, membuat kaca pecah dan serpihan logam beterbangan ke dalam."Kita tidak bisa hanya menghindar!" ujar Alvaro, yang mulai bersiap dengan pistol di tan
Truk yang mereka tumpangi melaju melewati jalanan Moskow yang dingin. Dari sela-sela peti kargo, Alvaro mengintip keluar. Lampu-lampu jalan berpendar di malam yang gelap, dan sesekali mobil patroli melintas, membuat mereka semua semakin waspada.“Kita akan kemana sekarang?” bisik Selena.Carlos, yang duduk di sebelahnya, menatap peta yang telah direkam dalam ingatannya. “Kita harus menemukan transportasi lain. Truk ini hanya membawa kita keluar dari bandara, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi di dalamnya.”Ricardo, yang duduk di dekat pintu belakang, melirik arlojinya. “Kita bisa lompat keluar saat truk ini berhenti di lampu merah atau perbatasan distrik.”Benar saja, setelah beberapa menit, truk mulai melambat di sebuah persimpangan. Ricardo mengisyaratkan kepada yang lain, dan tanpa suara mereka menyelinap keluar, menyelinap ke gang sempit di dekatnya.Namun, mereka tidak menyadari satu hal—mereka telah diawasi sejak awal.Seorang pria berjas hitam di seberang jalan mengangkat t
Mobil yang dikendarai Ricardo melaju dengan kecepatan penuh di jalan pegunungan yang berliku-liku. Di belakang mereka, suara sirene dan deru kendaraan pengejar semakin mendekat. Helikopter hitam berputar di langit, sorot lampunya berusaha menembus kegelapan malam."Mereka tidak akan berhenti!" seru Selena sambil mengisi ulang magazin senjatanya. "Konstantin pasti sudah memerintahkan mereka untuk menangkap kita hidup atau mati."Carlos, yang duduk di sebelah Alvaro di kursi belakang, menatap lurus ke depan. "Aku sudah mengkhianati Konstantin. Sekarang aku tidak punya pilihan lain selain melawan."Alvaro masih ragu. "Dan bagaimana kalau ini semua jebakan? Bagaimana kalau kau hanya berpura-pura berpihak pada kita?"Carlos tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jala
Malam itu, Alvaro tidak bisa tidur. Di dalam gudang tua yang menjadi tempat persembunyian mereka, suara deburan ombak terus menggema di kejauhan. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi yang lebih menusuk adalah perasaan di dalam hatinya.Carlos masih hidup.Bukan hanya hidup, tetapi juga bekerja untuk Konstantin.Alvaro mengepalkan tangannya. Dulu, Carlos adalah pahlawan baginya. Kakaknya adalah seseorang yang ia idolakan sejak kecil—seseorang yang mengajarinya bertarung, berpikir strategis, dan berani menghadapi ketidakadilan. Tapi sekarang, Carlos berdiri di pihak musuh.Selena duduk di sudut ruangan, memperhatikan Alvaro. “Kau belum tidur?” tanyanya pelan.Alvaro menggeleng. “Bagaimana aku bisa tidur
Malam di Laut Hitam terasa lebih dingin dari biasanya. Di atas kapal kecil yang melaju perlahan di perairan gelap, Alvaro dan timnya menatap cakrawala tempat sebuah kapal besar milik Konstantin sedang berlabuh.“Kapal itu bukan sekadar alat transportasi,” kata Ricardo sambil melihat peta digital yang ditampilkan di tablet-nya. “Ini adalah laboratorium terapung. Ada sesuatu yang mereka kembangkan di sana.”Selena menatap Alvaro. “Ini mungkin kesempatan kita untuk mendapatkan informasi langsung dari sumbernya.”Alvaro mengangguk. “Kita menyusup, mengumpulkan bukti, dan jika memungkinkan… kita hancurkan fasilitas itu.”Menggunakan perlengkapan selam, mereka berenang menuju kapal dengan hati-hati. Ricardo memandu dari jauh, mengawasi kamera keamanan dan memberi tahu mereka jalur yang paling aman.Setelah berhasil naik ke dek bawah kapal, mereka bergerak cepat. Kapal itu memiliki keamanan ketat, dengan penjaga patroli bersenjata dan kamera pengawas di setiap sudut.Selena membuka peta stru
Beberapa hari setelah penangkapan Viktor Ivanov, Alvaro duduk di ruang interogasi, memandangi pria itu dengan tatapan tajam. Meskipun Viktor kini terbelenggu, keberadaannya masih memberikan aura ancaman yang nyata.“Aku sudah memberimu nama,” kata Viktor dengan suara serak. “Apa lagi yang kau inginkan dariku?”Alvaro menggenggam meja di depannya dengan erat. “Aku ingin tahu semua. Bagaimana Konstantin Dragovich terlibat, apa motivasinya, dan bagaimana aku bisa menghancurkan dia.”Viktor tersenyum kecil. “Kau benar-benar berpikir bisa menghancurkan dia? Konstantin tidak seperti aku. Dia adalah sosok yang ada di setiap sudut dunia ini, mengendalikan semuanya tanpa kau sadari.”Alvaro terdiam sejenak. Di dalam hatinya, dia tahu Viktor tidak sedang bercanda. Jika Konstantin benar-benar sekuat itu, maka pertempuran ini belum mencapai puncaknya—ini baru permulaan.Setelah interogasi, Alvaro kembali ke ruang briefing bersama Selena dan Ricardo. Di atas meja, peta dunia terbentang dengan bebe