Anisa terbaring lemah di rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang terasa sunyi. Kabar kegugurannya begitu menghantamnya dengan keras, membuat hatinya hancur dan tubuhnya terasa lelah. Sementara itu, Arya berdiri di sampingnya, namun sikapnya terlihat dingin. Tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan datar yang seolah-olah menyalahkan Anisa atas apa yang terjadi. Ketika ibunya datang, bukannya memberi dukungan, justru cemoohan yang keluar dari mulutnya. "Kamu ini perempuan macam apa, sampai nggak bisa menjaga kandungan sendiri," ucapnya dengan nada penuh kemarahan. "Bagaimana Arya bisa punya masa depan dengan istri seperti kamu?" Anisa hanya bisa diam. Hatinya teriris mendengar kata-kata kasar itu, terlebih di saat ia merasa sangat rapuh dan membutuhkan dukungan. Ia mencoba menahan air matanya, namun tidak bisa. Rasa sakit yang ia alami, baik fisik maupun batin, begitu menyesakkan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud seperti i
Hari-hari berlalu, dan Anisa mulai menyadari bahwa Arya semakin berbeda. Sikapnya yang dulu penuh perhatian kini terasa dingin dan berjarak. Tidak ada lagi canda ringan di pagi hari atau pelukan hangat sebelum tidur. Sebaliknya, Arya lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, entah dengan alasan pekerjaan atau sekadar "butuh udara segar."Anisa mencoba mencari penjelasan, meskipun hatinya merasa takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Di meja makan suatu malam, Anisa mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Arya, akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan nada hati-hati.Arya mendongak dari piringnya, lalu menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.“Tapi aku merasa kamu semakin jauh,” ujar Anisa, suaranya sedikit bergetar.Arya menaruh sendoknya dengan sedikit kasar di atas meja. "Aku cuma butuh waktu, Anisa. Jangan terlalu menekan aku," ucapnya tegas, membuat Anisa
Waktu terus berlalu, tetapi luka di hati Anisa semakin menganga. Sikap Arya yang semakin dingin, ditambah tekanan dari ibu mertuanya, membuat Anisa merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. Hubungannya dengan Arya seperti berada di ujung tanduk, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memperbaikinya.Suatu malam, ketika Anisa mencoba menyiapkan makan malam spesial untuk Arya, lelaki itu pulang dengan wajah muram. Anisa menyambutnya dengan senyuman kecil, meskipun dalam hati ia penuh kekhawatiran."Kamu pulang tepat waktu malam ini. Aku masak makanan kesukaanmu," ujar Anisa, berusaha terdengar ceria.Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Aku nggak lapar," jawabnya singkat, lalu langsung menuju kamar tanpa menghiraukan Anisa yang berdiri terpaku di ruang makan.Anisa mengepalkan tangannya di sisi meja, berusaha menahan air mata. Ia telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat makan malam itu, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka, tetapi usahanya kembali sia-sia.Setelah m
Pagi itu, Anisa bangun dengan perasaan berat. Sudah beberapa hari terakhir, Arya hampir tidak berbicara dengannya, dan keheningan di antara mereka semakin terasa menyesakkan. Di sisi lain, ibu Arya terus-menerus mendesaknya melalui telepon, mencoba menanamkan pikiran-pikiran buruk tentang Anisa di kepala Arya."Perempuan itu nggak pantas untuk kamu, Arya," suara ibunya bergema di kepala Arya setiap kali ia melihat Anisa. "Dia cuma beban. Kamu lihat sendiri, anak kalian nggak bertahan, dan sekarang hidupmu malah semakin berantakan."Arya mulai merasa terpengaruh. Meski hatinya masih menyimpan cinta untuk Anisa, ia mulai meragukan apakah pernikahan mereka adalah keputusan yang tepat.Hari itu, Anisa mencoba berbicara dengan Arya di meja makan. Ia sudah menyiapkan sarapan favorit Arya, berharap bisa mencairkan suasana."Arya, ayo makan dulu. Aku masak nasi goreng seperti yang kamu suka," kata Anisa dengan senyum kecil.Namun, Arya hanya melirik sepiring nasi goreng itu tanpa minat. "Aku
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Rumah mereka yang biasanya penuh kehangatan kini terasa sunyi dan hampa. Arya duduk di ruang tamu, memandangi cangkir kopi yang hampir habis diminumnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia mencintai Anisa, tetapi akhir-akhir ini ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Tentu saja, ia masih ingin menjaga pernikahannya, tetapi tekanan yang datang dari berbagai arah, terutama dari orang tuanya, menyebabkan semuanya semakin sulit. Anisa sudah beberapa kali meminta penjelasan dari Arya tentang sikapnya yang semakin menjauh. Namun, Arya lebih sering diam, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang begitu sulit dijawab. Sikapnya yang dingin membuat Anisa semakin merasa tidak dihargai. Mereka masih bersama, tapi rasanya seperti dua orang yang terjebak dalam hubungan yang hampa. Setiap percakapan mereka semakin terasa seperti perdebatan tanpa akhir yang tak kunjung menemukan jalan keluar.
Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah perbincangan panjang mereka sebelumnya, baik Arya maupun Anisa tenggelam dalam pikiran masing-masing. Arya masih duduk di sofa ruang tamu, menggenggam telepon genggamnya dengan tangan gemetar. Ia ingin menelepon ibunya, ingin meminta ibunya berhenti mencampuri urusan rumah tangga mereka. Namun, bayangan kemarahan dan rasa kecewa sang ibu membuatnya bimbang.Di kamar, Anisa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Hatinya masih berat, tetapi percakapan mereka tadi memberikan sedikit harapan. Ia mulai bertanya-tanya apakah Arya benar-benar bersedia berubah. Apakah pernikahan mereka masih bisa diselamatkan, atau ini hanyalah usaha terakhir yang akan berujung pada kekecewaan yang lebih dalam?Beberapa hari berlalu dengan keheningan yang canggung. Arya mulai menunjukkan usahanya untuk memperbaiki diri. Ia pulang lebih awal dari biasanya, menghabiskan waktu di rumah bersama Anisa. Namun, sikapnya yang canggung sering kali membua
Hari-hari tenang yang sempat tercipta antara Anisa dan Arya ternyata tak bertahan lama. Hubungan mereka kembali diterpa badai, kali ini lebih berat dari sebelumnya. Sebuah panggilan telepon misterius pada tengah malam menjadi awal dari konflik yang tak terhindarkan.Arya sedang di ruang tamu saat ponselnya berbunyi. Ia menatap layar, ragu untuk menjawab karena nama yang muncul di sana adalah “Citra.” Anisa, yang baru saja keluar dari kamar, melihat ekspresi gugup Arya dan mendekat dengan alis terangkat.“Siapa yang telepon malam-malam begini?” tanya Anisa curiga.“Ah, nggak penting. Cuma klien kantor,” jawab Arya buru-buru sambil mematikan panggilan.Namun, Anisa tidak mudah percaya. Ia meraih ponsel Arya dan memeriksa riwayat panggilannya. Ketika melihat nama Citra, jantungnya berdegup kencang. Nama itu bukan nama asing baginya. Citra adalah rekan kerja Arya yang sering disebut-sebut di masa lalu.“Citra? Jadi dia masih kontak sama kamu?” Anisa menatap Arya dengan sorot mata tajam.A
Anisa duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi berkas-berkas yang baru saja ia ambil dari laci meja. Sebuah dokumen pengajuan perceraian tergeletak di hadapannya, belum ia isi. Jemarinya gemetar, sementara matanya nanar memandang kertas yang menjadi simbol keputusan besar dalam hidupnya.Sudah hampir dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Arya. Selama itu, Anisa berusaha keras untuk merenungi semuanya. Namun, setiap kali ia berpikir, perasaan sakit, marah, dan kecewa selalu kembali menghantui.Ia mencintai Arya, itu tak dapat ia pungkiri. Namun, cinta itu kini terasa seperti pisau bermata dua, satu sisi memberi kebahagiaan, sisi lain melukai lebih dalam dari yang ia sangka.Ibunya mengetuk pintu dan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum makan apa-apa dari pagi, Nak. Mau Ibu bawakan makanan ke sini?”Anisa hanya menggeleng lemah, senyum kecil terpaksa terukir di wajahnya. “Nggak, Bu. Anisa nggak lapar.”Sang ibu meletakkan teh di atas meja dan duduk di samping Anisa. Ia me
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,
Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih
Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?
Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t
Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be
Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de
Anisa menatap ke luar jendela kamar apartemennya yang kecil. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam bertiup pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ini adalah tempat tinggal barunya, jauh dari tempat lama yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Sudah dua minggu sejak dia menjual rumah peninggalan orang tuanya. Rumah yang dulu penuh dengan canda tawa, berubah menjadi tempat yang hanya membuatnya terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Anisa tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali dari nol.Dia kini bekerja di sebuah restoran asing yang cukup terkenal. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi setidaknya membuatnya sibuk dan tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu. Ia mengisi harinya dengan memasak, melayani pelanggan, dan berbincang dengan rekan kerja barunya.Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak siang tadi, ia merasa seperti a
Setelah beberapa bulan berlalu sejak kepindahannya ke kota baru, Anisa mulai terbiasa dengan ritme kehidupannya yang sekarang. Ia sudah tidak lagi merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan pekerjaannya di restoran asing membuatnya semakin sibuk hingga perlahan-lahan bisa melupakan luka-luka masa lalunya. Meskipun kadang-kadang kenangan tentang Roy masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi.Namun suatu hari, Anisa mengalami sesuatu yang membuatnya kembali mempertanyakan kehidupannya. Hari itu, restoran tempatnya bekerja sedang ramai karena ada acara perayaan ulang tahun dari pelanggan tetap mereka. Anisa yang bertugas di bagian pelayanan sibuk bolak-balik mengantar pesanan makanan dan memastikan semua pelanggan mendapatkan pelayanan terbaik.Saat ia sedang mengambil pesanan dari meja pelanggan, seorang pria memasuki restoran. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat rapi dan elegan. Anisa tidak terlalu memperh
Waktu berjalan semakin cepat, dan Anisa merasa hidupnya seperti berputar dalam lingkaran tanpa akhir. Meski hubungan dengan Roy tampak menyenangkan di awal, semakin lama ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Meskipun Roy selalu memberikan perhatian yang penuh, Anisa merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Kadang, ada hal-hal kecil yang membuatnya curiga, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.Hari itu, seperti biasa, Roy menjemput Anisa di rumahnya untuk makan malam bersama. Anisa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Roy selalu berusaha menyenangkan hati Anisa dengan cara-cara sederhana, tetapi yang terkadang membuatnya merasa aneh adalah cara Roy selalu menghindari topik-topik pribadi. Ia tidak pernah membahas keluarga, masa lalunya, atau apapun yang bersifat pribadi. Ketika Anisa menanyakan sesuatu tentang dirinya, Roy selalu mengubah topik dengan alasan yang terkesan canggung.“Roy, aku sudah lama ingin tahu lebih banyak tentangmu,” ujar Anisa suatu malam saat mereka duduk di r