Anisa memandangi cermin di depannya. Wajah yang dulu ia kenali kini tampak seperti milik orang asing. Mata yang dulunya bersinar penuh harapan, pun kini kehilangan kilauan, hanya menyisakan kekosongan dan kelelahan yang begitu dalam. Di bawah matanya, lingkaran hitam terlihat menebal, mengisyaratkan malam-malam tanpa tidur yang telah menjadi rutinitas. “Kenapa semua ini terjadi padaku? Apa salahku?” Anisa berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar kecilnya. Tak ada yang menjawab, hanya bayangannya di cermin yang kembali menatap, seolah mengejek kelemahannya. Tiga bulan yang lalu, hidup Anisa berada di puncak. Karirnya sebagai desainer grafis sedang menanjak, dan ia baru saja mendapatkan kontrak besar dengan perusahaan ternama. Kekasihnya, Reza, juga tampak sebagai pasangan yang sempurna, penyayang, perhatian, dan selalu ada di sampingnya. Tapi semua itu harus berakhir dalam sekejap. Reza, yang selama ini menjadi tumpuan harapannya, tiba-tiba memutuskan hubunga
Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza. Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?" “Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?” Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi? “Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia j
Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan. Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyam
Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari
Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw
Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K
Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me
Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi
Bab 76: Pilihan yang MenyakitkanMalam itu, setelah pesta pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia dalam hidup Anisa, dia merasa seperti dikepung oleh gelombang emosi yang tidak terkendali. Malik telah pergi ke kamar mereka terlebih dahulu, memberikan waktu kepada Anisa untuk mengumpulkan pikirannya. Namun, semakin lama Anisa duduk sendirian di balkon, semakin kuat rasa gelisah itu menguasainya.Bayangan Arya muncul di benaknya berulang kali. Wajahnya yang penuh emosi, suara lantangnya yang memanggil namanya, dan sorot matanya yang seolah memohon. Semua itu membangkitkan kenangan lama yang telah ia coba kubur dalam-dalam.“Kenapa kau harus datang, Arya?” bisiknya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Arya adalah bagian dari masa lalu yang pernah ia pikir telah selesai. Namun, malam ini, kemunculannya mengguncang segalanya. Anisa tahu bahwa apa yang ia miliki bersama Arya adalah cinta yang penuh gairah, tetapi juga penuh luka. Hubungan mereka selalu dipenuhi d
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A