Malam itu adalah salah satu malam yang tidak akan pernah dilupakan oleh Anisa. Setelah seharian mereka sibuk mendiskusikan rencana pembangunan rumah impian mereka, Malik mengajaknya untuk menghabiskan malam dengan santai di rumah. Tidak ada rencana besar, hanya kebersamaan sederhana yang penuh cinta.Anisa mengenakan gaun tidur berwarna pastel yang ia pilih karena kelembutannya. Ia berjalan menuju ruang tamu, di mana Malik sudah menunggunya dengan sebotol anggur dan dua gelas.“Anggur?” tanya Anisa, sedikit terkejut. “Apa kita sedang merayakan sesuatu?”Malik tersenyum lembut. “Tidak perlu alasan besar untuk merayakan cinta kita, kan?”Anisa duduk di sofa, bersebelahan dengan Malik. Ia menerima gelas anggur yang disodorkan Malik dan menyesapnya perlahan. Rasa manis bercampur pahit menyentuh lidahnya, seperti mengingatkannya pada perjalanan panjang mereka hingga sampai ke titik ini.“Terima kasih, Malik,” kata Anisa tiba-tiba.“Untuk apa?” Malik menatapnya dengan penuh perhatian.“Untu
Sudah sebulan sejak Anisa dan Malik melanjutkan hidup mereka sebagai pasangan suami istri. Setiap hari, mereka semakin merasakan kedalaman cinta yang terjalin di antara mereka. Setiap percakapan, setiap senyum, bahkan setiap sentuhan terasa lebih berarti. Mereka merasa bahwa hidup mereka penuh dengan kebahagiaan yang terus tumbuh.Namun, pada pagi yang cerah itu, Anisa merasa ada yang berbeda. Ada rasa mual yang tiba-tiba datang dan perutnya terasa tidak enak. Ia merasa lelah meskipun baru saja bangun dari tidur. Tetapi, ia mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya efek samping dari kelelahan beberapa hari terakhir karena kesibukan mereka yang semakin padat.Pagi itu, Malik juga merasa ada yang sedikit aneh dengan Anisa. Dia memperhatikan bahwa istrinya tampak pucat dan kurang bersemangat. Biasanya, Anisa selalu penuh energi, tetapi hari itu, ia terlihat berbeda. Malik memutuskan untuk tidak bertanya lebih dulu, namun perasaan cemas mulai menghinggapi dirinya."Apa kau merasa baik-ba
Seminggu setelah dokter mengonfirmasi kehamilan Anisa, kehidupan mereka berubah menjadi serangkaian momen yang dipenuhi kebahagiaan. Anisa dan Malik mulai merencanakan masa depan dengan antusias. Malik, yang selalu menjadi pendamping setia, bahkan mulai mengurangi jam kerjanya agar bisa lebih banyak berada di rumah untuk menemani istrinya.Namun, kebahagiaan itu mulai terusik suatu pagi ketika Anisa merasakan kram yang tidak biasa di bagian bawah perutnya. Awalnya ia menganggap itu hanya gejala kehamilan biasa, seperti yang pernah ia baca di buku-buku kehamilan. Tetapi saat rasa sakit itu datang kembali dengan intensitas yang lebih kuat, kekhawatiran mulai merayapi dirinya.“Malik, aku merasa ada yang tidak beres,” ucap Anisa dengan suara pelan saat mereka sedang sarapan pagi. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya gemetar saat memegang cangkir teh hangat.Malik segera meletakkan sendoknya dan menatap istrinya dengan serius. “Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apa perutmu sakit lagi?” tanya
Empat bulan telah berlalu sejak Anisa dinyatakan hamil. Perutnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan, dan hal itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi Malik. Ia selalu mencium perut Anisa setiap pagi sebelum berangkat kerja, berbicara pada bayi mereka dengan penuh kasih sayang.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kekhawatiran yang mulai muncul. Selama seminggu terakhir, Anisa sering merasakan kram di bagian bawah perutnya. Awalnya ia mengabaikannya, menganggap itu bagian dari kehamilan. Tetapi, rasa kram itu semakin sering datang, terutama ketika ia terlalu lama berdiri atau berjalan.Suatu pagi, setelah selesai sarapan, Anisa mencoba membereskan meja makan. Baru beberapa menit ia berdiri, rasa kram itu datang lagi, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Anisa terhuyung dan segera duduk di kursi terdekat, menahan perutnya sambil meringis kesakitan.“Anisa, kamu kenapa?” tanya Malik yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat istrinya dalam keadaan seperti itu, ia segera m
Hari itu, Anisa sedang beristirahat di kamar setelah melewati pagi yang cukup melelahkan. Malik, seperti biasanya, ada di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Kehidupan mereka berangsur membaik sejak usia kandungan Anisa memasuki bulan keempat, meskipun Anisa masih sering mengalami rasa lelah.Namun ketenangan itu tiba-tiba berubah menjadi kegemparan ketika telepon rumah berdering dengan suara yang memecah keheningan. Malik yang pertama kali mengangkatnya. Wajahnya yang awalnya tenang mendadak pucat setelah mendengar suara di seberang.“Anisa!” panggilnya sambil berlari ke kamar.Anisa, yang sedang membaca buku, menatap Malik dengan kebingungan. “Ada apa, Malik? Kenapa kamu terlihat panik?”Malik menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menyampaikan kabar buruk itu. “Rumah orang tuamu... kebakaran.”Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Anisa. Tubuhnya lemas, dan buku yang ia pegang terjatuh ke lantai. “Apa? Bagaimana bisa? Apa mereka selama
Anisa memandangi cermin di depannya. Wajah yang dulu ia kenali kini tampak seperti milik orang asing. Mata yang dulunya bersinar penuh harapan, pun kini kehilangan kilauan, hanya menyisakan kekosongan dan kelelahan yang begitu dalam. Di bawah matanya, lingkaran hitam terlihat menebal, mengisyaratkan malam-malam tanpa tidur yang telah menjadi rutinitas. “Kenapa semua ini terjadi padaku? Apa salahku?” Anisa berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar kecilnya. Tak ada yang menjawab, hanya bayangannya di cermin yang kembali menatap, seolah mengejek kelemahannya. Tiga bulan yang lalu, hidup Anisa berada di puncak. Karirnya sebagai desainer grafis sedang menanjak, dan ia baru saja mendapatkan kontrak besar dengan perusahaan ternama. Kekasihnya, Reza, juga tampak sebagai pasangan yang sempurna, penyayang, perhatian, dan selalu ada di sampingnya. Tapi semua itu harus berakhir dalam sekejap. Reza, yang selama ini menjadi tumpuan harapannya, tiba-tiba memutuskan hubunga
Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza. Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?" “Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?” Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi? “Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia j
Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan. Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyam
Hari itu, Anisa sedang beristirahat di kamar setelah melewati pagi yang cukup melelahkan. Malik, seperti biasanya, ada di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Kehidupan mereka berangsur membaik sejak usia kandungan Anisa memasuki bulan keempat, meskipun Anisa masih sering mengalami rasa lelah.Namun ketenangan itu tiba-tiba berubah menjadi kegemparan ketika telepon rumah berdering dengan suara yang memecah keheningan. Malik yang pertama kali mengangkatnya. Wajahnya yang awalnya tenang mendadak pucat setelah mendengar suara di seberang.“Anisa!” panggilnya sambil berlari ke kamar.Anisa, yang sedang membaca buku, menatap Malik dengan kebingungan. “Ada apa, Malik? Kenapa kamu terlihat panik?”Malik menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menyampaikan kabar buruk itu. “Rumah orang tuamu... kebakaran.”Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Anisa. Tubuhnya lemas, dan buku yang ia pegang terjatuh ke lantai. “Apa? Bagaimana bisa? Apa mereka selama
Empat bulan telah berlalu sejak Anisa dinyatakan hamil. Perutnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan, dan hal itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi Malik. Ia selalu mencium perut Anisa setiap pagi sebelum berangkat kerja, berbicara pada bayi mereka dengan penuh kasih sayang.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kekhawatiran yang mulai muncul. Selama seminggu terakhir, Anisa sering merasakan kram di bagian bawah perutnya. Awalnya ia mengabaikannya, menganggap itu bagian dari kehamilan. Tetapi, rasa kram itu semakin sering datang, terutama ketika ia terlalu lama berdiri atau berjalan.Suatu pagi, setelah selesai sarapan, Anisa mencoba membereskan meja makan. Baru beberapa menit ia berdiri, rasa kram itu datang lagi, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Anisa terhuyung dan segera duduk di kursi terdekat, menahan perutnya sambil meringis kesakitan.“Anisa, kamu kenapa?” tanya Malik yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat istrinya dalam keadaan seperti itu, ia segera m
Seminggu setelah dokter mengonfirmasi kehamilan Anisa, kehidupan mereka berubah menjadi serangkaian momen yang dipenuhi kebahagiaan. Anisa dan Malik mulai merencanakan masa depan dengan antusias. Malik, yang selalu menjadi pendamping setia, bahkan mulai mengurangi jam kerjanya agar bisa lebih banyak berada di rumah untuk menemani istrinya.Namun, kebahagiaan itu mulai terusik suatu pagi ketika Anisa merasakan kram yang tidak biasa di bagian bawah perutnya. Awalnya ia menganggap itu hanya gejala kehamilan biasa, seperti yang pernah ia baca di buku-buku kehamilan. Tetapi saat rasa sakit itu datang kembali dengan intensitas yang lebih kuat, kekhawatiran mulai merayapi dirinya.“Malik, aku merasa ada yang tidak beres,” ucap Anisa dengan suara pelan saat mereka sedang sarapan pagi. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya gemetar saat memegang cangkir teh hangat.Malik segera meletakkan sendoknya dan menatap istrinya dengan serius. “Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apa perutmu sakit lagi?” tanya
Sudah sebulan sejak Anisa dan Malik melanjutkan hidup mereka sebagai pasangan suami istri. Setiap hari, mereka semakin merasakan kedalaman cinta yang terjalin di antara mereka. Setiap percakapan, setiap senyum, bahkan setiap sentuhan terasa lebih berarti. Mereka merasa bahwa hidup mereka penuh dengan kebahagiaan yang terus tumbuh.Namun, pada pagi yang cerah itu, Anisa merasa ada yang berbeda. Ada rasa mual yang tiba-tiba datang dan perutnya terasa tidak enak. Ia merasa lelah meskipun baru saja bangun dari tidur. Tetapi, ia mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya efek samping dari kelelahan beberapa hari terakhir karena kesibukan mereka yang semakin padat.Pagi itu, Malik juga merasa ada yang sedikit aneh dengan Anisa. Dia memperhatikan bahwa istrinya tampak pucat dan kurang bersemangat. Biasanya, Anisa selalu penuh energi, tetapi hari itu, ia terlihat berbeda. Malik memutuskan untuk tidak bertanya lebih dulu, namun perasaan cemas mulai menghinggapi dirinya."Apa kau merasa baik-ba
Malam itu adalah salah satu malam yang tidak akan pernah dilupakan oleh Anisa. Setelah seharian mereka sibuk mendiskusikan rencana pembangunan rumah impian mereka, Malik mengajaknya untuk menghabiskan malam dengan santai di rumah. Tidak ada rencana besar, hanya kebersamaan sederhana yang penuh cinta.Anisa mengenakan gaun tidur berwarna pastel yang ia pilih karena kelembutannya. Ia berjalan menuju ruang tamu, di mana Malik sudah menunggunya dengan sebotol anggur dan dua gelas.“Anggur?” tanya Anisa, sedikit terkejut. “Apa kita sedang merayakan sesuatu?”Malik tersenyum lembut. “Tidak perlu alasan besar untuk merayakan cinta kita, kan?”Anisa duduk di sofa, bersebelahan dengan Malik. Ia menerima gelas anggur yang disodorkan Malik dan menyesapnya perlahan. Rasa manis bercampur pahit menyentuh lidahnya, seperti mengingatkannya pada perjalanan panjang mereka hingga sampai ke titik ini.“Terima kasih, Malik,” kata Anisa tiba-tiba.“Untuk apa?” Malik menatapnya dengan penuh perhatian.“Untu
Hari-hari bersama Malik berlalu dengan penuh kedamaian. Anisa mulai merasakan bahwa hidupnya kembali berjalan di jalur yang benar. Setelah semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya, akhirnya ia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya tanpa syarat. Malik bukan hanya suami, tapi juga sahabat, pelindung, dan pendamping yang setia.Namun, pagi itu, Anisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, mendapati Malik masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah Malik terlihat tenang, seolah tidak ada beban yang membayangi pikirannya. Anisa tersenyum kecil, lalu menyentuh wajah Malik dengan lembut, menelusuri garis rahangnya yang tegas.“Terima kasih, Malik,” bisik Anisa pelan, meski ia tahu Malik tak akan mendengar. “Untuk segalanya.”Anisa turun dari ranjang dan melangkah menuju dapur. Ia memutuskan untuk membuatkan sarapan sederhana sebagai kejutan untuk Malik. Dalam hati, Anisa mulai memikirkan hal-hal yang ingin ia lakukan bersama Malik.“Aku ingin memu
Malam itu, suasana rumah mereka terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil di sudut ruang tamu memancarkan cahaya temaram yang menciptakan nuansa intim. Anisa sedang duduk di sofa dengan selimut di pangkuannya, menonton film romantis yang disukai Malik. Meski perhatian Anisa tertuju pada layar, pikirannya melayang pada pria yang sedang menyiapkan teh di dapur.Malik berjalan mendekat dengan dua cangkir teh hangat. Senyum lembutnya menyambut tatapan Anisa. Ia menyerahkan cangkir itu dengan penuh perhatian, duduk di sampingnya, dan merangkul bahu Anisa dengan hangat.“Malam ini terasa spesial,” gumam Malik sambil menatap wajah istrinya.Anisa mengangguk, menyandarkan kepala di bahu Malik. “Karena kita akhirnya punya waktu untuk berdua. Tanpa pekerjaan, tanpa gangguan.”Mereka larut dalam keheningan yang nyaman, menikmati kebersamaan yang jarang mereka dapatkan belakangan ini. Malik memainkan jemari Anisa, seolah ingin menghafal setiap lekuk dan garis tangannya.“Kau tahu?” bis
Anisa terbangun di pagi yang tenang dengan perasaan yang berbeda. Semalam, setelah berbicara dengan Malik dan Arya, ia merasa seolah menemukan secercah terang di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Ia telah memutuskan untuk menghentikan semua kebimbangan dan memilih jalan yang paling masuk akal, ia akan bersama Malik, pria yang telah mencintainya dengan tulus dan tanpa syarat.Ia menatap Malik yang masih tertidur di sampingnya. Wajah suaminya terlihat begitu damai, seakan tidak ada beban yang mengusik. Anisa tersenyum kecil. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya tentang perasaannya, tetapi juga tentang membangun masa depan yang penuh komitmen dan saling mendukung.Malik terbangun tidak lama kemudian dan tersenyum hangat pada Anisa. “Pagi, istriku. Apa kau tidur nyenyak?” tanyanya lembut.Anisa mengangguk. “Aku tidur nyenyak, Malik. Dan pagi ini, aku merasa lebih baik.”Malik meraih tangan Anisa, menggenggamnya erat. “Apa kau sudah memutuskan?” tanyanya hati-hati, tidak ingin
Pagi itu, matahari memancarkan sinarnya yang hangat, tetapi suasana hati Anisa tetap kelam. Setelah pertemuannya dengan Arya di taman semalam, pikirannya terus bergemuruh. Ia kembali ke hotel menjelang subuh dan mendapati Malik masih tertidur. Wajah suaminya tampak damai, kontras dengan kekacauan yang ia rasakan dalam hatinya.Anisa menatap Malik cukup lama, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya. Ia tahu bahwa Malik adalah pria yang sempurna di atas kertas, stabil, baik hati, dan mencintainya dengan tulus. Tapi mengapa hatinya terus-menerus memanggil nama Arya?Saat Malik terbangun, dia menyambut Anisa dengan senyum hangat. "Selamat pagi, istriku," katanya sambil menggenggam tangan Anisa.Anisa memaksakan senyum. "Selamat pagi," jawabnya singkat, meskipun suaranya terdengar datar.Malik menyadari perubahan pada Anisa, tetapi ia memilih untuk tidak menanyakannya langsung. Ia tahu bahwa memberikan ruang bagi Anisa adalah langkah terbaik untuk saat ini. Namun, di dalam hatinya, ia