Kara duduk di sofa perpustakaan. Menatap Tina yang melempar pakaian ke lantai dengan pongah. Penampilannya begitu menyedihkan dengan pakaian berantakan. Tubuh berhiaskan lebam di sekujur tubuh. Ia hanya bisa menatap tajam dengan sorot mata benci ke arah Tina. Pelayan itu membalas dengan tatapan merendahkan. Siapa Kara Garvita di mata Garvin. Sekedar mainan untuk bersenang-senang. Memikirkan itu membuat bibir Tina melengkung ke bawah. Sambil bersenandung kecil tangannya menutup kedua pintu perpustakaan. Mengunci dan berlalu melewati pengawal yang berjaga.
Sekarang Kara terkurung dalam perpustakaan Amara. Bersama buku-buku yang berderet rapi di rak. Dia memandang cctv sambil mengetuk jemari. Kemarahan tak tersalurkan mendatangkan energi berlimpah sekaligus ketidakberdayaan. Di mana keberanian kemarin siang, ketika ia merencanakan semua hal. Sekarang ketidakyakinan Kara mulai mempengaruhi, ia khawatir Garvin menyuruh pengawal mengikuti dirinya kemarin dan mengetahui semua
Terkurung dalam perpustakaan Amara. Membuat Kara menghabiskan waktu membaca semua buku yang ada. Bertanya-tanya dalam benaknya, apakah Amara pernah merasakan hal yang sama. Alih-alih mengurung dalam ruangan lain, Garvin justru memilih ruangan dengan buku berderet rapi. Tanpa gadget membuat Kara menggerutu seakan hidup kembali primitif. Tak terhubung dengan dunia luar, ia tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Hanya barisan kata dari setiap buku yang membantu ia melewati hari.Kara berdiri di jendela pembatas ruang perpustakaan dan balkon. Meneliti ketebalan kaca dan kunci yang ada. Jika ia berhasil lari dari perpustakaan ini, kemana akan bersembunyi. Pulang ke rumah orangtua kah? Ah, tidak! Sama saja membuat celaka mereka. Ia menyenderkan diri di jendela kaca merenung nasib yang tak kunjung membaik. Lepas dari Bastian masuk dalam cengkraman Garvin.Terdengar suara pintu terbuka. Kara enggan menoleh, ia masih mempertahankan posisi yang sama. Elisabeth menarik napas, me
Reinhard menatap pintu kayu ebony berharap terbuka dan seorang perempuan masuk menggunakan topi baseball, kacamata hitam, masker, lalu duduk terburu-buru kemudian bibirnya membuka mengeluarkan suara serak yang menjadi ciri khasnya. Aku ingin menanyakan sesuatu hal padamu. Ia mengatakan setiap kalimat dengan nada cepat seakan waktu terlalu berharga jika tidak digunakan sebaik mungkin.Apa kabarmu Kara, hampir dua minggu berlalu. Tak ada kabar dari perempuan yang nyaris serupa dengan wanita yang masih menyita tempat terbesar dihatinya. Reinhard mengetuk pinggiran meja dengan jari. Membentuk irama membuat pikiran melayang pada sosok Amara Bunga Kayla. Setelah melewati masa sekolah tanpa pernah berpacaran. Ia menemukan gadis memikat ketika duduk di bangku kuliah.Amara memiliki kecantikan yang tak biasa membuat wajahnya melekat kuat di ingatan. Sungguh sulit menolak pesona dirinya. Bagi lelaki normal yang belum pernah tertarik dengan perempuan selama sekolah. Amara berhasi
Mata Kara membesar ketika pintu kamar mandi terbuka. Membuat aliran darah terasa berhenti seketika, menghasilkan wajah pias seputih kapas. Jantungnya berdegup kencang ketika sepasang kaki melangkah. Tatapan mematikan seakan menghentikan setiap tarikan napas. Rahang Duta mengetat. Setiap suara kaki yang mendekati Kara menghasilkan getaran pada tubuhnya. Merapat ke dinding berharap bisa menembus tembok tebal dan menghilang selamanya."Kamu sedang apa?""A-ku baru saja mau mandi. Kamu mengagetkan ku." Kara menyembunyikan wajah dibalik rambutnya. Mencoba menetralisir suara agar terdengar normal."Handphone ku ketinggalan." Garvin meraih benda pipih di wastafel dan menyimpan di saku."Sayang. Aku mimpi buruk tadi malam. Ada yang mencoba membunuh ku seakan begitu nyata, kedatangan mu membuat sedikit takut. Aku pikir ada berani menyelinap masuk.""Tidak ada yang berani melakukan itu di rumah ini. Kamu tahu sedang berada di mana kecuali dia mem
"Kamu mau berkerja di tempat ku?""Iya.""Bagian apa?""Coba kamu sebutkan posisi kosong maka aku akan menyesuaikan."Reinhard menatap lekat wajah Kara. Memastikan keseriusan perkataan perempuan di hadapannya saat ini. Kali ini ia datang mengenakan kemeja putih, rok pants, heels, arloji ultra-thin merek Piaget melingkari pergelangan tangan. Beberapa aksesoris simple di telinga dan jari lentiknya melengkapi penampilan sempurna Kara. Kelihatan elegan tidak seperti biasanya tampil kasual.Sejujurnya ia senang karena melihat Kara baik-baik saja, meski sinar matanya meredup melihat pergelangan dalam Kara. Di saat ia menginginkan kedatangan Kara, dan mencari tahu dari Elisabet kemarin. Secara ajaib Kara menemuinya sekarang."Garvin tahu tentang ini?""Kami sedang bertaruh mengenai pekerjaan yang bisa ku raih," ucap Kara terdengar yakin padahal sama sekali tidak ada taruhan. Hanya lelaki itu meremehkan kemampuan yang ia miliki."Aku t
Garvin memandang perempuan yang terbaring di brankar. Mata yang biasanya menatap tajam dirinya, menantang dengan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan sekarang terpejam. Bibir penuh berbentuk kurva sempurna terbuka sedikit, tampak luka kecil mengering di sudut bibir bawah. Dadanya perlahan naik turun teratur. Kedua tangan hanya lecet tak parah. Ia pingsan sekedar shock dengan keadaan yang mengejutkan bagi dirinya. Luka yang tak perlu dikhawatirkan, karena cuma memang itulah yang dibutuhkan oleh Garvin.Kelopak mata Kara bergerak pelan lalu membuka perlahan. Mengerjap berapa kali, sekian detik termangu. Baru akhirnya mengedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil duduk meringis menahan sakit. Membuat bibir Garvin membentuk lengkungan."Apa yang terjadi?" suaranya lebih serak dari biasa, bahkan ketika dia berada di bawah tubuhnya. Membayangkan itu kedua manik Garvin menyala tapi menahan diri untuk tidak melakukan di rumah sakit."Aku menyelamatkanmu, lagi. Seperti
Suara di seberang telpon terdengar menahan geram. Mungkin jika Kara berada di hadapan saat ini, dia akan menelan Kara bulat-bulat. Intonasi suaranya naik turun dengan kekesalan yang terasa sudah di pucuk rasa sabar."Kamu menghilang seperti hantu, Kara. Pesanan kita semua datang. Sedangkan di kantor, pekerjaan ku menumpuk. Transferan mu belum ada. Kebayang kan betapa kelabakan aku.""Maaf, Feli. Dengar dulu alasan ku.""Apa yang harus aku dengar? Memang kemarin kamu tidak yakin mengenai usaha yang akan kita jalankan ini, tapi bukan berarti kamu bisa memutuskan tanpa memberitahu seperti ini.""Ada suatu hal yang tak bisa ku ceritakan padamu. Aku janji paling lama dua hari semua akan selesai.""Selesai, matamu! Aku berhutang Kara, itu pun belum cukup membayarnya.""Kita bertemu dalam waktu dekat, Fel. Aku janji, tolong kasih kesempatan.""Satu kali, Kara. Selanjutnya tak ada kesempatan untukmu.""Terima kasih, Feli."Kejad
Feli menggerutu menimbulkan kerutan di dahi, dan bibir yang bergerak dalam berbagai sudut. Bersungut-sungut kesal memasukkan lima tumpukan uang dalam tas. Mata kehijauan berkat softlens terbaru memindai ruangan Black and White Cafe, memastikan tak ada yang melihat."Kamu lupa cara transfer, Kara. Nyaris ku pikir kamu ghosting seperti pria yang ku kenal bulan lalu.""Sulit ku jelaskan, Fel. Pastinya lima puluh juta sudah terbayarkan sesuai kesepakatan awal kita.""Oke, kalau tidak aku bisa sekarat membayar hutang untuk pesanan yang datang. Sekarang tinggal melakukan penjualan."Kara diam menggumam dalam hati. Lima puluh juta bisa buat sekarat orang lain, uang yang tidak cukup untuk membeli satu tas desainer perancis yang di beli Garvin untuknya. Sekarang tas tersebut telah berpindah tangan. Mengurangi transaksi melalui bank, Kara menjual preloved di salah satu e-commerce untuk tas brand ternama. Di transfer melalui rekening susi, salah satu karyawan Adam d
Kara menelan saliva membaca pesan dari ibunya. Memegang benda pipih di genggaman, mengeja setiap kalimat seakan baru belajar membaca. Garvin sengaja melakukan untuk menekan Kara. Menyadarkan bahwa dia bukan siapa-siapa tanpa Garvin.Kara, tadi ada seorang datang ke rumah kita. Mengatakan bahwa minimarket, tanah, dan bangunan ini milik Garvin. Ibu dan bapak tahu semua atas namamu. Pemberian darimu untuk membangun ini semua kan?Iya, bu. Kara kan istri Garvin, memang apa yang dipunya milik kami bersama.Ibu khawatir jika terjadi sesuatu maka nak Garvin bisa mengambil alih.Doakan yang terbaik, bu.Balasan pesan Kara untuk menenangkan hati ibu. Ia juga cemas mendengarnya, tapi tidak mau mengutarakan karena khawatir akan membebani perasaan keluarga di kota asalnya. Awal menikah Garvin memberi uang sebesar lima milyar yang di investasikan Kara dalam bentuk minimarket, membangun rumah dan membeli tanah di kampung. Jika Garvin mengklaim semuanya menjadi m
Kara memandang kediaman mendiang Bastian. Ia tak menyangka akan kembali lagi ke sini. Bayangan masa lalu menghampiri kala diperlakukan bagai pembantu oleh keluarga suami pertamanya. Ibu mertua yang kerap menghina habis-habisan terlihat sedang menyapu teras rumah. Gerakan terhenti saat mobil Reinhard berhenti di depan pintu pagar rumah. "Parkir di sini saja, Sayang, kita hanya mengantarkan undangan untuk mantan mertuaku dulu," kata Kara yang diamini Reinhard yang memang tak berniat berlama-lama, tak ada kenangan yang menyenangkan bagi Kara di kediaman dengan cat yang mulai kusam.Reinhard turun pertama kali, tubuh tegap menjulang terlihat dari pagar sebatas pinggang, lantas ia membuka pintu mobil untuk Kara. Leher ibu Bastian memanjang melihat ke arah tamu yang datang, bola matanya nyaris keluar ketika melihat kedatangan mantan menantu dan calon suaminya, pria kaya yang terkenal di media. Gigi wanita itu gemertak menahan marah. Tangan ibu Bastian mengenggam sapu kuat, kebencian mengua
Reinhard memasang kancing lengan kemejanya. Tersenyum sendiri di depan cermin. Sebentar lagi dia tidak sendirian di pagi hari. Ada seorang istri yang akan menemani. Tergiang kembali kalimat yang keluar dari bibir Kara malam tadi, ketika mereka dalam perjalanan pulang.“Rein. Kamu malu tidak menjadi suamiku?”“Kenapa harus malu?”“Aku dua kali menjanda. Kasus terakhir bahkan berapa bulan bertengger menjadi headlines media. Selain itu orang-orang masih menganggap kamu sahabat Garvin. Belum lagi gosip yang meluas.”“Hidupku tidak disetir pendapat orang lain, Kara. Secara garis besar tidak mempengaruhi kehidupan keluarga kami.”Reinhard tahu Kara tidak mempercayai sepenuhnya. Memang Reinhard mengakui ada benar kekhawatiran sang calon istri, hanya saja Reinhard dan Jemmi sudah menganalisa secara bisnis. Tidak terlalu signifikan masalah yang timbul karena urusan pribadi.Selain memperkirakan pengaruh
Gosip tentang rencana pernikahan Kara dan Reinhard meluas. Pernikahan ketiga dirinya dengan bujangan sekaligus pengusaha sukses. Menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan banyak orang.Kara bukannya tidak tahu ketika nada-nada sumbang terdengar. Janda tanpa anak dengan dua kali kegagalan pernikahan. Begitu seksi untuk dibicarakan para wanita yang iri karena bukan mereka pendamping Reinhard. Bumbu mengenai pernikahan yang dijalankan juga menambah panas gosip. Termasuk juga kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani.Entah darimana mereka mengetahui cerita, yang bisa Kara lakukan menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Atau mencurahkan isi hati pada Feli ketika kekesalan mulai merambah. Seperti ketika dia membaca status di sosial media mantan iparnya, saudari Bastian.[Dua kali gagal di pernikahan dengan kasus sama. Alasan si K karena suami ringan tangan. Aduh harusnya ngaca ya, kalau sampai ke dua kali. Belum lagi tidak punya anak. Jangan-jangan dia yang m
Carol mengamati Kara seksama. Sebagai wanita, dia pun mengakui Kara memang cantik. Namun dalam penilaian Carol bukan itu poin pentingnya. Kara memiliki aura berbeda dengan kebanyakan wanita cantik.Dia mempunyai kemampuan membuat orang menyediakan waktu menoleh untuk mengagumi. Sudah terbukti juga dalam hidupnya Kara mendapatkan lelaki yang secara sosial jauh diatasnya. Meski harus diakui mereka juga menghancurkan hidup Kara.Begitulah alam bekerja, terkadang ada keistimewaan diri yang membuat hidup individu lebih mudah. Entah kekayaan, keberuntungan, kecerdasan atau kecantikan. Dalam hal ini Carol menganggap Kara beruntung memiliki wajah rupawan. Mirip dengan Amanda dalam aura berbeda.Mengenai nasib pernikahan Kara sendiri. Carol tak memahami sepenuhnya. Hanya saja dia mengambil kesimpulan. Kara menilai pasangan bukan dari kepribadian. Dia mengantungkan finansial pada pendamping hidupnya. Bisa jadi itulah ihwal masalah yang dibuat Kara. Butuh dua kali untuk Ka
Udara sejuk masih enggan beranjak. Berpadu matahari yang mulai menghangat. Di beranda teras sepasang suami istri dalam usia senjanya menatap ke jalanan.Mereka baru saja mendapatkan kabar mengenai keluarga calon suami putrinya. Anak pertama kebanggaan dalam keluarga.Di pundak perempuan itu harapan semua anggota keluarga berada. Bukan maksud mereka menempatkan Kara turut bertanggung jawab. Kadang keadaan memaksa seorang gadis belia berinisiatif membantu."Pak, Ibu harap kali ini suami Kara berbeda dengan Bastian dan Garvin.""Bapak juga berpikir sama, Bu. Dua kali gagal semoga kali ini yang terakhir.""Keluarga dan tetangga terus menerus membicarakan Kara. Kesal Ibu, Pak.""Sudah
Sorot mata Feli berkilauan. Dia tertular kebahagiaan mendengar kabar dari Kara. Sahabatnya sekarang menjalin hubungan dengan Reinhard. Artinya Kara telah berani melangkah keluar dari masa lalu dan Reinahard tak akan merongrong Feli lagi.“Wow, selamat Kara. Aku turut senang mendengar kabar ini. Selera Reinhard memang bagus. Berlian hitamnya persis dengan warna matamu.”“Seperti itulah yang dia katakan.”“Melihat proses perjalanan kalian mencapai sekarang. Kurasa tak lama lagi kabar gembira akan didengar.”Kara meletakkan cangkir kopi di meja. Dia dan Feli sedang duduk di balkon rumah Kara. Area yang di desain asri dengan penempatan pot tanaman, ayunan gantung serta rumput sintetis menutupi lantai.Dia tahu pertanyaan Feli merujuk pada jenjang lebih serius, pernikahan. Dua hal yang pernah gagal dalam hidup Kara. Meski dia menerima Reinhard, Kara masih merasakan kegamangan di hati.Apabila menikah dengan Rei
Pendingin udara gagal mengatasi aura panas di ruangan. Dua orang yang pernah sepakat menjalani komitmen saling tatap. Tidak seorang pun memulai percakapan. Ada riak keterkejutan di mata lelaki melihat lawannya tidak memalingkan wajah seperti biasa.Sudut mulut Garvin terangkat. Di luar dugaan Kara berani membalasnya. Sorot mata mantan istrinya jauh lebih tegas dari terakhir mereka bertemu. Garvin tahu dia harus menggunakan muslihat lain."Kara, aku paham kalau kamu membenciku atau mungkin tidak mau bertemu lagi."Deheman Kara lebih awal menjawab. "Diluar dugaan kamu menebak dengan baik apa yang kurasakan. Meski begitu aku akan meralat untuk bagian 'membencimu' ....""Jadi kamu tidak membenciku?" Sambar Garvin memotong pembicaraan."Benar semua kebencianku sudah hilang. Bagiku benci sama dengan toksin dan aku tidak tertarik menyimpannya.""Benar Kara ... kamu benar." Mata Garvin berkilat senang. Dia menatap liar wanita di hadapannya. Lebih be
“Tunggu … Papa rasanya pernah mendengar nama ‘Kara Garvita.” Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tersirat memejamkan mata. Menggali ingatan mendengar nama keluar dari mulut putranya.“Kara yang itu. Mantan istri Garvin Paraduta Group?” Lanjutnya setelah teringat pemberitaan yang ramai berapa bulan lalu. Aku semakin lekas lupa karena tua, batinnya dalam hati.“Benar, Papa. Dia lah pilihan putra tampanmu.”“Wajahnya mengingatkan pada Amanda.”“Papa berpikir karena itulah aku menaruh hati pada Kara?”“Coba katakan berapa alasan yang membuat Papa akan berubah pikiran.”Reinhard mencondongkan tubuh ke arah Jemmy, Papanya. Sejenak otak Reinhard berpikir memilah informasi yang akan diberikan.“Pertama iya pada awalnya karena kemiripan wajah dan keinginan melindungi. Papa tahu aku mencintai Amanda. Sempat terpuruk ketika dia meninggalkan
Reinhard mencoba membaca mimik Kara. Dia sudah terlatih memperhatikan perubahan setiap gerakan wajah. Hal tersebut memberinya gambaran perasaan lawan bisnis, kolega atau orang-orang terkait hubungan dengan dirinya.Dalam hal ini Reinhard hampir selalu bisa memperkirakan kepribadian orang lain. Membuatnya dapat menentukan sikap memperlakukan mereka. Hanya segelintir orang yang melesat atau tak bisa dia tebak, dan Kara merupakan segelintir orang tersebut.Jemari lentik Kara mengambil kotak cincin di atas meja. Menimang dengan senyuman menawan. Semua gerakannya dalam pengawasan Reinhard. Detak jantung pria itu berkali lipat lebih kencang. Mengalahkan kecepatan ketika maratahon.“Aku akan menyimpan cincin pemberianmu dan menggunakan setelah siap. Kamu tidak keberatan, kan?”“Ti-dak Kara … aku akan menunggu.”Kara menarik napas dalam. Meraih pouch hitam miliknya lalu menyimpan cincin berlian hitam. Dia memperlakukan dengan