BAGIAN 4
Kulupakan sejenak permasalahan yang sesungguhnya telah mengguncang jiwa ini. Siapa yang tak hancur saat orang yang paling dicintai, ternyata tak sepanjang itu kasihnya kepada kita. Namun, aku terus mencoba untuk tegar.
Melangkahlah kaki ini ke dalam minimarket yang sedari tadi menyaksikan betapa kecewanya hatiku. Gontai kedua tapak kaki menijak lantai, segontai perasaan yang tengah terluka. Aku terus berjalan ke arah paling ujung minimarket, mengambil sebuah air mineral botol dari dalam showcase pendingin. Lihatlah. Untuk minum saja, sengaja kupilih merek dengan harga paling murah. Sudah jadi kebiasaan, sebab aku berpikir bagaimana pun pengeluaran pribadi harus ditekan seminimal mungkin. Kalau tak begitu, mana mungkin gajiku sebagai supervisor warehouse material bangunan mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga yang selangit.
Ya, gajiku memang lumayan sebenarnya. Take home pay yang kudapat per bulannya adalah tujuh juta rupiah. Akan tetapi, tentu saja semua uang-uang tersebut bukan untuk perut sendiri. Ada perut Mama dan Iren yang harus disumpali tiap harinya. Jangan harapkan handphone atau motor baru saat THR atau bonus tahunan. Semua sudah ada peruntukannya sendiri-sendiri dan tentu saja hanya sebagian kecil yang dapat kunikmati.
Ah, sudahlah. Tak baik juga mengingat dan mengungkit sebuah pemberian di masa lampau. It’s okay. Sekali lagi, aku tidak apa-apa, meskipun air mata ini rasanya mau menetes.
Sambil membawa sebotol air mineral, aku berjalan lagi ke arah kasir. Saat hendak membayar, betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang sedang melayani.
“Sisi?” sapanya dengan agak kaget.
“Lintang, ya?” Aku menunjuk pria yang berada tepat di depan meja kasir. Pria yang masih tampak muda dari usia sesungguhnya. Sebentar, dia yang awet muda atau aku yang punya muka serta tubuh boros?
“Iya. Aku Lintang. Sudah lama tak berjumpa,” kata lelaki berkulit cerah dengan tubuh yang tak begitu tinggi tersebut. Sebab perawakannya yang tak terlalu besar, membuat pria ini jadi tampak segitu-segitu saja wajahnya.
“Iya, sudah sangat lama. Kerja di sini, Tang?” Aku tersenyum ke arah pria yang mengenakan kemeja flanel hitam motif kotak-kotak tersebut. Aku terbilang jarang sekali mampir ke minimarket ini memang. Mungkin, hanya sekitar dua atau tiga kali saja. Seingatku, tak pernah kujumpai Lintang yang merupakan teman semasa SMA dulu.
“I-iya, aku kerja di sini.” Lelaki itu menjawab agak ragu. Dia terlihat senyum tak enak. Mungkin dia malu dengan pekerjaannya saat ini. Padahal, bagiku tak ada yang salah. Apakah sebab dia dulu tergolong cowok populer dan banyak dielukan para cewek akibat wajahnya yang lumayan? Entahlah.
“Oh, begitu.” Aku manggut-manggut. Tersenyum manis pertanda bahwa aku sangat menghormati profesinya. Semoga dia tak berkecil hati lagi.
“Ini, Tang. Maaf cuma beli satu botol aja,” kataku sambil menyorongkan botol air mineral yang masih bersegel kepadanya.
Dengan sigap Lintang melakukan scan barcode dan memberitahukan harga yang harus kubayar. Saat aku menyodorkan uang lima ribuan, dengan tegas lelaki itu menjawab, “Tidak usah, Si. Aku yang traktir.” Senyum Lintang terlihat tulus sekali. Kebetulan, di minimarket ini tampak tak ada pembeli lain. Karyawan yang tampak pun hanya Lintang seorang.
“Terima kasih banyak, Tang. Aku jadi tak enak hati.” Aku pun dengan agak sungkan meraih air mineral yang sudah dimasukan ke plastik bening.
“Eh, kamu sudah punya anak berapa?” Pertanyaan Lintang tiba-tiba saja mengusik telingaku. Memangnya aku segendut itukah sampai-sampai pertanyaan yang dia ajukan seperti itu?
“A-aku … belum menikah.” Agak malu aku mengucapkan hal tersebut. Mungkin, wajahku yang kuning langsat ini sudah kemerahan saking malunya.
“Oh, sama dong kita. Generasi jomlo masa kini.” Lintang tampak tersenyum lebar. Seolah dia begitu bangga dengan kondisinya saat ini.
“Eh, begitu, ya?” Aku jadi ikut tersenyum. Jujur, aku bingung mau menanggapi apa. Sebab, nyatanya aku tak sebahagia Lintang karena harus menelan kenyataan bahwa di usiaku yang sudah ke-29 tahun ini, aku masih saja sendirian.
“Boleh aku minta nomor ponselmu, Si? Untuk bersilaturahmi. Siapa tahu kamu punya info-info lowongan pekerjaan baru untukku.” Lintang yang memiliki hidung mancung dan bibir yang kemerahan tersebut dengan tanpa tedeng aling-aling langsung meminta nomor ponselku. Sebenarnya, aku agak merasa risih. Satu, kami tidak akrab waktu sekelas dulu. Dua, aku dan dia baru saja bertemu kembali setelah sekian puluh tahun kami tak berjumpa. Dan ketiga, apakah dia sungguh mencari lowongan pekerjaan atau hanya ingin berbasa basi saja dengangku? Ah, sudahlah. Lupakan. Berikan saja, siapa tahu memang ada manfaatnya perjumpaan ini.
“Kosong delapan satu tiga,” kataku menyebutkan dua belas digit nomor teleponku kepadanya. Lelaki itu pun tampak serius mencatat deretan angka ke ponsel canggih miliknya. Dalam hati aku terkagum-kagum. Untuk ukuran seorang kasir minimarket, gawai yang dimiliki oleh Lintang begitu mahal sekaligus berkelas. Seharga dua kali gajiku. Kalau mau membeli itu, sudah barang tentu aku tidak makan setiap hari dan tidak memberikan Mama serta Iren uang bulanan.
“Aku missed call, ya.”
“Ponselku mati, Tang. Kirimi pesan W******p saja.”
“Baik. Jangan lupa save, ya.” Lintang tersenyum begitu manis. Lelaki yang sudah hampir kepala tiga tapi berwajah bak remaja itu tampak sangat semringah. Ya, aku tidak mau GR. Mana mungkin dia suka dan tertarik pada perempuan modelan gentong sepertiku. Lupakan saja.
Sebab ada pembeli baru yang tiba-tiba masuk, aku pun langsung meminta diri untuk pulang. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada sosok kasir yang telah mentraktirku sebotol air mineral tersebut.
“Hati-hati di jalan, Si. Lain kali mampir lagi.” Lintang sampai melambaikan tangan segala saat aku hendak mendorong pintu kaca minimarket. Hanya sebuah anggukan dan senyum tipis yang kuulaskan kepadanya.
Berjumpa dengan kawan lama yang tiba-tiba mengakrabkan diri, sampai ditraktir sebotol air mineral segala, cukup membuat perasaan hatiku membaik. Ya, saking jarangnya aku mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal-hal kecil pun jadi sangat berarti bagi kehidupan ini. Andai saja, ya andai saja orang-orang terdekatku mau memahami apa yang aku butuhkan sekarang. Sudah pasti aku bakal bahagia dan baik-baik saja meskipun harus kutelan pil pahit sebab belum kunjung menikah di usia segini.
Pikiran kalutku mulai tenang. Kuputuskan untuk kembali ke rumah orangtuaku. Entah apa yang akan kulakukan lagi di sana. Tergantung perlakuan Mama dan adikku, tentunya. Bila mereka benar menginginkan aku untuk keluar, aku tak bakal masalah. Hari ini pun akan kukemasi semua barang-barangku. Namun, bila mereka masih ingin berbaikan denganku, ketahuilah sesungguhnya hati ini seluas samudra untuk memberikan maaf. Bagaimana pun, di dunia ini hanya mereka berdua saja yang kupunya.
Sekitar dua puluh menit kupacu motor dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di depan halaman rumah sederhana peninggalan almarhum Papa yang letaknya berada di komplek perumahan bersubsidi, jantungku langsung berdegup cukup kencang. Namun, aku lagi-lagi harus membuktikan pada dunia bahwa diriku kuat. Tak bisa harga diriku diinjak terus menerus oleh ibu serta adik kandungku sendiri, meskipun rasa cinta kepada mereka nyatanya begitu sangat besar.
Pintu rumah yang tertutup tanpa dikunci langsung kubuka perlahan. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu kecil ini. Namun, saat aku masuk terus dan mencapai ruang tengah, bangkitlah Mama dan anak bungsunya dari kursi rotan panjang yang mereka duduki.
Plak! Sebuah tamparan telak mendarat di pipi. Untuk pertama kalinya, Mama berbuat kasar kepadaku. Aku termangu. Bukan sebab rasa sakit. Namun, heran yang luar biasa. Takjub. Semarah apa Mama sehingga tega memukuliku.
“Kamu sangat jahat kepada adikmu sendiri, Sisi! Mama sangat kecewa kepadamu!” Mama menuding wajahku sambil meneteskan air mata. Suaranya melengking sekaligus parau. Beliau pun akhirnya terisak-isak dalam dekapan Iren yang giliran memandangku sangat sinis.
“Aku tidak percaya kalau ternyata kamu diam-diam iri kepadaku, Mbak!” Iren tak kalah sadisnya dalam menuduhku. Ternyata, ucapan kasarnya di telepon belum puas dia lontarkan.
Plak! Sebuah tamparan kini kulayangkan kepada pipi kanan Iren. Belum puas, kutampar lagi pipi kirinya sampai gadis itu berteriak sangat kencang. Aku tak mau banyak bicara. Bila dia ingin baku hantam, mungkin kali ini aku akan meladeninya.
“Apa yang kamu inginkan, Mbak!” Iren berteriak sambil melepaskan tubuh Mama dari pelukannya. Gadis itu meringsek maju dan hendak menyambar kepalaku. Namun, kedua tangannya keburu kusergap dan kuremas kuat.
“Katakan, Ren. Siapa yang sudah membayar biaya kuliahmu selama tiga tahun. KATAKAN!” Aku menyemburkan kemarahanku dengan pekik yang sangat kencang tepat mengarah ke wajahnya.
Iren menggeram. Cucuran air mata tiba-tiba saja menggenangi wajah mulusnya. Meskipun menangis, dia tampak masih sangat jengkel dan hendak memukuliku. Tidak semudah itu! Aku masih punya tenaga lebih besar ketimbang tubuh cungkringnya.
“Hentikan, Sisi! Hentikan! Lepaskan adikmu!” Mama menarik-narik tanganku agar mau melepaskan remasan tersebut dari tangan Iren yang kelihatan mulai memerah. Namun, inilah ternyata kali pertama keras kepalaku meledak. Tak kuhiraukan ucapan Mama. Malah sebaliknya, aku memberanikan diri untuk menegur Mama yang kunilai selama ini telah berat sebelah.
“Biarkan aku mendidik anak kesayanganmu ini, Ma! Atau, katakan saja sekarang. Aku ini sebenarnya anakmu juga atau bukan? Mengapa hanya Iren saja yang kamu prioritaskan sejak dulu? MENGAPA?”
Teriakanku yang membabi buta telah membuat Mama melepaskan tangan kami. Wanita berambut pendek itu yang wajahnya basah akibat tangis itu langsung berlari untuk masuk ke kamar yang berada di sisi barat ruang tengah. Kuat sekali dia menutup pintu, sampai-sampai pondasi rumah ini bergetar lumayan.
“Anak durhaka kamu, Mbak! Kamu pikir, uangmu itu sudah mampu membalas jasa-jasa Mama selama ini? Tidak! Sampai mati pun kamu tak akan bahagia! Sampai mati pun kamu tak bakal menikah!”
Aku tersentak. Luar biasa sakit hatiku dengan ucapan Iren. Sebegitunyakah? Durhakakah diriku saat aku membela diri dan menyuarakan kebenaran di rumah ini? Hidup ternyata tak seadil itu.
(Bersambung)
BAGIAN 5 “Aku durhaka? Aku?” Aku makin meringsek maju. Kedua tinjuku bahkan terkepal sempurna. Terus aku maju sampai-sampai tubuh adikku ikut termudur dan bersandar mentok ke dinding. Wajahnya tentu saja terlihat sangat ketakutan. “Kamu yang durhaka! Kamu manusia tidak tahu diri! Hidup pengeretan! Makan masih minta. Uang kuliah dari hasil keringatku saja, kelakuanmu sudah sok-sokan seperti aku yang mengemis hidup!” Kucengkeram dengan keras bahu Iren. Membuat tubuhnya luar biasa gemetar. Seketika, timbul sebuah ide gilaku. Beginilah seekor macan. Jangan coba-coba ganggu dia saat tengah tertidur pulas, jika masih menginginkan nyawa. Namun, jika memang ingin mengadu nyali, akan kulayani juga.&nb
BAGIAN 6 Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa. Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pij
Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m
BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu
BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s
BAGIAN 10 “Baru kutinggalkan beberapa jam, kamu sudah tidak sabaran ya, untuk mencariku? Kenapa, Iren sayang? Kurang uang untuk jajan?” Aku tersenyum sinis. Merasa geram luar biasa dan bila saja ada Iren di depan sini, sudah pasti bakal kutampar lagi seperti tadi di rumah. “Dasar perempuan gila! Kamu itu sudah tidak waras karena lambat menikah! Awas kamu, Mbak. Aku tetap akan mencari ke mana pun kamu berada dan akan kubuat kamu menyesal sebab telah memperlakukanku dengan kasar hari ini!” Iren terus memekik dengan membabi buta. Membuatku agak tersulut dan rasanya ingin membanting ponsel ini. Kutarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, sayang. Emosiku rasanya tetap saja meluap-luap. “Ja
BAGIAN 11PoV Iren “Mama! Pergi ke mana Mbak Sisi? Kenapa Mama nggak cegah dia atau rebut ijazah Iren?” Sambil menahan letupan kemarahan, aku mencengkeram pundak Mama. Penuh geram. Wanita tua lemah itu malah terduduk sambil menangis tak jelas di lantai. Bukannya mencegah kakakku yang sint*ng itu, Mama malah melakukan hal yang tak penting di sini. Mama tak menjawab. Dia hanya semakin tersedu-sedu. Aku yang juga habis menangis langsung menghapus air mata dan menatap ke arah pintu. Terbuka lebar. Mbak Sisi pasti kabur melarikan diri. Berlari aku ke depan sana. Mengecek siapa tahu belum jauh perginya dia. Sampai ke depan jalan perumahan, memang tak ada lagi Mbak Sisi di ujung jalan. Aku mengutuki diri sendiri. Meng
BAGIAN 12 Usai makan siang yang kesorean, aku diantar pulang ke kostan oleh Lintang. Aku awalnya menolak. Inginku dia saja yang kuantar ke minimarket, biar aku meneruskan perjalanan yang hanya 150 meter dengan mengendarai motor sendiri. Namun, Lintang menolak mentah-mentah. “Aku bisa jalan kaki dari kost ke minimarket. Nggak usah kamu pikirin.” “Lho, ngapain jalan kaki, Tang? Kan, bisa kudrop di minimarket.” “Udah, nurut aja denganku.” Begitulah percakapan kami saat di parkiran resto. Ya, sebenarnya aku jelas tidak enak hati
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe