Bagian 7
Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no!
Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan.
“Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m
BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu
BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s
BAGIAN 10 “Baru kutinggalkan beberapa jam, kamu sudah tidak sabaran ya, untuk mencariku? Kenapa, Iren sayang? Kurang uang untuk jajan?” Aku tersenyum sinis. Merasa geram luar biasa dan bila saja ada Iren di depan sini, sudah pasti bakal kutampar lagi seperti tadi di rumah. “Dasar perempuan gila! Kamu itu sudah tidak waras karena lambat menikah! Awas kamu, Mbak. Aku tetap akan mencari ke mana pun kamu berada dan akan kubuat kamu menyesal sebab telah memperlakukanku dengan kasar hari ini!” Iren terus memekik dengan membabi buta. Membuatku agak tersulut dan rasanya ingin membanting ponsel ini. Kutarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, sayang. Emosiku rasanya tetap saja meluap-luap. “Ja
BAGIAN 11PoV Iren “Mama! Pergi ke mana Mbak Sisi? Kenapa Mama nggak cegah dia atau rebut ijazah Iren?” Sambil menahan letupan kemarahan, aku mencengkeram pundak Mama. Penuh geram. Wanita tua lemah itu malah terduduk sambil menangis tak jelas di lantai. Bukannya mencegah kakakku yang sint*ng itu, Mama malah melakukan hal yang tak penting di sini. Mama tak menjawab. Dia hanya semakin tersedu-sedu. Aku yang juga habis menangis langsung menghapus air mata dan menatap ke arah pintu. Terbuka lebar. Mbak Sisi pasti kabur melarikan diri. Berlari aku ke depan sana. Mengecek siapa tahu belum jauh perginya dia. Sampai ke depan jalan perumahan, memang tak ada lagi Mbak Sisi di ujung jalan. Aku mengutuki diri sendiri. Meng
BAGIAN 12 Usai makan siang yang kesorean, aku diantar pulang ke kostan oleh Lintang. Aku awalnya menolak. Inginku dia saja yang kuantar ke minimarket, biar aku meneruskan perjalanan yang hanya 150 meter dengan mengendarai motor sendiri. Namun, Lintang menolak mentah-mentah. “Aku bisa jalan kaki dari kost ke minimarket. Nggak usah kamu pikirin.” “Lho, ngapain jalan kaki, Tang? Kan, bisa kudrop di minimarket.” “Udah, nurut aja denganku.” Begitulah percakapan kami saat di parkiran resto. Ya, sebenarnya aku jelas tidak enak hati
Bagian 13 “Pak, jadi begini,” kataku sembari menarik napas dalam-dalam. Tentu saja sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung plus nervous yang tiba-tiba menggedor-gedor jantung ini. “Aku … harus kembali ke rumah orangtuaku. Bisakah Bapak menemaniku sekarang?” Kutatap mata Pak Candra dengan agak sungkan. Sesungguhnya ini hanya modus untuk mengalihkan pertanyaannya yang sungguh tak terduga barusan. “Ada apa memangnya, Si? Eh, sebentar. Aku bahkan belum tahu cerita lengkap mengapa kamu kabur dari rumah segala.” Syukurlah, Pak Candra terpancing untuk terus menanyakan tentang masalahku. Aku lebih suka kami membahas ini, ketimbang hal-hal seperti tadi. Jujur, aku kaget luar biasa. Bahkan
BAGIAN 14 Kami pun tiba di ruang IGD rumah sakit umum Kartika Mulia. Di sana Mama langsung ditangani dengan sangat profesional. Saat diperiksa, ternyata tekanan darah Mama sempat naik drastis. Yakni 170/110 mmHg. Padahal, selama ini yang kutahu tekanan darah Mama selalu stabil di angka 130/90 mmHg. Tentu saja hal tersebut menimbulkan cemas yang luar biasa. Pak Candra memintaku agar Mama dirawat inapkan saja beberapa hari sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku hanya bisa mengiyakan. Dokter pun memang menyarankan agar Mama sebaiknya rawat inap sebab hipertensi yang mengkhawatirkan tersebut. Sakit kepala yang Mama keluhkan pun belum kunjung reda meskipun sudah diberikan anti nyeri injeksi. Dokter akhirnya menyarankan untuk dilakukan rontgen kepala. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa kepada Mama.
BAGIAN 15 “Pak, pulanglah. Ini sudah sangat larut. Kasihan orang rumahmu. Pasti pada khawatir,” kataku mengalihkan arah pembicaraan sekaligus mengusirnya secara halus. “Baiklah kalau begitu. Kamu baik-baik di sini. Kabari aku kapan pun yang kamu butuhkan.” Pak Candra tiba-tiba menyampirkan tangannya ke bahuku. Lelaki itu dengan serta merta memajukan wajahnya. Semakin dekat, tapi dengan tegas langsung kutangkis. Ya, aku memang sekasar itu. Apalagi dengan lelaki beristri yang gatal. Muka Pak Candra langsung berubah ekspresi. Lelaki itu tampak kemalu-maluan dengan warna wajah yang kemerahan. Lama-lama aku jadi kehilangan respek dengan lelaki ini. Dipikirnya, aku mau-mau sajakah? 
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe