Share

6

last update Last Updated: 2022-02-10 11:42:45

BAGIAN 6

              Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa.

              Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pijakan skuter. Sesekali derai air mata ini masih saja membasahi pipi. Padahal, sekuat tenaga sudah kutahan sebab kutahu menangisi kedua perempuan itu sebenarnya bukanlah hal yang tepat. Ya, kita berpikir realistis saja sekarang. Buat apa melelehkan air mata hanya untuk orang-orang yang ternyata cuma membutuhkan keringat serta cucuran materi milik kita? Walaupun keluarga sendiri, memangnya mau sampai kapan?

              Entah mengapa, otakku langsung teringat dengan Pak Candra. Lelaki 37 tahun yang telah memiliki dua anak tersebut adalah bosku. Menjabat sebagai general manager atau GM di PT Multi Cipta Material. Pak Candra adalah sosok yang humble kepada siapa pun di kantor. Aku juga tergolong cukup dekat dengan beliau di kantor. Tanpa sebuah maksud yang aneh-aneh tentu saja.

              “Mungkin Pak Candra bisa memberikan solusi untukku,” gumamku pada diri sendiri saat melewati perempatan lampu merah yang jika lurus terus akan membawaku ke arah rumah milik pak bos.

              Tanpa ragu lagi, kupacu motorku saat lampu sudah mulai hijau. Cukup kencang. Agar segera sampai ke tempat tujuan, begitu pikirku.

              Seingatku, Pak Candra yang terbilang memiliki karier super cemerlang di usianya yang masih sangat muda, memiliki usaha kost-kostan yang lokasinya sendiri tak begitu jauh dari rumah beliau. Gudang material tempat aku bekerja pun letaknya hanya sekitar 3 kilometer dari kediaman lelaki berjambang rapi dengan gaya perlente tersebut. Yap, siapa tahu masi ada slot kamar kosong di sana. Dan siapa tahu lagi, Pak Candra bisa memberikan harga spesial kepada salah satu karyawannya yang tengah dirundung kemalangan ini.

              Setelah mengendara kurang lebih sepuluh menit, maka tibalah aku di depan pagar rumah bercat putih dengan bangunan yang cukup megah. Keberadaannya persis di tepi jalan besar, yakni Jalan Mutiara. Kawasannya orang-orang berduit, begitu kami menggelari jalan ini.

              Pagar baja bercat hitam yang berdiri kokoh setinggi dua meter tersebut tampak terkunci. Dari ruji-rujinya, aku bisa melihat seorang satpam berpakaian serba hitam keluar dari pos penjagaan bercat putih yang berada hanya beberapa tapak dari pagar.

              Si satpam pun membukakan pagar untukku. Sementara aku buru-buru mematikan mesin dan menstandarkan skuter milikku. Sigap aku berdiri dengan kepala masih terbungkus helm warna hitam.

“Selamat pagi, Pak,” sapaku kepada satpam berwajah ramah dengan tinggi tubuh sekitar 170 sentimeter tersebut. Pria berambut cepak dengan kulit sawo itu pun mengangguk sambil menyenyumi aku.

              “Selamat pagi juga. Ada yang bisa saya bantu?”

              “Saya ingin bertemu dengan Pak Candra. Apakah beliau ada?” Jantungku agak berdegup kencang. Bagaimana tidak, selama lima tahun bekerja, ke rumah Pak Candra hanya kami lakukan saat hari raya Idulfitri saja. Selebihnya kami banyak berjumpa di kantor, tempat makan, atau tempat wisata kala acara gathering kantor dihelat. Seketika aku jadi agak menyesal mengapa harus menuju ke sini.

              “Oh, ada. Apakah sudah bikin janji sebelumnya?” Si satpam yang meskipun nada bicaranya lembut, tapi tetap saja membuatku agak keder.

              Hidungku yang bangir jadi kembang kempis. Aduh, bagaimana dong, ini?

              “B-belum. T-tapi … saya sangat perlu untuk berjumpa dengan beliau. Ada urusan kantor yang mendesak.” Aku terpaksa harus berbohong. Sudah telanjur, pikirku. Masa harus kembali? Ah, tapi … bagaimana kalau Pak Candra yang tingginya hampir 180 sentimeter dengan pembawaan ramah tapi serius itu tiba-tiba marah kepadaku? Lelaki klimis itu memang jarang marah. Namun … argh! Aku jadi pusing sekarang.

              “Baiklah. Tunggu di sini. Saya akan ke dalam dulu. Tadi pagi-pagi pak bos soalnya berpesan untuk tidak menerima tamu kecuali sudah bikin janji. Di dalam sedang ada acara keluarga dengan anak-anak soalnya.” Pak satpam yang kutaksir usianya hanya beberapa tahun di atasku tersebut memasang wajah tak enak. Apalagi diriku. Argh, rasanya ingin aku putar balik saja.

              “Kalau boleh saya tahu, ini dengan Ibu siapa?” tanya si satpam sebelum masuk kembali.

              “Sisi. Supervisor gudang di PT MCM.”

              “Baik. Tunggu sebentar, Bu. Maaf, pagarnya saya tutup kembali.”

              Aku harus menelan pil kecewa saat rasa percaya diriku yang terlalu berlebihan ini ternyata tak tepat sasaran. Aku menggigit bibir keras-keras sembari memperhatikan rumah mewah dengan halaman parkir yang berkanopi di sisi barat dan kolam ikan koi di sisi timur tersebut. Dasar tidak tahu diri, rutukku dalam hati. Pak Candra memang baik hati. Selalu mentraktir kalau aku mampir ke kantor besar untuk ikut meeting dan menyampaikan laporan kepadanya. Namun, bukankah tindakanku kali ini tampak begitu sangat konyol? Ah, kabur saja sekarang bagaimana? Mumpung Pak Candra belum keluar rumah.

              Belum sempat aku melangkah untuk naik kembali ke atas motor, sesosok pria berkaus putih polos dan celana pendek warna mocca muncul dari balik pintu besar, disusul oleh sang satpam. Wajah Pak Candra yang bersinar dengan tatanan rambut klimis tersebut membuatku makin kalang kabut. Aku sangat takut sekali saat ini. Bahkan jantungku jadi berdegup 10 kali lipat dari biasanya. Bagaimana kalau dia marah kepadaku?

              Langkah Pak Candra makin mendekat. Sang satpam kini mendahului beliau dalam rangka untuk membukakan pagar buat sang majikan. Aku yang begitu nervous, kini hanya dapat menunduk lemas tanpa sanggup untuk sekadar mengangkat wajah di hadapan pak bos.

              “Hei, Si? Kenapa wajahmu sembab begitu? Ayo, masuk.”

              Aku kaget luar biasa. Bahkan jantung ini seakan mau copot. Ternyata, dugaanku salah besar. Beliau yang kukira keluar rumah untuk menyemprot atau memarahi, nyatanya malah menyusul hanya untuk menyuruh masuk.

              Kuberanikan untuk mengangkat wajah. Bibir ini tiba-tiba bergetar. Mataku bahkan hendak berkaca-kaca. Namun, kutahan kuat. Aku tak mau mengemis belas kasihan apalagi kepada bos sendiri.

              “B-baik … Pak,” kataku dengan hati yang lega.

              “Im, tolong motornya Sisi masukin ke parkiran dalam,” perintah Pak Candra kepada sang satpam. Lelaki yang dipanggil Im tersebut langsung sigap menaiki motorku untuk dibawa ke dalam.

              Sementara aku melangkah beriringan dengan Pak Candra yang berjalan santai menuju pintu rumahnya. Aku langsung bingung. Mau memulai pembicaraan ini dari mana.

              “Kenapa tidak telepon, Si?” tanya Pak Candra sambil menoleh ke arahku dengan nada yang lembut.

              “M-maaf, Pak. Ada sesuatu yang mau saya bicarakan.”

              “Baiklah. Kita duduk dulu di dalam.”

              Kami berdua pun masuk ke ruang tamu mewah milik Pak Candra yang ternyata sedang ada kedua anak lelakinya yang memakai kostum superhero superman dan batman. Keduanya tengah asyik bermain pedang-pedangan sambil berlari mengitari ruangan, sementara istri dari Pak Candra yang mengenakan gaun selutut dengan lengan terbuka itu tiba-tiba datang dari arah belakang sambil tergopoh-gopoh menyusul anaknya.

              “Zafran, Zavier, mainnya di dalam saja! Jangan ke ruang tamu dulu. Papamu dibilangin hari ini spesial buat anak-anak, malah nerima tamu segala!” Wanita berambut panjang lurus sesiku dengan kulit seputih susu tersebut buru-buru menarik paksa kedua anaknya yang setahuku berusia 8 dan 7 tahun.

              Semakin tak enaklah aku dengan ucapan sang nyonya rumah. Kulirik sekilas Pak Candra, lelaki itu hanya bisa menggaruk kepalanya dan memasang wajah tak enak.

              “Ma, handle dulu anak-anak. Ini ada urusan kantor yang sangat penting.” Pak Candra berucap dengan nada yang sangat rendah, sementara aku cuma bisa berdiri mematung di samping lelaki super tinggi itu. Padahal, kami berdua baru saja sampai di depan ambang pintu. Eh, malah harus disambut dengan kata-kata yang sangat pedas dari Bu Vika, istri dari Pak Candra yang dengar-dengar usianya baru 27 tahun itu.

              Tanpa menyahut dan menoleh kepada kami, Bu Vika yang langsing singset di balik gaun ketat berwarna putih tulang seperti orang yang akan menghadiri pesta, langsung menarik lengan kedua anak lelakinya untuk menyingkir masuk.

              “Ayo duduk, Si,” ucap Pak Candra dengan suara yang sangat pelan kepadaku. Lelaki itu lalu berjalan ke tengah ruangan, menduduki sofa besar kulitnya yang berwarna cokelat tua.

              Kikuk sekali aku duduk di hadapan beliau. Rumah besar yang bercat serba putih dan dihiasi beberapa lukisan mahal bergambar pemandangan dan kuda besar, serta sebuah foto keluarga yang menghadap persis ke arah pintu utama, seperti kurang bersahabat menyambutku. Padahal, setiap tahunnya, saat lebaran tiba aku dan teman-teman kantor selalu disambut baik oleh Bu Vika maupaun Pak Candra. Ya, lagi-lagi ini karena aku datang di waktu yang tak tepat.

              “Pak, aku benar-benar minta maaf karena sudah mengganggu waktu liburnya.” Sembari meremas kedua tangan, aku menatap wajah Pak Candra sungkan. Kami hanya duduk berdua di sofa-sofa besar ini. Saling berhadapan dengan wajah yang sama-sama tampak tak nyaman.

              “Iya, tidak apa-apa. Istriku lagi sensi, harap dimaklumi,” kata Pak Candra dengan suara yang berbibsik sembari menempelkan lima jari yang dia rapatkan ke pipi kanannya. Mungkin agar Bu Vika tak dapat menguping pembicaraannya barusan.

              “Jadi, kamu ke sini ada perlu apa?” Pak Candra bertanya lagi. Kali ini dengan suara yang tak lagi pelan. Wajahnya sudah mulai agak santai, dengan gestur tubuh yang condong ke depan menghadap kepadaku.

              “S-saya … kabur dari rumah, Pak.”

              “Apa?!” Muka Pak Candra berubah drastis. Matanya membeliak dengan mulut yang menganga.

              “Kenapa, kenapa? Ada masalah apa?” Pak Candra terlihat antusias sekaligus agak histeris. Aku pun jadi merasa tak sungkan lagi untuk membeberkan masalah ini, sebab pak bos tampaknya sangat terbuka untuk menerima keluh kesahku.

              “Ada sedikit masalah dengan mama dan adikku, Pak. Jadi, rencananya saya mau mengekost di kostan milik Bapak. Ada yang kosong, Pak, kiranya?”

              Pak Candra terlihat diam sesaat. Lelaki itu seperti tengah memikirkan sesuatu.

              “Sebentar, biar kutelepon yang jaga.” Pak Candra yang memiliki tubuh berbulu lebat pada bagian tangan dan kakinya itu pun langsung merogoh saku celananya. Lelaki itu lalu sibuk mengetik di layar ponsel mahal keluaran terbaru, kemudian menempelkan benda bersampul silikon bening itu ke telinganya.

              “Bon, ada kamar kosong di kost?” Pak Candra tanpa salam dan basa basi, bertanya pada seseorang yang dipanggilnya Bon tersebut.

              “Apa? Tidak ada? Sudah full semua?”

              Dadaku langsung mencelos. Pupus sudah harapan. Artinya aku harus mencari tempat yang lain dengan bermodalkan uang Rp. 250.000,- yang tersisa. Adakah kostan yang mau dibayar per bulan dan uangnya dibayar setelah satu bulan tinggal? Atau, haruskah aku meminjam uang pada kawan kerja saja? Ah, tahu begitu, mengapa jauh-jauh aku ke sini sampai harus mengacaukan acara keluarga orang lain?

              “Okelah, Bon. Nanti kuhubungi lagi kalau begitu.” Pak Candra memasang wajah kecewa. Lelaki itu pun meletakkan ponselnya ke atas meja kaca yang berada di tengah-tengah kami, tepat di samping jambangan bunga rose merah tiruan yang begitu cantik dipandang.

              “Sayang sekali, Si. Kostnya sudah penuh semua. Padahal, niatku mau menyuruhmu tinggal di sana gratis sampai kapan pun yang kamu inginkan.” Wajah Pak Candra begitu penuh penyesalan. Lelaki berhidung mancung dengan sebuah lesung pipit di pipi kiri itu tampak benar-benar tak enak hati kepadaku.

              “Oh, baiklah, Pak. Tidak apa-apa. Biar aku cari tempat lain saja.”

              “No, no. Bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Ada satu kamar kosong di belakang. Tunggu sampai kamar kost ada yang kosong. Gratis, tanpa biaya apa pun. Anggap ini adalah bonus dari kerja kerasmu selama ini di perusahaan.” Pak Candra mengulas sebuah senyuman manis. Memperlihatkan geliginya yang rapi dan putih berseri.

              Aku melongo. Lagi-lagi tak percaya dengan apa yang kudengarkan barusan. Tinggal di rumah bosku? Rumah sebesar dan semewah ini? Ah, mana mungkin?

              “Akan kusuruh Baim memasukkan tasmu tadi ke dalam. Deal, ya?” Pak Candra begitu bersemangat. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya dan hendak beranjak menuju luar.

              Aku yang masih blank akibat ucapan mengejutkan Pak Candra, ingin sekali mencegah gerakan beliau. Namun, kaki ini begitu kaku dan mulut ini serasa terkunci rapat. Argh, Sisi! Lakukan sesuatu! Jangan diam saja seperti patung begitu!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
mbok mi
semangat thor
goodnovel comment avatar
mbok mi
penulisan rapi,baca beberapa bab sudah menarik hati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bastard Sister   7

    Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bastard Sister   8

    BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bastard Sister   9

    BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bastard Sister   10

    BAGIAN 10 “Baru kutinggalkan beberapa jam, kamu sudah tidak sabaran ya, untuk mencariku? Kenapa, Iren sayang? Kurang uang untuk jajan?” Aku tersenyum sinis. Merasa geram luar biasa dan bila saja ada Iren di depan sini, sudah pasti bakal kutampar lagi seperti tadi di rumah. “Dasar perempuan gila! Kamu itu sudah tidak waras karena lambat menikah! Awas kamu, Mbak. Aku tetap akan mencari ke mana pun kamu berada dan akan kubuat kamu menyesal sebab telah memperlakukanku dengan kasar hari ini!” Iren terus memekik dengan membabi buta. Membuatku agak tersulut dan rasanya ingin membanting ponsel ini. Kutarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, sayang. Emosiku rasanya tetap saja meluap-luap. “Ja

    Last Updated : 2022-02-10
  • Bastard Sister   11

    BAGIAN 11PoV Iren “Mama! Pergi ke mana Mbak Sisi? Kenapa Mama nggak cegah dia atau rebut ijazah Iren?” Sambil menahan letupan kemarahan, aku mencengkeram pundak Mama. Penuh geram. Wanita tua lemah itu malah terduduk sambil menangis tak jelas di lantai. Bukannya mencegah kakakku yang sint*ng itu, Mama malah melakukan hal yang tak penting di sini. Mama tak menjawab. Dia hanya semakin tersedu-sedu. Aku yang juga habis menangis langsung menghapus air mata dan menatap ke arah pintu. Terbuka lebar. Mbak Sisi pasti kabur melarikan diri. Berlari aku ke depan sana. Mengecek siapa tahu belum jauh perginya dia. Sampai ke depan jalan perumahan, memang tak ada lagi Mbak Sisi di ujung jalan. Aku mengutuki diri sendiri. Meng

    Last Updated : 2022-02-17
  • Bastard Sister   12

    BAGIAN 12 Usai makan siang yang kesorean, aku diantar pulang ke kostan oleh Lintang. Aku awalnya menolak. Inginku dia saja yang kuantar ke minimarket, biar aku meneruskan perjalanan yang hanya 150 meter dengan mengendarai motor sendiri. Namun, Lintang menolak mentah-mentah. “Aku bisa jalan kaki dari kost ke minimarket. Nggak usah kamu pikirin.” “Lho, ngapain jalan kaki, Tang? Kan, bisa kudrop di minimarket.” “Udah, nurut aja denganku.” Begitulah percakapan kami saat di parkiran resto. Ya, sebenarnya aku jelas tidak enak hati

    Last Updated : 2022-02-17
  • Bastard Sister   13

    Bagian 13 “Pak, jadi begini,” kataku sembari menarik napas dalam-dalam. Tentu saja sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung plus nervous yang tiba-tiba menggedor-gedor jantung ini. “Aku … harus kembali ke rumah orangtuaku. Bisakah Bapak menemaniku sekarang?” Kutatap mata Pak Candra dengan agak sungkan. Sesungguhnya ini hanya modus untuk mengalihkan pertanyaannya yang sungguh tak terduga barusan. “Ada apa memangnya, Si? Eh, sebentar. Aku bahkan belum tahu cerita lengkap mengapa kamu kabur dari rumah segala.” Syukurlah, Pak Candra terpancing untuk terus menanyakan tentang masalahku. Aku lebih suka kami membahas ini, ketimbang hal-hal seperti tadi. Jujur, aku kaget luar biasa. Bahkan

    Last Updated : 2022-02-18
  • Bastard Sister   14

    BAGIAN 14 Kami pun tiba di ruang IGD rumah sakit umum Kartika Mulia. Di sana Mama langsung ditangani dengan sangat profesional. Saat diperiksa, ternyata tekanan darah Mama sempat naik drastis. Yakni 170/110 mmHg. Padahal, selama ini yang kutahu tekanan darah Mama selalu stabil di angka 130/90 mmHg. Tentu saja hal tersebut menimbulkan cemas yang luar biasa. Pak Candra memintaku agar Mama dirawat inapkan saja beberapa hari sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku hanya bisa mengiyakan. Dokter pun memang menyarankan agar Mama sebaiknya rawat inap sebab hipertensi yang mengkhawatirkan tersebut. Sakit kepala yang Mama keluhkan pun belum kunjung reda meskipun sudah diberikan anti nyeri injeksi. Dokter akhirnya menyarankan untuk dilakukan rontgen kepala. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa kepada Mama.

    Last Updated : 2022-02-18

Latest chapter

  • Bastard Sister   41

    BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb

  • Bastard Sister   40

    BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka

  • Bastard Sister   39

    BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih

  • Bastard Sister   38

    BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya

  • Bastard Sister   37

    BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba

  • Bastard Sister   36

    BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&

  • Bastard Sister   35

    BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer

  • Bastard Sister   34

    BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku

  • Bastard Sister   33

    BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status