Bagian 13
“Pak, jadi begini,” kataku sembari menarik napas dalam-dalam. Tentu saja sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung plus nervous yang tiba-tiba menggedor-gedor jantung ini. “Aku … harus kembali ke rumah orangtuaku. Bisakah Bapak menemaniku sekarang?” Kutatap mata Pak Candra dengan agak sungkan. Sesungguhnya ini hanya modus untuk mengalihkan pertanyaannya yang sungguh tak terduga barusan.
“Ada apa memangnya, Si? Eh, sebentar. Aku bahkan belum tahu cerita lengkap mengapa kamu kabur dari rumah segala.”
Syukurlah, Pak Candra terpancing untuk terus menanyakan tentang masalahku. Aku lebih suka kami membahas ini, ketimbang hal-hal seperti tadi. Jujur, aku kaget luar biasa. Bahkan
BAGIAN 14 Kami pun tiba di ruang IGD rumah sakit umum Kartika Mulia. Di sana Mama langsung ditangani dengan sangat profesional. Saat diperiksa, ternyata tekanan darah Mama sempat naik drastis. Yakni 170/110 mmHg. Padahal, selama ini yang kutahu tekanan darah Mama selalu stabil di angka 130/90 mmHg. Tentu saja hal tersebut menimbulkan cemas yang luar biasa. Pak Candra memintaku agar Mama dirawat inapkan saja beberapa hari sampai kondisinya benar-benar stabil. Aku hanya bisa mengiyakan. Dokter pun memang menyarankan agar Mama sebaiknya rawat inap sebab hipertensi yang mengkhawatirkan tersebut. Sakit kepala yang Mama keluhkan pun belum kunjung reda meskipun sudah diberikan anti nyeri injeksi. Dokter akhirnya menyarankan untuk dilakukan rontgen kepala. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa kepada Mama.
BAGIAN 15 “Pak, pulanglah. Ini sudah sangat larut. Kasihan orang rumahmu. Pasti pada khawatir,” kataku mengalihkan arah pembicaraan sekaligus mengusirnya secara halus. “Baiklah kalau begitu. Kamu baik-baik di sini. Kabari aku kapan pun yang kamu butuhkan.” Pak Candra tiba-tiba menyampirkan tangannya ke bahuku. Lelaki itu dengan serta merta memajukan wajahnya. Semakin dekat, tapi dengan tegas langsung kutangkis. Ya, aku memang sekasar itu. Apalagi dengan lelaki beristri yang gatal. Muka Pak Candra langsung berubah ekspresi. Lelaki itu tampak kemalu-maluan dengan warna wajah yang kemerahan. Lama-lama aku jadi kehilangan respek dengan lelaki ini. Dipikirnya, aku mau-mau sajakah? 
BAGIAN 16 “Ma, ceritakan kepadaku sekarang. Seperti apa kronologis kejadiannya.” Aku mulai meraih jari jemari kanan Mama yang bebas dari infus. Kutatap lembut beliau. Berharap sikap baikku kali ini dapat membuatnya terbuka. Wanita itu menoleh perlahan. Menatap dengan kedua manik yang sayu. Wajahnya benar-benar terlihat kacau sekaligus payah. Kasihan Mama, pikirku. “Dia … ada meneleponmu ya, siang hari itu?” tanya Mama dengan suara pelan. Susah sekali bagi Mama untuk membuka bibirnya. Sebab bengkak itu belum juga kunjung mengempis. Aku mengangguk. Mengatupkan dua bibirku rapat-rapat, sembari menaruh cemas di dada.
Bagian 17PoV Lintang Pagi-pagi sekali aku hari ini bangun. Tentu saja bukan buat ngegantiin si Fajar yang ususnya manja bin lemah itu. Kalau saja kemarin nggak sekalian ngecek pembukuan minimarket, memang rasanya ogah aku berlama-lama jagain mesin kasir. Bukan apa-apa. Hobi baruku ngurusi cupang sama lele di rumah jadi keganggu. Eh, tapi, gara-gara ke minimarket sih, aku jadi ketemu lagi sama Sisi. Cewek itu ternyata berubah drastis dari waktu SMA dulu. Bisa-bisanya dia menjadi secantik sekarang. Body-nya sintal, kulitnya putih, belum lagi model rambut bob yang diwarnai cokelat almond itu sangat pas sekali di wajah bentuk hati miliknya. Aku yakin 100% bahwa saat kami berjumpa, si Sisi hanya pakai bedak dan lipstik tipis. Namun, kecantikannya itu seperti mampu menyihirku. Rasa sebal kepada anak-ana
BAGIAN 18PoV Lintang “Masuk, Tang,” ujar Sisi dengan nada yang sangat ramah. Perempuan yang terlihat masih mengenakan baju semalam tersebut begitu sangat cantIk pagi ini. Dia memang bidadari, pikirku. Bangun tidur saja kaya begitu. Apalagi kalau sudah mandi. Aku yang awalnya jiper sekaligus kurang pede gara-gara jumpa dengan cowok yang kuduga sebagai bos dari Sisi tersebut, akhrinya menyeret langkah untuk masuk. Sudahlah, Lintang. Pede aja lagi. Siapa tahu cowok perlente atletis itu bukan tipenya Sisi. Siapa tahu, dia naksirnya sama aku. Bagi yang mual dengan kepedean ini, silakan saja. “Pagi.” Sapaku kepada semua orang. Kusalami mamanya Sisi dengan penuh hormat. Saat melihat keadaan perempuan tua
BAGIAN 19PoV Candra “Tumben pulang jam segini. Biasanya juga nggak pulang!” Bukannya memberikan sambutan hangat, Vika malah mencaci maki kedatanganku yang dinilainya ‘tumben’ tersebut. Perempuan tak bersyukur. Sudah dipenuhi semua kemauannya, masih saja nyampurin urusanku! “Aku capek, Vik! Kamu bisa diam tidak?” hardikku kepada wanita yang mengenakan gaun malam hitam transparan tersebut. Sama sekali aku tidak tergiur. Sudah bosan! Istri banyak mauku itu langsung diam. Wajahnya kupandangi kesal. Dia balik berbaring kembali sambil memainkan ponselnya. Persetan dia mau ngapain dengan ponsel itu. Yang penting, aku maunya dia berhenti mencampuri urusanku!&n
BAGIAN 20PoV Candra Semalaman, praktis aku tak bisa melelapkan mata. Semuanya seperti mengimpit isi kepala. Apartemen studioku yang tak begitu luas tapi cukup nyaman, tumben-tumbenan terasa begitu membosankan kali ini. Bayangan akan kedua anak lelakiku, kisruh rumah tangga, dan para wanita yang pernah meniduri ranjang bersprei katun abu-abu ini, dengan cepat mengitari benak. Sumpah, tak biasanya aku seperti sekarang. Biasanya, aku lebih cuek dan dapat dengan mudahnya abai terhadap tekanan-tekanan besar dalam kehidupan. Namun, kali ini sungguh beda. Apa yang sebenarnya tengah kucari? Sisi. Tiba-tiba aku teringat akan perempuan itu lagi. Bertahun aku menjadi bosnya. Memang kunilai dia lain dan istimewa. Tidak ambil kesempat
BAGIAN 21 Aku terkejut bukan main saat tiba di kantor polisi. Pak Candra ternyata sudah ditunggu oleh dua orang lawyer alias kuasa hukum yang masing-masing mengenakan jas hitam rapi. Pak Frengky dan Pak Daud namanya. Sama-sama sudah dewasa kalau tak mau dibilang tua. Berusia sekitar 40 tahunan dengan tampak seram. Namun, saat kami berkenalan, Pak Frengky yang botak berkumis tebal dan Pak Daud yang berpotongan rapi tapi mengenakan kalung emas tebal tersebut nyatanya sangat ramah. “Tenang Mbak Sisi. Kami akan membantu Mbak untuk menyelesaikan kasus ini.” Pak Frengky menebar janjinya saat kami baru saja tiba di depan pintu bagian pengaduan ditreskrimum. Aku yang sebenarnya tercengang luar biasa, hanya bisa mengangguk saat itu.&nb
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe