BAGIAN 20
PoV Candra
Semalaman, praktis aku tak bisa melelapkan mata. Semuanya seperti mengimpit isi kepala. Apartemen studioku yang tak begitu luas tapi cukup nyaman, tumben-tumbenan terasa begitu membosankan kali ini.
Bayangan akan kedua anak lelakiku, kisruh rumah tangga, dan para wanita yang pernah meniduri ranjang bersprei katun abu-abu ini, dengan cepat mengitari benak. Sumpah, tak biasanya aku seperti sekarang. Biasanya, aku lebih cuek dan dapat dengan mudahnya abai terhadap tekanan-tekanan besar dalam kehidupan. Namun, kali ini sungguh beda. Apa yang sebenarnya tengah kucari?
Sisi. Tiba-tiba aku teringat akan perempuan itu lagi. Bertahun aku menjadi bosnya. Memang kunilai dia lain dan istimewa. Tidak ambil kesempat
BAGIAN 21 Aku terkejut bukan main saat tiba di kantor polisi. Pak Candra ternyata sudah ditunggu oleh dua orang lawyer alias kuasa hukum yang masing-masing mengenakan jas hitam rapi. Pak Frengky dan Pak Daud namanya. Sama-sama sudah dewasa kalau tak mau dibilang tua. Berusia sekitar 40 tahunan dengan tampak seram. Namun, saat kami berkenalan, Pak Frengky yang botak berkumis tebal dan Pak Daud yang berpotongan rapi tapi mengenakan kalung emas tebal tersebut nyatanya sangat ramah. “Tenang Mbak Sisi. Kami akan membantu Mbak untuk menyelesaikan kasus ini.” Pak Frengky menebar janjinya saat kami baru saja tiba di depan pintu bagian pengaduan ditreskrimum. Aku yang sebenarnya tercengang luar biasa, hanya bisa mengangguk saat itu.&nb
BAGIAN 22 “Jangan marah, Si. Aku hanya bercanda, lho,” kata Pak Candra lagi saat aku tak kunjung menjawab omongannya. “Hm, iya.” Aku juga bingung mau jawab apa. Ya, sudahlah. Mau bercanda atau tidak, yang pastinya aku sudah tak betah dan ingin segera sampai. “Kita mau makan dulu, nggak?” tanyanya kepadaku lagi. “Nggak usah, Pak. Aku mau lekas sampai saja. Biar si Lintang bisa ke tempat kerjanya.” “Aku temanin di rumah sakit kalau begitu.”&nb
BAGIAN 23 Usai makan es kacang merah dan kebab yang dibelikan oleh Lintang, cowok itu pamit undur diri. Katanya mau kasih pakan lele dulu di rumahnya. “Eh, kamu jangan lupa masuk kerja, Tang. Nanti dipecat sama bosmu, lho,” ujarku saat mengantarnya ke depan pintu ruangan. “Iya, Si. Makasih ya, udah ngingetin,” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Tadi berapa belanjaan semua? Aku mau ganti. Buat kamu beli bensin,” kataku sambil merogoh beberapa lembar uang yang kupunya, yang dari tadi sudah kusiapkan dalam saku celana jin. &ldquo
BAGIAN 24 “Bu, saya izin bawa Sisi ke kantor polisi dulu.” Pak Candra yang baru datang lima menit lalu dan sempat berbincang ringan dengan Mama serta Lintang tersebut, meminta izin kepada Mama sambil mencium tangannya dengan takzim. Jangan bilang ini adalah salah satu strategi agar mamaku jadi luluh dan menyetujui aku dengannya? Tidak akan! Aku pokoknya tidak akan mau sama Pak Candra, titik. “Iya, Nak Candra. Tolong jaga Sisi, ya. Tolong juga, jangan buat Iren dihukum berat. Cukup kasih efek jera. Kalau bisa, saya minta tolong supaya dia pulang ke pangkuan saya.” Dadaku nyeri lagi kala mendengar ucapan Mama barusan. Masih saja ternyata. Tetap di pikirannya itu Iren dan Iren.
BAGIAN 25 “Sisi, sudah,” ujar Pak Candra sembari menarik pelan tanganku untuk menjauh dari tubuh Andika yang mukanya telah babak belur. Aku yang terengah-engah sebab sehabis meluapkan ledakan emosi, hanya bisa pasrah saat digiring mundur. Baiklah, kurasa sudah cukup. “Tenang, Mbak Sisi. Akan kita hukum seberat mungkin laki-laki kurang ajar itu,” tambah Pak Frengky yang kini tak lagi memakai jas kerennya, melainkan kaus berkerah warna merah yang menyala. Pak Candra dan Pak Frengky sama-sama membawaku untuk duduk tak jauh dari Pak Daud yang tengah asyik sendiri memainkan ponsel layar sentuhnya. Aku tak banyak melawan kali i
BAGIAN 26 Aku dan Pak Candra pulang menuju rumah sakit setelah puas hatiku mengamuki pasangan zinah yang tak lain adalah Iren-Andika. Beberapa menit pertama di mobil, kami berdua tak saling bicara. Hanya hening yang menyilimuti. Syukurlah, aku juga tengah tak mood untuk banyak bicara. Pikiranku masih agak kacau. Mobil tiba-tiba menepi. Aku agak kaget. Kulihat ternyata Pak Candra menghentikan kendaraan mewahnya tepat di bawah rindangnya pohon-pohon. Jalan Pattimura, pikirku. Wilayah perkantoran yang apabila malam hari memang sepi. Banyak pula lampu-lampu jalanan yang mati, sehingga suasana di sini agak gelap. Aku jadi merinding. Ngapain Pak Candra berhenti? “Pak, ada apa?” tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak.
BAGIAN 27 Setelah diperiksa oleh dokter, Mama akhirnya diperbolhekan untuk pulang hari ini juga. Aku sangat bersyukur, sebab tak harus berlama-lama izin bekerja lagi. Bagaimana pun aku tak enak hati. Apalagi adminku, si Mauris, sudah beberapa kali menelepon bertanya ini dan itu tentang barang masuk atau keluar. Ya, memang ini sudah tanggung jawabku. Salah sendiri mengapa aku izin di waktu yang tepat. Tak tepat bagi kantor, ya. Pagi ini aku sengaja menelepon Lintang, seperti pesan yang dia katakan tadi malam. Tak menunggu lama, lelaki itu pun langsung tiba di rumah sakit. “Aku pinjam mobil sama si bos. Kita antar Mama ke rumah pakai mobil itu ya, Si,” kata Lintang sambil membantu membereskan barang-barang Mama yang unt
BAGIAN 28 “Sisi!” Terdengar suara teriakan Lintang dari arah belakang, bersusulan dengan bunyi derap langkahnya yang mengejar. Aku yang menangis dan sudah hendak pulang tersebut, terpaksa menoleh. Lintang semakin cepat mengejar dan akhirnya tiba tepat di depan tubuhku. Pluk! Tubuhnya tiba-tiba saja memelukku. Erat. Aku termangu. Kenapa Lintang sampai begini kepadaku? “Si, jangan menangis lagi. Aku tidak mau melihatmu sedih,” ujarnya sambil mengusap-usap rambutku. Aku yang semula tergugu akibat perilaku Mama, kini berusaha untuk menghenti
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe