BAGIAN 24
“Bu, saya izin bawa Sisi ke kantor polisi dulu.” Pak Candra yang baru datang lima menit lalu dan sempat berbincang ringan dengan Mama serta Lintang tersebut, meminta izin kepada Mama sambil mencium tangannya dengan takzim. Jangan bilang ini adalah salah satu strategi agar mamaku jadi luluh dan menyetujui aku dengannya? Tidak akan! Aku pokoknya tidak akan mau sama Pak Candra, titik.
“Iya, Nak Candra. Tolong jaga Sisi, ya. Tolong juga, jangan buat Iren dihukum berat. Cukup kasih efek jera. Kalau bisa, saya minta tolong supaya dia pulang ke pangkuan saya.”
Dadaku nyeri lagi kala mendengar ucapan Mama barusan. Masih saja ternyata. Tetap di pikirannya itu Iren dan Iren.
BAGIAN 25 “Sisi, sudah,” ujar Pak Candra sembari menarik pelan tanganku untuk menjauh dari tubuh Andika yang mukanya telah babak belur. Aku yang terengah-engah sebab sehabis meluapkan ledakan emosi, hanya bisa pasrah saat digiring mundur. Baiklah, kurasa sudah cukup. “Tenang, Mbak Sisi. Akan kita hukum seberat mungkin laki-laki kurang ajar itu,” tambah Pak Frengky yang kini tak lagi memakai jas kerennya, melainkan kaus berkerah warna merah yang menyala. Pak Candra dan Pak Frengky sama-sama membawaku untuk duduk tak jauh dari Pak Daud yang tengah asyik sendiri memainkan ponsel layar sentuhnya. Aku tak banyak melawan kali i
BAGIAN 26 Aku dan Pak Candra pulang menuju rumah sakit setelah puas hatiku mengamuki pasangan zinah yang tak lain adalah Iren-Andika. Beberapa menit pertama di mobil, kami berdua tak saling bicara. Hanya hening yang menyilimuti. Syukurlah, aku juga tengah tak mood untuk banyak bicara. Pikiranku masih agak kacau. Mobil tiba-tiba menepi. Aku agak kaget. Kulihat ternyata Pak Candra menghentikan kendaraan mewahnya tepat di bawah rindangnya pohon-pohon. Jalan Pattimura, pikirku. Wilayah perkantoran yang apabila malam hari memang sepi. Banyak pula lampu-lampu jalanan yang mati, sehingga suasana di sini agak gelap. Aku jadi merinding. Ngapain Pak Candra berhenti? “Pak, ada apa?” tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak.
BAGIAN 27 Setelah diperiksa oleh dokter, Mama akhirnya diperbolhekan untuk pulang hari ini juga. Aku sangat bersyukur, sebab tak harus berlama-lama izin bekerja lagi. Bagaimana pun aku tak enak hati. Apalagi adminku, si Mauris, sudah beberapa kali menelepon bertanya ini dan itu tentang barang masuk atau keluar. Ya, memang ini sudah tanggung jawabku. Salah sendiri mengapa aku izin di waktu yang tepat. Tak tepat bagi kantor, ya. Pagi ini aku sengaja menelepon Lintang, seperti pesan yang dia katakan tadi malam. Tak menunggu lama, lelaki itu pun langsung tiba di rumah sakit. “Aku pinjam mobil sama si bos. Kita antar Mama ke rumah pakai mobil itu ya, Si,” kata Lintang sambil membantu membereskan barang-barang Mama yang unt
BAGIAN 28 “Sisi!” Terdengar suara teriakan Lintang dari arah belakang, bersusulan dengan bunyi derap langkahnya yang mengejar. Aku yang menangis dan sudah hendak pulang tersebut, terpaksa menoleh. Lintang semakin cepat mengejar dan akhirnya tiba tepat di depan tubuhku. Pluk! Tubuhnya tiba-tiba saja memelukku. Erat. Aku termangu. Kenapa Lintang sampai begini kepadaku? “Si, jangan menangis lagi. Aku tidak mau melihatmu sedih,” ujarnya sambil mengusap-usap rambutku. Aku yang semula tergugu akibat perilaku Mama, kini berusaha untuk menghenti
BAGIAN 29 Ini janggal, pikirku. Mama pingsan, lalu dengan secepat kilat terbangun gara-gara ucapanku barusan. Seperti disetting. “Iya, tapi kita pulang dulu ke rumah. Lintang, tolong antar kami ke rumahku. Daerah Sirih Merah. Perumahan Adiaksa Tiga, blok D nomor 15.” Aku langsung memberikan instruksi kepada Lintang setelah Mama kubantu untuk duduk. Wajah Mama tampak memerah. Seperti marah. Lihatlah. Bisa-bisanya dari pingsan, jadi seperti orang normal begitu. Bukankah dia sudah membohongiku? Lintang yang semula membantuku untuk memijat Mama, kini langsung ambil langkah dan duduk kembali dengan tubuh tegak di depan kemudi. Mama yang tadinya kurangkul, tiba-tiba beringsut menjauh dariku. Aneh, pikirku.&nbs
BAGIAN 30 Aku sama sekali tak tahu bakal dibawa ke mana oleh Lintang. Tanpa sadar, lelaki itu sudah masuk ke komplek perumahan mewah di daerah Permata Indah, yang lokasinya sekitar hanya dua kilometer saja dari daerah Mutiara—tempatnya pak bos. Mobil Lintang lalu menepi ke sebuah rumah dengan cat warna putih yang tampak modern plus mewah dari depan sini. Bangunannya memang tak bertingkat, tapi terlihat lumayan besar dengan halaman yang lega dan taman yang indah. Bagus sekali rumah bosnya, pikirku. Seseorang dari dalam sana membukakan pagar baja sehingga Lintang dapat memasukan mobil Fortuner yang katanya juga milik bosnya tersebut. “Kita sudah sampai,” kata Lintang sembari parkir di car port yang beratap kanopi
BAGIAN 31 “Lintang ini juga anak broken home sejak kecil, Si. Figur ayah dari kecil memang tidak melekat di hatinya. Namun, dia ini orangnya setia. Cerai juga karena diselingkuhi oleh mantan istrinya. Masalah mendua, kamu sih tidak perlu khawatir.” Mami melanjutkan ucapannya. Membuat hatiku semakin pilu bak teriris oleh sembilu. Bahkan Lintang tidak pernah menceritakan perihal itu kepadaku. Benar-benar keterlaluan dia! Suasana jadi hening. Aku yang tak mampu berkata, Lintang yang juga tak kunjung membuka suara, membuat atmosfer tegang menyelimuti ruangan. Rasanya aku ingin segera keluar dari rumah ini. Benar-benar hatiku sudah dikecewakan oleh Lintang. “Minuman datang.” Sebuah suara memecah kebisuan. Aku y
BAGIAN 32 Kedekatan antara aku dan keluarga Lintang, tak kusangka bakal bisa terjalin dengan erat dan dalam waktu yang cukup singkat. Siang hingga sore menjelang petang aku main di rumahnya. Berbagi cerita macam-macam kepada Mami dan Alana. Mereka berdua sangat menyenangkan. Cepat akrab dan jika diajak bicara pun sangat nyambung. Hari itu juga, aku resmi menjadi pacar Lintang. Aku rasanya ingin tertawa bila mengingat umur kami yang tak lagi muda, tapi masih memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih. Saat aku protes, Lintang malah berkilah di mobil ketika perjalanan pulang menuju rumahku. “Lho, kita kan pacaran untuk segera menikah.”&nb
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe