BAGIAN 2
“Kamu sudah nggak apa-apa, kan, Si? Mama tinggal ke dapur dulu, ya. Tolong pesanan adikmu jangan sampai lupa.” Mama mengusap puncak kepalaku dua kali dengan gerakan lembut. Aku yang sempat terpaku sebab kata-kata menyakitkan dari Iren hanya bisa menganggukan kepala.
Mama pun beringsut dari duduknya. Keluar dari kamarku dan menutup kembali daun pintu. Meninggalkan diriku sendirian yang masih terhenyak.
Aku jadi tak habis pikir. Merasa kecewa secara tiba-tiba dengan sikap Iren dan Mama. Selama ini kukira Iren hanya bersikap manja sekaligus caper kepada sang kakak. Namun, setelah kucermati lebih lanjut, ini sudah lebih dari sekadar manja. Ini kurang ajar! Anak itu tak seperti yang kubayangkan. Diam-diam dia sekarang telah tumbuh menjadi gadis yang tak berakhlak sekaligus menyebalkan.
Perasaanku begitu berkecamuk. Campur aduk. Antara ingin mengasihi atau mendidik Iren yang menurutku tak lagi bisa dikatakan anak-anak. Dia jelas sudah dewasa. Apalagi sudah berani memutuskan untuk menikah segala. Satu pertanyaanku, habis membiayai pernikahannya, akankah aku juga bakal dibebani dengan biaya persalinan dan susu anaknya kelak?
Aku langsung bangkit dari tempat tidur. Masuk ke kamar mandi, kemudian membasuh diri agak lama. Sambil mandi aku merenung. Tidak bisa. Iren jelas tak bisa kubiarkan begini terus menerus. Dulu memang kupikir dia harus mendapatkan perhatian ekstra sebab dia adalah anak bungsu dan satu-satunya adik yang kupunya. Namun, jika sudah kelewat batas kelakuannya, sepertinya aku tak bisa harus selalu mengalah.
“Oke, akan kucoba untuk menguji anak itu. Apakah memang benar dugaanku atau hanya pikiran buruk saja,” lirihku pada diri sendiri sembari melilitkan handuk putih ke tubuh yang bobotnya sudah mencapai angka 62 kilogram. Dengan tinggi badan yang cuma 158 sentimeter, jujur berat ini sudah kelewatan. Ya, maklumlah. Wanita bila semakin berumur akan mudah juga naik beratnya. Sementara punya gandengan juga aku belum. Kalau sudah begini, bukankah aku harusnya fokus mengurus diri sendiri, ketimbang Iren yang akhir-akhir ini makin menjengkelkan? Ah, ya. Benar sekali, sepertinya aku harus mulai memperhatikan diriku sendiri saja mulai detik ini.
Buru-buru aku bertukar pakaian dengan celana denim panjang dan blus katun lengan panjang warna kopi. Kubiarkan rambut seleher dengan model yang tengah hits yakni potongan milik Mbak Andin, tergerai dalam kondisi setengah basah. Dandananku tak perlu ribet. Cukup bedak tipis dan sapuan lipstik warna nude.
Setelah meyakinkan bahwa tampilanku sudah oke, kusampirkan tas selempang kulit warna cokelat dan lekas keluar dari kamar sembari mengantongi kunci skuter matik. Tanpa berpamitan pada Mama dan Iren yang entah sedang berbuat apa di dapur sana, aku langsung kabur tanpa tahu ke mana arah tujuan angin bakal membawa.
Tidak. Aku bukan hendak mencari cake dan puding pesanan Iren. Aku pergi melainkan untuk meninggalkan kedua wanita yang sesungguhnya sangat kucintai itu, setidaknya sampai malam tiba nanti. Aku ingin menghilang, kemudian pulang dan mau melihat dengan mata kepala ini. Seperti apa tingkah Iren nantinya saat aku tak mampu untuk menuruti kemauannya, ketika seribu macam permintaan telah kukabulkan bahkan kerap tanpa balasan ucapan terima kasih darinya.
Bukan aku tega. Aku hanya mau mendidiknya sekaligus ingin mencari bukti atas prasangkaku sendiri. Akankah Mama dan Iren tetap menghargaiku saat aku sekali saja tak mampu untuk mengabulkan ingin mereka? Bila ternyata jawabannya tidak, artinya memang ada langkah yang harus kuambil. Ya, kali ini aku memang harus tegas, meskipun kepada adik dan mamaku sendiri.
Motorku tanpa sadar telah membawaku ke sebuah jalanan besar di mana kiri dan kanannya bertengger kafe-kafe yang menyuguhkan aneka makanan serta minuman. Beberapa kafe tersebut masih tutup dikarenakan baru pukul setengah sepuluh pagi, tapi untungnya ada sebuah kafe yang khusus menjual aneka minuman yang terbuat dari olahan kopi di dekat persimpangan lampu merah. Tak banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk mampir.
Hanya ada beberapa pemuda pemudi yang nongkrong di kursi luar, sedang di dalam terlihat ada beberapa pengunjung lain yang kutaksir jumlah mungkin lebih dari enam orang. Meskipun hanya sendirian, aku penuh percaya diri saja untuk masuk. Sudah biasa jalan tanpa gandengan. Apa-apa sendirian. Bahkan adikku yang sama-sama cewek pun bagai enggan untuk diajak pergi atau hang out bersama. Entahlah. Mungkin dia minder kalau mengajak cewek tua yang belum laku-laku ini untuk jalan.
Mataku membelalak lebar ketika melihat siapa yang duduk di bangku tengah sekitar enam langkah dari pintu masuk. Seorang lelaki tinggi kurus dengan balutan kaus warna hijau botol plus jaket denim yang tak dikancing, sedang menggenggam erat jemari wanita berpakain ketat lengan panjang dengan motif bunga-bunga warna gelap. Wanita itu memunggungiku, hingga aku tak dapat melihat wajahnya dari sini.
Aku yang tiba-tiba gemetar campur emosi, langsung merogoh ponsel yang ada di dalam tas kulitku. Segera kunyalakan fitur video perekam dan aku pun berjalan dengan begitu yakin mendatangi pria baji*gan di depan sana.
“Oh, begini ya, kelakuanmu di belakang adikku!” Aku berteriak lantang. Tak kupedulikan beberapa pengunjung lain menjadikan kami sebagai pusat perhatian. Geram, aku membidik Andika dan kekasih gelapnya yang memiliki wajah sangat cantik itu dengan kamera ponsel.
“Mbak Sisi!” Andika terperanjat. Lelaki itu langsung bangkit dan hendak menyambar ponselku, tapi cepat kualihkan dan terus menyorot pria tersebut sekaligus wanita yang dia elus-elus tadi.
“Begini yang katanya mau menikahi Iren? Katamu sore ini mau ke rumah kami bersama ortumu? Kenapa malah mampir di sini sambil pegang-pegang tangan segala!” Aku yang merasa begitu sangat kecewa, tak dapat lagi mengerem emosi yang meledak-ledak. Sebuah langkah mulai mendekat ke arahku. Ternyata kasir yang duduk di depan tadi. Seorang wanita dengan jilbab warna pink dan celemek cokelat berbahan anti air itu segera memintaku untuk tenang.
“Maaf, Mbak. Silakan selesaikan masalahnya di luar saja. Pengunjung kami akan merasa sangat terganggu.” Si kasir menyentuh lenganku, tapi kutepis dengan sangat kasar.
“Andika, urusan kita belum selesai! Ikut aku ke luar!” Kutarik tangan Andika dan menyeret lelaki cungkring berwajah biasa saja itu untuk ikut diriku ke parkiran. Andika pasrah. Tak ada perlawanan darinya. Sementara itu, gadis yang duduk bersamanya tadi kembali duduk terpaku akibat syok.
“Aku akan laporkan ini pada Iren!” Aku menunjuk wajah Andika dengan perasaan muak di halaman parkir. Tukang parkir yang menjaga kendaraan sampai takjub memandang ke arah kami.
“Silakan saja! Kalau Mbak mau menghancurkan hubungan kami, silakan saja!” Ternyata Andika sangat lancang dan malah membuatku naik darah. Gampang sekali omongannya itu keluar dari bibirnya yang gelap akibat dari ribuan puntung rokok yang dia isap. Najis! Benar-benar lelaki menjijikan. Bisa-bisanya Iren menyukai pria seperti ini.
Tanpa membuang waktu, aku langsung mengirimkan video tersebut kepada Iren yang kebetulan tengah online. Sejurus kemudian, panggilan video pun kulakukan demi memberikan bukti nyata kepada adikku yang sudah mulai sangat kurang ajar ini, bahwa kekasih yang ingin dia nikahi ternyata begitu bejat!
Teleponku langsung diangkat. Tampak Iren duduk bersandar di kursi belajarnya di kamar dengan pakaian yang belum berganti. Wajahnya tampak sangat tak suka saat menatapku.
“Apa sih, Mbak?” tanyanya dengan suara yang jengkel.
“Ini pacarmu kepergok sedang selingkuh di Kopi Taim! Buka video yang aku kirim tadi!” Langsung kusorot wajah Andika yang terlihat tanpa penyesalan dengan kamera belakang agar adikku melihat.
“Sayang, kamu di mana ini? Kok, jumpa sama mbakku?” Suara Iren berubah 180o menjadi sangat manis sekaligus manja. Sungguh berbeda saat menyapaku barusan.
“Mbakmu ini kurang ajar! Aku lagi jalan sama Adel minum kopi. Mbakmu yang sok tahu langsung ngelabrak tanpa bertanya dulu siapa Adel sebenarnya. Tolong ya, Ren, ajari mbakmu ini sopan santun. Aku mau kita batalkan saja rencana tunangan dan pernikahan kita. Aku nggak sudi punya ipar macam mbakmu ini!”
Bagaikan disambar petir, jantungku terasa putus dari rongga sebab mendengarkan ucapan lancang dari Andika. Tanpa dapat kutahan, tangan kiri ini langsung mengambil alih ponsel, sedangkan tangan kananku menampar pipi Andika dengan keras.
“Kurang ajar kamu bicara seperti itu! Laki-laki tidak tahu sopan santun! Silakan batalkan rencana kalian. Toh, biaya pertunangan dan pernikahan itu Iren juga minta bantu kepadaku. Aku juga tidak sudi mengeluarkan uang untuk orang semacam kamu!” Kudorong Andika dengan keras. Tak memedulikan suara Iren yang berteriak-teriak mengatakan entah apa.
Cepat aku mematikan ponsel dan memasukannya kembali ke tas. Bergegas mengambil motor dari parkiran dan tancap gas bahkan sebelum aku memberikan uang jasa kepada lelaki berompi oranye yang sekilas kulihat masih sangat muda dan bertato di sekujur tangannya.
“Anj**g!” maki Andika ke arahku dengan suara yang sangat keras. Aku sungguh tak peduli lagi dan entah mengapa merasa begitu sangat puas atas tindakanku barusan.
Alasan saja dia! Adel? Adel siapa? Kalau itu adalah adik atau saudaranya, apa mungkin? Tatapannya, senyumnya, bahkan sentuhannya terhadap punggung tangan wanita itu sangat janggal. Seperti orang yang tengah dimabuk cinta.
Iren mau marah atau mengamuk, silakan saja. Aku sungguh tak mau peduli. Bila dia ternyata lebih memilih pacarnya itu ketimbang aku sang kakak yang sudah berkorban habis-habisan untuk kehidupannya selama ini, itu berarti aku memang harus angkat kaki dari kehidupannya.
BAGIAN 3 Aku masih memacu motorku. Membawanya entah ke mana. Pikiranku seketika galau. Sedikit banyak aku merasa takut. Ya, takut bila apa yang sudah kulakukan tadi salah. Meskipun aku jadi tahu bahwa sikap Andika sangat-sangat tidak sopan plus menjijikan, tapi entah mengapa perasaan bersalah itu tiba-tiba saja muncul ke permukaan. “Ah, sudahlah, Si! Ngapain juga mikirin sampah kaya dia!” rutukku pada diri sendiri dengan suara pelan. Meskipun begitu, lagi-lagi perasaan bersalah itu tetap hadir. Wajah Papa yang teduh dan selalu berpesan agar aku menjaga Mama dan Iren, tiba-tiba saja masuk ke dalam pikiran. “Jaga Mama dan adikmu,
BAGIAN 4 Kulupakan sejenak permasalahan yang sesungguhnya telah mengguncang jiwa ini. Siapa yang tak hancur saat orang yang paling dicintai, ternyata tak sepanjang itu kasihnya kepada kita. Namun, aku terus mencoba untuk tegar. Melangkahlah kaki ini ke dalam minimarket yang sedari tadi menyaksikan betapa kecewanya hatiku. Gontai kedua tapak kaki menijak lantai, segontai perasaan yang tengah terluka. Aku terus berjalan ke arah paling ujung minimarket, mengambil sebuah air mineral botol dari dalam showcase pendingin. Lihatlah. Untuk minum saja, sengaja kupilih merek dengan harga paling murah. Sudah jadi kebiasaan, sebab aku berpikir bagaimana pun pengeluaran pribadi harus ditekan seminimal mungkin. Kalau tak begitu, mana mungkin gajiku sebagai supervisor warehouse material bangunan mencukupi seluruh kebutuhan rumah
BAGIAN 5 “Aku durhaka? Aku?” Aku makin meringsek maju. Kedua tinjuku bahkan terkepal sempurna. Terus aku maju sampai-sampai tubuh adikku ikut termudur dan bersandar mentok ke dinding. Wajahnya tentu saja terlihat sangat ketakutan. “Kamu yang durhaka! Kamu manusia tidak tahu diri! Hidup pengeretan! Makan masih minta. Uang kuliah dari hasil keringatku saja, kelakuanmu sudah sok-sokan seperti aku yang mengemis hidup!” Kucengkeram dengan keras bahu Iren. Membuat tubuhnya luar biasa gemetar. Seketika, timbul sebuah ide gilaku. Beginilah seekor macan. Jangan coba-coba ganggu dia saat tengah tertidur pulas, jika masih menginginkan nyawa. Namun, jika memang ingin mengadu nyali, akan kulayani juga.&nb
BAGIAN 6 Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa. Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pij
Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m
BAGIAN 8 “Pak, sepertinya aku tidak bisa di sini. Maaf sekali, Pak. Benar-benar maaf. Aku tidak enak pada Bu Vika.” Kubulatkan tekat untuk memberanikan diri menolak permintaan Pak Candra. Aku tentu tak mau menjadi benalu di rumah orang lain. Sudah lepas dari satu neraka, masa aku harus masuk ke neraka lainnya? Tidak. Aku ingin hidup bebas bagai burung di udara yang dapat sesuka hati pergi ke mana pun. Pak Candra tampak menarik napas masygul. Lelaki itu memejamkan mata sembari memijit pelipisnya pelan. Terlihat bahwa dia tengah pusing tujuh keliling. Aku jadi semakin menyesal, mengapa aku harus datang ke rumah ini kalau hanya untuk membuat bosku jadi pening. “Maafkan aku, Pak. Maaf sekali. Bukannya aku tidak tahu
BAGIAN 9 Kuseruput habi kopi ini meskipun masih panas-panasnya. Tanpa mau menghiraukan chat dari Iren yang sempat terlihat oleh mataku, lekas kumasukkan ponsel ke dalam tas selempang. Biarkan saja, pikirku. Bodo amatlah. Dia mau memakiku panjang lebar juga tidak sama sekali berpengaruh. Ijazahnya saja kutahan. Mau cari makan pakai apa dia kalau sudah kepepet nantinya? Aku jahat? Ah, tidak juga. Aku hanya memperlakukan orang sesuai dengan perbuatannya kepadaku saja. Setelah kopiku tandas, aku pun bergerak lagi dan berniat untuk cepat mendatangi tempat kerja Lintang. Tentu saja gelas kertas bekas kopiku dibuang dahulu ke tempat sampah yang telah tersedia. Sebab, aku selalu ingat untuk membuang sampah selalu pada tempatnya. Seperti diriku membuang Iren saat ini. Kalau Mama, aku masih berpikir-pikir untuk menentukan s
BAGIAN 10 “Baru kutinggalkan beberapa jam, kamu sudah tidak sabaran ya, untuk mencariku? Kenapa, Iren sayang? Kurang uang untuk jajan?” Aku tersenyum sinis. Merasa geram luar biasa dan bila saja ada Iren di depan sini, sudah pasti bakal kutampar lagi seperti tadi di rumah. “Dasar perempuan gila! Kamu itu sudah tidak waras karena lambat menikah! Awas kamu, Mbak. Aku tetap akan mencari ke mana pun kamu berada dan akan kubuat kamu menyesal sebab telah memperlakukanku dengan kasar hari ini!” Iren terus memekik dengan membabi buta. Membuatku agak tersulut dan rasanya ingin membanting ponsel ini. Kutarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, sayang. Emosiku rasanya tetap saja meluap-luap. “Ja
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 40Menuju Ending Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan. “Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku. Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra. “Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 39 “Ayo kita ke depan sekarang!” Pak Candra kini balik badan dan tampak tergesa. Dia lekas membuka pintu dan malah hampir bertabrakan dengan Pak Frengky yang baru selesai menelepon tersebut. Lelaki botak dengan kumis tebal itu terkesiap. Apalagi melihat muka kliennya yang sudah masam. “Freng, aku duluan. Ada urusan. Kamu boleh pulang, nanti masalah yang lain-lainnya bahas via WhatsApp saja,” kata Pak Candra dengan nada yang ketus sembari membuka lebar pintu tersebut. “Oke, Bos!” jawab Pak Frengky yang sejatinya lebih tua beberapa tahun ketimbang Pak Candra tersebut. “Kami duluan, Pak. Terima kasih
BAGIAN 38 “Sisi, kenapa hanya diam? Kamu masih mau bertahan di perusahaan itu setelah dihina oleh istrinya Candra?” Lintang sekali lagi membentak. Suaranya keras. Membuat pergulatan batin di dalam dadaku semakin bergejolak. “A-aku ….” Kugigit bibir bawah ini. Sakit. Bahkan rasanya aku sudah mau terisak sebab pilihan berat yang diberikan oleh Lintang. “Aku … ikut katamu, Tang.” Kutarik napas dalam-dalam. Aku tahu ini keputusan sulit. Namun, bagaimana pun aku sadar bahwa aku harus memilih. “Aku senang mendengar jawabanmu, Si. Sudah, jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu keras berbicara barusan.” Suara Lintang melunak. Tangan kirinya hinggap di bahuku. Ditepuknya
BAGIAN 37 “Mari masuk, Bu.” Aku pun dengan berat hati mempersilakan wanita itu untuk masuk ke rumah. Padahal, aku dan Lintang melepaskan alas kaki saat masuk ke ruang tamu. Namun, lain cerita dengan tamu terhormatku ini. Dia cuek bebek tetap mengenakan sepatu hak tingginya. Wanita itu kupersilakan untuk duduk di kursi plastik. Maklum, sofa kami diletakkan di samping halaman sebab para pelayat sepanjang malam hingga tadi duduk melantai dari ruang tengah sampai ruang tamu. Untung saja kursi plastik yang dipinjamkan oleh Bu Lastri, tetangga depan kami, ada beberapa di sini. Terlihat Bu Vika kurang nyaman dengan posisi duduknya. Ya, aku maklum. Kursi bersandaran dengan warna hijau itu sama sekali tak empuk alias keras. Ba
BAGIAN 36 “Pak, aku ingin adikku bisa bebas. Apakah aku bisa mencabut laporannya sekarang?” Aku mencegat Pak Candra saat lelaki itu akan masuk ke mobil usai acara pemakaman Mama. Bahkan, aku sedikit abai kepada Lintang yang mulai agak cemberut saat aku memaksanya untuk mengejar Pak Candra. Pacarku itu kini berada di sampingku dengan mulut yang mengatup bungkam. Setelah ini, aku berjanji untuk membujuknya. Pak Candra yang mengenakan kacamata hitam, mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil belakang. Sedang sang sopir kantor, Pak Abas, sudah menanti bosnya di kursi kemudi sana. “Jadi, kamu sudah memaafkannya, Si?” tanya Pak Candra sembari melepaskan kacamata.&
BAGIAN 35 Raung mobil jenazah yang mengangkut tubuh kaku Mama dari masjid menuju pemakaman, terdengar begitu menyayat hati. Beliau baru saja habis disalatkan oleh warga komplek dan teman-teman kantorku, termasuk Pak Candra. Lintang yang selalu sedia dari malam hingga detik ini, juga tampak mengikuti salah satu prosesi dari rangkaian fardu khifayah terhadap mayat tersebut. Aku memutuskan untuk naik mobil Lintang untuk mencapai pemakaman yang letaknya hanya dua kilometer dari sini. Sebuah pemakaman muslim yang didirikan di atas tanah wakaf seorang kaya raya yang konon dulu juga pemilik tanah komplek perumahan kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menangis sembari menatap jalanan dari kaca jendela mobil yang tertutup. Tampak dari sini, ramai orang-orang yang berkendara dengan motor, ikut dalam iring-iringan. Mer
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe