Fendi terpikir akan sesuatu, lalu segera menelepon seseorang.Di sisi lain, Wulan keluar dari kantor dan menelepon Afkar."Gimana? Uangnya sudah masuk?" tanya Afkar sambil tersenyum."Mm, sudah!" Wulan berkata dengan penuh rasa syukur dan malu, "Kamu ... nggak tanya untuk apa aku pinjam uang dan langsung kasih begitu saja? Kamu nggak takut aku menipu uangmu?""Nggak takut, aku punya banyak uang," timpal Afkar dengan senyuman lebar."Pfft!" Mendengar itu, Wulan langsung tertawa. "Ya, sekarang kamu sudah jadi bos besar.""Haha, benar!" kata Afkar tanpa merasa rendah hati sedikit pun.Di dalam hatinya, Afkar cukup menyukai Wulan sebagai teman lamanya. Wulan adalah perempuan pertama yang pernah dia sukai secara diam-diam. Dulu, Wulan yang selalu membantunya meski di tengah gosip yang tidak menyenangkan.Walaupun saat itu Afkar menolak Wulan karena rasa rendah diri yang konyol, dia tidak akan pernah melupakan kebaikan Wulan. Sekarang teman lamanya kesulitan, Afkar tentu saja tidak ragu untu
Mendengar Wira menghina Wulan dengan kejam, Afkar langsung marah dan bertanya dengan nada dingin."Oh? Jadi, dia bukan wanita murahan? Dia berpura-pura suci di hadapanku, tapi ternyata dekat denganmu." Wira menyeringai dingin.Fendi juga mendelik ke arah Wulan. "Wulan, kenapa nggak pilih Pak Wira saja? Cuma karena pemuda ini meminjamkanmu 1,6 miliar? Kalau kamu ikut Pak Wira, keuntunganmu akan jauh lebih besar!""Pak Wira, aku rasa kamu salah paham. Afkar adalah teman lamaku. Di antara kami nggak ada hubungan kotor seperti yang kamu katakan! Kuharap kamu bisa bicara dengan sopan!" ujar Wulan dengan marah."Oh, masih mau menyangkal? Jalang sepertimu berani menyuruhku bicara sopan?" Wira tersenyum dingin, lalu mengulurkan tangannya untuk menampar Wulan.Namun, Afkar langsung meraih pergelangan tangannya."Ah! Sakit! Lepaskan atau aku akan membunuhmu!" teriak Wira sambil menunjuk Afkar."Mulut dan tanganmu memang gatal ya?" tanya Afkar dengan dingin. Matanya mulai menunjukkan kemarahan."
Apalagi, ibunya masih sakit dan dia masih harus membayar utang kepada Afkar. Di mana lagi dia bisa mencari pekerjaan dengan penghasilan lebih dari 20 juta sebulan?"Nggak apa-apa, Wulan! Kalau nggak kerja di sini, kamu bisa ke Hotel Royal. Aku akan memberimu posisi manajer! Gaji 40 juta sebulan!" Afkar menatap wajah Wulan, lalu mengayunkan tangannya dengan percaya diri.Namun, Wulan tertawa getir dan memandang Afkar dengan tatapan rumit. "Afkar, aku bisa pinjam uangmu karena aku akan mengembalikannya perlahan-lahan! Tapi, aku nggak mau bekerja di bawahmu.""Itu akan membuat hubungan kita berubah. Aku nggak ingin begitu. Terima kasih atas niat baikmu, tapi lebih baik ... lupakan saja."Wulan memandang Afkar sambil tersenyum tipis. Wajah cantiknya dipenuhi kegetiran.Benar! Wulan bisa meminjam uang dari Afkar dan akan mengembalikannya perlahan. Dengan begitu, hubungan mereka masih setara.Hanya saja, jika dia bekerja di bawah Afkar, meskipun gajinya tinggi, hubungan mereka yang dulunya a
"Kamu juga punya Pil Rejuvenasi? Kenapa? Apa setelah beli, kamu sayang untuk meminumnya, makanya mau dijual kembali buat dapat untung?" tanya Wira dengan nada mengejek.Kemudian, pria itu menatap Wulan dan berucap lagi dengan sinis, "Wulan, orang yang kamu cari ternyata pedagang kecil begini? Hahaha! Dia payah banget."Usai berkata begitu, Wira berkata pada Afkar sambil tersenyum, "Oke, tunjukkan Pil Rejuvenasi yang kamu punya. Kalau itu asli, aku akan bayar 10 miliar!""Sepuluh miliar?" gumam Afkar dengan ekspresi terkejut.Harga jual yang dipatok Afkar pada Mateo adalah 2 miliar per butir. Namun, sekarang dia ditawari 10 miliar? Ini juga harga yang dibuka Wira sendiri. Jadi, mungkin masih ada ruang untuk tawar-menawar. Dari percakapan Wira di telepon barusan, Afkar juga mendengar bahwa Mateo akan mengadakan lelang.Tanpa pikir panjang, Afkar meminta Wira untuk menunggu sebentar. Setelah itu, dia pergi membuka bagasi mobil dan mengambil sebotol pil. Ada belasan butir pil di dalam boto
Dengan mendapatkan sebotol pil ini dari Afkar, Wira tidak hanya bisa meminumnya sendiri. Dia juga bisa untung banyak dengan menjualnya!"Nggak perlu 160 miliar, cukup 100 miliar. Tapi, aku punya syarat lain yang harus kamu setujui. Kalau nggak, jangan harap kamu bisa mendapatkan sebutir pil pun!" ujar Afkar dengan dingin sambil menggeleng.Wira mengangguk antusias dan menyahut, "Ya, ya! Apa syaratmu? Katakanlah, selama aku bisa mewujudkannya, itu nggak akan jadi masalah."Afkar tertawa kecil, lalu menoleh ke arah Wulan. Dia berucap, "Wulan, bicaralah. Kamu mau syarat apa?""Hah? Aku?" tanya Wulan kaget."Iya, bilang saja. Nggak apa-apa," jawab Afkar dengan senyum di wajahnya.Wulan menatap Afkar dengan binar terima kasih dan emosi rumit di matanya. Dia juga tidak berpura-pura segan.Detik berikutnya, Wulan mengarahkan pandangan ke arah Wira. Dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Pak Wira, kelak aku ingin bekerja dengan tenang di perusahaan. Aku nggak mau dilecehkan siapa pun!"Wi
Fendi ditampar begitu keras hingga kepalanya berdengung dan kacamatanya terlempar. Penampilannya terlihat begitu menyedihkan. Dia berkata dengan nada tidak percaya, "Pak Wira! Ka ... kamu ...."Wira sama sekali tidak peduli pada Fendi. Di matanya, pria itu hanya bawahan yang tidak memiliki nilai."Kamu pikir siapa dirimu? Apa kamu benaran mengira kamu sepenting itu bagiku? Mengaca sana! Pergi! Mulai besok, kamu nggak boleh datang ke perusahaan lagi!" hardik Wira sambil menunjuk ke arah Fendi.Fendi tertegun dengan raut seperti ingin menangis. Detik berikutnya, dia menoleh ke arah Wulan dan membujuknya sambil tersenyum, "Wulan, selama ini aku sudah memperlakukanmu dengan baik, 'kan? Tolong bujuk Pak Wira, jangan ...."Plak! Bunyi tamparan kembali terdengar. Wulan mengayunkan lengannya dan menampar wajah Fendi dengan keras."Fendi, apa kamu nggak tahu betapa menjijikkannya dirimu? Pergi!" seru Wulan.Fendi terbelalak dan memegangi pipinya. Raut wajahnya seketika berubah beringas. Dia men
Mengenai pinjaman sebesar 1,6 miliar itu, Wulan masih bisa melunasinya dengan bekerja keras selama beberapa tahun. Namun, dia benar-benar bingung harus bagaimana menutupi kerugian 60 miliar ini.Afkar hanya tersenyum santai dan berkata, "Pil itu nggak berarti bagiku. Lagian, hal ini nggak penting. Semasa sekolah dulu, kamu selalu membantuku di tengah rumor buruk. Aku nggak pernah melupakan kebaikanmu.""Orang bilang, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan. Ngomong-ngomong, gimana cara bilangnya dalam bahasa Inggris?" Afkar menepuk keningnya dan melanjutkan, "Ah, iya! You bla bla me, I bla bla you, 'kan?"Pfft! Wulan tertawa geli dan berkata, "Cih! Bahasa Inggrismu masih nggak ada perkembangan, ya!"Usai tertawa, perasaan Wulan menjadi lebih baik. Dia sudah tidak terlalu canggung dan malu pada Afkar.Namun, tatapannya pada Afkar mengandung binar rumit dan pahit. Pria itu mengira bahwa hal-hal yang terjadi di sekolah hanyalah rumor. Afkar yang bodoh tidak tahu bahwa Wulan benar-benar men
Sekarang, Afkar akhirnya tahu alasan Wulan meminjam uang padanya. Ternyata ibunya sedang sakit dan harus dioperasi.Afkar pernah merasakan keputusasaan serta hangat dan dinginnya hubungan antarmanusia saat Shafa sakit. Jadi, dia tentu akan menolong Wulan tanpa ragu.Saat ini, hati Wulan sedang diliputi kegelisahan. Meskipun merasa malu, dia tidak menolak tawaran Afkar.Di dalam mobil, Afkar menanyakan tentang penyakit Sumi dan kondisi spesifiknya. Wulan sempat ragu-ragu, tetapi akhirnya menjelaskan semuanya pada Afkar."Tenang saja, aku bisa sembuhkan penyakit Bibi. Kamu nggak usah terlalu khawatir," hibur Afkar setelahnya.Wulan menatap Afkar dengan binar kaget di matanya. Namun, dia sama sekali tidak berharap.Afkar bisa menyembuhkan penyakit? Wulan tidak pernah dengar hal ini sebelumnya. Dia mengira pria itu hanya sedang menghiburnya.Afkar melajukan mobilnya dengan cepat. Di bawah arahan Wulan, mereka segera tiba di sebuah kompleks apartemen kelas menengah.Dahulu, sebenarnya kondi
"Dilaporkan, sebuah pabrik kimia di pinggiran selatan kota kita telah meledak! Berdasarkan sisa-sisa bahan baku yang ditemukan di lokasi, pabrik kimia ini sebenarnya merupakan tempat produksi narkoba milik sebuah kelompok kriminal.""Ledakan ini menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka. Diduga ledakan dipicu oleh kelalaian saat proses produksi narkoba! Tapi ada juga yang menduga, ini adalah aksi balas dendam di antara kelompok-kelompok kejahatan ...."Berbagai laporan berita terdengar di mana-mana. Sementara itu, di sisi lain. Setelah bantu mengobati mertuanya, Afkar pun segera mengajaknya pulang.Sebenarnya, kondisi fisik Harun tidak mengalami cedera serius. Jadi setelah mendapat pengobatan dari Afkar menggunakan energi naga, keadaannya pun sudah jauh membaik.Namun dalam hati Afkar, masih ada sedikit rasa kecewa. Sebab, Guntur bersama Kobra dan yang lainnya sudah lebih dulu meninggalkan markas utama dan menuju Kota Nubes. Kalau saja mereka belum pergi ....Bagaimanapun, keselama
"Fadly sudah nyerah, mau gimana lagi?" Seorang pria berjanggut yang sedang memainkan pisau kecil di tangannya, berkata sambil tersenyum dingin."Sial, kita disuruh jaga di sini, bosan sekali! Memangnya dia bisa kabur?" Pria botak itu tertawa sinis.Orang lain juga mencebik. "Sebenarnya perlu nggak sih kita jaga begini? Ini 'kan markas, siapa yang berani datang selamatin dia?""Iya! Aku sampai berkarat di sini!""Nggak bisa, kita harus cari hiburan!" Pria berjanggut itu berkata sambil menatap Harun dengan niat buruk.Pria botak itu juga menyeringai, menunjukkan ekspresi mengejek dan penuh permainan. "Kalau begitu, kita lanjutkan? Yang penting dia nggak cacat. Lagian, siapa yang tahu kapan dia dipukuli, 'kan?"Mendengar itu, beberapa orang tertawa kecil. Harun yang terikat di sana menunjukkan ekspresi marah dan takut. Mungkin dia ingin memaki mereka, tetapi karena mulutnya disumpal kain, dia hanya bisa mengeluarkan suara yang tidak jelas.Namun, pada saat itu, suara dingin da
Guntur mencibir dengan penuh penghinaan."Ya! Ya! Terima kasih banyak, Pak Guntur. Kalau nanti Organisasi NC benar-benar masuk ke Kota Nubes, keluarga kami tentu sangat berharap bisa bekerja sama dengan kalian," ucap Erlin dengan ramah, mencoba menunjukkan sikap bersahabat.Guntur hanya tertawa dingin dan langsung menutup telepon, malas membuang waktu dengan si nenek tua.Di sisi lain!Melihat panggilan sudah berakhir, raut wajah Erlin berubah. Dia menarik napas panjang, lalu sorot matanya menjadi kelam.Tentu saja dia tahu Guntur memandang rendah dirinya. Hal ini membuat Erlin yang sudah berkuasa seumur hidup merasa terhina dan marah.Sejak kapan dia pernah diperlakukan seperti ini? Namun, yang terpenting adalah nyawanya selamat. Harga diri bisa dikesampingkan."Nek ... gimana? Fadly sudah nyerah belum?" tanya Viola yang berada di sampingnya. Renhad juga menatap dengan penuh harap, menantikan jawaban.Erlin tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja dia nyerah. Pak Guntur sendiri bilang, s
"Pak Fadly, ini aku, Guntur! Aku akan datang bersama anak buahku buat menyambutmu. Tapi, ayahmu nggak mungkin kubawa, takutnya kamu main curang lagi. Tenang saja, di markas besar sini banyak ahli. Mereka pasti bisa menjamin keselamatan Harun.""Nanti setelah pertemuan selesai dan kamu bekerja sama dengan baik, aku janji kamu bisa ketemu lagi sama ayahmu!" Nada suara Guntur terdengar penuh percaya diri dan mendominasi.Fadly menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Oke! Semoga kamu bisa pegang omonganmu.""Itu sudah pasti! Kalau kamu sudah jadi saudara kami, masa aku tega bohongin kamu? Hahaha ...." Guntur tertawa, pikirannya sudah memperhitungkan segalanya dengan cermat.Dengan datang sendiri ke pertemuan yang diselenggarakan oleh Fadly, dia bisa menunjukkan eksistensinya di depan kekuatan besar di Kota Nubes. Bahkan, dia bisa sekaligus menggertak kelompok Farel dan lainnya.Sementara itu, Harun tetap ditinggal di markas besar, jadi Guntur tidak perlu takut Fadly akan berbuat macam-mac
"Pak Fadly, gimana? Hehehe .... Masih belum mau menyerah? Organisasi NC paling menjunjung tinggi kepercayaan, kamu tenang saja.""Kalau kami sudah janji nggak bakal bunuh ayahmu sebelum malam ini, berarti dia tetap akan hidup sampai malam ini. Tapi ya ... kasih dia sedikit hiburan nggak apa-apa, 'kan?""Sebenarnya, kamu nunda-nunda buat apa sih? Hasilnya juga sama saja, 'kan? Kamu harus tunggu sampai akhir banget baru mau kompromi? Biar ayahmu makin menderita?" Suara Kobra di telepon terdengar sinis."Oke! Oke! Aku setuju! Aku setuju bawa semua anggotaku gabung ke Organisasi NC! Jangan sentuh ayahku lagi, paham?" Fadly akhirnya tidak tahan melihat Harun terus disiksa. Dia berteriak keras di telepon.Mendengar itu, Gauri yang ada di samping hanya bisa terus menghapus air matanya, tidak sanggup berkata-kata. Felicia pun tidak lagi menahan Fadly."Hehe, begitu dong dari tadi. Kapan kamu mau adakan pertemuan bawah tanah? Cepat kasih tahu!" Kobra terkekeh-kekeh, suaranya penuh kepuasan.Fa
Saat mobil berhenti untuk istirahat, Orion menghubungi Guntur."Guntur, selama aku nggak ada di tempat, apa ada masalah?" tanya Orion dengan suara berat.Saat ini, Guntur sedang berada di markas Organisasi NC Provinsi Jimbo, menunggu kabar dari Fadly apakah akan menyerah atau tidak. Siapa sangka, dia malah mendapat telepon dari Orion.Ekspresi Guntur sedikit berubah, tetapi dia tetap berkata, "Nggak ada apa-apa. Tenang saja, Pak!""Bagus kalau nggak ada apa-apa. Tapi, rencana ekspansi ke Kota Nubes yang sudah kita susun itu batal. Paham?" jelas Orion."Hah? Kenapa?" Nada suara Guntur berubah berat, penuh dengan rasa heran dan tidak puas."Karena di Kota Nubes ada orang yang nggak bisa kita usik! Pokoknya kamu cukup ikuti instruksi dariku!" jawab Orion dengan dingin. Dalam hati, dia sebenarnya merasa kesal karena Guntur mempertanyakan keputusannya.Guntur mendengus, menggertakkan giginya, dan berkata, "Ya, aku sudah paham. Omong-omong, kapan kamu kembali?"Orion berpikir sejenak. "Palin
Detik berikutnya, si kakek melambaikan tangan sambil berkata pelan, "Naik mobil dulu, kita bicara di dalam."Afkar mengangguk cepat, lalu segera membukakan pintu mobil untuk si kakek, mempersilakannya duduk di kursi penumpang depan.Setelah Afkar duduk di kursi pengemudi, dia tak bisa menahan diri untuk kembali memandang pria tua itu dengan lebih saksama.Penampilannya benar-benar berantakan. Rambut kusut, wajah kotor, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap, bahkan lebih parah dari gelandangan di jalanan.Namun, orang seperti inilah yang memukul mati seorang kultivator tingkat inti emas hanya dengan satu pukulan."Senior, kamu ini siapa? Kenapa kamu menolongku?" tanya Afkar dengan hati-hati, tak mampu lagi menahan rasa penasarannya yang membuncah.Kakek gila itu tampak cukup waras untuk sekarang. Tatapannya saat menatap Afkar mengandung semacam emosi rumit yang sulit dijelaskan.Detik berikutnya, bukannya menjawab, dia malah bertanya balik, "Ayahmu di mana?"Begitu pertanyaan itu kelu
Afkar awalnya sudah bersiap untuk bertarung habis-habisan melawan Safwan. Namun, orang itu malah terpental begitu saja?Tampak sesosok pria tua berjubah compang-camping dan lusuh. Pria tua itu berdiri tepat di jalur di mana Safwan melesat tadi.Meskipun penampilannya acak-acakan, aura yang terpancar dari tubuhnya justru dalam hingga tak terprediksi, seperti jurang tanpa dasar.Afkar hanya bisa melongo, menatapnya dengan penuh kebingungan. 'Buset, bukannya ini kakek gila yang nabrak aku sampai jatuh ke kawah di Lembah Obat?'Sekarang, pria tua itu sama sekali tidak tampak gila. Justru ada aura agung dan tak terjangkau yang mengelilinginya, seperti dewa yang membuat orang ingin menunduk hormat.Safwan diserang olehnya hanya dengan satu telapak tangan, lalu tubuhnya terpental keras ke tanah. Badannya sempat mengejang beberapa kali, lalu langsung tewas di tempat!Darah dan cairan tubuh lainnya menyebar membentuk genangan yang menjijikkan. Pemandangan yang sungguh mengenaskan. Orang yang ti
"Rasanya pasti sangat memuaskan membunuh seorang genius, 'kan? Bocah, kenapa kamu nggak menyembunyikan kekuatanmu sampai akhir? Sepertinya, mentalmu masih belum cukup matang!""Ingat baik-baik untuk kehidupan selanjutnya, sebelum kamu benar-benar tumbuh kuat, belajarlah untuk menunduk dan menyembunyikan taringmu!"Giiik! Giiik .... Di saat itu, beberapa mobil tiba-tiba berhenti tidak jauh dari sana. Suara rem mereka memecah keheningan.Jelas, mereka juga menyadari ada sesuatu yang terjadi di jalan ini dan memutuskan untuk menepi dan mengamati.Dari salah satu mobil, terlihat sosok Raditya, Santo Sekte Bulan Hitam, bersama dengan Kelam dan Orion."Santo, bukankah itu Afkar?" Kelam menyipitkan mata sambil bertanya dengan ekspresi terkejut.Raditya mengangguk pelan. "Yang berjubah biru itu sepertinya adalah perwakilan dari Keluarga Pakusa dari dunia misterius. Dilihat dari situasinya, sepertinya dia sedang mengincar Afkar.""Terus, kita harus gimana?" tanya Kelam.Orion yang duduk di kurs