"Papa, Shafa sakit sekali! Rasanya sudah mau mati .... Shafa sudah nggak bisa sembuh lagi ya? Shafa nggak mau sesakit ini lagi, nggak mau Papa habisin uang demi Shafa lagi.""Papa bawa Shafa pulang saja ya? Shafa ingin pulang .... Shafa rindu rumah ...."Di dalam ruangan ICU, terbaring seorang anak kecil. Wajah yang awalnya imut itu kini tampak pucat pasi. Hidung dan mulutnya terus meneteskan darah, dengan bercak-bercak yang memenuhi seluruh tubuhnya!Dengan sisa kekuatannya, tangan kecil anak itu meraih tangan Afkar Rajendra. Sepasang matanya yang bundar sarat akan kerinduan yang mendalam terhadap ayahnya.Afkar menatap anak itu dengan mata yang memerah. Hatinya terasa begitu sakit bagaikan ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit itu bahkan puluhan ribu kali lipat melebih rasa sakit pada bekas luka di bagian ginjal kirinya."Shafa anak baik, Papa pasti akan cari cara untuk nyembuhin kamu. Setelah kamu sembuh nanti, Papa akan bawa Shafa pulang dan masakkin ayam goreng untuk Shafa ya?" ucap Af
"Apa? Orangnya sudah siuman? Dia baik-baik saja?" Di rumah sakit kota, sopir Felicia Safira berseru dengan takjub."Pasien nggak terluka parah. Dilihat dari kondisinya sekarang, mungkin cuma luka luar," jawab dokter berjubah putih."Mana mungkin? Setelah tertabrak, jelas-jelas lukanya kelihatan parah sekali. Darahnya juga banyak sekali," balas sopir itu dengan ekspresi tidak percaya."Kamu sendiri juga sudah bilang cuma kelihatannya, 'kan?" balas dokter.Tebersit kecurigaan di mata Felicia yang indah. Setelah memastikan bahwa dokter itu tidak sedang bercanda, dia baru berkata dengan tenang, "Kalau begitu coba kulihat kondisinya."Saat membuka pintu ruang pasien, Felicia melihat seorang pria yang duduk termenung di atas ranjang. Bahkan Afkar sendiri juga tidak percaya bahwa dia tidak meninggal. Selain itu, sepertinya kondisi tubuhnya terasa agak aneh!Dalam benaknya, tiba-tiba muncul serangkaian informasi yang berantakan. Mantra Roh Naga? Kitab Kaisar Naga? Jurus Mata Naga? Apa sebenarn
Kendra membelalakkan matanya dengan kaget. Perawat di sampingnya juga memelotot dengan tak percaya. Mana mungkin? Kenapa bisa tiba-tiba hidup kembali?"Papa ... Apa itu kamu? Jangan pergi, Papa!" Tiba-tiba Shafa membuka matanya perlahan-lahan. Sebelumnya, Shafa merasa gelisah saat melihat Afkar pergi untuk mengumpulkan uang. Dia hanya ingin ditemani ayahnya untuk terakhir kalinya."Shafa, kamu benar-benar sudah sadar! Papa di sini. Papa selalu temani Shafa, nggak akan ke mana-mana lagi!" Air mata berderai membasahi wajah Afkar. Aliran panas itu kembali mengalir deras ke tubuh Shafa.Akhirnya Shafa sadar! Ternyata aliran panas ini benar-benar berefek! Shafa benar-benar hidup kembali.Afkar begitu bersemangat hingga sekujur tubuhnya gemetaran. Kegembiraan yang mendadak ini membuat pria sejati sepertinya tak kuasa menahan tangisan.Dia menggenggam tangan Shafa dengan erat, seakan-akan seluruh dunia telah berada dalam genggamannya. Dia takut jika dia melepaskannya, semuanya akan berubah me
"Aku benar-benar harus berterima kasih padamu!" ujar Afkar dengan serius setelah berada di luar kamar pasien."Nggak masalah, sekarang kamu sudah milikku," balas Felicia dengan datar."Hm ...." Ekspresi Afkar terlihat agak aneh. Kecantikan Felicia bisa dibilang sangat luar biasa. Mendengar wanita secantik dan sekaya Felicia mengklaim dirinya, Afkar merasa sangat ... aneh.Detik berikutnya, Felicia sepertinya menyadari bahwa ucapannya ini sangat ambigu. Oleh karena itu, dia langsung mengalihkan pembicaraan, "Oh ya, kamu bisa ilmu kedokteran? Putrimu menderita leukimia?"Sebelumnya, Felicia mendengar dengan jelas dari luar ruangan bahwa putri Afkar sepertinya sudah kehilangan tanda-tanda kehidupan. Namun, tiba-tiba saja dia bisa diselamatkan dan sekarang kondisinya terlihat sangat baik! Ini benar-benar sesuatu yang luar biasaFelicia tiba-tiba mendapat ide."Sedikit," jawab Afkar dengan ragu-ragu sebelum mengangguk."Kalau begitu, urus dulu putrimu, lalu ikut aku. Aku butuh bantuanmu unt
"Omong kosong! Nyawamu yang dalam bahaya!" bentak Sutopo yang marah besar.Dokter yang berada di sampingnya juga berkata sambil tersenyum dingin, "Rumah sakit kami merawat Tuan Lowel dengan baik. Penyakit yang dideritanya adalah leukemia mielositik kronis. Saat ini masih dalam fase kronis, mana mungkin tiba-tiba bisa dalam bahaya?""Nak, kamu datang untuk cari masalah ya?" lanjut dokter itu."Aku nggak bilang bahayanya karena penyakit leukimia. Anak ini keracunan!" jelas Afkar. Pada saat ini, Afkar menggunakan Jurus Mata Naga sehingga bisa melihat tubuh Lowel dengan jelas. Terlihat racun berwarna kehitaman yang menyebar di seluruh tubuhnya.Tidak lama lagi, racun itu akan menyerang ke hatinya!"Nak, apa maksudmu? Memangnya rumah sakit kami ini akan meracuni pasien?" bentak dokter itu dengan semakin emosi sambil menunjuk Afkar."Bukan itu maksudku! Ada beberapa jenis makanan yang nggak boleh dikonsumsi secara bersamaan. Makanan itu sendiri memang nggak beracun, tapi kalau digabungkan de
Tit! Tit! Tit!Sepuluh menit kemudian, suara mesin yang terpasang di tubuh Lowel mulai stabil. Darah yang dikeluarkan dari jempol kaki kanan Lowel terlihat berwarna kebiruan. Setelah meminum darah ayam, kondisi Lowel juga mendadak mulai normal."Syukurlah!" Sutopo menangis saking terharunya.Dokter menyeka keringat dingin di tubuhnya dan menghela napas panjang. Tekanan yang dialaminya tadi benar-benar luar biasa! Jika sampai terjadi sesuatu pada putra Sutopo, rumah sakit mereka akan langsung gulung tikar dan nasibnya juga akan celaka!"Dokter, sepertinya Lowel memang keracunan?" tanya Felicia.Sutopo memelototi dokter itu dengan marah, "Kantin rumah sakit kalian meracuni pasien?""Nggak! Mana mungkin? Mana mungkin kami meracuni pasien?"Wajah dokter tampak pucat pasi. Sedetik kemudian, sudut matanya melirik ke sebuah termos yang terletak di samping meja. Di dalamnya ternyata adalah sup ular yang tersisa!"Dari mana sup ular ini?" tanya dokter tiba-tiba dengan kaget."Ini masakan istrik
Dalam waktu kurang dari setengah jam, Afkar telah tiba di pasar pagi bagian barat kota. Di pinggir jalan dekat pintu masuk pasar, ada sebuah warung yang menjual roti goreng. Afkar sengaja datang ke tempat ini karena dia tahu bahwa warung ini menggunakan minyak berkualitas bagus."Bos, beri aku satu ... eh, dua. Nggak, lima kilogram roti goreng, deh .... Sama dua mangkuk kembang tahu, dibawa pulang!" ujar Afkar kepada bos warung.Bos warung itu menatap Afkar dengan aneh. "Nak, kamu bukan mau mengacau, 'kan?"Afkar menggeleng dengan tak berdaya. "Kalau nggak, aku bayar duluan!"Energi naga yang terus-menerus mengalir dari ginjal kirinya memperkuat tubuh Afkar dan membuatnya perutnya terasa seperti lubang tanpa dasar yang membutuhkan banyak nutrisi.Dia bahkan lebih lapar daripada Shafa sekarang! Afkar bahkan merasa dirinya seolah-olah bisa menghabiskan seekor sapi sendirian!Mendengar bahwa Afkar ingin membayar lebih dulu, penjual itu pun akhirnya merasa tenang. Dia menunjuk ke tumpukan
Farel segera berlutut dan menyelipkan beberapa pil darurat untuk penyakit jantung ke mulut kakeknya. Namun, kondisi kakeknya tidak membaik sedikit pun. Malah, ekspresi wajahnya semakin menunjukkan rasa sakit yang mendalam. Dalam sekejap, wajahnya menjadi pucat pasi!"Kakek! Kakek!" teriak Farel dengan panik.Jika terjadi sesuatu pada kakeknya, bagaimana dia bisa menjelaskannya saat pulang nanti? Keluarga Subroto tidak akan mampu menanggung kabar buruk itu. Seisi Kota Nubes juga mungkin akan gempar!Sementara itu, Barra buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menelepon 118. Di sekitar mereka, para pejalan kaki dan pengunjung warung mulai berbisik-bisik membicarakan situasi tersebut."Ada apa ini?""Sepertinya ada yang kena serangan jantung!""Jangan-jangan, roti goreng di warung ini bermasalah?"Dalam kepanikannya, Farel mencoba memijat titik di antara hidung dan bibir kakeknya. Namun saat tangannya menyentuh filtrum kakeknya, ekspresinya berubah drastis. Ternyata, pernapasan kakeknya suda
"Aku sudah bilang, Bos. Aku sudah bersikap sangat rendah diri. Aku juga bilang aku orangmu! Tapi, dia sama sekali nggak peduli! Bos, aku sudah cacat .... Hidupku sudah hancur ...," keluh pria rambut kepang itu dengan penuh amarah.Farel menarik napas dalam-dalam dan melambaikan tangannya untuk menyuruh orang mengangkat pria itu pergi. Hanya tersisa dia dan Barra.Barra bertanya dengan ekspresi serius, "Pak, apa yang harus kita lakukan? Afkar sama sekali nggak menghargaimu.""Padahal kamu sudah sering membantunya dan memberinya banyak kesempatan. Dia malah menyerang orang kita. Dia terlalu lancang. Apa kita harus mencarinya untuk bicara?"Farel memelototi Barra. "Nggak perlu. Biarkan saja untuk sekarang. Paling-paling, mulai sekarang hubungan di antara kami berakhir."Setelah mengatakan itu, ekspresi Farel terlihat tidak menentu. Dia juga merasa tidak puas dengan Afkar, merasa Afkar sama sekali tidak menjaga martabatnya!....Sementara itu, Afkar tidak bisa menahan tingkah manja Shafa.
Begitu tubuh pria berkepang jatuh ke tanah, seluruh tulang di keempat anggota tubuhnya patah dan terpelintir! Bahkan, ujung tulang yang patah mencuat keluar dengan mengerikan dan membuat pemandangan itu begitu mencengangkan.Kini, dia benar-benar sudah lumpuh total!"Aaargh…! Afkar, kamu benar-benar kejam! Aku ini bawahan Pak Farel, tapi kamu sama sekali nggak peduli sama hubunganmu dengannya?" Pria itu berteriak histeris sambil terbaring lemas. Suaranya penuh rasa sakit dan amarah."Itu sudah kuberi belas kasihan karena menghargai Farel. Kalau nggak, kamu kira nyawamu masih ada?" Afkar menjawab dengan dingin, lalu kembali ke mobil dan langsung menghubungi Reno."Halo, Pak Afkar?" sapa suara Reno yang terdengar aneh di ujung telepon."Dalam tiga hari, kau harus membayar 200 miliar lagi!" ujar Afkar dengan nada tajam.Suara Reno langsung terhenti sesaat sebelum dia menggeram dengan marah, "Kenapa aku harus memberimu 200 miliar lagi? Afkar, kamu ini gila, ya? Kamu pikir bisa memerasku se
Ucapannya ini telah membangkitkan niat membunuh di dalam hati Afkar! Di detik berikutnya, Afkar berbalik menuju mobil, membuka pintu dengan tenang, dan tersenyum sambil mengelus kepala Shafa. "Sayang, Papa keren, 'kan?""Keren sekali! Papa hebat!" Namun tak lama setelah itu, Shafa menguap kecil. Matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum akhirnya tertutup, dan dia pun tertidur dengan damai.Afkar memastikan Shafa nyaman di kursinya, lalu menutup pintu mobil dengan hati-hati. Apa yang akan terjadi selanjutnya bukanlah pemandangan yang pantas dilihat oleh anak kecil.Dalam sekejap, Afkar mengentakkan kakinya di tanah. Jejak itu membentuk lekukan sedalam beberapa sentimeter, sementara tubuhnya memelesat seperti peluru ke arah pria berambut kepang."Mau mati, ya?! Aku ini ahli bela diri tingkat eksplisit! Kamu pikir dengan mengalahkan anak buahku, kamu bisa sesumbar di hadapanku?" Pria itu menyeringai licik sembari mengumpulkan kekuatan di tinjunya.Bam!Dalam sepersekian detik, ti
"Nggak apa-apa, Sayang. Paman-paman ini lagi syuting film laga!" Afkar bergegas menenangkan Shafa yang menangis ketakutan.Mendengar ucapannya, sekelompok preman langsung tertawa terbahak-bahak. Pria berambut kepang menyeringai sinis dan memaki, "Persetan sama syuting!"Selanjutnya, dia menunjuk Shafa dengan tongkat bisbol dan wajahnya penuh kekejaman. "Bocah, kenapa nangis? Setelah kuhajar ayahmu, aku akan menjualmu ke desa terpencil!"Ucapan itu membuat wajah Shafa pucat seketika. Gadis kecil itu langsung menggenggam Afkar lebih erat dan berusaha bersembunyi di pelukannya. "Papa ... Papa, mereka orang jahat!"Ucapan pria itu membuat sorot mata Afkar memancarkan hawa dingin yang mematikan. Namun, dia tetap menenangkan putrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Paman ini memang jago berperan jadi orang jahat. Tapi tenang saja, Papa ini pemeran utamanya. Papa akan mengalahkan mereka semua!"Shafa memandang ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca, lalu bertanya dengan polos, "Benarkah?"Bam!Pada s
Afkar tersenyum kecil. "Tentu saja kita harus menemui nenekmu!"Meskipun Felicia mungkin tidak menyadari makna dari perkataan Viola tadi, Afkar sudah menyadari ada sesuatu yang tidak beres.Hari itu baru pukul tiga sore dan Felicia masih harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mengantarnya ke perusahaan, Afkar langsung menuju ke gerbang TK Asri untuk menjemput Shafa lebih awal.Begitu sekolah selesai, Afkar melihat segerombolan anak kecil berlarian keluar dengan penuh semangat. Dengan cepat, dia melihat sosok Shafa di antara kerumunan kecil itu."Papa!" Gadis kecil itu berlari ke arahnya dan menggenggam tangannya sambil tersenyum riang. Shafa tampak begitu bersemangat hari ini.Namun, Afkar langsung mengernyitkan dahi ketika melihat wajah Shafa. Dengan suara tegas tapi lembut, dia bertanya, "Sayang, kenapa wajahmu? Siapa yang mukul kamu?"Di pipi mungil Shafa, terlihat beberapa goresan, dan salah satu matanya tampak membiru. Luka itu membuat hati Afkar terasa
"Ayo, Felicia, kita masuk dan pilih gaun pengantin!" Afkar mencibir sedikit sambil mengajak Felicia.Felicia melirik Viola yang masih terduduk di lantai, tetapi dia tak lagi mempedulikannya. Dia langsung mengikuti Afkar menuju butik gaun pengantin. Felicia sama sekali tidak hormat lagi terhadap keluarga pamannya. Melihat Viola diputuskan begitu saja, dia juga tidak merasa simpati sedikit pun.Namun, di dalam hatinya, Felicia agak penasaran. Kenapa Yuvan bisa bersikap begitu hormat pada Afkar? Apa sebenarnya yang terjadi?"Afkar, tunggu saja! Aku pasti akan membuatmu membayar semuanya!" Viola menggertakkan giginya, wajahnya merah padam karena malu. Tatapan para pengunjung yang menatapnya membuatnya ingin segera menghilang dari sana. Kebencian terhadap Afkar semakin mendidih di hatinya."Baiklah! Tapi jangan lupa, kamu masih berutang memanggilku ayah!" Afkar tertawa dingin dan mengejeknya.Mendengar hal itu, wajah Viola memerah sampai ke telinganya. Dia sudah tidak tahan lagi dipermaluka
Namun begitu Yuvan datang, dia langsung bersikap sangat sopan kepada Afkar dan Felicia!Ketika Yuvan mengatakan bahwa dirinya dan Felicia adalah sekeluarga, Viola malah mengira Yuvan sedang berusaha menjaga harga diri Viola agar hubungan kerabat mereka tidak terlihat terlalu buruk. Karena itu, dia buru-buru menjauhkan diri dari Felicia dan Afkar."Kamu dengar itu? Keluarganya dan keluarga kami sudah saling bermusuhan!" Afkar tersenyum tipis sambil menatap Yuvan.Wajah Yuvan langsung berkedut beberapa kali. Sialan! Apa maksudnya ini? Viola bilang dia bermusuhan sama Afkar? Kalau begitu, jika dirinya terus bersama Viola, bukankah itu berarti dirinya juga ikut bermusuhan dengan Afkar? Itu benar-benar cari mati!Hubungannya dengan Viola dimulai ketika Viola mengajukan ide pertunangan. Viola berpikir bahwa kekayaan Lukman, ayah Yuvan, yang mencapai puluhan triliun, ditambah Yuvan sebagai anak tunggal, akan membuatnya mendapatkan setengah dari kekayaan itu setelah menikah. Bahkan jika Keluar
"Aku punya uang, tapi apa salahnya kalau istriku sendiri membelikan pakaian untukku?" jawab Afkar dengan kesal.Viola mendengus sinis. "Kamu punya uang? Kalau kamu punya uang, itu juga dari Felicia! Kamu nggak malu, ya? Hidup dari uang perempuan, tapi masih bisa membanggakan diri! Aku benar-benar nggak ngerti, kenapa perbedaan antara laki-laki bisa sejauh ini?"Setelah itu, dia melirik Felicia dengan seringai penuh kemenangan. "Kak Felicia, kamu mungkin belum tahu, tapi aku juga akan bertunangan! Yuvan melamarku kemarin.""Oh, siapa Yuvan?" kata Felicia dingin."Dia adalah putra pemilik Grup Giok Dikara, perusahaan batu giok terbesar di Provinsi Jimbo. Kekayaan keluarganya puluhan triliun. Biarpun perusahaan farmasi kecilmu itu sukses besar, butuh berapa tahun untuk mengejar Keluarga Gupita?" ucap Viola.Wajah Felicia tetap tenang. "Kalau butuh waktu lama, biarlah. Itu hasil usaha kami sendiri. Keluarga pacarmu bukan berarti kekayaan itu milikmu. Kenapa bangga sekali?""Haha! Ini pasti
Menikah ... dengan pria ini? Pada saat itu, hati Felicia terasa kacau. Namun, ketika dia menoleh ke arah Afkar yang berdiri di sampingnya, entah kenapa hatinya tiba-tiba menjadi tenang. Bayangan pangeran berkuda yang dulu dia impikan perlahan mulai menyatu dengan sosok pria di hadapannya ini."Nggak apa-apa! Ayo, kita masuk untuk milih gaun pengantin!" Dengan senyuman lembut di wajahnya, mata Felicia tampak sedikit merah dengan kilau yang hampir tak terlihat.Pada momen itu, hati Afkar terasa seperti tertusuk sesuatu. Dia terpana. Dalam sekejap, Felicia terlihat begitu memesona hingga membuatnya tenggelam dalam keindahan tersebut.Namun, momen hangat itu mendadak pecah oleh suara nyaring yang tak diundang. "Wah, kak Felicia? Bawa cowok ini untuk milih gaun pengantin, ya?"Mendengar suara itu, Felicia dan Afkar langsung mengernyitkan dahi. Ekspresi keduanya memancarkan kejengkelan."Ya. Kami akan menikah. Bukankah aku baru saja mendapatkan perusahaan farmasi? Ayah dan ibuku bilang ini s