“Dijemput polisi?” Bening terkejut mendengar kabar tersebut dari ibu mertuanya. Dia bahkan tidak tahu apa pun tentang masalah ini, tapi justru ibu mertuanya tampaknya mengetahui lebih banyak. “Iya. Ramon sudah mengurus semuanya. Jika sudah Ramon yang menangani, kamu tidak perlu khawatir.” Bening tidak tahu harus berkata apa setelah itu. Dia bahkan tidak pernah mengkhawatirkan apa pun tentang masalahnya dengan Dahlia. Yang diinginkannya adalah menunggu agar dia bisa bermain-main dulu dengan saudaranya tersebut. Tapi tiba-tiba saja, Ramon sudah mengambil keputusan. Dia juga yakin kalau suaminya ikut andil dalam keputusan tersebut. Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa dilakukan selain membiarkan hukum tetap berjalan sesuai apa yang dilakukan oleh Dahlia kepadanya. Kericuhan di dalam keluarga Airlangga pastilah tengah terjadi sekarang. Jaya tidak akan membiarkan Dahlia mendekam di penjara. Apa pun akan dilakukan untuk meloloskan Dahlia dari tempat itu. “Kalau boleh tahu, kapan Mama
“Dahlia ingin bertemu dengan Bening.” Informasi itu disampaikan oleh Ramon saat bertemu dengan Bening dan Arga di apartemen. “Mereka sudah membawa pengacara dan kami sudah berbicara untuk teknis-teknisnya agar Dahlia bisa mendapatkan keringanan. Aku hanya bilang kepada Dahlia dan keluarganya kalau kita nggak bisa memberikannya. Sebagai pengacara kalian, kita bisa menerima permintaan tersebut, tapi sebagai keluarga, hukum tetap berjalan sesuai dengan porsi kejahatan yang sudah dilakukan.” “Bagaimana keadaannya?” tanya Bening setelah itu. “Dahlia tentu saja kacau luar biasa. Sedangkan ibu dan ayahnya, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengeluarkan putri mereka dari penjara. Mereka bahkan membawa dua lawyer untuk membela.” Ada senyum sinis yang Bening keluarkan. “Pembelaan mereka tidak akan pernah ada artinya. Buktinya terlalu kuat untuk membuat Dahlia meringkuk di penjara.” “Itulah kenapa sulit untuk mengeluarkan dia dari penjara kecuali kamu yang bersedia meringankan.”
“Keputusanku sudah bulat, mulai sekarang, aku nggak akan terlibat dalam urusan kalian. Bagaimana Mas Ramon dan Mas Arga akan mengambil tindakan, maka aku tidak akan ikut campur.” Bening dengan tegas menyatakan keputusannya di depan semua orang. "Aku sudah lelah,” ucapnya lagi. “Sebaik apa pun aku, tidak akan ada gunanya di mata Ayah. Aku ucapkan terima kasih karena sudah membesarkanku meskipun tidak ada rasa sayang yang diberikan. Tapi setidaknya, aku bisa makan dan sekolah meskipun dua puluh lima tahunku hancur.” Dahlia sejak tadi tidak mengatakan apa pun dan memilih untuk diam. Namun tatapan tidak bersahabat yang dilayangkan kepada Bening adalah jenis tatapan permusuhan. Sayangnya, Bening sama sekali tidak peduli dengan apa pun lagi terkait keluarganya. “Apa begitu besar kekecewaanmu kepada Ayah, Bening?” Jaya kali ini tampak mendung dan terlihat kuyu. Sepertinya rasa lelah merongrongnya tiada henti. “Semua ini adalah salah Ayah. Dahlia tidak tahu apa-apa. Kalau kamu ingin membala
“Selamat pagi!” Arga memeluk Bening dari belakang, mengejutkan Bening yang tengah mengaduk masakannya. Setelah mendapatkan maaf dari sang istri, Arga semakin menunjukkan sifat kekanakannya. Suka sekali menempel pada Bening tak peduli di mana pun. Sampai-sampai membuat Bening terkadang harus mengingatkan Arga berkali-kali jika mereka tidak berada di dalam rumah. “Masak apa?” tanyanya. Kini dagu Arga menumpu pada pundak kiri Bening sambil melongokkan kepalanya ke arah kompor. “Masak rawon. Aku habis ini mau antar ke rumah Mama juga. Mas mau dibawain buat makan siang?” “Bagaimana kalau siang nanti kamu aja yang datang ke kantor dan bawain makan siangnya?” Bening menggeleng untuk menolak. “Aku nggak bisa. Aku nanti akan pergi ke dua tempat untuk menghias tempat acara tunangan sama ulang tahun. Aku bawain aja ya?” Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Arga. Tampak sekali dia tak suka dengan jawaban sang istri. Tapi bagaimanapun dia harus tetap membiarkan sang istri pergi kerja karena
“Mau nggak pergi jalan-jalan?” tanya Arga kepada Bening. Mereka tengah berada di salah satu kafe dan sedang menikmati waktu berdua. Berkencan seperti anak muda. Bening menyandarkan tubuhnya pada pundak Arga, sedangkan Arga dengan lembut mengelus rambut sang istri. Suasana di kafe penuh dengan obrolan para pengunjung yang sama sekali tidak mengganggu Bening dan Arga bermesraan. “Ke mana?” Bening ingin tahu. “Surabaya.” Bening yang tadinya tengah bersandar manja di pundak Arga sambil mendapatkan usapan lembut di rambutnya itu sedikit menjauhkan tubuhnya dari Arga. Menatap sang suami dengan serius. “Surabaya?” ulangnya. “Iya. Aku dapat tugas dari Papa sama Bang Kala buat meninjau perusahaan di sana. Aku ‘kan dulu yang mengurus perusahaan di Surabaya. Jadi sesekali harus dipantau.” “Kapan?” Ketertarikan itu terlihat di mata Bening. Sudah waktunya dia menikmati hidupnya dengan bepergian bersama dengan sang suami. Keliling Pulau Jawa misalnya. Sebelum mereka memiliki anak, maka ada
Pertama kalinya Bening menginjakkan kakinya di Bandara Juanda, perasaan Bening entah kenapa merasa nyaman dan dia begitu bersemangat. Kepalanya sejak tadi menoleh ke sana-kemari untuk melihat situasi di sekelilingnya. Terlebih lagi ketika dia berada di perjalanan pulang ke apartemen milik Arga, tak sekalipun dia mengalihkan tatapannya pada jalanan kota Surabaya. Sore itu, jalanan begitu padat. Tak ubahnya dengan jalanan kota Jakarta. Tapi, suasana baru itu membuat Bening bahagia. “Mas dulu sering jalan-jalan ke mana kalau di Surabaya? Punya teman di sini ‘kan pasti?” Kemacetan yang begitu padat itu membuat Bening mengalihkan perhatiannya dari kendaraan-kendaraan yang berjejal di jalanan, ke arah sang suami. “Ada beberapa teman juga. Sesama pengusaha.” “Ke diskotik?” “Pernah. Tapi nggak mabuk.” Arga bukan orang suci. Meskipun kalau di Jakarta dia jarang atau bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke dunia hiburan malam, tapi saat di Surabaya, dia pernah sesekali mengunjungi temp
“Mama complain, Yang. Katanya kok kita betah banget di Surabaya.” Tinggal selama satu minggu di Surabaya, membuat Bening ingin memperpanjang waktunya untuk tinggal di sana lebih lama lagi. Tadinya sang ibu mertua memang berpesan agar setelah menyelesaikan pekerjaan di Surabaya, mereka bisa segera pulang. Tapi hanya jawaban ‘iya’ yang diberikan, kenyataannya tak sejalan. Arga memilih untuk menuruti permintaan sang istri untuk tetap tinggal di sana untuk sementara waktu. Seperti janji yang sudah pernah dikatakan kepada Bening saat mereka pergi honeymoon kala itu, Arga akan menuruti keinginan Bening untuk pergi ke mana pun. Dan dia tengah membuktikannya sekarang. “Mas sebenarnya pekerjaannya mendesak nggak sih yang di Jakarta?” Meskipun keinginannya untuk tetap tinggal di Surabaya begitu besar, tapi dia juga tidak ingin egois. Kalau memang pekerjaan Arga mendesak di Jakarta, dia bersedia untuk kembali secepatnya. “Ya enggak, Yang. Aku kerja di sana atau di sini, sama aja. Papa jug
“Kalau kamu belum siap untuk bertemu dengan Pak Jaya, kita bisa datang lain kali.” Kalimat itu membuat Bening menoleh pada Arga yang tengah menatapnya tampak khawatir dengan sang istri. Mereka sudah berada di rumah sakit tempat di mana Jaya dirawat. Kamar rawat inapnya juga sudah diketahui, tapi Bening tampak ragu untuk menemui sang ayah. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia tak mengatakannya, Arga paham betul dengan isi pikiran Bening. Bahkan ketika semalam dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bening tampak murung dan tidak banyak bicara. Seolah kepulangannya ke Jakarta ini sangat berat untuk dilakukan tapi dia harus. “Lebih cepat bertemu lebih baik, Mas.” Akhirnya itulah yang dikatakan oleh Bening setelah itu. Langkah yang tadinya berat itu kini dipaksa untuk bisa cepat melangkah. Sampai di depan pintu kamar VIP di mana Jaya dirawat, Bening mengetuk pintunya. Tidak terdengar ada orang yang mempersilakan masuk, jadi dia kembali mengetuk. Dan Ambar membuka pintu ruang rawat