Ada ditinggal. Nggak ada dicari. Dasar Kala. Review please, Mbak Yu sekalian. Terima kasih #Love
“Kasih tahu gue dia ada di mana, Ram. Ada hal yang perlu gue jelaskan ke dia.” Kala mendesak. Karena bagi Kala, tidak ada yang berhak atas Binar kecuali dirinya, karena dia adalah suaminya. Maka dia berpikir tidak ada yang boleh menghalangi dirinya bertemu dengan Binar, bahkan Ramon sekalipun. “Gue nggak bisa kasih tahu apa pun tentang dia. Akan ada saatnya dia muncul nantinya. Entah itu satu bulan, dua bulan, atau bahkan setelah dia melahirkan nanti. Kalau memang lo mau tunggu, lo boleh tunggu.” Ramon membuka mulutnya untuk memberikan jawaban yang tegas. “Lo memang suaminya, tapi lo nggak berhak datang dan pergi sesuka hati lo. Bukannya lo yang pergi lebih dulu meninggalkan dia? Bukan sebaliknya. Berdoa saja, Binar mau membukakan maaf dan memberikan kesempatan kedua buat lo.” Setiap kata yang Ramon ucapkan seolah membentangkan jarak antara Kala dan juga Binar. Menjauhkan hubungan suami istri yang sudah bermasalah sejak awal. Malam semakin kelam, aura permusuhan yang dikeluarkan ol
Selagi ada kesempatan, Widi akan mengambil kesempatan tersebut sebaik-baiknya dan tidak akan menyerah meskipun Kala pernah mengatakan jika hubungan mereka hanya bisa untuk sebuah pertemanan. Namun Widi masih merasakan perasaan Kala kepadanya adalah sebuah perasaan cinta yang berusaha disembunyikan. Berbekal dari keyakinan itu, dia tentu saja ingin mendesak dan memengaruhi lelaki itu dengan semua kata-katanya. “Jangan bahas ini lagi, Di.” Kala akhirnya bersuara setelah mendengar pertanyaan Widi yang membuatnya semakin pusing. “Aku akan kembali dan beristirahat.” Kala meninggalkan Widi yang masih terdiam di tempatnya. Namun tak lama, perempuan itu menyusul. Tidak ada obrolan apa pun di antara keduanya sampai Kala keluar dari lift dan pamit seadanya kepada Widi. Kala melemparkan tubuhnya di sofa dengan keadaan unit itu gelap gulita. “Sebenarnya apa yang gue inginkan?” Kala bergumam pada keheningan yang menyerang. “Widi ada di sini. Gue menganggap selama ini gue masih mencintai dia.
“Ma, kami nggak melakukan sampai sejauh itu.” Kala menjawab pertanyaan bernada tuduhan tersebut dengan keyakinan tinggi. “Kenapa Mama menganggap aku seburuk itu?” “Karena Mama tahu siapa perempuan yang kamu bela mati-matian itu. Dia bahkan tidur dengan lelaki lain yang bukan suaminya.” Image buruk yang Widi miliki akan terus melekat erat di dalam dirinya. Mau menyangkal seperti apa pun dia sekarang, bagi orang-orang di sekitar Kala, dia tetaplah perempuan hina. Dia tak ubahnya seorang perempuan pelacur di mata mereka. Kebencian orang tua Kala terhadap mantan menantunya itu begitu besar dan tidak akan bisa ditebus dengan apa pun. “Jangan mengelak lagi, Kala. Bilang sama kami di mana istrimu sekarang!” Ayah Kala lagi-lagi tampak tidak sabaran. “Aku … aku nggak tahu, Pa.” Jawaban itu membuat darah orang tua Kala mendidik lagi. “Dia menghilang.” Tak sabar karena ucapan Kala yang baginya sangat bajingan, sang ayah berdiri lalu menarik baju yang dikenakan putranya. Satu pukulan melayan
Ramon sangat mengerti kekecewaan yang ibu Kala rasakan. Jangankan orang tua Kala, dia saja merasakan hal yang sama. Kala sungguh kelewatan. Kalaupun suatu hari nanti Binar berubah pikiran dan ingin menceraikan Kala, maka dengan senang hati dia akan membantu Binar untuk putus hubungan dengan sepupunya tersebut. Setelah orang tua Kala pulang dari apartemennya, Ramon segera menceritakan semuanya kepada Binar malam itu juga. Dia tidak ingin menundanya. Semakin masalah ini cepat berlalu, maka akan semakin baik. Di tempat yang berbeda, Binar baru saja mendapatkan informasi dari Ramon tentang orang tua Kala yang sudah mengetahui seluk beluk rumah tangganya yang tidak baik-baik saja. Maka dia berpikir sudah saatnya dirinya kembali dan menjelaskan kepada mertuanya. Memang, dia baru sebentar sembunyi untuk menghindari Kala. Tapi kepergiannya tidak akan membuat masalahnya selesai. “Bik, sepertinya kita akan segera pulang.” Begitu Binar berbicara kepada Bibi keesokan harinya. “Saya nggak bis
Setelah Binar selesai bicara, tidak ada dari Kala atau kedua orang tuanya yang bersuara. Mereka hanya diam membisu seolah kehilangan semua kata-katanya. Binar pun tidak mendesak mereka untuk mengeluarkan pendapatnya, karena kedatangannya ke rumah itu hanya untuk berbicara dan menjelaskan yang terjadi antara dirinya dan Kala. Dia pun tidak berharap orang tua Kala akan membelanya dan menyalahkan Kala. Seperti yang dia bilang, semua keputusan ada di tangan Kala dan kedua orang tuanya. “Mama tidak bisa membayangkan perasaan sakit yang kamu rasakan, Bi.” Bu Fatma akhirnya bersuara. “Dalam keadaan hamil, tidak ada yang paling kita butuhkan kecuali suami kita. Tapi, kamu justru ditinggalkan suamimu di tengah malam dan itu untuk menemui perempuan lain. Mama nggak bisa membayangkan rasa sakit itu, Bi.” Binar tidak pernah menduga ibu mertuanya akan mengatakan itu alih-alih menudingnya dengan banyak kata makian. Perempuan paruh baya itu justru menempatkan dirinya pada posisi Binar sehingga t
Kala tidak pernah menyangka sang ayah akan mengatakan segala macam kalimat menyakitkan itu kepadanya. Saat dulu dia bertindak bodoh karena kepergian Widi, mereka tidak sekasar sekarang. Tapi jelas sekarang sangat berbeda. Kala menyakiti Binar si perempuan baik yang tidak pernah mengecewakan. Sedangkan Widi si perempuan selingkuh. Kala pergi dari rumah orang tuanya menuju rumah Binar. Dia akan ikut di mana istrinya tinggal. Itulah yang akan dia lakukan sekarang. Dia tidak ingin kehilangan Binar untuk kedua kalinya. Jadi bagaimanapun Binar akan memperlakukannya nanti, dia akan menerimanya dengan lapang dada. “Binar di kamar, Bik?” Kala bertanya kepada Bibi ketika melihat perempuan paruh baya itu di ruang keluarga. “Iya, Pak. Tapi Ibu pesan kalau jangan diganggu. Ibu sedang istirahat.” Kala hanya mengangguk kemudian naik ke lantai dua di mana kamar Binar berada. Saat dia membuka pintu kamarnya, Binar benar-benar tengah tidur dan terlihat sangat damai. Kala menutup pintu sepelan mu
Ramon tidak bisa menjawab pernyataan yang dikatakan oleh Binar. Mungkin semua orang tidak akan percaya ketika perempuan dan laki-laki bersama, mereka tidak akan terlibat dalam nafsu yang tak seharusnya. Terlebih lagi adalah Kala dan Widi yang notabennya adalah mantan suami istri. Dan lagi, menurut Ramon, Kala dan Widi masih saling mencintai. Tapi dia mengenal Kala. Seperti halnya dirinya, Kala tidak akan pernah melakukan sesuatu yang melanggar norma. Maka Ramon mencoba untuk mengatakan pendapatnya kepada Binar. “Gue rasa mereka tidak akan melakukan hal seperti itu, Bi. Gue yakin Kala masih memiliki batasan yang tidak akan dilanggar.” Binar tampaknya masih ragu. Tapi karena Ramon yang mengatakan itu, tentu saja dia perlu percaya dengan lelaki itu. Berhenti membahas tentang masalahnya dengan Kala, Binar menyusuri jalanan dengan tatapannya ketika mereka sampai di depan kampus mereka dulu. Baik Binar maupun Ramon, tidak ada yang pernah menyempatkan datang ke tempat mereka pernah mengem
Binar tidak serta merta menerima ponsel Kala dan hanya terus menatapnya dalam diam. Nama Widi terus muncul di layar ponsel tanpa henti. Saat panggilan itu mati, tak lama muncul lagi dan membuat Binar tahu, Widi tampaknya tidak akan menyerah. Lantas, Binar menatap Kala sebelum meyakinkan lelaki itu sekali lagi. “Kalau Mas mau aku yang angkat, itu artinya Mas kasih aku kesempatan untuk mengeluarkan kata yang mungkin akan melukai dia. Mas yakin?” Kala mengangguk. “Lakukan saja,” kata Kala memberikan izin. Binar mengambil alih ponsel sang suami lalu menerima panggilannya. Tentu saja dengan meloudspeaker agar Kala bisa mendengar pembicaraan Binar dengan Widi. “Halo!” Binar memulai. “Mbak Binar?” Suara Widi terdengar di seberang sana. Ada sebuah getaran dalam suaranya. Binar menatap Kala hanya untuk memastikan ekspresi sang suami. Tapi seperti semula, lelaki itu bahkan tampak terlihat dingin. “Kenapa, Mbak?” tanya Binar setelah itu. “Ada perlu apa?” Ini adalah untuk pertama kalinya
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti