Binar pikir, Kala tidak akan datang ke rumahnya hari ini. Tapi ternyata Binar salah, lelaki itu justru datang pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke kantor. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala masih dingin, tapi Binar bahkan tidak peduli. “Mama ingin kita pergi makan malam ke rumah nanti malam.” Kala bersuara lebih dulu. “Kita akan datang sekalian kamu pulang ke apartemen.” Binar tidak menjawab dan lebih memilih menikmati sarapannya. Membuat Kala merasa diabaikan. “Kamu nggak dengar, Bi?” tanya Kala dengan menatap lurus pada sang istri. “Aku dengar.” “Kenapa nggak jawab?” “Iya. Nanti malam kita akan makan malam ke rumah Mama.” “Dan pulang ke apartemen!” tegas Kala lagi. Namun lagi-lagi, Binar tidak peduli dengan ucapan Kala yang terakhir. Membuat Kala mendesah pasrah. “Sampai kapan kita akan tinggal terpisah begini Bi? Kita ini suami istri.” “Sampai Mas berhenti menemui mantan Mas dan kita bisa hidup selayaknya suami istri.” Kini Binar mendongak dan menatap balik pada Ka
“Sudah siap makan malamnya? Papa udah lapar.” Ketegangan di antara Binar dan Kala itu akhirnya terurai karena suara lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Tatapannya mengarah pada Kala kemudian beralih pada Binar. “Sudah lengkap formasinya,” imbuh ayah Kala sambil tersenyum. Ibu Kala lantas membalas senyuman suaminya dengan senyum kecil sebelum beranjak. Mengadukan kelakukan Kala yang baru dilihatnya. “Anaknya, Pa. Kalau kasmaran nggak tahu tempat. Cium-cium istrinya di depan Mama. Jadi ingat masa muda ‘kan Mama jadinya.” “Masa tua juga boleh kasmaran kok, Ma. Tapi kasmarannya sama Papa aja ya.” Lelaki paruh baya itu berjalan mengikuti sang istri meninggalkan anak dan menantunya. Tidak menyadari kalau pasangan muda yang masih duduk di sofa ruang keluarga itu tengah mengeluarkan aura permusuhan satu sama lain. Binar tersenyum melihat kedua orang tua Kala yang memiliki hubungan romantis meskipun usianya tidak lagi muda. Mereka tampak saling menyayangi satu
Ekspresi yang ditunjukkan oleh Binar gelap seketika setelah satu kalimat itu keluar dari mulut Kala. Kedua tangannya mengepal erat. Tubuhnya terasa membeku. Tidak cukup meninggalkannya saat tengah malam, kini Kala bahkan akan pergi sejauh itu untuk menemani sang mantan istri berobat yang Binar tidak tahu sakit apa. Meninggalkan Binar yang sedang hamil. “Jadi kamu benar-benar ingin aku mengurus diriku dan bayiku seorang sendiri, Mas?” Binar menahan mati-matian air matanya yang sialnya ingin menyeruak keluar. Ternyata rasanya sakit sekali. Binar sudah menahannya selama ini dan ini adalah puncaknya. “Bi, aku minta waktu sebulan ini saja. Setelah satu bulan dan dia sembuh, aku janji nggak akan menemuinya lagi.” “Bagaimana kalau aku nggak memberinya izin. Apa Mas akan tetap pergi?” “Keluarganya nggak ada yang tahu kalau dia sakit. Dan ….” “Dia lebih memilih mengatakannya kepada mantan suaminya yang sekarang sudah memiliki istri dibandingkan kepada keluarganya? Hebat sekali.” Binar
Kala yang mendengar hinaan Ramon kepada Widi pun bereaksi keras. Tubuhnya yang tadi terhuyung pun kini berdiri tegak kembali. Pipi kirinya yang terasa pedih pun tidak dirasa. Kala kini menatap Ramon seolah ingin menguliti lelaki itu. Tangannya mengepal erat lalu menyerang balik Ramon. Satu pukulan bersarang di wajah Ramon dengan keras, sehingga desisan terdengar dari mulut lelaki itu. Geraman keluar dari mulut Kala setelahnya. “Berani sekali lo keluarkan kata itu untuk Widi. Dia bukan perempuan seperti itu!” “Bukan perempuan seperti itu? Lalu apa sebutannya buat perempuan bersuami yang selingkuh di belakang suaminya sampai hamil? Apa sebutannya Kal, jawab gue! Kasih gue satu panggilan yang pantas untuk disematkan kepada Widi. Perempuan bijaksana? Atau perempuan salihah?” Ramon meludah menandakan dia jijik. Rentetan ucapannya terasa menampar Kala dan juga Widi. “Dan tololnya lo, lo justru masih mencintai perempuan murahan seperti dia dan menyakiti Binar!” “Tutup mulut lo, Ramon!”
‘Bi, kamu di mana?’ Satu kalimat itu muncul di ponsel Binar hanya untuk diabaikan. Binar enggan membalas, bahkan dia segera memblokir nomor Kala dari ponselnya. Binar butuh ketenangan sebelum kembali keluar dari persembunyiannya. Selama dia bekerja, dia tak pernah mengambil cuti tahunannya, sehingga dia mengambil cuti tambahan setelah cuti dua hari kemarin. Ada satu rencana yang sedang dia pikirkan sekarang dan dia akan merundingkannya dengan Ramon saat mereka bertemu nanti. Karena menuruti permintaan Binar, Ramon bahkan tidak menemui Binar saat mengantarkan koper berisi pakaian perempuan itu. Dia hanya menitipkan kepada resepsionis. Deringan ponsel Binar terdengar dan itu adalah nomor Ramon. “Ya, Ram?” “Lo oke ‘kan?” tanya Ramon di seberang sana. “Gue oke.” Binar beranjak dari kasur kemudian berdiri di depan dinding kaca di kamarnya. Menatap ke luar dengan pandangan dingin. “Gue mau rundingan sama lo tentang sesuatu, Ram.” “Bilang aja.” Tidak perlu menunggu sampai mereka
“Pasti ada sesuatu yang fatal sehingga membuat Pak Kala harus turun dari jabatannya, Mbak.” Tidak ada yang mengejutkan Binar dibandingkan dengan informasi yang didapatkan hari ini. Hera memang sudah berada di perusahaan itu cukup lama, sehingga dia memiliki banyak informasi yang terpendam. Sekarang, Binar sudah tahu sedikit dan tentu ingin mendapatkan lebih banyak lagi. “Beliau hampir membuat perusahaan bangkrut, Mbak.” Hera kembali menjelaskan. “Menjadi pimpinan itu nggak gampang ‘kan, Mbak. Aku ingat betul waktu itu atasan selalu mengadakan rapat ini itu. Saham anjlok dan sebagainya. Saat itu, Pak Kala tengah galau karena perceraian yang terjadi. Kalau masalah konflik internal antara Pak Kala dengan keluarganya nggak ada yang tahu, Mbak. Tapi kalau masalah perusahaan, begitulah kira-kira yang terjadi.” Binar tentu semakin penasaran dengan lanjutan cerita Hera. Tapi bukan Hera yang bisa mengungkap semuanya, tapi Ramon. Binar yakin Ramon lah yang bisa menjawab semua pertanyaan ya
“Gue nggak pernah dengar kalau Widi punya penyakit serius yang mengharuskan dia berobat sampai sejauh itu, Bi.” Ramon melotot ketika mengatakan kalimat tersebut. “Sial!” Ramon mengumpat kasar. “Ke mana otak Kala sebenarnya. Bisa-bisanya dia ninggalin lo dalam keadaan hamil dan memilih pergi dengan mantan istrinya!” “Dia minta gue waktu satu bulan dan setelah itu dia bilang nggak akan nemui Widi lagi.” Binar tersenyum sinis. “Bahkan dia cinta mati kepada mantan istrinya, Ram. Mungkin setelah mereka pulang dari sana, ikatan cinta itu akan semakin tumbuh dan berkembang.” Ramon mengusap wajahnya dengan kasar dan mengeluarkan umpatan yang tak henti dia lontarkan. “Gue yakin kalau orang tua Kala denger, ini akan menjadi masalah besar buat dia.” “Itulah kenapa gue nggak mau mereka tahu dulu.” “Lo nggak mau pisah sama dia?” “Gue udah janji gue nggak akan pernah bercerai dari dia.” “Gila!” Entah sudah berapa banyak kata-kata kasar yang Ramon keluarkan karena Kala dan Binar. Dia tidak p
“Kakak percaya sama aku?” Untuk pertama kalinya Erza mendengar sesuatu yang terasa menghangatkan hatinya. Dan itu adalah dari kakak yang disayanginya. Tentu saja, reaksinya sedikit berlebihan. “Aku percaya sama kamu. Kamu bilang saja sama Ayah dan Ibu kalau kamu nemeni aku di sini. Kamu udah bilang sama Ayah kalau kamu kerja sama aku ‘kan?” tanya lupa menanyakan tentang itu kepada Erza. “Bilang dong, Kak. Tanggapan mereka bagus banget malah. Tapi aku khawatir kalau Ayah tiba-tiba datang ke sini bagaimana ‘Kak? Sedangkan Kakak nggak ada di rumah.” “Kamu tinggal bilang aja alasannya yang menurut kamu masuk akal.” Tidak ada salahnya Binar menjalin hubungan lebih dekat dengan adiknya. Toh dia tidak sedang tergantung dengan siapa pun sekarang. Erza tentu saja menyetujuinya dengan anggukan. “Kalau memang Kakak percaya sama aku, aku akan tinggal di sini untuk sementara. Aku akan bawa beberapa barangku ke sini.” “Boleh. Besok Bibi akan membersihkan kamar bawah, jadi kamu bisa menem
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti