Kala tampak tidak terpengaruh dengan pertanyaan Anton dan dengan santainya dia menyuapkan ayam ke dalam mulutnya. Iseng. Mulut Anton memang sering seperti itu. Kala memang belum terlalu mengenalnya, tapi dia juga bisa melihat ketika Anton bersama dengan teman-temannya, ada saja ulahnya yang membuat geram. “Binar!” Nama itu terlontar. Membuat satu meja itu tampak terkejut. Tidak tahu apakah itu sebuah jawaban yang Kala berikan, atau hanya ingin mengungkapkan sesuatu kepada perempuan itu. Sedangkan Binar bahkan terlihat membeku. Kini mereka semua menunggu dengan harap-harap cemas atas kelanjutan jawaban Kala. Tapi selanjutnya mereka semua justru mendesah kecewa. “Kamu sudah berapa lama kerja dengan Anton?” tanya Kala dengan santai. “Kamu nggak merasa dia merepotkan?” Binar menatap Kala yang kemudian menoleh pada Anton. Ada seringaian tipis yang terlihat. “Namanya orang marketing, Pak. Harus bisa improvisasi.” Anton mendengus kesal. “Saya tanya apa, jawabannya malah buat orang keki.
Kala masih berada di depan rumah Binar meskipun perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah. Menarik napasnya panjang, Kala membuka jendela mobil, mengeluarkan rokok dari dashboard mobilnya, lalu menyalakannya. Menghisap nikotin tersebut dengan santai sambil menumpukan kepalanya pada kepalan tangannya. Lelaki itu masih belum berniat untuk pergi dari sana. Menikah. Kala pernah berpikir akan menikah lagi setelah dirinya menyandang status duda selama tiga tahun terakhir ini. Tapi di antara banyak perempuan yang dikenalnya, tidak satupun yang menarik perhatiannya. Tapi Binar, perempuan itu tentu menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini dan waktu-waktu selanjutnya. “Kamu nggak ada niatan untuk menikah lagi?” Malam itu, malam di mana dia mengalami ‘kecelakaan’ yang membuatnya pada akhirnya mengenal Binar, dia mendapatkan pertanyaan itu dari ibunya. Ibunya yang selalu mendorong dirinya untuk segera kembali berkeluarga setelah kegagalan yang dialami. “Aku akan menikah kalau aku sudah bertem
Binar tidak segera menjawab. Ada sedikit rasa takut di dalam hatinya saat dia menerima penawaran Kala. Dia takut jatuh cinta. Benar, dia sudah meyakinkan dirinya jika dia tak akan lagi menjadi perempuan yang ‘tergantung’ pada orang lain. Tapi tetap saja kekhawatiran itu ada. Setelah dia meyakinkan dirinya untuk menutup hatinya rapat. Dan dia yakin tidak ada yang bisa membukanya. Maka dia mengangguk mantap. “Tujuan saya menikah hanya satu. Saya ingin memiliki anak. Tak peduli meskipun itu tanpa cinta.” “Bagaimana kalau saya memanfaatkan kamu dalam hubungan ini?” Kala kembali bersuara.“Bukankah kita sama-sama melakukannya dengan keuntungan kita masih-masing? Jadi saya pikir, kita tidak perlu lagi membicarakan ini lagi.” Binar kemudian beranjak. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, saya akan kembali.” Kala mengangguk mempersilakan Binar untuk pergi dari ruangannya. Mengikuti kepergian Binar sampai perempuan itu duduk di kubikelnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ka
“Saya Binar, istri Kala.” Senyum Binar terbit dan tampak tidak ada kecemburuan. Bukankah memang dia tidak berhak cemburu? Memang dia siapa? Binar memang istrinya, tapi hanya sebagai status di atas kertas. Perempuan itu tidak ingin terlalu mendalami perannya. Membentengi hatinya tinggi-tinggi mulai sekarang akan lebih baik dilakukan. “Saya masuk dulu.” Ketika lift terbuka, Binar keluar lebih dulu meninggalkan Kala dan Widi begitu saja. Ada sesuatu yang aneh yang pasti tampak di mata Widi. Perempuan itu bahkan harus menahan kepergian Kala ketika lelaki itu ingin pergi dari sana. “Tanggapan istrimu, kenapa begitu biasa dengan keberadaanku. Seperti, ada yang aneh dengan hubungan kalian.” Widi adalah seorang perempuan yang tentu saja feelingnya begitu tajam dengan hal-hal seperti itu. Maka dia tak ingin berpura-pura tidak tahu dengan keganjilan yang dirasakan. Kala melepaskan tangan Widi di tangannya. Lelaki itu menggeleng pelan. “Dia memang seperti itu. Selama dia merasa sesuatu yan
“Binar, kenapa harus buru-buru? Bersabarlah.” Kala membujuk Binar agar Binar setidaknya mau menunggu sampai Tuhan benar-benar mempercayakan mereka memiliki anak. Jika memang benar-benar tak kunjung mendapatkannya ketika sudah lama menikah, mungkin opsi tersebut bisa dilakukan. Tapi mood Binar sedang tidak baik kali ini, maka dia tidak menyanggah lagi ucapan Kala karena yang dia pikir jawaban Kala adalah sebuah bentuk penolakan. Pergi begitu saja dari hadapan Kala, Binar bahkan tak menebus vitamin yang sudah diresepkan oleh dokter. Perasaannya tengah kacau luar biasa dan semakin terasa pedih ketika melihat pasangan yang tengah tersenyum dengan seorang bayi ada digendongannya. Tatapan Binar penuh harap seolah dia ingin segera mendapatkannya juga. “Kamu pasti ingin mendapatkan yang seperti itu juga ‘kan?” Sebuah suara terdengar dari sisi kirinya. Binar menoleh dan mendapati si mantan suami tengah berdiri di sana. Namun Binar memilih tidak menjawab. Karena ketika dia sudah membuka mul
“Penyesalan itu udah nggak ada gunanya lagi sekarang. Kehidupanku sudah berantakan.” Widi melanjutkan ucapannya. Kala tidak menjawab. Ada di dalam sisi hatinya yang ingin menertawakan Widi. Tapi di sisi lain, dia merasakan ada sesuatu yang begitu mendesak yang dia tak tahu itu apa. Logikanya mengatakan jika dia tak seharusnya begitu bodoh dengan masih memikirkan kemungkinan yang tidak mungkin. “Aku pikir, kamu sudah punya anak dan ….”“Aku keguguran saat itu.” Widi memotong ucapan Kala, membuat atmosfer di antara mereka tampak membeku. “Kal, aku minta maaf.” Widi tampak benar-benar menyesal. “Seandainya aku tidak melakukan hal buruk itu, aku yakin sekarang kehidupan kita akan bahagia. Aku … bahkan masih mencintaimu.” Ada gejolak yang tidak bisa Kala hindari. Perasaan cinta yang masih kental, harapan-harapan yang pernah pupus, kembali menjadi melebur menjadi satu dan menciptakan sesuatu yang sangat luar biasa. Ada euphoria yang muncul di dalam hatinya. Itu seperti sebuah kebahagiaan
Rentetan pertanyaan itu membuat Kala terdiam. Selama mereka menikah, Binar memang tidak bertanya tentang alasan Kala yang bersikeras mau menikahinya. Dia hanya berpikir itu bukan urusannya. Tapi setelah dia berpikir lebih dalam lagi, ada sebuah ketakutan yang akhirnya muncul di dalam pikirannya. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dan meluruskan semuanya. Dengan begitu, dia tahu arah hidupnya kedepannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya dan penasaran dengan ini? Bukannya kamu sebelumnya tidak peduli alasanku?” Kala menjawab. Merasa aneh dengan “Karena aku harus tahu arah masa depanku. Sekarang aku tanya, apa Mas akan melanjutkan pernikahan kita sampai seterusnya?” Binar memancing. Namun Kala pun tidak segera menjawab. Tentulah Kala juga mungkin tidak pernah berpikir tentang kelanjutan hubungan mereka. Baik Binar maupun Kala, mereka hanya mengikuti ego mereka untuk menikah. Binar dengan dendamnya kepada Rasya yang ingin membuktikan dia bisa memiliki anak, dan Kala dengan alasannya
“Bantu, Mas? Dengan cara apa?” Menghilangkan perasaan cinta yang sudah terpendam lama tidaklah mudah. Terlebih lagi, Kala tampak tidak memiliki keinginan untuk melakukannya. Lelaki itu masih memuji Widi habis-habisan di dalam hatinya. Bagaimana Binar tahu? Karena setiap Kala menceritakan tentang mantannya, tampak begitu antusias. Sorot matanya berbinar cerah seolah dia tengah menceritakan kejadian yang begitu menyenangkan.Kala mengedikkan bahunya tak acuh. “Entah. Barangkali dengan membuat aku mencintaimu?” Binar menyeringai. “Aku bahkan nggak yakin Mas bisa mencintaiku.” Ingin menyudahi pembahasan itu, Binar beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar. Dia membutuhkan air dingin untuk mengguyur kepalanya supaya lebih segar dan menyingkirkan segala macam hal buruk yang ada di dalam pikirannya. Kala menatap kepergian Binar dalam diam. Perbincangan malam ini adalah sebuah perbincangan yang berat. Sebelumnya mereka bahkan tidak pernah mengusik apa pun antara kehidupan satu dengan y
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti